Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KEPERAWATAN DENGAN APENDIKSITIS

DI RUANG ADELWEIS RSD dr SOEBANDI JEMBER

Oleh:

VIVI EMILATIN MAULIDIYAH

14.401.17.086

Disusun oleh :

YUDISTIRA NGLARAS BAGASKARA

14.401.17.090

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

AKADEMI KESEHATAN RUSTIDA

2020
A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Apendisitis adalah peradangan yang di akibat oleh infeksi pada area usus
buntu atau yang biasa di sebut umbai cacing ( apendiks ). Usus buntu sNama yang
sebenarnya merupakan sekum ( cecum ) Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan
akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya (Bansal et al, 2012).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat menyerang ssegala
golongan umur baik laki - laki ataupun perempuan tetapi lebih sering di temukan
menyerang lPria berkisar berusia antara 10 hingga 30 tahun (Arif, Mansjoer dkk,
2011)
Apendisitis adalah inflamsi apendiks. Penyebabnya biasanya tidak diketahui,
tetapi sering mengikuti sumbatan lumen (Darmojo, Boedhi, 2010)
Jadi, Apenditis adalah peradangan atau inflamasi pada apendiks yang dapat
terjadi tanpa sebab yang jelas dan merupakan penyebab paling umum untuk
dilakukannnya bedah abdomen.
Anatomi dari apendiks
2. Etiologi
(Darmojo, Boedhi, 2010) Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik
tetapi ada faktor presdisposisi yaitu :
a. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
di :
1) Hiperplasia yang terdapat dalam folikel limfoid, ini adalah penyebab paling
terbanyak.
2) Adanya fekolit dalam lumen apendiks.
3) Adanya benda asing seperti biji – bijan.
4) Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E.coli & streptococcus
c. Laki – laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 – 30 tahun (
remaja dewasa ). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limfoid pada
masa tersebut.

d. Tergantung pada bentuk apendiks :


1) Apendiks yang terlalu panjang.
2) Masa apendiks yang pendek.
3) Penonjolan jaringan limfoid pada lumen apendiks.
4) Kelainan katup di pangkal apendiks.

3. Tanda dan gejala


(Arif, Mansjoer dkk, 2011) tanda dan gejala apendisitis adalah :
a. Nyeri pindah ke kanan bawah ( yang akan menetap dan di perberat bila berjalan
atau batuk ) dan menunjukan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc.
Burney : nyeri tekan,nyeri lepas, defans muskuler.
b. Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung.
c. Nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah ditekan ( Rovsing
sign ).
d. Nyeri kanan bawah bila tekanan disebelah kiri dilepas ( Blumberg ).
e. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan,
batuk, mengedan.
f. Napsu makan menurun.
g. Demam yang tidak terlalu tinggi.
h. Biasanya terdapat konstipasi, tapi kadang - kadang terjadi diare.
Gejala - gejala yang paling awal pada penderita apendisitis adalah nyeri atau
perasaan tidak enak pada area umbilicus diikuti oleh anoreksia, nausea dan mual,
gejala ini biasanya berjalan lebih dari satu atau dua hari. Dalam beberapa jam nyeri
berpindah ke kuadran kanan bawah dan mungkin akan terdapat nyeri tekan pada
area Mc. Burney, kemudian dapat muncul spasme otot dan nyeri hilang. Umumnya
ditemukan demam ringan dan leukosit naik apabila rupture apendiks terjadi nyeri
sering sekali hilang secara dramatis untuk beberapa saat.
4. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh.
Hyperplasia folikel limfoid , fekolit , benda asing , struktur karena fikosis. Akibat
peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen, tekanan yang meningkat tersebut
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema. Diaforesis bakteri dan
ulserasi mukosa pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang di tandai nyeri
epigastrum. Sekresi mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus
dinding apendiks.

