Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peritonitis adalah inflamasi rongga peritoneal dapat berupa primer atau sekunder,
akut atau kronis dan diakibatkan oleh kontaminasi kapasitas peritoneal oleh bakteri atau
kimia. Primer tidak berhubungan dengan gangguan usus dasar (cth : sirosis dengan asites,
sistem urinarius) ; sekunder inflamasi dari saluran GI, ovarium/uterus, cedera traumatik
atau kontaminasi bedah (Doenges, 2000).
Oleh sebab itu didalam makalah ini kami akan menggali lebih dalam mengenai
peritonitis.
1.2 Rumusan Masalah
a. Untuk Mengetahui Definisi peritonitis
b. Untuk Mengetahui Klafikasi
c. Untuk Mengetahui Etiologi
d. Untuk Mengetahui Patofisiologi
e. Untuk Mengetahui Manifestasi Klinis
f. Untuk Mengetahui Pemeriksaan Diagnostik
g. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan
h. Untuk Mengetahui Komplikasi
i. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan
1.3 Tujuan
a. Memenuhi tugas Keperawatan Kritis
b. Memberi informasi untuk para pembaca
c. Menambah pengetahuan mengenai perawatan peritonitis
d. Para pembaca mampu atau dapat mengetahui bagaimana asuhan keperawatan
pada pasien peritonitis.
1.4 Metode
Dalam penyusunan makalah ini ,kelompok kami menggunakan metode yang cukup
sederhana yaitu studi kasus dan metode pustaka yaitu menggunakan fasilitas perpustakan
yang ada dengan mencari sumber – sumber buku yang kami anggap bisa membantu dalam
penyusunan makalah ini , selain itu kami menggunakan fasilitas internet.
1.5 Sistematika makalah
Kata pengatar
Daftar isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Metode
1.5 Sistematika makalah
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
2.3 Patofisiologi
2.4 Klafikasi
2.5 Manifestasi Klinis
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
2.7 Penatalaksanaan
2.8 Komplikasi
BAB III KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.2 Diagnosa Keperwatan
3.3 Rencana Asuhan Keperwatan
BAB IV SOP LAB SKILL KOLOSTOMI
BAB II
PEMBAHSAN
2.1 Definisi
Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi viresela. Biasanya, akibat dari infeksi bakteri: Organisme berasal
dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari organ reproduktif
internal.(Brunner & suddarth, 2002)
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada
selaput rongga perut (peritoneum)—lapisan membran serosa rongga abdomen dan
dinding perut sebelah dalam. Peradangan ini merupakan komplikasi berbahaya yang
sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya,
apendisitis, salpingitis), rupture saluran cerna atau dari luka tembus abdomen.Dalam
palpasi, defans muskular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis
dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan
sistemik dengan syok sepsis. Peritoneum bereaksi terhadap stimulus patologik dengan
respon inflamasi bervariasi, tergantung penyakit yang mendasarinya.
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membranserosa rongga abdomen
dan meliputi visera merupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronisistilah peritonitis meliputi kumpulan tanda dan gejala, di antaranya nyeri
tekan dan nyeri lepas pada
/ kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada
palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.

2.2 ETIOLOGI
a. Infeksi bakteri
1) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
2) Appendisitis yang meradang dan perforasi
3) Tukak peptik (lambung / dudenum)
4) Tukak thypoid
5) Tukan disentri amuba / colitis
6) Tukak pada tumor
7) Salpingitis
8) Divertikulitis
b. Secara langsung dari luar
1) Operasi yang tidak steril
2) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon
terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan
peritonitis lokal.
3) Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
4) Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama
adalah streptokokus atau pnemokokus.
Adapun penyebab spesifik dari peritonitis adalah:
a. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering menyebabkan
peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu.
Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak
berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum cenderung
mengalami penyembuhan bila diobati.
b. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual
c. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis
kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia)
d. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut (asites) dan
mengalami infeksi
e. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kandung empedu,
ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat memindahkan bakteri ke
dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk
menyambungkan bagian usus.
f. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam
perut.
g. Iritasi tanpa infeksi; Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk
bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa
infeksi.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.Kelompok resiko tinggi adalah
pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan
sirosis hepatis dengan asites.

2.4 KLASIFIKASI
a. Peritonitis Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum
peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat
monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis
bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Spesifik : misalnya Tuberculosis
2) Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
b. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi, disebabkan
oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi
bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab asalnya.
Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram
positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Pada pasien dengan supresi asam
lambung dalam waktu panjang, dapat pula terjadi infeksi gram negatif. Kontaminasi
kolon, terutama dari bagian distal, dapat melepaskan ratusan bakteri dan jamur.
Umumnya peritonitis akan mengandung polimikroba, mengandung gabungan bakteri
aerob dan anaerob yang didominasi organisme gram negatif. Tanda dan gejala pasien
ini tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan dua jenis peritonitis.
Anamnesis yang lengkap, penilaian cairan peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik
tambahan diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tata laksana yang tepat untuk
pasien seperti ini.
c. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan berasal
dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul abses atau
flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih sering ada pasien
dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien yang imunokompromais.
Kebanyakan pasien memiliki riwayat sirosis, dan biasanya tidak diduga akan
mengalami peritonitis tersier. Selain peritonitis tersier, peritonitis TB juga merupakan
bentuk yang sering terjadi, sebagai salah satu komplikasi penyakit TB. Selain tiga
bentuk di atas, terdapat pula bentuk peritonitis lain, yakni peritonitis steril atau
kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan
empedu, barium, dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-
organ dalam (mis. Penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga
abdomen. Tanda dan gejala klinis serta metode diagnostik dan pendekatan ke pasien
peritonitis steril tidak berbeda dengan peritonitis infektif lainnya.

2.5.1 MANIFESTASI KLIINIS


Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda
rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans
muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik
usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini
menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium
dengan peritonium.Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan.Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti
palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut
abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum
visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal).Nyeri abdomen
yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber
infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara
tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi
peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan
nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi
positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat,
penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan
kesadaran (misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
Gejala Klinis menurut Ahmad H. Asdie, 1995: 1612
a. Nyeri abdomen akut dan nyeri tekan
b. Badan lemas
c. Peristaltik dan suara usus menghilang
d. Hipotensi
e. Tachicardi
f. Oligouria
g. Nafas dangkal
h. Leukositosis
i. Terdapat dehidrasi
2.5 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pada pemeriksaan fisik.
1) Perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi, pernapasan, suhu badan,
dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen.
2) Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu
diperhatikan.
3) Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat
menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen ini
harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
4) Inspeksi, pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi
menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran
usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis
biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended.
5) Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling terasa sakit
di abdomen.
6) Auskultasi, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari yang ditunjuk
pasien.Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising
usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang
sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga
menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik).
7) Palpasi, Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang
sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling
sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak
dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak
nyeri dengan bagian yang nyeri.
8) Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi
yang mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah
proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi
kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.
9) Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot
dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi
bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.
10) Perkusi, Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara
bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui
pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis,
pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya
udara bebas tadi.
b. Pemeriksaan Diagnostik
1) Test laboratorium
a) Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein
(lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi
dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
b) Hematokrit meningkat
c) Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien
peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
2) X. Ray
Dari tes X Ray didapat foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral),
didapatkan:
a) Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
b) Usus halus dan usus besar dilatasi.
c) Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
3) Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan
dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan
foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
a) Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior.
b) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
c) Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal
proyeksi anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup
seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film
ukuran 35×43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan
pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan
gambaran radiologis antara lain:
a) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya
penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal
daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring
bone appearance).
b) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus.
Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level
pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-panjang
kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya
udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
c) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air
fluid level dan step ladder appearance.
2.7 PENATALAKSANAAN
a. Bila peritonitismeluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan
kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena yang berupa
infuse NaCl atau Ringer Laktat untuk mengganti elektrolit dan kehilangan protein.
Lakukan nasogastric suction melalui hidung ke dalam usus untuk mengurangi tekanan
dalam usus.
Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan
mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus
dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
b. Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam:
 Ampisilin 2g IV, kemudian 1g setiap 6 jam, ditambah gantamisin 5 mg/kg berat
badan IV dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya
setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang
dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
bakteremia akan berkembang selama operasi.
c. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan perbaikan
dapat diupayakan.Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu
dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotka ( misal
sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi
tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana
terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk
peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
e. Pembedahan atau laparotomi mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis. Bila
perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah insisi dan drainase
terhadap abses.(Saifuddin, Abdul Bari.2008.Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo)
f. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus
dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.

2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
a. Komplikasi dini.
 Septikemia dan syok septic.
 Syok hipovolemik.
 Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multisystem.
 Abses residual intraperitoneal.
 Portal Pyemia (misal abses hepar).
b. Komplikasi lanjut.
 Adhesi.
 Obstruksi intestinal rekuren

Anda mungkin juga menyukai