PEMBIMBING:
dr. Hj. Melliana. SpPD
Penyusun:
Imanuel Sutopo
11.2018.006
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan kasus dengan judul :
Disusun oleh :
Imanuel Sutopo
11.2018.006
Jakarta, ...................................
Mengetahui,
dr. Hj. Meliana ,Sp.PD
2
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus:..........................
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT: RSUD CENGKARENG
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat /tanggal lahir : Jombang, 12 Juni Suku Bangsa : Jawa
1966 (53 tahun)
Status Perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta Pendidikan : SLTA
Alamat : Jln Bangun Nusa RT02/02
A. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis Tanggal : 16-12-19 Jam : 07.30 WIB
Keluhan utama :
Penurunan kesadaran dan lemas setelah cuci darah di ruang HD 1 jam SMRS.
3
2 minggu SMRS pasien mengalami gejala batuk berdahak yang tak kunjung sembuh,
dahak pasien berwarna abu-abu kecoklatan, batuk darah disangkal pasien, nafsu makan mulai
menurun, dan berat badan mulai menurun dalam 1 bulan terakhir ini.
1 hari SMRS, pasien mengatakan mengalami BAB hitam dirumah. Pasien mengatakan
bahwa ia tidak melihat apakah ada lendir atau tidak. Pasien juga merasakan mual tetapi tidak
muntah, pusing dan nyeri kepala disangkal, demam disangkal pasien, dan badan lemas juga
disangkal pasien.
1 jam SMRS, pasien dilarikan ke IGD dari ruangan HD karena mengalami penurunan
kesadaran dan lemas. Tekanan darah pasien menurun hingga 95/43 dan Hb pasien saat di IGD
juga menurun hinggal 4.2 g/dL. Pasien mual tetapi tidak muntah, diare disangkal, pusing dan
nyeri kepala disangkal, demam disangkal, batuk darah disangkal, keringat dingin malam hari
disangkal, minum-minum obatan virus disangkal. Bengkak pada tangan dan kaki disangkal,
tetapi jika minum lebih dari 300ml sehari, pasien mengalami bengkak pada wajah. perut
membesar disangkal, riwayat sakit jantung disangkal, riwayat sakit liver disangkal, riwayat
minum obat pengencer darah disangkal, riwayat darah tinggi dan kencing manis disangkal
pasien. Istri pasien mengatakan bahwa pasien sudah menjalani HD selama 1.5 tahun dan sudah
mengganti CDL sebanyak 3x. Pasien juga sudah sering mengalami lemas setiap habis HD.
Penyakit Dahulu
(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu ginjal/Sal.kemih
(-) Disentri (-) Burut (Hemia) (-) Difteri
(-) Hepatitis (-) Rematik (-) Batuk Rejan
(-) Tifus Abdominalis(-) Wasir (-) Campak
(-) Diabetes (-) Influenza (-) Sifilis
(-) Alergi (-) Tonsilitis (-) Gonore
(-) Tumor (-) Khorea (-) Hipertensi
(-) Penyakit Pembuluh (-) Demam Rematik Akut (-) Pneumonia
(-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis (-) Pleuritis
(-) Gastritis (-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu
(-) Operasi (-) Kecelakaan (-) Lain-lain
4
Riwayat Keluarga
Umur Keadaan Penyebab
Hubungan Jenis Kelamin
(Tahun) Kesehatan Meninggal
Kakek (ayah) Tidak tau Laki-Laki Meninggal Tidak tau
Nenek (ayah) Tidak tau Perempuan Meninggal Tidak tau
Kakek (ibu) Tidak tau Laki-Laki Meninggal Tidak tau
Nenek (ibu) Tidak tau Perempuan Meninggal Tidak tau
Ayah Tidak tau Laki-Laki Meninggal Tidak tau
Ibu Tidak tau Perempuan Meninggal Tidak tau
Saudara Tidak tau - - -
- - - -
Anak – anak
ANAMNESIS SISTEM
Kulit
(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat Malam (-) Lain-lain
5
(-) Kuku (-) Kuning/Ikterus (-) Sianosis
Kepala
(-) Trauma (-) Sakit Kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri pada Sinus
Mata
(-) Nyeri (-) Radang
(-) Sekret (-) Gangguan Penglihatan
(-) Kuning/Ikterus (+) Anemis
Telinga
(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan Pendengaran
(-) Kehilangan Pendengaran
Hidung
(-) Trauma (-) Gejala Penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan Penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis
Mulut
(+) Bibir kering (-) Lidah kotor
(-) Gangguan pengecapan (-) Gusi berdarah
(-) Selaput (-) Stomatitis
Tenggorokan
(-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara
Leher
(-) Benjolan (-) Nyeri Leher
Dada ( Jantung / Paru – paru )
(-) Nyeri dada (-) Sesak Napas
(-) Berdebar (-) Batuk Darah
(-) Ortopnoe (+) Batuk
Abdomen ( Lambung Usus )
(+) Rasa Kembung (-) Perut Membesar
6
(+) Mual (-) Wasir
(-) Muntah (-) Mencret
(-) Muntah Darah (-) Tinja Darah
(-) Sukar Menelan (-) Tinja Berwarna Dempul
(-) Nyeri Perut (-) Tinja Berwarna Ter
(-) Benjolan
Saluran Kemih / Alat Kelamin
(-) Disuria (-) Kencing Nanah
(-) Stranguri (-) Kolik
(-) Poliuria (+) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi Urin
(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes
(-) Ngompol (-) Penyakit Prostat
Katamenia
(-) Leukore (-) Pendarahan
(-) lain – lain
Haid
(-) Haid terakhir (-) Jumlah dan lamanya (-) Menarche
(-) Teratur/tidak (-) Nyeri (-) Gangguan haid
Saraf dan Otot
(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat
(-) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot Lemah (-) Hipo / Hiper-esthesi
(-) Kejang (-) Pingsan
(-) Afasia (-) Kedutan (‘tick’)
(-) Amnesia (-) Pusing (Vertigo)
(-) Gangguan bicara (Disartri)
Ekstremitas
(-) Bengkak (-) Deformitas
(-) Nyeri (-) Sianosis
Berat Badan :
Berat badan rata – rata (kg) : 50 kg
7
Berat tertinggi kapan (kg) : 54 kg
Berat badan sekarang : 45kg
(bila pasien tidak tahu dengan pasti)
(-) Tetap (+) Turun (-) Naik
RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat Lahir : ( ) di rumah (√ ) Rumah Bersalin ( ) R.S Bersalin
Ditolong oleh : ( ) Dokter (√ ) Bidan ( ) Dukun ( ) lain - lain
Riwayat Makanan
Frekuensi / Hari : 1-2 kali/hari
Jumlah / kali : 1 piring/kali
Variasi / hari :-
Nafsu makan : Kurang
Pendidikan
( ) SD ( ) SLTP (+) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan
( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah
8
Udema umum : Tidak ada
Habitus :-
Cara berjalan : Tidak dinilai
Mobilitas ( aktif / pasif ) : Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa : Sesuai umur
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku : Wajar
Alam Perasaan : Disforik
Proses Pikir : Wajar
Kulit
Warna : Sawo Matang
Effloresensi : Tidak ada
Jaringan Parut : Tidak ada
Pigmentasi : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Merata
Lembab/Kering : Kering
Suhu Raba : Hangat
Pembuluh darah : Tidak tampak pelebaran
Keringat : Umum
Turgor : Menurun
Ikterus : Tidak ada
Lapisan Lemak : Merata
Udema : Tidak ada
9
Kepala
Ekspresi wajah : Tenang
Simetri muka : Simetri
Rambut : Hitam, lebat, dan panjang
Mata
Exophthalamus : Tidak ada
Enopthalamus : Tidak ada
Kelopak : Normal
Lensa : Jernih
Konjungtiva : Anemis
Visus : Tidak diperiksa
Sklera : Tidak ikterik
Gerakan Mata : Aktif
Lapangan penglihatan : Normal
Tekanan bola mata : Normal
Deviatio Konjugate : Tidak ada
Nistagmus : Tidak ada
Telinga
Tuli : Tidak ada
Selaput pendengaran : Utuh, intak
Lubang : Lapang
Penyumbatan : Tidak ada
Serumen : Ada
Pendarahan : Tidak ada
Cairan : Tidak ada
Mulut
Bibir : Kering
Tonsil : T1-T1 tenang
Langit-langit : Tidak ada kelainan
Bau pernapasan : Tidak ada
Gigi geligi : Tidak ada caries
10
Trismus : Tidak ada
Faring : Tidak hiperemis
Selaput lendir : Normal
Lidah : Tidak kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5-2 cmH2O
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba perbesaran
Kelenjar Limfe : Tidak teraba perbesaran
Dada
Bentuk : Simetris, tidak ada bagian yang tertinggal, sela iga normal
Pembuluh darah : Tidak terlihat spider navi
Buah dada : Simetris, tidak tampak benjolan
Paru – Paru
Depan Belakang
Inspeksi Kanan Bentuk normal, simetris saat statis dan Bentuk normal, simetris saat statis dan
dinamis dinamis
Kiri Bentuk normal, simetris saat statis dan Bentuk normal, simetris saat statis dan
dinamis dinamis