Peradangan yang muncul melebar dan mengenai peritoneum setempat


sehingga akan menimbulkan rasa nyeri di abdomen kanan bawah, keadaan seperti hal
tersebut itu disebut dengan nama medis apendisitis sakuratif akut. Aliran arteri yang
terganggu akan mrngakibatkan infrak dinding apendiks yang akan di ikuti oleh
gangrene stadium ini biasanya disebut dengan nama apediksitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh ini pecah akan terjadi apendisitis perforasi. Semua proses
diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah
apendiks hingga timbul suatu masa lokal yang disebut infiltrate appendikularis,
peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Anak - anak
Yang di sebabkan oleh omentum lebih pendek dan apendiks akan lebih panjang,
tetapi dinding apendiks lebih tipis, keadaan seperti hal tersebut ditambah dengan
keadaan daya tahan tubuh yang masih kurang akan memudahkan terjadinya
perforasi, sedangkan pada orangtua perforasi mudah terjadi karena telah terjadi
kelainan pada pembuluh darah (Arif, Mansjoer dkk, 2011)
Phatway
Apendicitis

Hiperplasia Benda Erosi fekalit Striktur Tumor


folikel asing mukosa
limfoid apendiks

Obstruksi

Mukosa terbendung

Apendiks teregang

Tekanan
intraluminal

Aliran darah terganggu

Ulserasi dan invasi


bakteri pada dinding
apendiks

Appendicitis

Ke Thrombosis
peritonium pada vena
intramural
Peritonitis Pembengkakan dan iskemia

Perforasi

Ansietas Pembedahan
operasi

Nyeri Akut Luka insisi Resiko


Perdarahan

Jalan masuk kuman

Resiko infeksi
5. Klasifikasi
Klasifikasi apendicitis menurut (Nurarif H. A & Hardi Kusuma, 2013) terbagi
menjadi 3 yaitu :
a. Apendicitis Akut
Apendicitis akut adalah radang mendadak umbai cacing yang memberikan
setempat, disertai maupun tidak rangsangan peritoneum lokal.
b. Apendicitis Rekrens
Apendicitis rekrens adalah jika ada nyeri berulang diperut kanan bawah yang
mendorong dilakukannya apendiktomy. Kelainan ini terjadi bila serangan
apendicitis akut pertama kali sembuh spontan, namun apendicitis tidak pernah
kembali kebentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut.
c. Apendicitis Kronis
Apendicitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih
dari dua minggu, radang kronik apendicitis secara makroskopik dan mikroskopik
(fibrosis menyeluruh didinding apendik, sumbatan parsial dan lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan infiltrasi sel infiltrasi kronik),
dan keluhan menghilang setelah apendictomy.

6. Komplikasi
Komplikasi yang paling utama apendisitis merupakan perforasi apendiks yang akan
dapat.berkembang menjadi suatu peritonitis atau abses. Insidensi periorasi 10-32%.
Perforasi terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu

37,7oC atau lebih tinggi, penampilan toksik dan nyeri abdomen atau nyeri tekan
abdomen yang kontinyu (Darmojo, Boedhi, 2010)
7. Penata laksanaan
Menurut insafi (2012), penata laksanaan pada pasien laparatomi apendiksitis yaitu:
a Pemberian antibiotik
b Terapi cairan
c Perawatan balutan
d Anti inflamasi akan membantu penyembuhan setelah operasi
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
Kurang lebih 7% populasi akan mengalami apendiksitis pada waktu yang
bersamaan dalam hidup mereka. Pria lebih cenderung terkena appendicitis
dibanding dengan wanita. Apendisitis lebih sering menyerang pada usia 10-30
tahun. (Haryono , 2012)
b. Status Kesehatan Saat Ini:
1) Keluhan Utama
Klien akan mengeluh nyeri disekitar epigastrium menjalar ke perut bagian
bawah, timbul keluhan nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam
kemudian setelah nyeri di pusat atau diepigastrium dirasakan dalam beberapa
waktu. Nyeri dirasakan terus-menerus. Keluhan yang umumnya mmengikuti
penyakit apendisitis diantara lain badan Panas diserta mual dan muntah
(Notoadodjo S, 2010)
2) Alasan Masuk Rumah Sakit
Alasan masuk rumah sakit ditulis dengan jelas keluhan langsung dari pasien
ataupun keluarga akibat dari penyakit yang diderita (Depkes Kesehatan RI,
2010).
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya terdapat adanya keluhan yang menyertai antara lain yaitu efek
sekunder pada peradangan dalam apendiks, yang berupa gangguan
gastrointestinal meliputi mual, muntah, nyeri pada abdomen, diare dan
anoreksia. Kondisi muntah dikaitkan oleh inflamasi dan iritasi dari apendiks
dengan nyeri menyebar ke area pada bagian dekat duodenum, yang
mengakibatkan mual dan muntah. Keluhan sistemik umumnya berhubungan
dengan keadaan inflamasi dimana akan didapatkan adanya kenaikan suhu
tubuh (Muttaqin A, 2011)
c. Riwayat Penyakit Dahulu
1) Riwayat Penyakit Sebelumnya
Diisi dengan riwayat penyakit yang diderita klien yang berhubungan dengan
penyakit saat ini atau penyakit yang mungkin dapat dipengaruhi atau
memengaruhi penyakit yang diderita klien saat ini misalnya apakah klien
pernah mengalami operasi sebelumnya pada colon (Notoadodjo S, 2010).
2) Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis penyakit yang sama.
3) Keadaan Lingkungan
Diisi dengan factor-faktor lingkungan yang merupakan yang dapat dilihat
dalam beberapa aspek:
(a) Sebagai sumber pengeluaran
(b) Adanya polusi udara
(c) Pencemaran lingkungan yang lain
(d) Perubahan iklim
(e) situasi dan kondisi lingkungan yang meningkatkan risiko trauma
(dipilih sesuai dengan penyakit yang diderita klien) (Arif, Mansjoer dkk,
2011).
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
(a) Kesadaran
Kesadaran pasien composmentis, wajah tampak menyeringai, conjungtiva
anemis.
(b) Tanda - tanda Vital
Tanda – tanda vital TD : >110 / 70 mmHg (hipertermi), frekuensi nafas
normal 16 – 20x/menit, suhu dalam batas normal 36,5 – 37,5̊C, nadi
normal 80 – 100x/menit (Notoadodjo S, 2010).
2) Body System
(a) Sistem pernafasan
Inspeksi : pernafasan normal, pergerakan dada simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada dada
Perkusi : sonor
Auskultasi : tidak terdengar suara tambahan (Arif, Mansjoer dkk, 2011).
(b) Sistem kardiovaskular
Insepsksi : ictus cordis normal
Palpasi : tidak teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : tatikardia (Notoadodjo S, 2010).
(c) Sistem persyarafan
Saraf 1 : tidak ada kelainan pada fungsi penciuman
Saraf 2 : penglihatan normal
Saraf 3,4,6 : tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata,
memutar mata dan menggerakkan ke sisi mata dengan baik
Saraf 5 : pasien tidak mengalami paralisis otot wajah dan reflek
kornea tidak ada kelainan
Saraf 7 : selaput mukosa kering, kesulitan menelan, mual
muntah
Saraf 8 : tidak terjadi tuli konduktif dan tuli persetif
Saraf 9, 10 : kemampuan menelan dan mengecap mengalami
kesulitan
Saraf 1 : tidak ada atrofi otot
Saraf 12 : lidah simetris
Tidak ada masalah pada sisitem persyarafan (Darmojo, Boedhi, 2010).
(d) Sistem perkemihan
Inspeksi : Ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang
sertatidak bisa mengeluarkan urine secara lancar (Arif, Mansjoer dkk,
2011).
(f) Sistem pencernaan
Inspeksi : selaput mukosa kering, kesulitan menelan, mual – muntah
Palpasi : nyeri tekan pada abdomen di kuadran kanan bawah
Perkusi : kembung
Auskultasi : bising usus bisa normal, hiperaktif atau hipiaktif (Muttaqin
A, 2011)
(g) Sistem integument
Inspeksi : kulit pucat
Palpasi : turgor kulit >3 detik (Muttaqin A, 2011)
(h) Sistem musculoskeletal
Inspeksi dan palpasi : Ada kesulitan dalam pergerakan karena proses
perjalanan penyakit (Arif, Mansjoer dkk, 2011).
(i) Sistem endokrin
Pada pasien post op efek intervensi bedah dengan banyaknya jumlah
volume darah yang keluar dari vascular memberikan terjadinya
perubahan elektrolit dan metabolism (Muttaqin A, 2011)
(j) Sistem reproduksi
Tidak ada masalah pada sistem reproduksi

