Presus Radiologi Fix
Presus Radiologi Fix
HIRSCHPRUNG’S DISEASE
Disusun Oleh:
Elvira Pratiwi G4A018002
Prastika Dica Izwara G4A018001
Pembimbing:
dr. Esti Etikaningtyas, Sp.Rad
SMF RADIOLOGI
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019
1
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
HIRSCHPRUNG’S DISEASE
Disusun Oleh:
Elvira Pratiwi G4A018002
Prastika Dica Izwara G4A018001
Pembimbing
2
DAFTAR ISI
Halaman
3
I. PENDAHULUAN
Hirschprung’s Disease (HD) adalah salah satu penyakit yang paling sering
dijumpai pada kasus bedah anak dan sebagai penyebab tersering obstruksi usus
pada neonatal, yaitu sekitar 33,3% dari seluruh kasus. HD terjadi 1 kasus pada
5000 kelahiran hidup dengan perbandingan pada laki-laki 4 kali lebih banyak dari
perempuan. Sekitar 25% HD disebabkan karena faktor genetik (inherited) dan
75% penyebabnya tidak diketahui. Sembilan puluh persen HD terdiagnosis pada
periode neonatal yang ditandai dengan gagalnya pengeluaran meconeum dalam 24
– 48 jam setelah lahir. Angka mortalitas HD pada bayi yang tidak ditangani segera
berkisar 80%, sedang pada kasus yang ditangani angka ini dapat menurun sampai
30% dan biasanya terjadi akibat komplikasi sebelum dan sesudah operasi.
4
II. STATUS PASIEN
A. Anamnesis
1. Identitas Pasien
a. Nama : An. AFL
b. Usia : 8 tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. No. Rekam Medis : 02106865
e. Ruangan : Aster
2. Keluhan Utama
Buang air besar cair
5
disangkal. Ibu pasien sempat memberikan obat vegeblend dan kompolax,
tetapi ibu mengaku perut pasien menjadi kencang.
6. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir spontan dari ibu P2A0 dengan usia kehamilan sembilan bulan
ditolong oleh bidan.
B. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Lemah
b. Kesadaran : Composmentis
c. Tanda- Tanda Vital :
1) Tekanan Darah : 90/60 mmHg
2) Nadi : 115x /menit, reguler, kuat angkat
3) Respiratory Rate : 22x /menit
4) Suhu : 36.6 C
d. Kepala : Normocephal
e. Mata : Conjungtiva Anemis +/+, Sklera Ikterik -/-
f. Hidung : Napas Cuping Hidung -/-, Discharge -/-
g. Mulut : Bibir pucat +, Mukosa basah+, Tonsil T2/T2
h. Thorax : Simetris +/+, Retraksi -/-
6
i. Jantung : S1>S2, Murmur -, Gallop -
j. Paru : Suara dasar vesikuler +/+, RBK -/-, RBH -/-, Wheezing -/-
k. Abdomen : Cembung, Distensi +, Bising Usus + meningkat, Nyeri
tekan + regio hipocondriaca, Timpani, Turgor kulit <2s
l. Ekstremitas : Akral Hangat +/+/+/+. Edema -/-/-/-
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil Laboratorium RSMS
No Pemeriksaan Nilai Nilai Normal
1 Hemoglobin 14.1 H 10.8-12.8
2 Hematokrit 41 35-43
3 Eritrosit 5.61 H 3.6-5.2
4 Leukosit 24.270 H 5500-15500
5 Trombosit 635.000 H 229000-553000
6 MCV 72.4 73-101
7 MCH 25.1 23-31
8 MCHC 34.7 H 26-34
9 RDW 14.1 11.5-14.5
10 MPV 9.3 L 9.4-12.3
11 Basofil 0.1 0-1
12 Eosinofil 0.3 L 1-5
13 Batang 3.6 3-6
14 Segmen 62.3 H 25-60
15 Limfosit 18.3 H 1-6
16 Monosit 15.4 H 2-8
17 Ureum 33.86 5-25
18 Kreatinin 0.47 0.12-1.06
19 Glukosa Darah Sewaktu 120 <=200
20 Natrium 123 L 134-146
21 Kalium 5.5 H 3.4-4.5
22 Klorida 88 L 96-108
7
2. Foto Polos Abdomen
8
a. Hasil Pemeriksaan Foto Polos Abdomen AP/Semi Erect/ LLD
8/12/2019
1) Pre peritoneal fat line kanan kiri baik
2) Psoas line kanan kiri dan kontur kedua ginjal superposisi udara
usus
3) Jumlah dan distribusi udara usus naik
4) Tampak dilatasi dan distensi usus
5) Tak tampak gambaran herring bone atau coiled spring
6) Tampak banyak fecal material pada hemiabdomen kanan atau
kiri
7) Pada proyeksi LLD. Tak tampak multipel air fluid level
8) Tak tampak free air
b. Kesan :
1) Tak tampak gambaran ileus maupun pneumoperitoneum
2) Dilatasi colon disertai fecal material prominent, curiga
Hirschprung disease
3. Colon in Loop
9
a. Hasil Pemeriksaan Colon In Loop 12/12/2019
3) X-Foto Polos Abdomen AP
i. Pre peritoneal fat line kanan kiri baik
ii. Tak tampak opasitas patologis pada kavum abdomen
iii. Jumlah dan distribusi udahara usus baik
iv. Tak tampak dilatasi maupun distensi usus
v. Tak tampak free air
10
4) Pemeriksaan Colon In Loop
Kontras barium yang diencerkan dimasukkan melalui catheter ke
dalam anus. Tampak kontras lancar mengisi struktur rectum, colon
sigmoid, colon descenden, colon transversum, dan colon ascenden.