Palapasi Kanan Tidak teraba benjolan, nyeri tekan (-), Tidak teraba benjolan, nyeri tekan (-),
fremitus taktil simetris fremitus taktil simetris
Kiri Tidak teraba benjolan, nyeri tekan (-), Tidak teraba benjolan, nyeri tekan (-),
fremitus taktil simetris fremitus taktil simetris
Perkusi Kanan Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Kiri Sonor diseluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi Kanan Vesikuler (-), wheezing (-), ronki (+) Vesikuler (-), wheezing (-), ronki (+)
Kiri Vesikuler (-),wheezing (-), ronki (+) Vesikuler (-), wheezing (-), ronki (+)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkat dan regular pada ICS VI linea axillaris anterior
Perkusi : Batas atas : ICS III linea sternalis kiri
Batas pinggang jantung : ICS IV linea parasternalis kiri
Batas kanan : ICS IV linea sternal kanan
11
Batas kiri : ICS VI 2 jari lateral linea midclavicularis kiri
Auskultasi : BJ 1 2 murni reguler. Murmur (-), gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis : Teraba pulsasi
Arteri Karotis : Teraba pulsasi
Arteri Brakhialis : Teraba pulsasi
Arteri Radialis : Teraba pulsasi
Arteri Femoralis : Teraba pulsasi
Arteri Poplitea : Teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior : Teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis : Teraba pulsasi
Perut
Inspeksi : Datar, pembuluh darah (-), dilatasi vena (-), tidak ada bekas operasi
Palpasi
Dinding perut : Tidak ada distensi, tidak ada massa, nyeri tekan (-)
Hati : Tidak membesar
Limpa : Tidak membesar
Ginjal : Ballotement (-), nyeri ketuk CVA (-)
Lain-lain : Tidak ada
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+)
Refleks dinding perut : Baik
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : Normotonus Normotonus
Sendi : Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan : Aktif Aktif
12
Kekuatan : +5 +5
Lain-lain : Palmar eritem (-) Palmar eritem (-)
Flapping tremor (-) Flapping tremor (-)
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka : Tidak ada Tidak ada
Varises : Tidak ada Tidak ada
Otot : Hipotonus Hipotonus
Sendi : Normal Normal
Gerakan : Pasif Pasif
Kekuatan : 5 5
Udema : Tidak ada Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada Tidak ada
Reflex
Kanan Kiri
Refleks Tendon Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Bisep Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Trisep Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Patela Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Achiles Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks kulit Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks patologis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
14
Cefoxitine Screen :+
Ceftazidime :R
Ceftriaxone :R
Ciprofloxacin :S
Clindamycin :S
Erythromycin :S
Gentamicin :R
Imipeneme :R
Levofloxacine :S
Meropenem :R
Methicilin :R
Moxifloxacine :S
Oxacillin :R
Rifampicin :S
Chlorampeniccol :S
15
D. RINGKASAN (RESUME)
Tn. M 53 tahun datang ke IGD RSUD Cengkareng dengan penurunan kesadaran dan lemas
sehabis melakukan cuci darah/ Hemodialisa. Pasien merasa mual, tetapi muntah disangkal.demam
disangkal, nyeri kepala dan pusing juga disangkal. Pasien memiliki riwayat BAB hitam 1 hari
SMRS dengan konsistensi yang belum diketahui oleh pasien. 2 minggu SMRS, pasien mengalami
batuk berdahak berwarna abu-abu kecoklatan yang tidak kunjung sembuh.
Setelah beberapa hari dirawat di bangsal, pasien sudah mengalami beberapa perbaikan klinis
setelah di transfusi PRC, tetapi masih lemas dan mual. Pasien masih mengalami batuk-batuk namun
sudah tidak keluar dahak, muntah disangkal.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum compos mentis, tekanan darah : 120/70
mmHg, nadi 88 x/menit, suhu 36.60C, pernafasaan 20 kali/menit. Konjungtiva anemis, Jantung
dalam batas normal, Paru-paru terdengar rhonki pada kedua lapang paru basal dan apeks. Abdomen
dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb yang rendah 4.2g/dL, Leukositosis 22.000,
Ht 13%, Ureum 94 mg/dL, Creatinin 2.3 mg/dL, eGFR 31.8 ml/menit 1.78 2. Pada pemeriksaan
foto toraks didapatkan infiltrate pada kedua basal lapang paru. Pada pemeriksaan feses lengkap
didapatkan kuning kehitaman dengan konsistensi lunak, lendir dan jamur positif. Pada
pemeriksaan kimia klinis didapatkan hipoalbuminemia 2.1 g/dL, dan pada kultur resistensi
antibiotik isolate staphylococcus aureus didapatkan resistensi pada methicillin dan beberapa
antibiotik lainnya.
1. CKD on HD dengan MRSA : atas dasar pasien yang sudah menjalankan HD dengan cukup
yang waktu lama yaitu 1.5 tahun dengan pemasangan CDL yang mungkin dapat menjadi
sumber invasinya bakteri ke dalam darah. Pada kultur resistensi isolate staphylococcus
aureus didapatkan resisten pada Methicilin dan beberapa antibiotic lainnya. Dan pada
beberapa hari pertama perawatan didapatkan leukositosis yang merupakan tanda tanda
infeksi.
2. Tuberkulosis Paru : atas dasar batuk berdahak berwarna abu-abu kecoklatan selama 2
minggu, berat badan yang menurun selama 1 bulan ini, pada hasil laboratorium
didapatkan leukositosis dan pada foto toraks didapatkan infiltrate pada kedua basal
lapang paru.
H. RENCANA PENGELOLAAN
Penatalaksanaan di IGD :
- Infus RL/8 jam
- PRC
- Asam Traneksamat 3x500 mg
- Lansoprazole 3x 30mg
- Lab Hema 1, GDS, Elektrolit,kimia darah
J. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Tinjauan Pustaka
A. DEFINISI CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
Definisi CKD menurut NKF-K/DOQI adalah:3
1. Kerusakan ginjal selama ≥ 3 bulan
Yang dimaksud terdapat kerusakan ginjal adalah bila dijumpai kelainan struktur atau fungsi ginjal
dengan atau tanpa penurunan GFR, dengan salah satu manifestasi:
- Kelainan patologi
- Petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan komposisi darah atau urine, atau kelainan
radiologi.
2. GFR ≤ 60 ml/men/1,73m2 ≥ 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
GFR ≤ 60 ml/men/1,73m2 ≥ 3 bulan diklasifikasikan sebagai CKD tanpa memperhatikan ada atau
tidak adanya kerusakan ginjal oleh kerena pada tingkat GFR tersebut atau lebih rendah, ginjal telah
kehilangan fungsinya ≥ 50% dan terdapat komplikasi. Disisi lain adanya kerusakan ginjal tanpa
memperhatikan tingkat GFR juga diklasifikasikan sebagai CKD. Pada sebagian besar kasus, biopsy
ginjal jarang dilakukan, sehingga kerusakan ginjal didasarkan pada adanya beberapa petanda seperti
proteinuria, kelainan sedimen (hematuria, pyuria dengan cast), kelainan darah yang patognomonik
untuk kelainan ginjal seperti sindroma tubuler (misalnya asidosis tubuler ganjal, diabetes insipidus
nefrogenik), serta adanya gambaran radiologi yang abnormal, misalnya hidronefrosis. Ada
kemungkinan GFR tetap normal atau meningkat, tetapi sudah terdapat kerusakan ginjal sehingga
mempunyai resiko tinggi untuk mengalami 2 keadaan utama akibat CKD, yaitu hilangnya fungsi
ginjal dan terjadinya penyakit kardiovakular.3
Dalam kurun waktu ±50 tahun ini telah terjadi peningkatan kejadian infeksi yang
disebabkan oleh mikoorganisme yang resisten terhadap berbagai agen antimikroba atau
antibiotik. Suatu mikroorganisme dianggap multi resisten jika banyak diantara antibiotik yang
biasa digunakan tidak dapat membunuh mikroorganisme tersebut. Mikroorganisme dengan
resistensi multi-obat akan banyak menyebabkan banyak masalah dalam lingkungan perawatan
kesehatan dan bahkan dalam masyarakat (Alangaden, 1997; EPIC, 2006).
Beberapa faktor dapat menyebabkan terjadinya peningkatan ini, diantaranya adalah salah
pemilihan dan penggunaan dari agen antibiotik sehingga muncul adanya mikroorganisme yang
resisten. Hal ini akan menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas, serta peningkatan
biaya perawatan (Alangaden, 1997).
Ada beberapa macam keadaan dimana mikroorganisme resisten terhadap antibiotik,
antara lain methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin-resistant
Enterococci (VRE), dan methicillin-resistant Acinobacter baumanii (MRAB). Diantara infeksi
resistensi diatas, yang paling banyak mendapat perhatian adalah MRSA (EPIC, 2006).
Diperkenalkannya benzyl-penicillin (penicillin G) pada tahun 1940-an untuk sementara
waktu memecahkan masalah infeksi Staphylococcus aureus (S. aureus). Namun pada 1945 ada
laporan tentang adanya jenis S. aureus yang resisten terhadap penicillin. Menjelang 1948 jenis
yang resisten meningkat sehingga sangat menurunkan nilai klinis penicillin G. Resistensi S.
aureus berkembang lebih lanjut dan menjelang akhir 1950-an mikroorganisme ini resisten
terhadap hampir semua antibiotik sistemik, termasuk erythromycin, streptomycin dan tetracyclin
(EPIC, 2006).
Methicillin diperkenalkan pertama kali pada tahun 1959 untuk mengobati infeksi yang
disebabkan oleh jenis-jenis S. aureus yang resisten penicillin. Hanya dua tahun kemudian ada
laporan dari para peneliti yang menyatakan bahwa S. aureus telah menjadi resistan terhadap
methicillin (EPIC, 2006).
MRSA merupakan penyebab utama infeksi di rumah sakit dan telah meluas dengan cepat
di banyak bagian dunia. Makin lama makin sulit untuk melawan MRSA dan cara terbaik untuk
mencegah penularannya masih banyak diperdebatkan. Di samping menjadi masalah di rumah-
rumah sakit di dunia, MRSA juga makin banyak ditemukan kembali dari pasien di fasilitas
perawatan jangka panjang seperti wisma para usia lanjut, dan bahkan dari orang-orang di
masyarakat atau di tempat-tempat olahraga (EPIC, 2006).
A. Infeksi Staphylococcus aureus
Manusia merupakan koloni alamiah dari S. aureus. Tigapuluh sampai dengan limapuluh
persen manusia dewasa sehat terkolonisasi bakteri ini, dengan 10–20% terkolonisasi secara
persisten. Seseorang yang terkolonisasi oleh S. aureus akan terjadi peningkatan risiko untuk
mendapat infeksi tumpangan lainnya. Rerata kolonisasi staphylococcus tinggi pada pasien-pasien
dengan diabetes melitus (DM) tipe 1, pengguna obat-obat intravena, menjalani hemodialisis
rutin, menjalani pembedahan, acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), sirosis hati dan
defek pada kualitas atau kuantitas leukositnya (Noble et al., 1967; Casewell et al., 1986; Cheung
Sejarah resistensi bakteri terhadap antibiotika diawali dari ditemukannya S. aureus yang
resisten terhadap penicillin pada awal 1940-an, seperti tampak pada tabel 1. Sejak itu resistensi
tunggal maupun multipel (multidrug resistance) yang dimediasi oleh plasmid yang dapat
dipindahkan dari satu ke lain mikroorganisme di traktus gastrointestinal juga dilaporkan sekitar
tahun 1950-an. Pada pertengahan 1970-an gen-gen resisten ditemukan semakin menyebar di
berbagai pelayanan kesehatan dan bahkan melibatkan organisme-organisme yang bersifat
komensal di traktus respiratorius dan genitourinarius penderita yang dirawat di rumah sakit.
Penyebaran bakteri resisten semakin dramatik di pertengahan 1990-an (Dwiprahasto, 2005).
Resistensi bakteri terhadap antimikroba terjadi melalui banyak mekanisme dan cenderung
semakin rumit pendeteksiannya. Berbagai mekanisme genetik ikut terlibat, termasuk di antaranya
mutasi kromosom, ekspresi gen-gen resisten kromosom laten, didapatnya resistensi genetik baru
melalui pertukaran langsung DNA, bakteriofag, atau plasmid DNA ekstrakromosom, ataupun
didapatnya DNA melalui mekanisme transformasi (Dwiprahasto, 2005).
Lebih dari 80% strain S. aureus menghasilkan penicilinase, dan penicillinase-stable beta-
lactam seperti methicillin, cloxacillin, dan fluoxacillin yang telah digunakan sebagai terapi
utama dari infeksi S. aureus selama lebih dari 35 tahun. Strain yang resisten terhadap kelompok
penicillin dan beta-lactam ini muncul tidak lama setelah penggunaan agen ini untuk pengobatan
(Duckworth et al., 1998).
Methicillin merupakan penicillinase-resistant semisynthetic penicillin, pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1959 (Kowalski et al., 2005). Methicillin digunakan untuk mengatasi
infeksi yang disebabkan oleh S. aureus resisten terhadap penicillin. Namun, di Inggris pada tahun
1961 telah dilaporkan adanya isolat S. aureus yang resisten terhadap methicillin (Brown et al.,
2005). Kemudian infeksi MRSA secara cepat menyebar di seluruh negara-negara Eropa, Jepang,
Australia, Amerika Serikat, dan seluruh dunia selama berpuluh-puluh tahun serta menjadi infeksi
yang multidrug-resistant (Enright et al., 2002; Samathkumar, 2007).
Tabel 1. Kronologi infeksi S. aureus dan resistensinya
Tahun Kejadian
Dari seluruh spesimen, diperoleh isolat S. epidermidis sebanyak 679 (18,2%), S. aureus
171 (4,6%), dan S. viridians 169 (4,5%). Sehingga ketiga kuman ini saja sudah mencapai 1019
isolat (27,3%). Untuk sediaan darah, S. epidermidis merupakan isolat yang terbanyak (34,5%).
Dari sediaan sputum, S. viridians juga merupakan isolat yang terbanyak (17,7%), sedangkan S.
aureus masuk dalam 5 besar isolat yang ditemukan di darah dan pus (Wijisaksono, 2007).
Healthcare-associated MRSA (HA-MRSA) oleh Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) didefinisikan sebagai infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang pernah
dirawat di rumah sakit atau menjalani tindakan operasi dalam 1 tahun terakhir, memiliki alat
bantu medis permanen dalam tubuhnya, bertempat tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang,
atau individu yang menjalani dialisis (Anderson et al., 2007).
HA-MRSA secara tipikal dihubungkan dengan seseorang yang memiliki faktor risiko
perawatan di rumah sakit atau panti, dialisis, mendapat terapi antibiotik, atau terpapar oleh alat
atau prosedur yang invasif. HA-MRSA memiliki resistensi yang sangat tinggi dan merupakan
penyakit nosokomial yang penting (Borloug et al., 2005).
Faktor risiko independen untuk memprediksi infeksi HA-MRSA adalah pada pasien
dengan luka operasi, ulkus dekubitus, dan kateter intravena yang sebelumnya telah terkolonisasi.
Pasien yang dirawat di ICU (intesive care unit) memiliki risiko lebih tinggi untuk timbulnya
MRSA dibanding dengan pasien yang dirawat di ruangan biasa (Duckworth et al., 1998).
Pada awal 1990-an telah muncul MRSA yang didapatkan pada individu yang sebelumnya
tidak memiliki faktor risiko yang berhubungan dengan MRSA. Keadaan ini disebut sebagai
community-associated MRSA (CA-MRSA) (Borloug et al., 2005; Anderson et al., 2007).
Perbedaan antara HA MRSA dan CA MRSA tampak pada tabel 2.
Secara genetik dan fenotipe strain HA-MRSA berbeda dengan strain CA-MRSA. CA-
MRSA memiliki komposisi yang lebih kecil, mengalami kejadian virulensi yang lebih tinggi, dan
jarang terjadi multidrug resistant pada antimikroba non β-laktam (misalnya terhadap tetracyclin,
trimetoprim-sulfametoksazol [TMP-SMX], rifampin, clindamycin, dan fluoroquinolone)
(Anderson et al., 2007; Vavra & Daum, 2007).
Tabel 2. Karakteristik antara HA-MRSA dan CA-MRSA
HA-MRSA CA-MRSA
At-risk groups or conditions Residents in long-term care facility, Children, competitive athletes,
patients with diabetes mellitus, prisoners, soldiers, selected ethnic
patients undergoing populations (Native Americans/
hemodialysis/peritoneal dialysis, Alaska Natives, Pacific Islanders),
prolonged hospitalization, intensive intravenous drug users, men who
care unit admission, indwelling have sex with men
intravascular catheters
SCC type Types I, II, & III Type IV & V
Strain type USA 100 & 200 USA 300 & 400
Antimicrobial resistance Multidrug resistance, common β-Lactam resistance alone, common
PVL toxin Rare (5%) Frequent (almost 100 %)
Associated clinical syndromes Nosocomial pneumonia, Skin and soft tissue infections
nosocomial- or catheter-related (furuncles, skin abscesses),
urinary tract infections, intravascular postinfluenza necrotizing pneumonia
catheter or bloodstream infections,
surgical-site infections
Sumber: Borloug et al., 2005; Kowalski et al., 2005 dengan modifikasi
Strain CA-MRSA secara tipikal mengandung eksotoksin yang dinamakan toksin Panton-
Valentine Leukodin (PVL). PVL sering terdapat pada pasien yang imunokompeten tanpa adanya
faktor risiko yang dapat diidentifikasi. Strain CA-MRSA yang mengandung PVL ini mempunyai
kemampuan untuk menimbulkan kerusakan jaringan dan lekosit yang parah. PVL masuk melalui
lubang pada membran sel kemudian menghasilkan lesi pada permukaan kulit dan di dalam
mukosa saluran pernapasan (Anderson et al., 2007).