(k) Sistem penginderaan


Tidak ada masalah pada sisitem penginderaan.
(l) Sistem imun
Pengangkatan pada Apendiks tidak akan mempengaruhi pada sistem
imun tubuh diakibatkan Karena jumlah jaringan limfe disini sangat kecil
kalau dibandingkan bersama dengan jumlahnya di saluran pencernaan
dan diseluruh tubuh (Muttaqin A, 2011)
3) Pemeriksaan Penunjang
(a) Hitung WBC / lekosit total hampir selalu meningkat diatas 10.000

sel/mm3, pada sebagian besar pasien (95%). Jumlah leukosit yang sangat

tinggi (> 20.000/mm3) memberi kesan kearah apendisitis komplikata


dengan gangren atau perforasi.
(b) Foto polos abdomen posisi tegak dilakukan untuk mengesampingkan
adanya perforasi dan obstruksi intestinalis. Pemeriksaan ini mungkin
menunjukkan dilatasi lengkung usus halus pada fosa iliaka dekstra.
(c) Ultrasonografi abdomen untuk mengesampingkan penyebab lain yang
mencakup penyebab ginekologik. Ultrasonografi dapat memperlihatkan
organ tubular aperistaltik dan tidak mengempis dengan dinding tabung
yang tebal. Pemeriksaan ultrasonografi dapat digunakan untuk
menunjukkan adanya nyeri tekan oleh probe ultrasonografi (sensitivitas
85%, spesifitas 90%).
(d) CT scan merupakan pemeriksaan pilihan (sensitivitas 90%, spesifisitas
90%). Protein C-reaktif meningkat pada setiap kelainan peradangan
seperti Apendisitis (Bansal et al, 2012).
4) Penatalaksanaan
(a) Sebelum operasi
(1) MeLakukan Observasi Dalam 8-12 jam setelah ditemukan timbulnya
keluhan, tanda dan gejala appendixitis dapat di temukan sering kali
belum jelas, dalam keadaan ini observasi katat perlu dilakukan. Pasien
diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh
diberikan bila dicurigai adanya appendixitis ataupun perioritas lainnya.
Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (leukosit dan
hitung jenis) diulang secara periodic, foto abdomen dan toraks tegak
dilakukan untuk mencari memungkinan adanya penyulit lain Pada
kebanyakan kasus, diagnose ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di
daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
(2) Antibiotik
Appendixitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu di berikan
antibiotik, kecuali appendixitis ganggrenosa atau appendixitis
perporasi. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotic dapat
mengakibatkan abses atau perporasi.
(b) Operasi
(1) Apendiktomi.
(2) Appendiks di buang, jika appendiks mengalami perporasi bebas.
(3) Abses yang terdapat pada appendiks dapat diobati menggunakan
antibiotika IV, ukurannya mungkin dapat mengecil, atau abses
mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari.
Apendiktomi dilakukan bila operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3
bulan.
(c) Pasca Operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernapasan,
angkat sonde lambung, bila pasien sudah sadar, sehingga aspirasi cairan
lambung dapat dicegah, baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien
dapat dikatakn baik jika dalam waktu 12 jam tidak terjadi atau ditemukan
gangguan, selama waktu itu pasien di lakukan puasakan, bila tindakan
ooperasiy angl di lakukan lebih besar,Contohnya pada perforasi atau
peritonitis umum, puasa dapat diteruskan hingga sampai fungsi usus
kembali normal. 1 hari setelah dilakukan operasi pasien dapat dianjurkan
untuk mencoba duduk tegak pada tempat tidur selama kurang lebij 2 x 30
menit. Hari kedua dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar. Hari ke
tujuh jahitan diangkat dan pasien diperbolehkan pulang. (Bansal et al,
2012)
1 Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operasi
(1) Ansietas berhubungan dengan adanya perubahan status kesehatan
(2) Nyeri akut berhubungan dengan peradangan pada appendiks
b. Post Operasi
(1) Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan
perlukaan bekas operasi dari program medikasi
(2) Nyeri akut berhubungan dengan perlukaan pada bekas operasi
prosedur medikasi
(3) Risiko infeksi berhubungan dengan menurunnya pertahanan
tubuh primer dan sekunder yang tidak adekuat akibat prosedur
invasive (Awan & Arini, 2015)
2 Intervensi
Menurut (Awan & Arini, 2015) :
a. Pre Operasi
1) Ansietas berhubungan dengan adanya perubahan status kesehatan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama diharapkan
kecemasan hilang atau berkurang.
Kriteria Hasil:
(a) Pasien mengatakan perasaan cemasnya berkurang atau hilang.
(b) Terciptanya lingkungan yang aman dan nyaman bagi pasien.
(c) Pasien tampak rileks.
(d) Tanda – tanda vital dalam batas normal : Tekanan darah 120/80 mmHg,

