Dosen Pengampu :
Aprilia Hartanti,SP.,MP
Nama Kelompok :
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
UNIVERSITAS PANCA MARGA PROBOLINGGO
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis kehadirat Allah yang Maha pengasih lagi Maha
penyayang, yang telah memberi rahmat serta hidayahNya kepada kita sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini, Tak lupa sholawat serta salam tetap terlimpahkan kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW sang pilihan dan sang pemilik ukhwah. Penulis membuat makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembiakan Tanaman.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Aprilia Hartanti, SP.,MP
selaku dosen mata kuliah Pembiakan Tanaman. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan
makalah ini masih banyak kekurangan karena masih dalam tahap belajar. Oleh karena itu,
penulis dengan terbuka akan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis sendiri dan para pembaca khususnya.
C. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh media tanam pada pertumbuhan tanaman yang dicangkok
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembiakan Vegetatif
B. Cangkok
C. Taksonomi
3. Puring
Tanaman puring (Codiaeum variegatum (L.) Blume) (Euphorbiaceae) berupa
perdu atau pohon kecil dengan tinggi mencapai 1.5-3 m (Steenis 2006). Puring dikenal
sebagai tanaman hias (Backer dan Bakhuizen 1963) dan merupakan salah satu
tanaman hias paling populer di Amerika Serikat dan Eropa (Mollick et al. 2011).
Persilangan antar jenis puring telah banyak dilakukan yang memberikan peluang
munculnya kultivar baru. Saat ini kultivar puring tersebar di negara tropik, di
antaranya Indonesia, Malaysia, Filipina, India, Thailand, Srilangka, dan Kepulauan
Pasifik (Nasib et al. 2008; Younis et al. 2010). Tanaman puring memiliki banyak
manfaat, di antaranya sebagai obat antifungal, antikanker, obat diare berdarah (Njoya
et al. 2014), dan obat penahan rasa sakit. Selain itu, puring merupakan flora antipolusi
yang mampu menyerap polutan berbahaya seperti timbal (Pb) (Dewi dan Hapsari
2012).
Keanekaragaman tanaman puring pada saat ini sangat tinggi khususnya
keanekaragaman helaian daun, yang ditunjukkan dari bentuk, warna, dan ukuran daun
(Nasib et al. 2008). Brown (1995) cit Mollick et al. (2011) menyatakan bahwa mutasi
somatik atau penyerbukan oleh semut memberikan peluang terbentuknya
keanekaragaman yang tinggi pada puring. Penelitian tentang keanekaragaman
morfologi daun puring telah dilakukan oleh peneliti dari University of the Ryukyus
menggunakan parameter fenotipe daun dengan sampel tanaman berasal dari Okinawa,
Jepang (Mollick et al. 2011). Hasilnya menunjukkan bahwa di antara parameter
kuantitatif yang diuji dapat menunjukkan keanekaragaman puring. Berbeda dengan
morfologi daun, komposisi pigmen daun yang berkontribusi terhadap warna daun
tidak menunjukkan keanekaragaman.
Klasifikasi dari Puring (Codiaeum variegatum) :
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malpighiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Codiaeum
Spesies : C. variegatum
4. Murbei
Murbei adalah tanaman berumur panjang dan dapat beradaptasi denganbaik
pada beberapa jenis tanah. Tanaman murbei (Morus sp) mempunyai perananpenting
dalam usaha persuteraan, sebab daun tanaman ini merupakan makananpokok bagi ulat
sutera (Bombyx mori) (Sunanto,1997). Daun murbei sangatdisukai dan dapat dicerna
dengan baik oleh ternak herbivora dan dapat puladimanfaatkan untuk pakan ternak.
Penanaman murbei telah dimulai ribuan tahunyang lalu untuk pakan dan produksi ulat
sutera, jenis yang sangat populer adalah jenis Morus alba dan Morus Indica (Sanchez,
2002), Genus dari Morus terdiri dari lebih dua puluh spesies dan sekurang-kurangnya
terdapat seratus varietas.Tanaman murbei merupakan genus dari family Moraceae
Domestikasi murbei sudah dimulai ribuan tahun yang lalu untuk memenuhi kebutuhan
pakan pada pemeliharaan ulat sutera. Namun belakangan ini ketertarikan pemanfaatan
hijuan murbei (batang muda dan daun) sebagai pakan meningkat, disebabkan nilai
nutrisinya yang tinggi (Sanchez, 2002).
Menurut Sinurat (2007) tanaman murbei merupakan tanaman dengan perakaran
yang dalam dan untuk pertumbuhan akarnya diperlukan lapisan tanah olah yang cukup
dalam sehingga diperlukan lapisan tanah bertekstur lempung (loam) lempung liat
(clayed loam) dan lempung berpasir (sandy loam) dengan pH sekitar 6,5. Budidaya
tanaman murbei dilahan gambut belum banyak dilakukan oleh petani, yang
disebabkan oleh kurangnya informasi. Tanah gambut secara umum mempunyai pH
tanah yang rendah. Sagiman (2007) melaporkan bahwa secara umum kemasaman
tanah gambut berkisar antara 3-5 dan semakin tebal bahan organik maka kemasaman
gambut meningkat. Budidaya murbei di lahan gambut(organosol) yang tepat di
Provinsi Riau sebagai pakan ternak ruminansia adalah sesuatu yang harus dilakukan,
mengingat Provinsi Riau merupakan wilayah yang memiliki lahan kondisi gambut
yang terluas di Sumatera (45% dari luas keseluruhan lahan gambut yang ada di
Sumatera), dan umumnya belum dimanfaatkan untuk pengembangan hijauan makanan
ternak baik rumput, leguminosa maupun fooder tree seperti murbei (Kurniawan,
2008). Berdasarkan kondisi tersebut maka budidaya murbei dilahan gambut Provinsi
Riau adalah sangat menjanjikan untuk pengembangan budidaya hijauan pakan.
Klasifikasi tanaman Murbei adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledenoleae
Ordo : Urticales
Famili : Moreceae
Genus : Morus
Spesies : Morus alba L.
D. Macam Media
1. Tanah
Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang berasal dari material induk yang
telah mengalami proses lanjut, karena perubahan alami dibawah pengaruh air, udara,
dan macam - macam organisme baik yang masih hidup maupun yang telah mati.
Tingkat perubahan terlihat pada komposisi, struktur dan warna hasil pelapukan
(Dokuchaev 1870).
Tanah merupakan suatu benda alam yang tersusun dari padatan (bahan mineral
dan bahan organik), cairan dan gas, yang menempati permukaan daratan, menempati
ruang, dan dicirikan oleh salah satu atau kedua berikut: horison-horison, atau
lapisan-lapisan, yang dapat dibedakan dari bahan asalnya sebagai hasil dari suatu
proses penambahan, kehilangan, pemindahan dan transformasi energi dan materi,
atau berkemampuan mendukung tanaman berakar di dalam suatu lingkungan alam
(Soil Survey Staff, 1999).
Tanah merupakan material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral mineral
padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-
bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat ) di sertai dengan zat air
dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut
(Das, 1995)
Di dalam tanah banyak ditemukan ribuan jenis hewan dan mikroorganisme,
dari yang berukuran sangat kecil (bakteri, fungi dan protozoa/invisibee mikro-biota)
hingga biota yang berukuran sangat besar seperti cacing tanah, kutu, tikus, kaki
seribu dan megafauna. Aktivitas biologi organism tanah terkonsentrasi di topsoil.
Komponen biologi menempati tempat yang tipis atau halus (<0.5%) dari total
volume tanah dan membuat kurang dari 10% total bahan organik tanah. Komponen
hidup ini terdiri dari akar tumbuhan dan organisme tanah.
Cacing tanah sering membentuk bagian utama biomassa hewan tanah dan
dapat mempresentasikan hampir 50% biomassa hewan tanah di tanah padang rumput,
dan hingga 60% tanah hutan. Cacing tanah dapat memperbaiki penyatuan bahan
organik di bawah permukaan tanah, meningkatkan jumlah air tersimpan dalam
agregat tanah, memperbaiki infiltrasi air, aerasi dan penetrasi akar dan meningkatkan
aktivitas mikroorganisme. Partikel tanah yang digerakkan ke berbagai posis oleh
akar, cacing tanah, baik melalui siklus kering atau basah dan melalui kekuatan lain
sehingga membentuk struktur tanah. Produksi kotoran mesofauna juga menyumbang
pembentukan struktur tanah partikel dan ruangruang yang terbentuk di antara partikel
(Yuliprianto, 2010:77-79).
2. Kompos
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan makhluk hidup
atau makhluk hidup yang telah mati, meliputi kotoran hewan, seresah, sampah, dan
berbagai produk antara dari organisme hidup (Sumekto, 2006:1). Pupuk organik ada
beberapa macam, yaitu pupuk kandang, pupuk hijau, bokashi, dan kompos
(Purwendro dan Nurhidayat, 2007:15). Kompos diperoleh dari hasil pelapukan
bahan-bahan tanaman atau limbah organik seperti jerami, sekam, daundaunan,
rumput-rumputan, limbah organik pengolahan pabrik, dan sampah organik yang
terjadi karena perlakuan manusia. (Musnamar, 2009:21). Secara biologi cacing
memainkan peranan utama dalam mengubah bahan organik menjadi humus sehingga
dapat memperbaiki kesuburan tanah. Kotoran cacing tersebut berupa casts yang
mengandung 40% humus dibanding bagian atas tanah dimana cacing hidup
(Yuliprianto, 2010:194-195). Kandungan unsur hara dalam pupuk organic tidak
terlalu tinggi tapi jenis pupuk ini memiliki keistimewan lain yaitu dapat memperbaiki
sifat tanah, struktur tanah, daya menahan air dan kation-kation tanah ( Ida 2013 ).
standar kualitas kompos menurut SNI 19-7030-2004 yaitu dimana C Organik 30,90
%, Nitrogen 3,07 %, Fosfor sebagai P2O5 0,33 % dan Kalium sebagai K2O 2,54 %,
(BSN, 2004).
3. Cocopeat ( Serbuk Kelapa )
Kelapa merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Indonesia meru-pakan salah satu negara di dunia yang memiliki potensi agroindustri
kelapa yang cukup besar, tetapi belum dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Luas
areal kebun kelapa di Indonesia adalah yang terbesar di dunia, yaitu 3,76 juta hektar
(Setiadi, 2001).
Cocopeat merupakan salah satu media tumbuh yang dihasilkan dari proses
penghancuran sabut kelapa, proses penghancuran sabut dihasilkan serat atau fiber,
serta serbuk halus atau cocopeat (Irawan dan Hidayah, 2014). Kelebihan cocopeat
sebagai media tanam dikarenakan karakteristiknya yang mampu mengikat dan
menyimpan air dengan kuat, serta mengandung unsur-unsur hara esensial, seperti
kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), natrium (N), dan fosfor (P) (Muliawan,
2009).
E. Penilitian Terdahulu
F. Hipotesa
METODOLOGI PRAKTIKUM
C. Metode Praktikum
Percobaan menggunakan data pengamatan tertulis yang disusun dalam 1 faktor
perlakuan. Faktor yang digunakan adalah empat (4) macam media tanam cangkok yaitu :
1. Cocopeat dan Plastik
2. Cocopeat dan Serabut Kelapa
3. Tanah, Kompos dan Plastik
4. Tanah, Kompos, dan Serabut Kelapa
D. Cara Kerja
E. Parameter
Dari praktikum mencangkok yang telah dilakukan ini belum ada hasil karena pada
tahap ini pengamatan hasil belum dilakukan, selain itu karena kurangnya waktu penelitian
sehingga hasil tidak tercantum untuk data dari perbandingan media tanam . Sedangkan data
pengamatan hasil cangkokan ini hanya ada beberapa mahasiswa yang cangkok nya berhasil
yaitu dari media tanam cocopeat dan serabut kelapa.
Penggunaan cocopeat sebagai media cangkok menunjukkan hasil yang lebih baik di
bandingkan media campuran tanah-kmpos, karena cocopeat memiliki draenasi dan aerasi
yang baik untuk pertumbuhan akar. Bisa di lihat dari kemampuannya mengikat/menahan air,
cocopeat memiliki kapasitas menahan air yang cukup tinggi yaitu mencapai 14,71 kali bobot
keringnya (Sutater et al., 1998). Kapasitas memegang air tersebut sangat penting untuk
menjaga kelembaban guna menghidari resiko kekeringan media (Singarum, 1994 dalam
Syamsuwida et al., 2001). Selain itu media cocopeat juga mempunyi berat jenis yang cukup
rendah yaitu 0,045, media dengan nilai berat jenis yang rendah akan memiliki ruang pori
(porositas) yang besar. Tingkat porositas berkaitan dengan tingkat kesarangan media,
sehingga dengan semakin kecil berat jenisnya maka semakain tinggi tingkat kesarangannya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keberhasilan pencangkokan tanaman dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain : umur
dan ukuran batang, media, waktu pencangkokan dan jenis tanaman. Makin besar diameter
batang, akar yang terbentuk juga akan menjadi lebih banyak, hal ini disebabkan karena
permukaan bidang perakaran menjadi lebih luas. Umur batang sebaiknya masih cukup muda
(berwarna coklat/coklat muda) karena batang yang sudah tua (berwarna abu-abu) umumnya
lebih sulit dan lambat membentuk akar. Disamping ukuran dan umur batang, media juga
sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan akar cangkokan.
B. Saran
Sebaiknya penelitian ini dlakukan pada waktu musim hujan agar resiko kegagalannya
juga kecil. Selain itu untuk peneliti selanjutnya harus mempertimbangkan waktu yang lebih
lama lagi supaya hasil yang didapat maksimal dan kita juga mengerti media apa yang sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan cangkok tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 1990. Dasar-Dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa. Bandung.
85 hlm
Bramasto, Y., D. Syamsuwida, dan D. Iriantono. 1998. Pembuatan Cangkok dalam rangka
Penyiapan Kebun Benik Klon Acacia mangium Willd. Buletin Teknologi Perbenihan 5
Hendromono. 1998. Pengaruh media organik dan tanah mineral terhadap mutu bibit Pterygota
alata ROXB, Buletin Penelitian Hutan No.617. Pusat Litbang Kehutanan. Bogor
Irawan, A. dan H.N. Hidayah. 2014. Kesesuaian Penggunaan Cocopeat sebagai Media Sapih
pada Politube dalam Pembibitan Cempaka (Magnolia elegans (Blume) H. Keng. Jurnal
WASIAN. 1(2):73-76
Kuntarsih, 2006. Jambu Biji (psidium guajava). Surabaya : Trubus Agrisarana. Nainggolan,
Jasuman, 2009
Schmidt, L. 2002. Pedoman penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Subtropis.
Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan,
Jakarta. 530 h
Yuliprianto, H. 2010, Biologi Tanah dan Starategi Penggolahannya. Yogyakarta: Graha Ilmu
LAMPIRAN