Dua komponen dari PVL, yaitu LukS-PV dan LukF-PV disekresi dari S. aureus sebelum
mereka berkumpul pada cekungan berbentuk heptamer dari membran polymorphonuclear
leukocytes (PMN). Peningkatan konsentrasi PVL menyebabkan lisis dari PMN, sedangkan
rendahnya konsentrasi PVL akan mempengaruhi alur apoptosis PMN dengan langsung berikatan
pada membran mitokondrial. Nekrosis jaringan dapat merupakan hasil pelepasan reactive oxygen
spesies (ROS) dari PMN yang lisis. Kemungkinan lainnya adalah pelepasan granul dari PMN
yang lisis akan menimbulkan respon inflamasi yang pada akhirnya akan menimbulkan nekrosis
jaringan. PVL tidak dapat menimbulkan nekrotik jaringan secara langsung pada sel epitel (Vavra
& Daum, 2007).
Gambar 4. Proses PVL menimbulkan nekrosis jaringan (Sumber: Vavra & Daum, 2007).
2. Deteksi Staphylococcus aureus dan MRSA
Uji ini merupakan uji standar rutin untuk mengidentifikasi S. aureus, berasal dari plasma
kelinci. Penilaiannya dilakukan setelah dilakukan inkubasi selama 4 dan 24 jam. Hasil negatif
setelah inkubasi selama 4 jam harus harus dinilai lagi setelah 24 jam karena beberapa porsi kecil
dari strain S. aureus membutuhkan lebih dari 4 jam untuk membentuk bekuan. Beberapa spesies
lain dari stafilokokus seperti S. schleiferi dan S. intermedius dapat juga memberi hasil positif
pada uji ini, namun spesies ini bukan merupakan isolat yang umum pada infeksi manusia (Brown
et al., 2005).
Uji koagulasi mikroskop (slide coagulase test)
Uji ini sangat cepat namun hampir 15% menunjukkan hasil negatif dari strain S. aureus.
Sehingga hasil negatif dari uji ini harus dikonfirmasi dengan uji koagulasi tabung. Beberapa
spesies stafilokokus seperti S. schleiferi dan S. lugdunensis memberikan hasil positif pada uji ini.
Uji ini tidak cocok dipakai untuk isolat yang sulit diemulsikan dan faktor pengumpul (clumping
factor) dapat kabur oleh adanya kapsul yang banyak (Brown et al., 2005).
Uji aglutinasi lateks (latex agglutination test)
Versi awal dari uji ini hanya mendeteksi adanya protein A dan/atau faktor pengumpul,
sehingga tidak dapat digunakan pada beberapa MRSA yang memproduksi sedikit atau tidak ada
protein A dan faktor pengumpulnya. Versi terakhir dari uji ini disamping mendeteksi adanya
protein A dan/atau faktor pengumpul juga mendeteksi berbagai surface antigen, sehingga
meningkatkan sensitifitas uji ini namun menurunkan spesifitasnya karena adanya reaksi silang
dengan CoNS. Karena melibatkan faktor pengumpul maka uji akan memberikan positif palsu
dengan stafilokokus yang lain, seperti S. lugdunensis dan S. schleiferi. Uji ini juga termasuk uji
standar rutin untuk mendeteksi S. aureus (Brown et al., 2005).
Uji DNase dan nuklease tahan panas (DNase and heat-stable nuclease test)
Salah satu alat uji biokimia komersial dan otomatis adalah uji Staphychrom II yang
berdasar pada uji kromagenik pada inhibitor protrombin dan protease. Sensitifitas dan spesifitas
uji ini adalah 98,6% dan 100%, namun kelemahan alat uji ini adalah harganya yang masih mahal
(Brown et al., 2005).
Uji molekuler (molecular test)
Metode NCCLS ini menggunakan kaldu MH dengan 2% NaCl sebagai media, sebuah
inoculums 5 x 105 cfu/mL dan diinkubasi pada suhu 33-35ºC selama 24 jam. Metode ini banyak
digunakan secara luas (Brown et al., 2005).
Metode penapisan agar (Agar screening method)
Metode ini direkomendasikan oleh NCCLS untuk penapisan isolasi koloni pada media
rutin dan untuk konfirmasi akan kecurigaan adanya resistensi pada uji difusi piringan (disc
diffusion tests). Pada metode ini densitas S. aureus dipertahankan pada 0,5 standar McFarland,
menggunakan media MH yang mengandung 4% NaCl dan 6 mg/L oxacillin. Kemudian
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35ºC atau kurang. Adanya pertumbuhan mengindikasikan
resistensi (Brown et al., 2005).
Piringan difusi (disc diffusion)
Sekarang ini uji piringan difusi sefoksitin lebih banyak direkomendasikan dibandingkan
dengan oksasilin. Hal ini dikarenakan pada sefoksitin tidak diperlukan media dan temperatur
inkubasi khusus, serta tidak terpengaruh adanya hiper-produksi dari penisilinase sehingga tidak
terjadi positif palsu MRSA (Brown et al., 2005).
Aglutinasi lateks (latex agglutination)
Metode ini mengekstraksi PBP2a (penicillin binding protein) dari suspensi koloni dan
deteksinya oleh aglutinasi dengan partikel lateks yang dilapisi oleh antibodi terhadap PBP2a.
Isolat yang memproduksi sedikit PBP2a akan menimbulkan reaksi aglutinasi yang lemah atau
lambat. Uji ini sangat sensitif dan spesifik terhadap S. aureus, namun tidak cocok pada
pertumbuhan koloni yang mengandung NaCl. Disamping itu pula metode sangat cepat (hanya
±10 menit untuk 1 uji) dan tidak memerlukan alat khusus (Brown et al., 2005).
Metode molekuler (molecular
methods) Identifikasi MRSA langsung dari
kultur darah
Sebagian besar laboratorium mikrobiologi klinik, identifikasi kultur darah yang positif
mengandung kokus gram positif (Gram-positive cocci in cluster [GPCC]) menggunakan sistem
otomatis di bawah mikroskop, dilanjutkan dengan kultur secara konvensional untuk mendeteksi
adanya MRSA. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai penggunaan metode
molekuler secara langsung mendeteksi MRSA dengan mikroskop pada GPCC yang positif.
Metode ini merupakan diagnosis cepat untuk MRSA dan dapat menentukan terapi yang tepat.
Beberapa metode ini menggunakan dasar gel dan real-time PCR, penyelidikan DNA, serta
penyelidikan asam nukleat peptida (peptide nucleic acid). Kelemahan metode ini adalah
memerlukan alat-alat khusus dan seorang yang sudah ahli. Salah satu alat yang menggunakan
metode ini adalah “EVIGENE kit” (Staten Serum Institut, Kopenhagen, Denmark). Alat ini
berdasarkan pada colorimetric gene probe hybridization assay untuk spesifik stafilokokus 16S
rRNA, mecA dan nuc gen dalam bentuk strip. Alat ini dapat mengidentifikasi MRSA pada kultur
darah positif dalam 7 jam, tanpa memerlukan kultur konvensional atau kemungkinan adanya
kontaminasi silang seperti pada PCR (Brown et al., 2005).
Identifikasi MRSA dari aspirasi endotrakhea dan sampel klinik lainnya
Alat yang dapat mendeteksi kolonisasi MRSA di saluran nafas bagian atas dan bawah
secara cepat dan spesifik sangat penting digunakan pada pasien-pasien sakit parah dengan
ventilator mekanik di ICU. Prosedur alat ini berdasar pada PCR multipleks dengan target di gen
femA dan mecA dari aspirasi endotrakhea. Disamping itu alat ini selain dapat mendeteksi
MRSA, juga dapat mendeteksi bakteri Gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa yang
biasanya menjadi ko-infeksi pada pasien-pasien dengan ventilator mekanik di ICU.
Pseudomonas aeruginosa ini secara potensial dapat tumbuh berlebihan (overgrowth) dan
menimbulkan negatif palsu pada metode kultur standar (Brown et al., 2005).
3. Diagnosis MRSA
Penularan utama MRSA adalah melalui kontak langsung antar orang per orang, biasanya
dari tangan orang yang terinfeksi atau terkolonisasi. MRSA juga dapat menyebar melalui
pemakaian handuk bersama-sama, alat-alat mandi, alat-alat olahraga, baju, alat-alat pengobatan,
olahraga dengan kontak langsung, atau ketika adanya wabah yang berasal dari makanan (Navy
Environmental Health Center, 2005).
Setiap dokter atau penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan infeksi MRSA
pada diagnosis bandingnya pada semua pasien dengan adanya gambaran infeksi kulit dan
jaringan lunak [skin and soft tissue infection (SSTI)] atau manifestasi gejala lainnya dari infeksi
staphylococcus disertai adanya faktor risiko untuk terjadinya MRSA. Gambaran klinik dari SSTI
itu biasanya digambarkan dan didiagnosis sebagai “gigitan serangga atau laba-laba” (Navy
Environmental Health Center, 2005; Anderson et al., 2007).
Faktor risiko yang dihubungkan dengan penyebaran CA-MRSA adalah kulit yang
terbuka, kondisi tempat tinggal yang kumuh (misalnya tempat penampungan geladangan),
kontak dari kulit ke kulit yang frekuen (misalnya olahraga dengan kontak langsung), kegiatan
praktik dengan higiene yang rendah, dan pemakaian alat-alat secara bergantian termasuk alat-alat
olahraga, pisau cukur, alat-alat hiasan rambut, dan handuk (Anderson et al., 2007).
Tabel 3. Faktor-faktor risiko untuk terjadinya MRSA
Dilakukan operasi sebelumnya (rawat inap atau rawat jalan dalam 1 tahun terakhir)
Riwayat abses yang rekuren, folikulitis, furunkulosis atau infeksi kulit lainnya
Riwayat infeksi kulit yang rekuren dalam keluarga atau yang tinggal bersama
Terbukti secara laboratorium adanya kasus MRSA dalam keluarga atau yang tinggal bersama
Tinggal di fasilitas perawatan jangka lama atau kontak dengan penghuninya berkali-kali
Terpasang kateter
Tampilan klinis strain CA-MRSA yang mengandung PVL biasanya tampak sebagai SSTI,
seperti bisul, jerawat, furunkel, dan abses kulit. Namun saat ini telah dilaporkan adanya infeksi
yang invasif seperti necrotizing pneumonia dan fasciitis, osteomielitis, artritis septik, toxic shock
syndrome, bakteriemia, limfadenitis, dan miositis (Anderson et al., 2007).
Walaupun jarang, CA-MRSA juga dihubungkan dengan community-acquired pneumonia
(CAP) yang biasanya ditemukan setelah influenza-type illness. Salah satu cara untuk
membedakan pneumonia yang disebabkan oleh CA-MRSA adalah terjadinya hemoptisis setelah
influenza-like syndrome (Anderson et al., 2007).
Kultur bakteri aerobik harus didapatkan pada keadaan ketika, 1) SSTI yang disebabkan
oleh strain resisten methicillin atau sensitif methicillin tidak dapat dibedakan dengan gambaran
klinik, 2) dibutuhkan identifikasi dari spesies dan sensitifitas antibiotiknya yang akan membantu
pemilihan antibiotik. Kultur harus diperoleh dari luka yang telah kering, pus yang diaspirasi dari
infeksi jaringan lunak, dan aspirasi dari cairan yang diduga terinfeksi. Kultur darah harus
dilakukan pada pasien yang demam dengan kecurigaan infeksi MRSA, dan jika diperlukan pada
pasien pengguna obat injeksi atau endokarditis yang secara klinis juga dicurigai (Navy
Environmental Health Center, 2005).
Hasil kultur yang positif baik dari darah dan cairan tubuh yang steril (misalnya cairan
sendi, pleura, dan serbrospinal) merupakan diagnosis pasti dari infeksi MRSA. Kultur positif dari
sumber-sumber yang non-steril (misalnya dari drainase luka dan luka terbuka) merupakan
indikasi adanya infeksi bakteri atau kolonisasi dan harus diinterpetasikan dalam bentuk gejala
klinik pasien (Navy Environmental Health Center, 2005).
4. Manajemen pasien dengan infeksi MRSA
a. HA-MRSA
Agen antimikrobial yang dapat digunakan untuk penanganan infeksi MRSA, khususnya
yang bersifat bakterisidal, jumlahnya terbatas. Dengan adanya keterbatasan pemilihan obat dan
peningkatan munculnya isolat-isolat yang resisten multi obat, maka sangat penting untuk
membersihkan semua fokus infeksi yang ada. Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah
menetapkan bahwa seorang pasien telah terinfeksi dibanding hanya terkolonisasi sebelum
memberikan agen antimikrobial sistemik (Duckworth et al., 1998).
Kontrol MRSA di rumah sakit
Walaupun tangan petugas kesehatan merupakan jalur utama penyebaran MRSA, infeksi
silang di bangsal masih sulit untuk dicegah. Kuman staphylococcal dapat sangat mencemari
lingkungan rumah sakit dan akan melepaskan partikel ke udara. Pasien yang terinfeksi dan jika
memungkinkan karier, harus diisolasi dalam satu ruangan atau jika ada di unit isolasi dengan
petugas khusus (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).
Ruang isolasi harus selalu tertutup dan memiliki sistem ekstraksi yang membuang udara
dari kamar ke ruang bebas. Hal ini akan mengurangi penyebaran antar ruang perawatan. Jika
tidak ada unit isolasi khusus dan terbatasnya kamar pasien, maka semua pasien yang terinfeksi
atau terkolonisasi MRSA dirawat dalam satu bangsal dengan petugas khusus untuk mengontrol
outbreak secara efektif. Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam mengontrol infeksi jika
tidak ada unit khusus isolasi adalah melakukan cuci tangan dengan benar, penggunaan sarung
tangan, pakaian pelindung, dan pembuangan sampah (Duckworth et al., 1998; Carter et al.,
2002).
Penutupan bangsal
Penutupan bangsal atau unit perawatan perlu dilakukan jika isolasi pasien dan perawatan
khusus lainnya gagal mengontrol penyebaran dan diperkirakan akan menimbulkan risiko serius
pada pasien baru yang masuk untuk perawatan di rumah sakit tersebut. Namun penutupan sebuah
bangsal akan menimbulkan implikasi yang serius pada pelayanan kesehatan di rumah sakit yang
bersangkutan sehingga perlu adanya faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penilaian
risiko jika harus melakukan penutupan (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).
Faktor-faktor tersebut adalah: 1) Jumlah kasus. Banyaknya pasien baru yang menjadi
terinfeksi MRSA merupakan faktor yang paling penting dalam penilaian perkembangan suatu
wabah. Pengumpulan data harus dilakukan secara cepat dan didiskusikan antara pihak
manajemen rumah sakit dan petugas bangsal yang bersangkutan untuk menentukan keputusan
yang rasional termasuk kemungkinan penutupan bangsal; 2) Strain MRSA. Strain yang resisten
terhadap antibiotik akan menimbulkan kesulitan dalam terapinya dan diantaranya akan mudah
menyebar. EMRSA-15 dapat mengolonisasi ulkus dekubitus dan urin melalui kateter sehingga
akan menyebabkan infeksi berat. EMRSA-16 dihubungkan dengan penyakit yang invasif seperti
pneumonia. Adanya strain yang menyebabkan infeksi yang invasif merupakan indikasi relatif
untuk penutupan suatu bangsal, khususnya pada bangsal yang berisi pasien dengan status imun
yang rendah; 3) Aktifitas klinis. Ruang perawatan akut yang digunakan untuk area kritis seperti
ICU, neonatologi, atau bedah kardiotorak merupakan area yang terakhir ditutup ketika terjadi
suatu wabah. Ruang perawatan non-akut, seperti bedah elektif merupakan indikasi relatif untuk
dilakukan penutupan lebih awal; dan 4) Jumlah petugas. Jumlah perawat dan petugas lainnya
yang sedikit, rendahnya kemampuan, rendahnya hubungan antar profesi, atau jarangnya petugas
senior yang terlibat dalam manajemen di bangsal akan membuat sia-sia pengananan infeksi.
Penutupan bangsal disarankan jika terjadi hal seperti ini (Duckworth et al., 1998; Carter et al.,
2002).
Penapisan pasien untuk mendeteksi MRSA
Pasien dan petugas kesehatan di rumah sakit yang menjadi karier MRSA merupakan
sumber dari penyebaran MRSA. Oleh karena itu diperlukan suatu usaha untuk mengeradikasi
kolonisasi pada pasien dan petugas kesehatan tersebut. Pengobatan pada karier diberikan pada
pasien yang berada di area dengan risiko klinik rendah, dimana situasinya mirip dengan situasi di
masyarakat dan tidak ada interaksi dengan unit keakutan. Eradikasi diperlukan juga pada pasien
yang akan dipindahkan ke unit khusus. Pasien usia lanjut dan lemah yang dalam masa perawatan
sesudah operasi atau keadaan sakit berat mungkin tidak dapat menerima obat kombinasi seperti
rifampisin dan asam fusidik untuk mengobati kolonisasi di mulut. Pemberian antiseptik topikal
dapat juga menimbulkan kondisi ekserbasi dan iritasi di kulit. Sehingga pemberiannya harus hati-
hati (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).
Royal College of Nursing (RCN) membagi area risiko klinis menjadi 4 kategori. Kategori
risiko itu seperti tampak pada tabel 4 (RCN, 2005).
Tabel 4. Area risiko klinis transmisi MRSA
Kategori risiko
Tinggi
ICU
Unit perawatan khusus bayi
Unit luka bakar
Unit transplantasi
Kardio-torak
Ortopedi
Trauma
Vaskular
Pusat referal regional, nasional, internasional
Sedang
Ruang operasi umum
Urologi
Neonatal
Ginekologi
Obstetrik
Dermatologi
Rendah
Ruang perawatan usia lanjut (akut)
Ruang perawatan medis umum
Ruang perawatan anak-anak (non neonatal)
Minimal
Ruang perawatan usia lanjut (jangka lama)
Psikiatrik
Psiko-geriatrik
Pemberian topikal pada hidung sering kali tidak dapat membersihkan mulut atau sputum.
Pemberian mupirocin lebih efektif dibanding dengan naseptin. Pemberian terapi sistemik seperti
yang digambarkan diatas dipertimbangkan dapat diberikan. Dianjurkan untuk pemberian obat
semprot mulut bersama-sama dengan mupirocin hidung untuk eradikasinya (Duckworth et al.,
1998; Carter et al., 2002).
Eradikasi pada kulit utuh
Perbatasan kulit pada tempat infeksi seringkali terkontaminasi oleh S. aureus yang dapat
menyebar ke tempat lainnya. Jumlah S. aureus dapat berkurang dengan mencuci kulit dan
rambut dengan sabun antiseptik. Reduksi yang progresif dari flora kulit dapat dilakukan dengan
mandi setiap hari selama 3 hari berturut-turut dengan sabun yang mengandung chlorhexidine,
hexachlorophane, atau povidone-iodine. Pemberian emollient (Savlon®) disarankan pada pasien
dengan problem kulit atau pada usia lanjut. Konsentrat ini dapat membunuh S. aureus yang ada
di air mandi. Konsentrat ini kurang efektif dalam mereduksi kolonisasi kulit dibanding dengan
pemberian langsung sabun antiseptik. Sabun antiseptik penggunaannya harus hati-hati pada
pasien dengan dermatitis, dan harus dihentikan jika terjadi iritasi kulit. Bubuk hexachlorophane
(Ster-Zac 0,33%®) merupakan agen anti staphylococcal yang efektif digunakan pada neonatal
dan dapat digunakan pada aksila dan genital orang dewasa jika ada kolonisasi. Namun jangan
digunakan pada area kulit yang terluka (Duckworth et al., 1998; Carter et al., 2002).
Eradikasi pada lesi kulit
Kolonisasi S. aureus di hidung telah diketahui sebagai salah satu faktor risiko untuk
terjadinya infeksi MRSA. Kolonisasi MRSA terdapat juga di tempat lain, misalnya aksila,
rektum, dan perineum yang juga penting dalam perkembangan dan penyebaran infeksi. Regimen
yang digunakan untuk melakukan eradikasi kolonisasi yang ada di masyarakat sama seperti yang
digunakan di rumah sakit (Gorwitz et al., 2006).
Strategi penatalaksanaan CA-MRSA
MRSA harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding SSTI yang mungkin disebabkan
oleh infeksi S. aureus. Adanya keluhan utama seperti “gigitan laba-laba” dari pasien menguatkan
kecurigaan kita akan adanya infeksi S. aureus (Gorwitz et al., 2006).
MRSA juga perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada gejala-gejala lain
yang disebabkan oleh infeksi S. aureus, termasuk sindroma sepsis, osteomielitis, artritis septik,
dan pneumonia yang berat, serta pada sindroma berat yang tidak selalu dihubungkan dengan S.
aureus, seperti necrotizing fasciitis dan purpura yang fulminan (Gorwitz et al., 2006).
Para klinisi diharapkan mengumpulkan spesimen untuk dilakukan kutur pada semua
pasien dengan abses atau lesi kulit yang purulen, khususnya pada keadaan infeksi lokal yang
berat, adanya tanda-tanda infeksi sistemik (Gorwitz et al., 2006).
Walaupun antibiotik beta-lactam merupakan obat pilihan utama untuk SSTI, harus
dipertimbangkan adanya faktor risiko untuk terjadinya CA-MRSA (misalnya gelandangan dan
angka kejadian setempat yang tinggi) selama proses terapi dilakukan. Dalam hal ini CA-MRSA
harus menjadi salah satu diagnosis banding pada pasien dengan SSTI yang datang ke fasilitas
kesehatan (Anderson et al., 2007).
Sebelum memulai terapi antibiotik jika ada indikasi harus dilakukan insisi dan drainase
atau debridemen pada lesi kulit yang purulen, abses, atau lesi nekrotik. Perlu dipertimbangkan
juga pemberian agen antibiotik yang melawan aktifitas streptococcus grup A dalam mengobati
SSTI dimana ketika CA-MRSA sudah menjadi endemi. Saat ini streptokokus grup A sering ikut
teridentifikasi pada endemi infeksi CA-MRSA (Anderson et al., 2007).
SSTI dapat dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan berat-ringannya tanda dan gejala infeksi
lokal dan sistemik, serta ada-tidaknya komorbid. Sistem klasifikasi ini berguna sebagai panduan
untuk menentukan manajemen perawatan pasien dengan SSTI (Eron et al., 2003).
Tabel 5. Sistem klasifikasi Eron untuk pasien SSTI
Kelas Kriteria pasien
Pengobatan pasien dengan infeksi MRSA tidak akan berpengaruh besar pada pencegahan
penyebaran karena agen antibiotik sistemik yang digunakan hanya berpengaruh kecil pada status
karier. Penggunaan antibiogram pada isolat pertama pada pasien sangat penting untuk memilih
terapi yang sesuai. Apalagi jika respon klinis dari pasien adalah jelek (Duckworth et al., 1998).
Diagnosis pasti dari infeksi yang invasif dapat ditegakkan jika kita dapat memperoleh
spesimen yang tepat, seperti pus, jaringan, atau lavase bronkoalveolar untuk mengkonfirmasi
diagnosis mikrobiologik dari infeksi. Ketika fokus infeksi MRSA yang menyebabkan sepsis
berat diketahui, maka bisa dilakukan pendekatan kombinasi antara obat dan pembedahan,
misalnya pada manajemen osteomielitis yang membutuhkan pembuangan jaringan nekrotik
(Duckworth et al., 1998).
Pasien dengan bakteremia MRSA memiliki rerata mortalitas yang lebih tinggi dibanding
dengan MSSA. Peningkatan risiko ini sebagian berhubungan dengan pemberian antibiotik inisial
yang tidak sesuai dalam 24 jam pertama perawatan (Schramm et al., 2006).
Para klinisi harus memperhatikan pola sensitifitas dari antibiotik dari isolat S. aureus. Hal
ini bisa diperoleh dari antibiogram yang dikeluarkan oleh rumah sakit (Naimi et al., 2001).
Keadaan yang berhubungan dengan infeksi MRSA
Infeksi CA-MRSA biasanya disebabkan oleh isolat yang masih sensitif terhadap berbagai
macam antibiotik jika dibanding dengan HA-MRSA. Pemilihan antibiotik untuk mengobati SSTI
sebaiknya berdasarkan pada hasil kultur bakteri dan sensitivitas bakteri yang ada. Pasien dengan
gejala ringan, infeksi yang terlokalisir tanpa tanda-tanda infeksi sistemik dapat dilakukan
pembasuhan dengan air hangat dan/atau insisi dan drainase luka kemudian dilakukan evaluasi
selama beberapa hari sebelum pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik sendiri tidak akan
efektif tanpa dilakukan insisi dan drainase (BOP, 2005).
Biasanya kita masih sulit untuk membedakan antara kolonisasi dan infeksi pada SSTI.
Demam, peningkatan angka leukosit, dan peningkatan penanda inflamasi seperti C-reactive
protein (CRP) dapat merupakan indikasi adanya infeksi (Gemmell et al., 2006).
Durasi pemberian terapi antibiotik pada keadaan ini tergantung pada keparahan dan
tempat infeksinya, serta respon klinisnya. Pemberian antibiotik antara 7-10 hari biasanya pada
keadaan infeksi yang tidak terkomplikasi dan tidak berespon baik pada insisi dan drainase (BOP,
2005).
Infeksi kulit dan jaringan lunak yang tidak dapat dilakukan kultur atau diagnosis
mikrobiologinya tidak ada, penanganan dan evaluasinya didasarkan kasus per kasus. Antibiotik
empirik bisa diberikan pada infeksi yang dirurigai disebabkan oleh S. aureus, khususnya pada
infeksi selulitis, tampak adanya abses, adanya demam atau tanda infeksi sistemik lainnya, atau
adanya latar belakang penyakit komorbid atau keadaan imunosupresi (BOP, 2005).
Pertimbangan-pertimbangan yang perlu dilakukan dalam memberikan antibiotik empirik,
antara lain: 1) Infeksi yang bisa sembuh sendiri (self-limited infection) tanpa tanda dan gejala
sistemik biasanya cukup efektif jika dilakukan pembasuhan dengan air hangat dan/atau insisi dan
drainase tanpa antibiotik; 2) Jika tidak ada faktor risiko MRSA, infeksi yang tidak berespon baik
pada insisi dan drainase maka dapat diberikan antibiotik empirik cephalosporin generasi pertama,
amoxicillin/clavulanate, atau erythromycin; 3) Jika berhubungan dengan risiko infeksi MRSA
dan pada infeksi pneumonia, SSTI yang diikuti sepsis, atau keadaan klinis yang memburuk pada
pemberian antibiotik oral, maka diindikasikan pemberian antibiotik intravena yaitu vancomycin
kombinasi dengan antibiotik lainnya (BOP, 2005).
Tabel 6. Panduan terapi pada keadaan yang berhubungan dengan infeksi MRSA
Vancomycin
Vancomycin merupakan obat pilihan pertama (drug of choice) untuk berbagai macam
infeksi khususnya pada infeksi berat yang disebabkan oleh MRSA. Obat ini tidak boleh
digunakan pada infeksi MSSA (Gemmell et al., 2006; Gorwitz et al., 2006).
Nama generik dari obat ini adalah vancomycin hydrochloride. Vancomycin tidak dapat
diabsorbsi dengan baik pada pemberian oral, sehingga sediaan yang ada dalam bentuk injeksi
dan pemberiannya secara intravena. Pemberian secara intramuskular akan menimbulkan nyeri
pada tempat suntikan (Drugs, 2007).
Waktu paruh vancomycin dalam plasma adalah 4-6 jam pada orang dengan fungsi ginjal
normal. Vancomycin akan berikatan 55% dengan protein serum. Setelah pemberian intravena,
konsentrasi vancomycin akan masuk ke dalam pleura, perikardial, cairan asites dan sinovial,
urin, cairan dialisis peritoneal, serta jaringan atrial. Vancomycin tidak masuk secara difusi pada
meningen normal melalui cairan spinal, namun ketika ada inflamasi akan terjadi penetrasi ke
dalam cairan spinal (Drugs, 2007).
Pemberian vancomycin adalah 2 g/hari dalam dosis terbagi 500 mg/6 jam atau 1 g/12
jam. Penyesuaian dosis harus dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dosis inisial
yang harus diberikan tidak boleh <15 mg/kg berat badan, walaupun pada pasien dengan
insufisiensi ginjal ringan dan sedang. Pasien yang alergi atau tidak dapat menerima terapi
vancomycin bisa diberikan trimethoprim-sulfamethoxazole, clindamycin, minocycline,
fluoroquinolones, dan doxycycline (Drugs, 2007).
Namun penggunaan vankomisin untuk menangani MRSA menyebabkan munculnya S.
aureus yang resisten intermediat terhadap vankomisin (vancomycin intermediate-resistant S.
aureus [VISA]) dan kemudian menjadi vancomycin resistant S. aureus (VRSA) pada tahun
1990-an (Samathkumar, 2007).
Trimethoprim-sulfamethoxazole
Clindamycin efektif digunakan untuk terapai SSTI dan beberapa infeksi invasif lainnya,
seperti osteomielitis, piomiositis, atau empiema pleura yang disebabkan oleh isolat CA-MRSA
pada anak-anak. Obat ini memiliki kelebihan tambahan yaitu kemampuannya pada
penghambatan produksi toksin dari bakteri. Clindamycin memiliki kemampuan penetrasi ke
dalam tulang yang lebih baik jika dibandingkan dengan co-trimoxazole. Dosis clindamycin pada
kasus infeksi MRSA adalah 150-450 mg tiap 6 jam diberikan peroral (Gemmell et al., 2006;
Gorwitz et al., 2006).
Doxycycline atau minocycline
Pada pasien dengan isolat MRSA yang masih sensitif terhadap tetracycline, maka bisa
diberikan obat doxycycline atau minocycline (long-acting tetracycline) sebagai alternatif terapi
(Gemmell et al., 2006; Gorwitz et al., 2006).
Dosis inisial minocyclin dan doxycycline adalah 200 mg pada hari I diikuti dengan 100
mg tiap 12 jam diberikan selama 10 hari (Drugs, 2007).
Fluoroquinolone
Obat ini akan berikatan dengan membran bakteri dan akan menyebabkan depolarisasi
cepat dari potensial membran, yang akan menghambat sintesis protein, DNA, dan RNA,
sehingga terjadi kematian sel bakteri. Dosis obat ini adalah 4 mg/kg berat badan tiap 24 jam
dalam infus selama 30 menit (Drugs, 2007).
Tigecycline
Obat bekerja dengan cara menghambat transportasi protein bakteri dengan berikatan pada
subunit ribosomal 30S dan menutup masuknya molekul tRNA amino-acyl. Dosis inisial obat ini
adalah 100 mg intravena pada hari I diikuti dengan 50 mg tiap 12 jam (Drugs, 2007)
Infeksi MRSA telah menjadi problem dalam dunia kesehatan di seluruh dunia selama
beberapa dekade. Beberapa faktor dapat menyebabkan timbulnya resistensi ini, diantaranya adalah
salah pemilihan dan penggunaan dari agen antibiotik.
Ada 2 macam infeksi MRSA, yaitu HA-MRSA dan CA-MRSA. HA-MRSA didefinisikan
sebagai infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang pernah dirawat di rumah sakit atau
menjalani tindakan operasi dalam 1 tahun terakhir, memiliki alat bantu medis permanen dalam
tubuhnya, bertempat tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang, atau individu yang menjalani
dialisis. Sedangkan infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang sebelumnya tidak ada
hubungan dengan infeksi rumah sakit dikenal sebagai CA-MRSA.
Berbagai institusi kesehatan di luar negeri telah banyak yang menerbitkan pedoman
dalam pencegahan, kontrol, dan penanganan MRSA yang disesuaikan dengan keadaan dan strain
MRSA yang ada.
Penularan utama MRSA adalah melalui kontak langsung antar orang per orang, biasanya
dari tangan orang yang terinfeksi atau terkolonisasi. MRSA juga dapat menyebar melalui
pemakaian handuk bersama-sama, alat-alat mandi, alat-alat olahraga, baju, alat-alat pengobatan,
olahraga dengan kontak langsung, atau ketika adanya wabah yang berasal dari makanan.
Setiap dokter atau penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan infeksi MRSA
pada diagnosis bandingnya pada semua pasien dengan adanya gambaran infeksi kulit dan
jaringan lunak atau manifestasi gejala lainnya dari infeksi staphylococcus disertai adanya faktor
risiko untuk terjadinya MRSA.
Manajemen penanganan infeksi MRSA harus menyeluruh dan melibatkan pihak pasien
sebagai orang yang terinfeksi atau terkolonisasi, petugas kesehatan dan staf rumah sakit yang
bisa saja terkolonisasi, dokter yang merawat, dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan
dalam bidang kesehatan.
Prinsip pemberian antibiotik pada infeksi MRSA adalah sesuai dengan hasil kultur
bakteri dan pola sensitivitas antibiotik yang ada. Antibiotik empirik dapat diberikan pada
keadaan dimana hasil kultur dan sensitivitas tidak ada. Antibiotik yang digunakan bisa dalam
bentuk kombinasi maupun tunggal.
Daftar Pustaka
1. Melody H. Chronic Kidney Disease (serial online) Last update Mar/21/2010. [cited
Jun/30/2010,16.30]. Available from: URL: http://www.emedicinehealth.com
2. Ketut. S. Penyakit Ginjal Kronik, Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
IPD FKUI, Jakarta. 2006. Hal 581-584
3. Pranawa, M.Yagiantoro, Chandra I. Djoko S. Nunuk M. M.Thatha, dkk. Penyakit Ginjal
Kronis, Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR RSU Dr. Soetomo Surabaya.
Airlangga University Press, Surabaya. 2007. Hal 221-229
4. Huriawati H, dkk, alih bahasa. Kamus Kedokteran Dorland. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta. 2000. Hal 222, 2335
5. Kiersten M, Soren N, C.Craig T. Anatomy of the Kidney, In: Brenner & Rector’s The
Kidney 8th Edition. Saunders Elsevier, Philadelphia. 2008. p. 25-31
6. M.Adji D, Petrus A, alih bahasa. Spalteholz-Spanner Atlas Anatomi Manusia Bagian II
Edisi 16. Hipokrates, Jakarta. 1994. Hal 249
7. National Kidney Foundation. Chronic Kidney Disease (CKD) (serial online) Last update
Mar/21/2010. [cited Jul/16/2010,18.56]. Available from: URL:
http://www.kidney.org/kidneydisease/ckd/index.cfm
8. Alangaden, G.J. 1997 [cited: December 14, 2007]. Overview of Antimicrobial Resistance.
National Foundation for Infectious Diseases: [9 screens].
http://www.nfid.org/publications/id_archive/antimicrobial.html.
9. Alston, W.K., Elliott, D.A., Epstein, M.E., Hatcher, V.B., Tang, M., Lowy, F.D. 1997.
Extracellular matrix heparan sulfate modulates endothelial cell susceptibility to
Staphylococcus aureus. J Cell Physiol, 173:102-109.
10. Anderson, J., Mehlhorn, A., MacGregor, V. 2007. Community-Associated Methicillin-
resistant Staphylococcus aureus. What's in Your Neighborhood? Jobson Medical Information
LLC. US Pharm, 32(8):HS3-HS12.
11. Anonim. 2005 [cited: December 15, 2007]. Staphylococcus. Kenneth Todar University of
Wisconsin-Madison Department of Bacteriology [19 screens].
http://www.visualunlimited.com/.
12. Banerjee, S.N., Emori, T.G., Culver, D.H. 1991. Secular trends in nosocomial primary
bloodstream infections in the United States, 1980-1989. Am J Med, 91:Suppl 3B:3B-86S
3B-89S.
13. BC Centre for Disease Control. 2001. British Columbia Guidelines for Control of Antibiotic
Resistant Organisms (AROs) [Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) and
Vancomycin-resistant Enterococci (VRE)].
14. Borlaug, G., Davis, J.P., Fox, B.C. 2005. Community Associated Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (CA-MRSA) Guidelines for Clinical Management and Control of
Transmission. http://www.unc.edu/depts/spice/WisconsinCAMRSAGuide.pdf/.
15. Brown, D.F.J., Edwards, D.I., Hawkey, P.M., Morrison, D., Ridgway, G.L., Towner, K.J.,
Wren, M.W.D. 2005. Guidelines for the laboratory diagnosis and susceptibility testing of
methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). J Antimicrob Chemother, 56:1000–
1018.
16. Carter, A., Heffernan, H., Holand, D., Ikram R., Morris A., et al. 2002. Guidelines for the
Control of Methicillin-resistant Staphylococcus aureus in New Zealand.
http://www.moh.govt.nz/cd/mrsa.
17. Casewell, M.W., Hill, R.L.R. 1986. The carrier state: Methicillin-resistant Staphylococcus
aureus. J Antimicrob Chemother, 18:Suppl A:1-12.
18. Cheung, A.L., Eberhardt, K.J., Chung, E. 1994. Diminished virulence of a sar-agr- mutant of
Staphylococcus aureus in the rabbit model of endocarditis. J Clin Invest, 94:1815-22.
19. Dellit, T., Duchin, J., Hofmann, J., Olson, E.G. 2004. Interim Guidelines for Evaluation &
Management of Community Associated Methicillin-resistant Staphylococcus aureus Skin
and Soft Tissue Infection in Outpatient Settings.
http://www.metrokc.gov/health/providers/epidemiology/MRSA-guidelines.pdf.
20. Drake, T.A., Pang, M. 1988. Staphylococcus aureus induces tissue factor expression in
cultured human cardiac valve endothelium. J Infect Dis, 157:749-56.
21. Drugs. 2007 [cited December 17, 2007]. Drug Information Online [44 screens].
http://www.drugs.com/pro.
22. Duckworth, G., Cookson, B., Humphreys, H., Heathcock, R. 1998. Revised Methicillin-
resistant Staphylococcus aureus Infection Control Guideline for Hospitals, Report of a
combined working party of the for British Society Antimicrobial Chemotherapy, the
Hospital Infection Society and the Infection Control Nurses Association. Brit Soc
Antimicrob Chemother.
23. Dwiprahasto, I. 2005. Kebijakan untuk Meminimalkan Risiko Terjadinya Resistensi Bakteri
di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit. JMPK, 8(4):177-181.
24. Elixhauser, A., Steiner, C. 2007. Statistical Brief #35: Infection with Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) in U.S. Hospitals, 1993-2005. http://www.hcup-
us.ahrq.gov/reports/statbriefs/sb35.pdf.
25. Emori, T.G., Gaynes, R.P. 1993. An overview of nosocomial infections, including the role of
the microbiology laboratory. Clin Microbiol Rev, 6:428-442.
26. Enright, M.C., Robinson, D.A., Randle, G., Feil, E.J., Grundmann, H., Spratt, B.G. 2002.
The evolutionary history of methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). PNAS,
99(11):7687–7692.
27. EPIC. 2006. Apakah organisme multi-resistan itu dan bagaimana timbulnya? in Essential
Practices in Infection Control. Ansell Cares, 2:1-6.
28. Gemmell, C.G., Edwards, D.I., Fraise, A.P., Gould, F.K., Ridgway, G.L., Warren, R.E. 2006.
Guidelines for the Prophylaxis and Treatment of Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) infections in the UK. J Antimicrob Chemother, 57:589-608.
29. Gorwitz, R.J., Jernigan, D.B., Powers, J.H., Jernigan, J.A. 2006. Strategies for Clinical
Management of MRSA in the Community: Summary of an Experts’ Meeting Convened by
the Centers for Disease Control and Prevention.
http://www.cdc.gov/ncidod/dhqp/pdf/ar/CAMRSA_ExpMtgStrategies.pdf.
30. Grathwaite, T.L., Fielding, J.E. 2003 [cited December 17, 2007]. FACT SHEET FOR
HEALTH CARE PROVIDERS: Community-Associated Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus Skin Infections. [7 screens]. http://lapublichealth.org/acd/.
31. Holden, M.T.G., Feil, E.J., Lindsay, J.A., Peacock, S.J., Day, N.J.P., Enright, M.C. 2004.
Complete genomes of two clinical Staphylococcus aureus strains: Evidence for the rapid
evolution of virulence and drug resistance. PNAS, 101(26):9786-9791.
32. Kowalski, T.J., Berbari, E.F., Osmon D.R. 2005. Epidemiology, Treatment, and Prevention
of Community-Acquired Methicillin-resistant Staphylococcus aureus Infections. Mayo Clin
Proc, 80(9):1201-1208.
33. Lowy, F.D. 1998. Staphylococcus Aureus Infections. NEJM, 339(8):520-532.
34. Naimi, T.S, LeDell, K.H, Boxrud, D.J. 2001. Epidemiology and clonality of community-
acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus in Minnesota, 1996-1998. Clin Infect
Dis, 33:990.
35. Navy Environmental Health Center. 2005. Guidelines for the Management of Community
Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) Infections in the US
Navy and Marine Corps. http://www-
nehc.med.navy.mil/Downloads/prevmed/CPG_MRSA_20050516_final.pdf.
36. Noble, W.C., Valkenburg, H.A., Wolters, C.H.L. 1967. Carriage of Staphylococcus aureus in
random samples of a normal population. J Hyg (Lond); 65:567-573.
37. Royal College of Nursing (RCN). 2005. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA), Guidance for Nursing Staff. http:/www.rcn.org.uk/mrsa.
38. Sampathkumar, P. 2007. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus: The Latest Health
Scare. Mayo Clin Proc, 82(12):1463-1467.
39. Schramm, G.E, Johnson, J.A, Doherty, J.A. 2006. Methicillin-resistant Staphylococcus
aureus sterile-site infection: The importance of appropriate initial antimicrobial treatment.
Crit Care Med, 34:20-69.
40. Steinberg, J.P., Clark, C.C., Hackman, B.O. 1996. Nosocomial and community acquired
Staphylococcus aureus bacteremias from 1980 to 1993: impact of intravascular devices and
methicillin resistance. Clin Infect Dis, 23:255-259.
41. The Federal Bureau of Prisons (BOP). 2005 [cited: December 17, 2007]. Management of
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Infections. [43 screens].
http://www.bop.gov/news/PDFs/mrsa.pdf.
42. Vavra, S.B., Daum, R.S. 2007. Community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus
aureus: the role of Panton–Valentine leukocidin. Lab Investig; 87:3–9.
43. Wijisaksono, D.P. 2007. Terapi optional “baru” untuk infeksi gram (+): peran vancomycin.
Dalam: M. Sja’bani, S. Nurdjanah, K. Widayati, M.R. Ikhsan, A. Widiatmoko (eds.). Naskah
lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan IX Ilmu Penyakit Dalam FK UGM. Hal. 13-24.
Yogyakarta. PGTKI Press.
44. Wikipedia. 2007 [cited: December 17, 2007]. Antibiotic Resistance. Wikipedia
Organization: [3 screens]. http://en.wikipedia.org/wiki/Antibiotic_resistance.
45. Yim, G. 2007 [cited: December 17, 2007]. Attack of the Superbug: Antibiotik Resistance. [8
screens].http://www.scq.ubc.ca.