Nadi 80- 100x/menit, Pernapasan 18- 24x/menit, Suhu 36,5-37oC


(e) Keluarga atau orang terdekat dapat mengenal dan
mengklarifikasi rasa takut.
(f) Pasien mendapat informasi yang akurat, serta prognosis dan
pengobatan dan klien mendapat dukungan dari keluarga
terdekat.
Intervensi:
1. Gunakan pendekatan yang tenang dan menyakinkan
Rasional : Agar tercipta hubungan saling percaya
2. Berikan informasi factual terkait diagnosis, perawatan dan
prognosis
Rasional: Memberikan informasi terkait diagnosis,
perawatan dan prognosis
3. Dorong keluarga untuk mendampingi klien dengan cara
yang tepat
Rasional : Agar tidak terjadi kecemasan yang berlanjut
4. Atur penggunaan obat-obatan untuk mengurangi
kecemasan secara tepat
Rasional : Memberikan obat yang tepat untuk mengurangi
kecemasan
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil:
(a) Pasien mengatakan nyeri hilang atau berkurang dengan skala 0 – 3.
(b) Ekspresi wajah rileks
(c) Tanda-tanda vital dalam batas normal : Tekanan darah 120/80 mmHg,

Nadi 80-100x/menit, Pernapasan 18- 24x/menit, Suhu 36,5-37,5oC


Intervensi :
1. Mengkaji karakteristik nyeri
Rasional : Untuk mengetahui karakteristik nyeri
2. Ajarkan teknik relaksasi
Rasional : Untuk mengurangi nyeri
3. Ajarkan metode distraksi
Rasionail : Untuk mengurangi nyeri
4. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan berikan
posisi yang nyaman
Rasional : Memberikan kenyamanan pada pasien
5. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik Rasional : Untuk
memberikan terapi yang tepat .
b. Post Operasi
1) Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan perlukaan bekas
operasi dari program medikasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kerusakan integritas kulit
dapat teratasi.
Kriteria Hasil :
(a) Integritas kulit yang baik bias dipertahankan
(b) Tidak ada luka/lesi pada kulit
(c) Perfusi jaringan baik
(d) Menunjukan terjadinya proses penyembuhan luka
Intervensi :
1. Observasi kondisi luka operasi dengan tepat
Rasional : Mengetahui kondisi luka operasi
2. Monitor kulit adanya ruam dan lecet
Rasional : Untuk mengetahui adanya ruam dan lecet
3. Monitor sumber tekan dan gesekan
Rasional : Untuk mengetahui aadanya sumber tekan dan gesekan
2) Nyeri akut berhubungan dengan perlukaan pada bekas operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri
berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
(a) Pasien mengatakan nyeri hilang atau berkurang dengan skala 0 – 3.
(b) Ekspresi wajah rileks
(c) Tanda-tanda vital dalam batas normal : Tekanan darah 120/80mmHg,

Nadi 80-100x/menit, Pernapasan 18- 24x/menit, Suhu 36,5-37,5oC.


Intervensi :
1. Mengkaji karakteristik nyeri
Rasional : Mengetahui karakteristik nyeri
2. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman
Rasional : Memberikan kenyamanan pada pasien
3. Kolaborasikan dengan dokter dalam pemberian analgetik
Rasional : Untuk memberi terapi yang tepat
3) Risiko infeksi berhubungan dengan menurunnya pertahanan tubuh primer
dan sekunder yang tidak adekuat akibat prosedur infasif.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan risiko infeksi dapat teratasi
Kriteria hasil :
(a) Tidak ada tanda-tanda infeksi di daerah luka
(b) Tanda-tanda vital dalam batas normal : Tekanan darah
120/80mmHg, Nadi 80-100x/menit, Pernapasan 18-

24x/menit, Suhu 36,5-37,5oC


Intervensi :
1. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi dan kapan
harus melaporkannya kepada penyedia perawatan kesehatan
Rasional : Agar keluarga pasien dapat melaporkan tanda infeksin segera
2. Ganti peralatan perawatan per pasien sesuai protocol institusi Rasional :
Untuk mencegah infeksi
3. Ajarkan cara cuci tangan
Rasional : Untuk mengajarkan cara cuci tangan yang benar
4. Pastikan teknik perawatan luka yang tepat
Rasional : Agar luka cepat sembuh dan tidak terjadi infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer dkk. (2011). Kapitaselekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta: MedicaAesculpalus.

Awan & Arini. (2015). Panduan Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Haryono . (2012). Keperawatan Medikal Bedah Sistem Pencernaan. Yogyakarta: Goshyen


Publishing.

Muttaqin A. (2011). Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal


Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Notoadodjo S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai