KPD Dengan Gawat Janin
KPD Dengan Gawat Janin
Disusun Oleh:
dr. Rizki Widya Kirana
DPJP:
dr. Pernando, Sp.OG
Pendamping:
dr. Vivi Permana Sarie
dr. Awalita
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ........................................................................................... v
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Angka kematian Ibu di Indonesia Per 100.000 Kelahiran Hidup Tahun
1991- 2015 .................................................................................... 13
Gambar 2 Serviks inkompeten ....................................................................... 15
Gambar 3 Lapisan amnio dan korion ............................................................. 22
Gambar 4 Bagian selaput ketuban yang pecah .............................................. 22
Gambar 5 Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini .................................... 23
Gambar 6 Gambaran Ferning ......................................................................... 26
Gambar 7 Alogaritma Manajemen Ketuban Pecah Dini................................ 39
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Antibiotik yang digunakan pada KPD> 24 jam ................................ 35
Tabel 2 Medikamentosa yang digunakan pada KPD ..................................... 38
v
BAB I
PENDAHULUAN
Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetrik berkaitan
dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya korioamnionitis sampai sepsis,
yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi
ibu. Ketuban pecah dini (KPD) atau Premature Rupture of Membrane (PROM) merupakan
keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Namun, apabila ketuban
pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu, maka disebut sebagai ketuban pecah dini
prematur atau Preterm Premature Rupture of Membrane (PPROM). Pecahnya selaput
ketuban tersebut diduga berkaitan dengan perubahan proses biokimiawi yang terjadi dalam
kolagen matriks ekstraseluler amnion, korion, dan apoptosis membran janin.
Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung janin (DJJ) dan
memeriksa kemungkinan adanya meconium di dalam cairan amnion. Disebut gawat janin
bila ditemukan denyut jantung janin diatas 160/menit atau dibawah 100/menit, denyut
jantung tidak teratur, atau keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan. Gawat
janin terjadi bila janin tidak menerima O2 yang cukup, sehingga akan mengalami hipoksia.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di Ruang VK RS Royal
Prima Jambi pada tanggal 18 Juli 2019
Jantung
Auskultasi : BJ I & BJ II regular, tidak terdengar murmur dan gallop
d. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut tidak tegang, bekas luka operasi (-), tampak
striae gravidarum
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel, massa (-), hepar lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Bagian pekak dikelilingi dengan bagian timpani
e. Anus Genitalia
Tidak ada kelainan
f. Ekstremitas
Atas : Simetris kanan dan kiri, akral dingin -/-, oedem -/-,
Efloresensi bermakna (-), crt < 2”, kekuatan motorik 555/555
Bawah : Simetris kanan dan kiri, akral dingin -/-, oedem -/-,
Efloresensi bermakna (-), crt < 2”, kekuatan motorik 555/555
b. Genitalia
Vulva, vagina dalam keadaan tenang, oedem labia (-), lendir (-), darah (-)
VT: dilakukan pada pukul 12.15 WIB (18 Juli 2019) didapatkan hasil: pembukaan 2 cm,
portio lunak, bagian bawah kepala Hodge II, air ketuban mengalir, bloody show (-)
c. Pemeriksaan Panggul
Tidak dilakukan pemeriksaan panggul
7
Hematokrit 16,2 % 37,0- 52,0
Granulosit 74,1 % 37- 75
Limfosit 18,1 % 20- 40
Monosit 7,8 % 2- 10
KIMIA DARAH
FUNGSI GINJAL
Ureum 18 mg/dl 17-43
Creatinin 0,5 mg/dl 0,6- 1,3
DIABETES
Glukosa 86 Mg/ dl < 200
KOAGULASI
CT (clothing time) 4 min 30 sec 2-6 min
BT (blooding time) 2 min 00 sec 1-3 min
IMUNOSEROLOGI
HBsAg Negatif Negatif
Pemeriksaan EKG
Interpretasi EKG
Rhythm : sinus rhythm
8
Axis : normoaxis
Qrs rate : 71 x/menit
P- wave : tidak ada kelainan
PR- interval dan qrs : tidak ada kelainan
ST- Segment : tidak ada kelainan
Gelombang T : tidak ada kelainan
Kesimpulan : Tidak terdapat kelainan pada irama jantung
2.6 Penatalaksanaan
- IVFD RL 20 tpm makro
- Cek darah rutin, GDS, ureum, kreatinin, CT, BT, dan HBsAg
- EKG
2.8 Prognosis
Ad Vitam : Dubia Ad bonam
Ad Functionam : Ad bonam
Ad Sanationam : Ad bonam
9
2.9 Follow up harian
10
- Preskep genitalia: terpasang DC ) abdomen: perban kering, abdomen: perban kering, dan
Pk. 13.30 WIB ekstremitas: dbn dan bersih bersih
- DJJ: 151x/m ekstremitas: dbn ekstremitas: dbn
- His: 4x10
Pk. 14.10 WIB
- DJJ: 162x/ menit, tidak teratur
A G4P3A0 hamil aterm dengan KPD dengan gawat P4A0 post partum SC a/I ketuban P4A0 post partum SC a/I P4A0 post partum SC a/I
janin pecah dini dengan gawat janin ketuban pecah dini dengan ketuban pecah dini dengan
gawat janin gawat janin
P - Rencana induksi drip piton ½ ampul dalam - Advice lepas DC - Clindamisin caps 3x Obat pulang:
IVFD RL 15 tpm - Besok rencana terapi oral 350mg - Clindamisin caps 3x
- Inj. Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam - IVFD RL+ 2 ampul piton + 1 - Deksketoprofen 3x1 350mg
- Inj. Dexamethasone 2 ampul ampul tramadol+ 1 ampul - Metronidazole 2x 500 mg - Deksketoprofen 3x1
Pk 14.10 WIB, call dr. Pernando Sp.OG ketorolac drip 30 tpm - Rencana pulang besok - Metronidazole 2x 500 mg
- Advice SC Cito - Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV - OBH syrup 3x IC
- Inf. Metronidazole 2x1 flash - GV
Pk 14.30 WIB, pasien diantar ke ruang operasi - Pronalges sup 3x2 tablet - BLPL
- Misoprostol 2x2 tablet
Pk. 17.00 WIB, pasien telah selesai operasi - Betahistin 2 tablet (extra)
11
Terapi post op:
- IVFD RL+ 2 ampul piton + 1 ampul
tramadol+ 1 ampul ketorolac drip 30 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV
- Inf. Metronidazole 2x1 flash
- Pronalges sup 3x2 tablet
- Misoprostol 2x2 tablet
12
BAB III
ANALISA KASUS
12
Kejadian KPD preterm berhubungan dengan peningkatan morbiditas
dan mortalitas maternal maupun perinatal. Sekitar 1/3 dari perempuan yang
mengalami KPD preterm akan mengalami infeksi yang berpotensi berat,
bahkan fetus/ neonatus akan berada pada risiko morbiditas dan mortalitas
terkait KPD preterm yang lebih besar dibanding ibunya, hingga 47,9% bayi
mengalami kematian. Persalinan premature dengan potensi masalah yang
muncul, infeksi perinatal, dan kompresi tali pusat in utero merupakan
komplikasi yang umum terjadi. KPD preterm berhubungan dengan sekitar 18-
20% kematian perinatal di Amerika Serikat.1
Gambar 1. Angka kematian Ibu di Indonesia Per 100.000 Kelahiran Hidup Tahun
1991- 2015
13
Sebanyak 72% kasus KPD terjadi pada usia kehamilan lebih dari 37 minggu,
dengan sebagian besar ibu berada pada rentang usia 20-24 tahun.4
Penyebab KPD masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan
secara pasti. Ruptur membrane dapat terjadi karena berbagai alasan.
Meskipun ketuban pecah pada saat kehamilan aterm dapat dikarenakan
keadaan fisiologis yaitu melemahnya membran yang dikombinasikan dengan
adanya kontraksi uterus dan peregangan berulang dimana terdapat bagian
selaput ketuban yang lebih rapuh akibat adanya perubahan biokimia berupa
ketidakseimbangan matriks ekstraselular, sedangkan PPROM dapat terjadi
karena berbagai mekanisme patologis. Infeksi intraamnion telah terbukti
secara umum dikaitkan dengan PROM premature, terutama pada usia
kehamilan sebelumnya. Riwayat adanya PPROM dapat meningkatkan
terjadinya PPROM di kemudian hari.5
Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat
dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui.
Faktor-faktor predisposisi itu antara lain :
1. Serviks inkompeten menyebabkan dinding ketuban yang paling bawah
mendapatkan tekanan yang semakin tinggi. Inkompetensia serviks adalah
istilah untuk menyebut kelainan pada otot-otot leher atau leher rahim
(serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga sedikit membuka
ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan janin
yang semakin besar. Serviks memiliki suatu kelainan anatomi yang nyata,
yang bisa disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau
merupakan suatu kelainan congenital pada serviks sehingga
memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri dan
mules dalam masa kehamilan trimester kedua atau awal trimester ketiga
yang diikuti dengan penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya
hasil konsepsi.6
14
Gambar 2. Serviks inkompeten
15
dengan ketuban pecah dini. Grup B streptococcus mikroorganisme yang
sering menyebabkan amnionitis.7
3. Multipara, grandemultipara, pada kehamilan yang terlalu sering akan
mempengaruhi proses embriogenesis sehingga selaput ketuban yang
terbentuk akan lebih tipis dan yang akan menyebabkan selaput ketuban
pecah sebelum tanda–tanda inpartu.
4. Overdistensi uterus yang dapat terjadi pada hidramnion, makrosomia,
kehamilan ganda, dan sevalopelvik disproporsi.
1) Hidramnion atau sering disebut polihidramnion adalah banyaknya air
ketuban melebihi 2000 cc. Hidramnion dapat terjadi pada kasus
anensefalus, atresia esophagus, gemeli, dan ibu yang mengalami
diabetes melitus gestasional. Ibu dengan diabetes melitus gestasional
akan melahirkan bayi dengan berat badan berlebihan pada semua usia
kehamilan sehingga kadar cairan amnion juga akan berlebih.
2) Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan
dengan makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau
over distensi dan menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah
sehingga menekan selaput ketuban, manyebabkan selaput ketuban
menjadi teregang, tipis, dan kekuatan membrane menjadi berkurang,
menimbulkan selaput ketuban mudah pecah.8,9
3) Kehamilan ganda adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih
sehingga kemungkinan terjadinya hidramnion bertambah 10 kali lebih
besar. Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih.
Pada kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan,
sehingga menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan.
Hal ini terjadikarena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan
kantung (selaput ketuban ) relative kecil sedangkan dibagian bawah
tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis
dan mudah pecah.9
16
5. Kelainan letak yaitu letak lintang, sehingga tidak ada bagian terendah
yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan
terhadap membran bagian bawah.6
6. Usia ibu. Usia ibu yang ≤ 20 tahun, termasuk usia yang terlalu muda
dengan keadaan uterus yang kurang matur untuk melahirkan sehingga
rentan mengalami ketuban pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia ≥ 35
tahun tergolong usia yang terlalu tua untuk melahirkan khususnya pada
ibu primi (tua) dan beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini.
7. Riwayat KPD sebelumnya. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
beresiko 2-4 kali mengalami ketuban pecah dini kembali. Patogenesis
terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah akibat adanya
penurunan kandungan kolagen dalam membran sehingga memicu
terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama
pada pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami ketuban pecah dini
pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan
berikutnya wanita yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih
beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang
tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena komposisi
membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang
semakin menurun pada kehamilan berikutnya.
8. Merokok selama kehamilan. Pada perokok selama kehamilan didapatkan
adanya kekurangan tembaga dan asam askorbik yang merupakan
komponen kolagen sehingga terjadi pertumbuhan struktur yang tidak
normal.
17
distensi uterus (misalnya pasien dengan kehamilan multiple dan
polihidramnion). Prosedur yang dapat berakibat pada kejadian KPD aterm
antara lain sirklase dan amniosintesis. Tampaknya tidak ada etiologi tunggal
yang dapat mengakibatkan KPD. Infeksi atau inflamasi korio desidua juga
dapat menyebabkan KPD preterm. Penurunan jumlah kolagen dari membrane
amnion juga diduga merupakan factor predisposisi KPD preterm.1 Suatu
penelitian mengatakan factor risiko yang mendominasi kejadian KPD adalah
Pendidikan ibu.10
Pada pasien diduga terjadinya ketuban pecah dini, selain dari proses
fisiologis yaitu melemahnya membran yang dikombinasikan dengan adanya
kontraksi uterus dan peregangan berulang dimana terdapat bagian selaput
ketuban yang lebih rapuh akibat adanya perubahan biokimia berupa
ketidakseimbangan matriks ekstraselular, penyebab lainnya adalah
inkompeten serviks, karena diduga adanya laserasi serviks menyusul
pelahiran pervaginam, diketahui pasien hamil anak ke empat, dengan riwayat
persalinan tiga anak sebelumnya adalah persalinan spontan yang dilakukan di
bidan.
Dua belas hari setelah ovum dibuahi, terrbentuk suatu celah yang
dikelilingi amnion primitif yang terbentuk dekat embryonic plate. Celah
tersebut melebar dan amnion di sekelilingnya menyatu mula-mula dengan
body stalk kemudian dengan korion yang akhirnya menbentuk kantung
amnion yang berisi cairan amnion. Cairan amnion, normalnya berwarna putih,
agak keruh serta mempunyai bau yang khas agak amis dan manis. Cairan ini
mempunyai berat jenis 1,008 yang seiring dengan tuanya kehamilan akan
menurun dari 1,025 menjadi 1,010. Asal dari cairan amnion belum diketahui
dengan pasti, dan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Diduga cairan
ini berasal dari lapisan amnion sementara teori lain menyebutkan berasal dari
plasenta. Dalam satu jam didapatkan perputaran cairan lebih kurang 500 ml.11
Selaput ketuban (fetal membrane) adalah suatu struktur jaringan lunak
yang berfungsi untuk memelihara janin dalam rongga rahim selama
kehamilan. Selaput ketuban sendiri terdiri atas dua lapisan utama, yaitu
18
lapisan amnion (inner layer) yang memelihara cairan amnion dan lapisan
korion (outer layer) yang menghadap ke arah kavum uterus (uterine
desidua), sehingga disebut juga membran korioamnion.
Lapisan amnion merupakan jaringan avaskular yang lentur dan kuat
yang terdapat pada bagian dalam selaput ketuban. Lapisan ini terdiri dari
jaringan sel kuboid yang berasal dari ektoderm, berupa mikrovili yang
berfungsi untuk mentransfer cairan, metabolisme, menghasilkan zat
penghambat metalloproteinase-1, dan juga menghasilkan zat-zat vasoaktif
berupa endotelin-1 (vasokonstriktor) dan PHRP (parathyroid hormone
related protein) untuk mengatur peredaran darah dan tonus pembuluh lokal.
Jaringan ini berhubungan dengan lapisan interstisial yang mengandung
kolagen tipe I, III, dan IV.11
Secara mikroskopis, lapisan amnion mempunyai ketebalan normal,
yaitu 20-80 µm, yang terdiri dari 5 lapisan di bawahnya, yaitu : (1) Lapisan
epitelium, merupakan lapisan terdalam yang berhubungan langsung dengan
cairan amnion. Lapisan ini terdiri dari selapis sel-sel yang melekat pada (2)
membran basalis. Di dalam lapisan epitelium terdapat (3) lapisan kompakta
dan (4) lapisan fibroblas yang berisi jaringan padat serat-serat kolagen
sehingga bertanggung jawab dalam 60-80% ketebalan dan keelastisan lapisan
amnion. Kemudian (5) lapisan spongiosa yang terletak paling luar dan
melekat dengan lapisan seluler korion, yang mengandung banyak
proteoglikan.11
Di dalam rongga amnion yang terbentuk dari lapisan amnion terdapat
cairan amnion yang berasal dari sekresi aktif epitel amnion, transudasi
sirkulasi janin, air seni janin, dan transudasi sirkulasi maternal. Cairan amnion
umumnya berwarna jernih agak pucat dan sedikit basa (pH 7,2), dengan
komposisi air (98-99%), karbohidrat (glukosa dan fruktosa), protein (albumin
dan globulin), lemak, hormon (estrogen dan progesteron), enzim (alkali
fosfatase), mineral (natrium, kalium, dan klorida), material lain (vernix
caseosa, rambut lanugo, sel epitel yang terkelupas, dan mekonium). Cairan
19
ini mempunyai berbagai fungsi selama masa kehamilan maupun saat
persalinan.11
Lapisan korion merupakan lapisan terluar dari selaput ketuban dan
terdiri dari jaringan mesenkim yang berasal dari mesoderm. Sel mesenkim
berfungsi untuk menghasilkan kolagen sehingga selaput ketuban menjadi
lentur dan kuat. Selain itu, sel mesenkim juga menghasilkan sitokin IL-6, IL-
8, MCP-1 (monocyte chemoattractant protein-1) yang bermanfaat
untuk melawan bakteri. Lapisan korion, mempunyai ketebalan 100-500
µm, yang secara histologis terdiri atas tiga lapisan di bawahnya, yaitu
(1) yang melekat pada lapisan trofoblas (yang berhubungan dengan
desidua maternal), (2) membran basalis yang mendukung (3) lapisan retikular,
yang merupakan komponen mayoritas untuk ketebalan lapisan korion.11
Selaput amnion melekat erat pada korion (sekalipun dapat dikupas
dengan mudah). Selaput ini menutupi permukaan fetal pada plasenta sampai
pada insertio tali pusat dan kemudian berlanjut sebagai pembungkus tali pusat
yang tegak lurus hingga umbilikus janin. Sedangkan korion merupakan
membran eksternal berwarna putih dan terbentuk dari vili – vili sel telur yang
berhubungan dengan desidua kapsularis. Selaput ini berlanjut dengan tepi
plasenta dan melekat pada lapisan uterus.
Selaput amnion yang meliputi permukaan plasenta akan mendapatkan
difusi dari pembuluh darah korion di permukaan. Volume cairan amnion pada
kehamilan aterm rata-rata adalah 800ml, cairan amnion memiliki pH 7.2 dan
berat jenis 1.008. Setelah 20 minggu produksi cairan berasal dari urin janin.
Sebelumnya cairan amnion juga banyak berasal dari rembesan kulit, selaput
amnion, dan plasenta. Janin juga meminum cairan amnion (diperkirakan
500ml/hari) juga masuk ke dalam paru janin yang merupakan hal penting
dalam perkembangannya.11,12
Dalam keadaan normal jumlah cairan amnion pada kehamilan cukup
bulan sekitar 1000 – 1500 cc, keadaan jernih agak keruh, steril, bau khas, agak
manis, terdiri dari 98% - 99% air, 1- 2 % garam anorganik dan bahan organik
20
(protein terutama albumin), runtuhan rambut lanugo, verniks kaseosa, dan sel-
sel epitel dan sirkulasi sekitar 500cc/jam.
Fungsi cairan amnion antara lain sebagai proteksi yaitu melindungi
janin terhadap trauma dari luar, mobilisasi dengan memungkinkan ruang
gerak bagi bayi, hemostatis atau menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan
asam basa (Ph), dan mekanik dengan menjaga keseimbangan tekanan dalam
seluruh ruang intrauteri. Pada persalinan, cairan ini membersihkan atau
melicinkan jalan lahir dengan cairan steril sehingga melindungi bayi dari
kemungkinan infeksi jalan lahir.12
Cairan amnion secara klinis dapat bermanfaat untuk deteksi dini
kelainan kromosom dan kelainan DNA dari 12 minggu sampai 20 minggu.
Cairan amnion yang terlalu banyak atau disebut polihidramnion (>2 liter)
mungkin berkaitan dengan diabetes atau trisomi 18. Sebaliknya, cairan
amnion yang kurang disebut oligohidramnion yang dapat berkaitan dengan
kelainan ginjal janin, trisomi 21 atau 13, atau adanya hipoksia janin.
Oligohidramnion dapat dicurigai bila terdapat kantong amnion yang kurang
dari 2x2cm, atau indeks cairan pada 4 kuadran kurang dari 5cm. Pada cairan
amnion juga terdapat alfa feto protein (AFP) yang berasal dari janin sehingga
dapat dipakai untuk menentukan defek tabung saraf.11
Pecahnya membrane disebabkan oleh berbagai factor yang pada
akhirnya menyebabkan percepatan pelemahan membran. Hal ini disebabkan
oleh peningkatan sitokin local, ketidakseinmbanngan dalam interaksi matriks
metalloproteinase dan penghambat jaringan matriks metalloproteinase,
peningkatan aktivitas kolagenase dan protease, dan factor- factor lain yang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrauterine.13
21
Gambar 3. Lapisan amnion dan korion
22
Penelitian mengatakan KPD terjadi karena meningkatnya apoptosis dari
komponen sel dari membran fetal dan juga peningkatan dari enzim protease tertentu.
Kekuatan membran fetal adalah dari matriks ekstraselular amnion. Kolagen
interstitial terutama tipe I dan tipe III yang dihasilan dari sel mesenkim juga penting
dalam mempertahankan kekuatan membran fetal.
Matriks metalloprotease (MMP) adalah kumpulan proteinase yang terlibat
dalam remodeling tissue dan degenerasi kolagen. MMP-2, MMP-3, dan MMP-9
ditemukan dengan konsentrasi tinggi pada kehamilan dengan ketuban pecah dini.
Aktivasi protease ini diregulasi oleh tissue inhibitor of matrix metalloprotease
(TIMPs). TIMPs ini pula rendah dalam cairan amnion pada wanita dengan ketuban
pecah dini. Peningkatan enzim protease dan penurunan inhibitor mendukung bahwa
enzim ini mempengaruhi kekuatan membran fetal.14
Selain itu terdapat teori yang mengatakan meningkatnya marker-marker
apoptosis dimembran fetal pada ketuban pecah dini berbanding dengan membran
pada kehamilan normal. Banyak penelitian yang mengatakan aktivasi aktivitas
degenerasi kolagen dan kematian sel yang membawa kelemahan pada dinding
membran fetal.14
23
Klasifikasi KPD dibagi menjadi dua, yaitu KPD pada kehamilan
preterm, dan KPD pada kehamilan aterm. KPD preterm adalah pecah ketuban
yang terbukti dengan vaginal pooling, tes nitrazin, dan tes fern atau IGFBP-1
(+) pada usia 34 sampai kurang 37 minggu sebelum onset persalinan. KPD
sangat preterm adalah pecah ketuban saat umur kehamilan ibu antara 24
sampai kurang dari 34 minggu. Definisi preterm bervariasi pada berbagai
macam kepustakaan, namun yang paling diterima dan tersering digunakan
adalah persalinan kurang dari 37 minggu.1
Sedangkan ketuban pecah dini atau premature rupture of
membranes (PROM) adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya yang
terbukti dengan vaginal pooling, tes nitrazin, dan tes fern (+), IGFBP-1 (+),
pada usia kehamilan ≥ 37 minggu.1
Pada pasien terklasifikasikan ke dalam KPD pada kehamilan aterm,
dimana usia kehamilan 39 minggu.
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD
aterm harus meliputi 3 hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi
dan presentasi janin, dan penilaian kesejahteraan maternal dan fetal. Tidak
semua pemeriksaan penunjang terbukti signifikan sebagai penanda yang baik
dan dapat memperbaiki luaran. Oleh karena itu, akan dibahas mana
pemeriksaan yang perlu dilakukan dan mana yang tidak cukup bukti untuk
perlu dilakukan.1
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan speculum)1
KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan
visualisasi adanya cairan amnion pada pemeriksaan fisik. Dari anamnesis
perlu diketahui waktu dan kuantitas dari cairan yang keluar, usia gestasi
dan taksiran persalinan, riwayat KPD aterm sebelumnya, dan faktor
risikonya. Pemeriksaan digital vagina yang terlalu sering dan tanpa
indikasi sebaiknya dihindari karena hal ini akan meningkatkan risiko
infeksi neonatus. Spekulum yang digunakan dilubrikasi terlebih dahulu
dengan lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril dan sebaiknya tidak
24
menyentuh serviks. Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk
menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps bagian terbawah
janin (pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi dan pendataran
serviks, mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm secara
visual.
Dilatasi serviks dan ada atau tidaknya prolaps tali pusat harus
diperhatikan dengan baik. Jika terdapat kecurigaan adanya sepsis, ambil
dua swab dari serviks (satu sediaan dikeringkan untuk diwarnai dengan
pewarnaan gram, bahan lainnya diletakkan di medium transport untuk
dikultur.
Jika tidak terlihat adanya aliran cairan amnion, pasien tersebut dapat
dipulangkan dari rumah sakit, kecuali jika terdapat kecurigaan yang kuat
ketuban pecah dini. Semua presentasi bukan kepala yang datang dengan
KPD aterm harus dilakukan pemeriksaan digital vagina untuk
menyingkirkan kemungkinaan adanya prolaps tali pusat.
2. Ultrasonografi (USG)1
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk
menilai indeks cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion
atau indeks cairan amnion yang berkurang tanpa adanya abnormalitas
ginjal janin dan tidak adanya pertumbuhan janin terhambat (PJT) maka
kecurigaan akan ketuban pecah sangatlah besar, walaupun normalnya
volume cairan ketuban tidak menyingkirkan diagnosis. Selain itu USG
dapat digunakan untuk menilai taksiran berat janin, usia gestasi dan
presentasi janin, dan kelainan kongenital janin.
3. Pemeriksaan Laboratorium1
Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk menyingkirkan
kemungkinan lain keluarnya cairan/ duh dari vagina/ perineum. Jika
cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan lagi
pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika diagnosis
tidak dapat dikonfirmasi, lakukan tes pH atau biasa dikenal dengan tes
25
lakmus atau tes nitrazin. Sampel diambil dari forniks posterior vagina
(pH cairan amnion biasanya ~ 7.1-7.3 sedangkan sekret vagina ~ 4.5 - 6)
dan cari arborization of fluid dari forniks posterior vagina. Kertas
nitrazin ini tidak terjadi perubahan warna. Kertas nitrazin ini dapat
memberikan positif palsu jika tersamarkan dengan darah, semen, atau
vaginitis trichomoniasis. Jika diagnosis KPD aterm masih belum jelas
setelah menjalani pemeriksaan fisik, tes fern dapat dipertimbangkan. Tes
fern atau tes pakis adalah jika terdapat pooling dan tes nitrazin masih
samar, dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari cairan yang
diambil dari forniks posterior. Cairan diswab dan dikeringkan diatas
gelas objek dan dilihat dengan mikroskop. Gambaran “ferning”
menandakan cairan amnion.
26
Penegakan diagnosis pada pasien meliputi anamnesis, didapat
pasien mengeluhkan adanya air bewarna putih jernih, tidak ada bau maupun
darah. Kemudian dari pemeriksaan status obstetri didapatkan hasil VT
pembukaan 2 cm, portio lunak, bagian bawah hodge II, dan tampak air
ketuban yang mengalir. Untuk lebih memastikan air yang keluar merupakan
cairan ketuban perlu dianjurkan tes fern atau tes nitrazin, kemudian pada
pasien juga dianjurkan untuk melakukan USG untuk melengkapi diagnosis
untuk menilai indeks cairan amnion.
Keadaan janin biasanya dinilai dengan menghitung denyut jantung
janin (DJJ) dan memeriksa kemungkinan adanya meconium di dalam cairan
amnion. Disebut gawat janin bila ditemukan denyut jantung janin diatas
160/menit atau dibawah 100/menit, denyut jantung tidak teratur, atau
keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan. Gawat janin terjadi
bila janin tidak menerima O2 yang cukup, sehingga akan mengalami hipoksia.
Situasi ini dapat terjadi (kronik) dalam jangka waktu yang lama atau akut.
Auskultasi intermiten jantung janin telah digunakan sejak abad ke-20. Sir
Andrew claye menulis sebagai berikut, DJJ, irama, dan intensitasnya harus
diperiksa selama 2 jam selama kala I asal ketuban masih intak, jika ketuban
sudah pecah maka dilakukan pemeriksaan setiap ½ jam. Auskultasi harus
dilakukan setelah selesai suatu kontraksi untuk memberikan kesempatan pada
jantung berubah ke denyut jantung normal.
Penyebab lain gawat janin adalah sebagai berikut,
1. Persalinan berlangsung lama
Persalinan lama adalah persalinan yang terjadi lebih dari 24 jam pada
primigravida dan lebih dari 18 jam pada multigravida. Persalinan lama
dapat mengakibatkan ibu menjadi Gelisah, letih, suhu badan meningkat,
berkeringat, nadi cepat, pernapasan cepat dan meteorismus. Di daerah
lokal sering dijumpai: Bandle Ring, oedema serviks, cairan ketuban
berbau, terdapat mekonium.
27
2. Induksi persalinan dengan oksitosin
Induksi persalinan ialah suatu tindakan terhadap ibu hamil belum inpartu
baik secara operatif maupun mesinal, untuk merangsang timbulnya
kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Akibat pemberian oksitosin
yang berlebih-lebihan dalam persalinan dapat mengakibatkan relaksasi
uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta.
3. Ada perdarahan
Perdarahan yang dapat mengakibatkan gawat janin yaitu karena solusio
plasenta. Terjadinya solusio plasenta dipicu oleh perdarahan kedalam
desidua basalis. Desidua tersebut kemudian terbelah sehingga
meninggalkan lapisan tipis yang melekat pada miometrium. Sebagai
akibatnya, proses tersebut dalam stadium awal akan terdiri dari
pembentukan hematoma desidua yang menyebabkan pelepasan,
kompresi dan akhirnya penghancuran plasenta yang berdekatan dengan
bagian tersebut
4. Infeksi
Infeksi, yang disebabkan oleh pecahnya ketuban pada partus lama dapat
membahayakan ibu dan janin, karena bakteri didalam amnion menembus
amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion sehingga terjadi
bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin. Pneomonia pada janin, akibat
aspirasi cairan amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya
5. Insufisiensi plasenta
Insufisiensi uteroplasenter akut
Hal ini terjadi karena akibat berkurangnya aliran darah
uterusplasenta dalam waktu singkat, berupa: aktivitas uterus yang
berlebihan, hipertonika uterus, dapat dihubungkan dengan
pemberian oksitosin, hipotensi ibu, kompresi vena kava, posisi
terlentang, perdarahan ibu karena solusio plasenta atau solusio
plasenta
28
Insufisiensi uteroplasenter kronis
Hal ini terjadi karena kurangnya aliran darah dalam uterus plasenta
dalam waktu yang lama. Misalnya: pada ibu dengan riwayat
penyakit hipertensi
6. Kehamilan Postterm
Meningkatnya resiko pada janin postterm adalah bahwa dengan diameter
tali pusat yang mengecil, diukur dengan USG, bersifat prediktif terhadap
gawat janin pada intrapartum, terutama bila disertai dengan
oligohidramnion. Penurunan cairan amnion biasanya terjadi ketika usia
kehamilan telah melewati 42 minggu, mungkin juga pengeluaran
mekonium oleh janin ke dalam volume cairan amnion yang sudah
berkurang merupakan penyebabnya terbentuknya mekonium kental yang
terjadi pada sindrom aspirasi meconium
7. Preeklampsia
Preeklamsia dapat menyebabkan kegawatan janin seperti sindroma
distres napas. Hal tersebut dapat terjadi karena vasopasme yang
merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas kedalam lapisan otot
pembuluh darah sehingga pembuluh darah mengalami kerusakan dan
menyebabkan aliran 24 darah dalam plasenta menjadi terhambat dan
menimbulkan hipoksia pada janin yang akan menjadian gawat janin.
29
pada cairan ketuban, dan nilai pH yang rendah atau peningkatan laktat pada
kulit kepala janin.
Kondisi janin selama persalinan umumnya dapat diketahui dari
denyut jantung janin (FHR) dan pemeriksaan adanya tidaknya mekonium di
cairan ketuban. Adanya mekonium dapat merupakan kejadian fisiologis yang
merefleksikan maturitas janin. Selain itu, mekonium juga menunjukkan
adanya hipoksia janin atau peningkatan aktifitas vagal dari kompresi tali
pusat. Mekonium yang pekat dikaitkan dengan prognosa perinatal yang lebih
jelek. Aspirasi dari mekonium oleh janin merupakan masalah yang sering
dijumpai dimana aspirasi menyebabkan gangguan pernafasan jangka
panjang. Hal ini sering menyebabkan morbiditas dan mortilitas perinatal
karena hal tersebut sulit untuk dicegah.
Cardiotocography (CTG) adalah teknik untuk memonitor kesehatan
janin yang telah dipakai luas dan denyut jantung janin (FHR) merupakan
indeks penting untuk mengetahui kejadian gawat janin. Selain itu fetal scalp
blood sampling (FBS) juga digunakan untuk memonitor gawat janin
Cardiotocography memberikan informasi mengenai perkembangan janin dan
informasi kesehatan, terutama status maturitas dari sistem saraf autonomy.
Perubahan FHR menunjukkan adanya respon stimulus eksternal. Secara
umum, FHR yang rata-rata, perubahan pada FHR, akselerasi dan deselerasi
dari FHR, dan pergerakan janin merupakan parameter yang penting dalam
medis untuk mendiagnosis gawat janin.
Pada gawat janin selama persalinan dapat diketahui dengan
mekonium segar di cairan ketuban atau dengan CTG abnormal yang
menunjukkan takikardia janin, penurunan variabilitas denyut jantung,
ketiadaan akselerasi, dan adanya deselerasi. Tetapi, keduanya tidak
mengkonfirmasi hipoksia janin. Hanya dengan fetal scalp blood sampling
(FBS) yang dapat memberikan diagnosa pasti asidosis janin dan oleh
karenanya hipoksia.
Tatalaksana gawat janin melibatkan monitor secara intensif,
resusitasi intrauterin, amnioninfusion, dan persalinan segera baik secara
30
pervaginam maupun seksio sesaria. Respon utama ketika gawat janin
dideteksi atau dicurigai adalah resusitasi intrauterin yang akan meningkatkan
kondisi janin sehingga membantu menghindari intervensi yang tidak perlu.
31
3. Oksigen
Perlu ditekankan bahawa transfer oksigen pada interfase plasenta lebih
bergantung pada perfusi dibandingkan dengan kurangnya oksigen pada
sebagian bessar kasus. Sehingga penting untuk dilakukan peningkatan
perfusi pada palsenta dalam meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia
kepada janin. Beberapa pekerja menyatakan bahwa pemberian oksigen
100% pada janin yang mengalami gangguan pertumbuhan berat lebih
memberikan efek yang merugikan dibandingkan menguntungkan.
Sehingga pemberian terapi oksigen dapat memberikan perbaikan pada
sebagian kasus, tetapi tidak pada kasus dengan janin yang mengalami
gangguan pertumbuhan berat.
4. Amnioinfusion
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan volume cairan ketuban.
Amnioinfusion tidak dirujukan pada seluruh pola deselerasi. Hal ini
dikarenakan deselerasi lambat disebabkan oleh mekanisme patofisiologi
yang berbeda dibandingkan dengan deselerasi variabel dimana
amnioinfusion merupakan suatu kontraindikasi. Kontraindikasi absolut
dari prosedur ini adalah infeksi herpes genital pada ibu, pH kulit kepala
janin dibawah 7.2, deselerasi lambat pada FHR, plasenta previa, dan
solusio plasenta. Kontraindikasi relatif adalah anomali janin, ibu yang
akan segera bersalin, gestasi multipel, dan direncanakan seksio sesaria.
5. Tokolisis
Penghambatan aktivitas uterus membantu dalam aktivitas uterus
abnormal, gawat janin yang dikaitkan dengan hiperaktivitas dari uterus
dan bradikardia yang memanjang. Tokolisis juga bermanfaat dalam
seksio sesaria yang kompleks, external cephalic version at term, selama
transportasi ibu yang sedang bersalin, dan ketika ruang operasi atau
anestasiologi belum tersedia untuk dilakukannya seksio sesaria.
Penggunaan terbutaline, ritodrine, salbutamol, dan magnesium sulfat
telah banyak digunakan. Dosis bolus pada obat tokollitik dapat
menyebabkan takikardia maternal (umumnya disebabkan oleh
32
vasodilatasi perifer) dan peningkatan perfusi uteroplasental. Selain itu,
penghambatan kontraksi uterus menurunkan interupsi aliran darah ke
plasenta.
33
ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah penanganan dengan pendekatan
tanpa intervensi, sementara manajemen aktif melibatkan klinisi untuk lebih
aktif mengintervensi persalinan. Berikut ini adalah tatalaksana yang
dilakukan pada KPD berdasarkan masing-masing kelompok usia kehamilan.1
1. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan <24 minggu
Pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu dengan KPD preterm
didapatkan bahwa morbiditas minor neonatus seperti hiperbilirubinemia
dan takipnea transien lebih besar apabila ibu melahirkan pada usia
tersebut dibanding pada kelompok usia lahir 36 minggu. Morbiditas
mayor seperti sindroma distress pernapasan dan perdarahan
intraventrikular tidak secara signifikan berbeda (level of evidence III).
Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan
kehamilan adalah pilihan yang lebih baik. (Lieman JM 2005) Ketuban
Pecah Dini usia kehamilan 24 - 34 minggu. Pada usia kehamilan antara
30-34 minggu, persalinan lebih baik daripada mempertahankan
kehamilan dalam menurunkan insiden korioamnionitis secara signifikan
(p<0.05, level of evidence Ib). Tetapi tidak ada perbedaan signifikan
berdasarkan morbiditas neonatus. Pada saat ini, penelitian menunjukkan
bahwa persalinan lebih baik dibanding mempertahankan kehamilan.
2. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 34-38 minggu
Pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, mempertahankan kehamilan
akan meningkatkan resiko korioamnionitis dan sepsis (level of evidence
Ib). Tidak ada perbedaan signifikan terhadap kejadian respiratory distress
syndrome. Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa
mempertahankan kehamilan lebih buruk dibanding melakukan
persalinan
KPD MEMANJANG1
Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm.
Dibuktikan dengan 22 uji meliputi lebih dari 6000 wanita yang mengalami
KPD preterm, yang telah dilakukan meta-analisis (level of evidence Ia).
34
Terdapat penurunan signifikan dari korioamnionitis (RR 0,57;95% CI 0,37-
0,86), jumlah bayi yang lahir dalam 48 jam setelah KPD (RR 0,71; 95% 0,58-
0,87), jumlah bayi yang lahir dalam 7 hari setelah KPD (RR 0,80; 95% ci
0,71-0,90), infeksi neonatal (rr 0,68;95% ci 0,53-0,87), dan jumlah bayi
dengan USG otak yang abnormal setelah keluar dari RS (rr 0,82; 95% ci 0,68-
0,98). Sehingga dapat disimpulkan bahwa administrasi antibiotic mengurangi
morbiditas maternal dan neonatal dengan menunda kelahiran yang akan
memberi cukup waktu untuk profilaksis dengan kortikosteroid prenatal.