Dinding kolon reguler. Konfigurasi haustra dan incisura coli baik.
Tak tampak filing defect additional shadow, maupun indentasi
Tampak pelebaran kaliber kolon sigmoid. Rasio rectosigmoid <1 .
Tampak adanya zona transisi bentuk cone.
b. Kesan
1) Gambaran megacolon congenital type short
2) Tak tampak gambaran massa intraluminal colon
D. Assessment
Hischprung Disease
Hiponatremia, Hipochloremia, Hiperkalemia
Status Gizi Baik
E. Tata Laksana
a. KC 1510 cc/ 24 jam
b. IVFD Ringer Laktat + Furamin drip 1 amp 9 tpm
c. Inj Cefotaxim 750 mg/ 12 jam iv
d. Inj Metronidazole 250 mg/ 8 jam iv
e. Inj Ranitidine ½ ampul/ 12 jam
f. PO Zink syr 1 cth/ 24 jam
g. PO paracetamol syr 200 mg/ 8 jam
h. Poli bedah anak
11
III. TINJAUAN PUSTAKA
12
dikontrol oleh nervus splanknicus sehingga kontinensia sepenuhnya
dipengaruhi oleh nervus pudendalis dan nervus splanknikus pelvik.
Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari tiga pleksus:
a. Pleksus Auerbach : Terletak di antara lapisan otot sirkuler dan
longitudinal
b. Pleksus Henle : Terletak di sepanjang batas dalam otot
sirkuler
c. Pleksus Meissner : Terletak di submukosa
B. Definisi
Hirschprung’s Disease dikarakteristikan sebagai tidak adanya sel
ganglion di pleksus mesenterikus (auerbach’s) dan submukosa
(meissner’s). Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas kontraksi ritmik
yang diperlukan untuk mencerna makanan yang masuk. Hilangnya fungsi
motorik dari segmen ini menyebabkan dilatasi hypertropic massive kolon
proksimal yang normal sehingga terjadi kesulitas defekasi dan feses
13
terakumulasi sehingga menyebabkan gagalnya penundaan pasase awal dari
mekonium sehingga terjadi distensi abdominal, yang disertai dengan
muntah dalam waktu 48 jam sampai 72 jam. Pada banyak kasus, segmen
aganglionik terdapat pada rectum dan kolon sigmoid (Warner, 2004).
C. Insidensi
Hirschprung’s Disease dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko
tertinggi terjadinya Hirschprung Disease biasanya pada pasien yang
memiliki riwayat keluarga serupa dan pada pasien dengan down syndrome
(Warner,2004; Ziegler, 2003). Rectosigmoid paling terkena sekitar 75%
kasus, flexura lienalis atau colon transversum pada 17% kasus (Warner,
2004). Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko
terjadinya hirschprung’s disease. Laporan insidensi tersebut bervariasi
sebesar 1.5 hingga 17.6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki-laki
dan 360 kali lebih pada anak perempuan. Hirschprung’s Disease lebih
sering terjadi secara diturunkan oleh ibu aganglionosis dibandingkan oleh
ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami aganglionosis
total pada colon (Sindrom Zuelzer Wilson). Salah satu laporan
menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena
yang kebanyakan mengalami log segment agabglionosis (Holschenider,
2000).
D. Etiologi
Penyebab hirschprung disease yaitu adanya gangguan peristaltik usus
distal dengan defisiensi ganglion. Aganglionosis terjadi karena sel
neuroblas bermigrasi dari krista neuralis saluran cerna bagian atas dan
14
selanjutnya mengikuti serabut vagal ke kaudal. Hirschprung disease
terjadi bila migrasi sel neuroblas terhenti pada suatu tempat tertentu dan
tidak mencapai rectum. Beberapa peneliti mengemukakan timbulnya
hirschprung disease dikarenakan microenvironment pada kolon distal
yang tidak normal yang tidak memungkinkan faktor pertumbuhan atau
lingkungan yang sesuai untuk perkembangan neurocyt. Suatu penelitian
terbaru meneliti aktivitas NCAM pada hirschprung disease. Penelitian
tersebut menjelaskan bahwa NCAM berperan penting dalam migrasi
neurocyt keempat spesifik. Selama embriogenesis ada kemingkinan
hilangnya aktivitas NCAM daoat menjelaskan tidak terdapatnya sel
ganglion pada hirschprung disease.
E. Patomekanisme
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal
colon dan sphincter ani internal sehingga terjadi obstruksi. Oleh karena itu,
bagian yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal
sehingga bagian yang ormalmakan mengalami dilatasi di bagian
proksimalnya. Bagin aganglionik selalu terdapat di bagian distal rektum
(Warner, 2004).
Dasar patofisiologi dari penyakit ini adalah tidak adanya gelombang
propulsive dan abnormalitas atau hilangnya reaksasi dan sphincter anus
internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau
disganglionosis pada usus besar (Holschneider, 2000).
a. Hipoganglionosis
Pada proksimal segemn dari bagian aganglion terdapat area
hipoganglionosis. Hipoganglionosis adalah keadaan dimana jumlah sel
ganglion kurang dari sepuluh kali dari jumlah normal dan kerapatan sel
berkurang lima kali dari jumlah normal. Jumlah inervasi colon pleksus
myentericus berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang
mengenai sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai
seluruh colon (Holschneider, 2000).
15
b. Imaturitas dari sel ganglion
Sel ganglion yang imatur dengan dendrit dikenali dengan pemeriksaan
LDH (Laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidaj memiliki
sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenasi sehingga terjadi
diferensiasi menjadi sel Schwan dan sel saraf lainnya. Pematangan dari
sel ganglion ditentukan oleh rekasi SDH yang memrlukan waktu
pematangan penuh selama dua sampai empat tahun Hipogenesis adalh
hubungan antara imaturitas dan hipoganglionosis (Holschneider,
2000).
c. Kerusakan ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapapatkan dapat bersal
dari vaskular atau nonvaskular. Yang termasuk penyebab nonvaskular
adalah infeksi Trypanosoma crzii (penyakit Chagas), defisiensi vitamin
B1. Infeksi kronis seperti tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel
ganglion karena aliran darah yang inadekuat, aliran darah pada segmen
tersebut, akibat tindakan pull htorugh secara swenson, duhamel, atau
soave.
16
transitional. Hirschprung’s dikategorikan berdasarkan seberpaa banyak
colon yang terkena. Tipe hirschprung’s disease meliputi:
1. Ultra Short Segment
Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil pada rektum.
2. Short Segment
Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian kecil dari colon.
3. Long Segment
Ganglion tidak ada pada rektum dan sebgaian besar colon.
4. Very Long Segment
Ganglion tidak ada pada seluru colon dan rectum dan kadang sbeagian
kecil small bowel.
G. Manifestasi Klinik
Berdasarkan usia penderita gejala penyakit Hirschsprung dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Periode Neonatus
Terdapat trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah bilious (hijau) dan
distensi abdomen. Terdapat 90% lebih kasus bayi dengan penyakit
Hirchsprung tidak dapat mengeluarkan mekonium pada 24 jam
pertama, kebanyakan bayi akan mengeluarkan mekonium setelah
24 jam pertama (24-48 jam). Muntah bilious (hijau) dan distensi
abdomen biasanya dapat berkurang apabila mekonium dapat
dikeluarkan segera. Bayi yang mengonsumsi ASI lebih jarang
mengalami konstipasi, atau masih dalam derajat yang ringan
karena tingginya kadar laktosa pada payudara, yang akan
mengakibatkan feses jadi berair dan dapat dikeluarkan dengan
mudah (Kessman, 2008).
b. Periode anak-anak
Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada
beberapa kasus dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga
usia kanak-kanak (Lakhsmi, 2008). Gejala yang biasanya timbul
17
pada anak-anak yakni, konstipasi kronis, gagal tumbuh, dan
malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus dapat terlihat pada dinding
abdomen disebabkan oleh obstruksi fungsional kolon yang
berkepanjangan. Selain obstruksi usus yang komplit, perforasi
sekum, fecal impaction atau enterocolitis akut yang dapat
mengancam jiwa dan sepsis juga dapat terjadi (Kessman, 2008).
Sementara itu, tanda lain yang muncul berupa anemia dan tanda-tanda
malnutrisi, perut membuncit (abdomen distention) mungkin karena retensi
kotoran, terlihat gelombang peristaltic pada dinding abdomen,
pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter anal yang
padat/ketat, dan biasanya feses akan langsung menyemprot keluar dengan
bau feses dan gas yang busuk, serta adanya tanda-tanda edema, bercak-
bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung dan di sekitar
genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis (Kessman,
2008; Lakhsmi, 2008).
H. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis serta
pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada anamnesis sering didapatkan
adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, mekonium
keluar >24 jam; adanya muntah bilious (berwarna hijau); perut kembung;
gangguan defekasi/ konstipasi kronis; konsistensi feses yg encer; gagal
tumbuh (pada anak-anak); berat badan tidak berubah; bahkan cenderung
menurun; nafsu makan menurun; ibu mengalami polyhidramnion; adanya
riwayat keluarga. (Hidayat M,2009; Lorijn,2006).
Pemeriksaan fisik pada inspeksi, perut kembung atau membuncit di
seluruh lapang pandang. Pada pemeriksaan fisik abdomen, paling sering
didapatkan distensi abdomen dengan gambaran Darm contour/Darm
steifung.. Saat dilakukan pemeriksaan auskultasi, terdengar bising usus
melemah atau jarang. Untuk menentukan diagnosis penyakit Hirschsprung
dapat pula dilakukan pemeriksaan rectal touche dapat dirasakan sfingter
18
anal yang kaku dan sempit, saat jari ditarik terdapat explosive stool
(Izadi,2007; Lorijn,2006; Schulten,2011).
19
dilatasi mudah terdeteksi (Ramanath,2008). Pada total aganglionsis colon,
penampakan kolon normal. Barium enema kurang membantu penegakan
diagnosis apabila dilakukan pada bayi, karena zona transisi sering tidak
tampak. Gambaran penyakit Hirschsprung yang sering tampak, antara lain;
terdapat penyempitan di bagian rectum proksimal dengan panjang yang
bervariasi; terdapat zona transisi dari daerah yang menyempit (narrow
zone) sampai ke daerah dilatasi; terlihat pelebaran lumen di bagian
proksimal zona transisi (Schulten,2011).
Pemeriksaan Anorectal Manometry pada individu normal, distensi
pada ampula rectum menyebabkan relaksasi sfingter internal anal. Efek ini
dipicu oleh saraf intrinsic pada jaringan rectal, absensi/kelainan pada saraf
internal ini ditemukan pada pasien yang terdiagnosis penyakit
Hirschsprung. Proses relaksasi ini bisa diduplikasi ke dalam laboratorium
motilitas dengan menggunakan metode yang disebut anorectal manometry
Selama anorektal manometri, balon fleksibel didekatkan pada sfingter
anal. Normalnya pada saat balon dari posisi kembang didekatkan pada
sfingter anal, tekanan dari balon akan menyebabkan sfingter anal relaksasi,
mirip seperti distensi pada ampula rectum manusia. Namun pada pasien
dengan penyakit Hirschsprung sfingter anal tidak bereaksi terhadap
tekanan pada balon. Pada bayi baru lahir, keakuratan anorektal manometri
dapat mencapai 100% (Schulten, 2011).
20
yang cukup tinggi, yaitu sensitifitas (neonatus ± 59,5%, anak yang lebih
tua ± 68,5%) dan spesifisitas (neonatus 82,75%, anak yang lebih tua 85%);
akurasi (neonatus 90% anak yang lebih tua 94,2%).
Gambar 2.4 Foto polos abdomen posisi AP supine tampak dilatasi pada sistema
usus dan gambaran feses (mottled appearance di proksimal) dan tak tampak
gambaran udara/feses di bagian distal (di rongga pelvis-rektum dan sigmoid)
21
Gambar 2.6 Foto polos abdomen posisi Left Lateral Decubitus (LLD): air fluid
level (+), multiple
22
(abrupt: perubahan mendadak; cone: bentuk seperti corong
atau kerucut; funnel: seperti cerobong).
Gambar 2.7 Zone transisi dan spsme (kiri) dan gambaran kontraksi irreguler,
mucosa irreguler & bergerigi dan cobblestone mucosa (kanan)
23
Gambar 2.8 Gambaran perlambatan evakuasi, cobblestone dan mukosa bergerigi
J. Tatalaksana
Kasus HD yang tidak ditangani akan menyebabkan kematian sekitar
80%, sedang pada kasus yang ditangani angka kematian dapat ditekan
sehingga akan jauh berkurang. Mortalitas terbanyak adalah akibat
enterokolitis, yaitu sekitar 30% dari seluruh penyebab kematian. Terapi
awal bertujuan untuk stabilisasi keadaan umum pasien. Stabilisasi dilakukan
dengan tindakan resusitasi cairan jika pasien mengalami dehidrasi. Terapi
definitive yaitu tindakan operasi. Prinsip pembedahan yaitu bagian usus yang
aganglionik dipotong. Ada 2 teknik pembedahan yang biasa dilakukan: 1)
Pengangkatan segmen usus aganglion dan pembuatan kolostomi pada
colon berganglion normal yang paling distal. Untuk sementara feses keluar
lewat lubang kolostomi sampai bagian usus yang normal di bagian distal
pulih (menjadi baik); 2) Setelah beberapa minggu atau beberapa bulan,
kolostomi ditutup dan dilanjutkan proses anastomosis bagian distal dengan
bagian proksimalnya yang bersifat ganglionik. Feses diharapkan dapat
keluar melalui anus.
K. Diagnosis Banding
1) Distal ileal atresia
Ileal atresia adalah kelainan bawaan di mana terdapat stenosis
yang signifikan atau tidak adanya bagian ileum. Gejala klinis
24
yang muncul berupa distensi seluruh abdomen disertai muntah
hijau yang timbulnya lambat.
2) Meconium Plug Syndrome
Meconium Plug Syndrome Merupakan suatu kondisi kegagalan
mengeluarkan mekonium pada 1 hari pertama kehidupan. Hal ini
menyebabkan obstruksi kolon mekanik. Beberapa etiologi yang
diduga sebagai penyebab yaitu adanya hambatan temporer pada
peristaltik kolon, perubahan komposisi mekonium dan juga
defisiensi enzim pancreas. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
distensi abdomen, sedangkan pada pemeriksaan radiologi
ditemukan mottled sign yang menyerupai mekonium
L. Komplikasi
Komplikasi dini berupa striktur anastomosis (15%), infeksi (11%),
dan leakage (7%). Beberapa neonatus berisiko tinggi terhadap adanya
bakteri tumbuh lampau dalam usus termasuk enterokolitis (Hirschprung-
Associated Enterocolitis) yang dapat terjadi sebelum operasi maupun
setelah operasi (Schulten,2011).
M. Prognosis
Secara umum prognosis HD baik, hampir semua neonatus setelah
operasi berhasil mengontrol defekasinya. Hanya sedikit prosentase yang
25
bermasalah dalam defekasi seperti konstipasi atau buang air besar secara
spontan. Beberapa neonatus berisiko tinggi terhadap adanya bakteri
tumbuh lampau dalam usus termasuk enterokolitis. Angka kematian
(mortalitas akibat enterokolitis maupun komplikasi bedah pada neonatus
berkisar 20%) (Schulten,2011).
26
DAFTAR PUSTAKA
Hansen, T.J., Koeppen, B.M. 2006. Chapter35 Digestive System in Netter’s Atlas
of Human’s Anatomy. McGraw-Hill. New York. Page 617-640.
Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in:
Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company.
Philadelphia. page 453-468.
Henna, N et all. 2011. Children With clinical Presentations of Hirschsprung’s
Disease-A Clinicopathological Experience. Biomedica; 27: 1-4
Hidayat,M et all. 2009. Anorectal Function of Hirschsprung’s Patient after
Definitive Surgery. The Indonesian Journal of Medical Science; 2: 77-85
Izadi, M et all. 2007. Clinical manifestations of Hirschsprung’s disease:
A 6year course review on admitted patients in Guilan, North Province of
Iran. Iranian Cardiovascular Research Journal; 1: 25-31
Kessmann; J. 2006. Hirschsprung’s Disease: Diagnosis and Management.
American Family Physician; 74: 1319-1322
Lakshmi, P; James, W. 2008. Hirschsprung’s Disease. Hershey Medical Center;
44-46
Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of
The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging
10th edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153.
Madjawati, Ana. 2009. Peran Pemeriksaan Barium Enema pada Penderita
Megacolon Congenital (Hirschprung Diseases). Mutiara Medika Vol 9
No 2 (64-72)
Schulten, K., 2011, Free-energy Cost for TransloconAssisted Insertion of
Membrane Proteins, www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/ pnas.1012758108
Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in Townsend Sabiston
Textbook Of Surgery. 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia.
Page 2113-2114.
27