Pemberian co-amoxiclav pada prenatal dapat menyebabkan neonatal
necrotizing enterocolitis sehingga antibiotik ini tidak disarankan. Pemberian
eritromisin atau penisilin adalah pilihan terbaik. Pemberian antibiotik dapat
dipertimbangkan digunakan bila KPD memanjang (> 24 jam):
Jika pasien datang dengan KPD >24 jam, pasien sebaiknya tetap dalam
perawatan sampai berada dalam fase aktif. Penggunaan antibiotik IV sesuai
dengan tabel di atas.
Manajemen Aktif1
Pada kehamilan >= 37 minggu, lebih dipilih induksi awal. Meskipun
demikian, jika pasien memilih manajemen ekspektatif harus dihargai.
Lamanya waktu manajemen ekspektatif perlu didiskusikan dengan pasien dan
keputusan dibuat berdasarkan keadaan per individu. Induksi persalinan
dengan prostaglandin pervaginam berhubungan dengan peningkatan risiko
korioamnionitis dan infeksi neonatal bila dibandingkan dengan induksi
35
oksitosin. Sehingga, oksitosin lebih dipilih dibandingkan dengan
prostaglandin pervaginam untuk induksi persalinan pada kasus KPD.
Oksitosin mulai diberikan melalui infus dextrose atau garam
fisiologis dengan ketentuan sebagai berikut, 2,5 unit oksitosin dalam 500 cc
dextrose atau garam fisiologis, pemberian mulai dari 10 tetes per menit,
tetesan dinaikkan 10 tetes setiap 30 menit sampai kontraksi adekuat.
Kontraksi adekuat yang diharapkan adalah adanya 3 kali kontraksi yang
lamanya lebih dari 40 detik. Ketika kontraksi uterus adekuat telah tercapai
maka infus dipertahankan hingga terjadi kelahiran bayi. Merupakan suatu
klarifikasi objektif untuk memilih pasien yang memenuhi syarat untuk
persalinan pervaginam atau perabdominal, jika skor bishop 0-4 keberhasilan
induksi persalinan 50-60%, 5-9 keberhasilan 80-90%, lebih dari 9 mendekati
100%.
Prostaglandin sangat efektif untuk pematangan serviks selama
induksi persalinan. Pemberian prostaglandin mengurangi angka kegagalan
induksi, sehingga dapat meningkatkan jumlah persalinan pervaginam. Ada
dua unsur prostaglandin yang sejak lama merupakan fokus utama yang
digunakan pada induksi persalinan yaitu prostaglandin E1 dan E2.
Prostaglandin E1 dikenal dengan nama misoprostol atau cytotec. Sedangkan
prostaglandin E2 terdiri dari cervidil dan prepidil. Respon terkait dosis
pemberian prostaglandin mencakup pematangan serviks, distress janin,
hiperstimulasi uterus, seksio sesarea untuk penanganan distress janin, ikterik
pada neonatus. Fenomena yang terjadi sekarang ini pembukaan serviks sering
dibantu dengan pemberian misoprostol (cytotec). Misoprostol merupakan
sintetik prostaglandin E1 yang berfungsi meningkatkan kematangan serviks.
Penggunaan misoprostol dapat menurunkan penggunaan oksitosin,
memperpendek waktu persalinan. Misoprostol pervaginam diberikan dengan
dosis 25 mcg dan diberikan dosis ulang setelah 6 jam tidak ada his.Apabila
tidak ada reaksi setelah 2 kali pemberian 25 mcg, maka dosis dinaikkan jadi
50 mcg setiap 6 jam, tidak dianjurkan melebihi 50 mcg dan melebihi 4 dosis
atau 200 mcg.
36
Kemajuan pada pelayanan maternal dan manajemen PPROM pada
batas yang viable dapat mempengaruhi angka survival; meskipun demikian
untuk PPROM <24 minggu usia gestasi morbiditas fetal dan neonatal masih
tinggi. Konseling kepada pasien untuk mengevaluasi pilihan terminasi
(induksi persalinan) atau manajemen ekspektatif sebaiknya juga menjelaskan
diskusi mengenai keluaran maternal dan fetal dan jika usia gestasi 22-24
minggu juga menambahkan diskusi dengan neonatologis. Beberapa studi
yang berhubungan dengan keluaran/ outcomes, diperumit dengan
keterbatasan sampel atau faktor lainnya. Beberapa hal yang
direkomendasikan:
1. Konseling pada pasien dengan usia gestasi 22- 25 minggu menggunakan
Neonatal Research Extremely Preterm Birth Outcome Data
2. Jika dipertimbangkan untuk induksi persalinan sebelum janin viable,
tatalaksana merujuk kepada Intermountain’s Pregnancy Termination
Procedure
37
Tabel 2. Medikamentosa yang digunakan pada KPD
38
Gambar 7. Alogaritma Manajemen Ketuban Pecah Dini
39
Komplikasi pada KPD dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu
komplikasi yeng terjadi pada ibu, dan komplikasi yang terhadi pada janin,
dapat diuraikan sebagai berikut,1
1. Komplikasi Ibu
Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterin.
Infeksi tersebut dapat berupa endomyometritis, maupun korioamnionitis yang
berujung pada sepsis. Pada sebuah penelitian, didapatkan 6,8% ibu hamil
dengan KPD mengalami endomyometritis purpural, 1,2% mengalami sepsis,
namun tidak ada yang meninggal dunia.
Diketahui bahwa yang mengalami sepsis pada penelitian ini mendapatkan
terapi antibiotik spektrum luas, dan sembuh tanpa sekuele. Sehingga angka
mortalitas belum diketahui secara pasti. 40,9% pasien yang melahirkan setelah
mengalami KPD harus dikuret untuk mengeluarkan sisa plasenta,, 4% perlu
mendapatkan transfuse darah karena kehilangan darah secara signifikan. Tidak
ada kasus terlapor mengenai kematian ibu ataupun morbiditas dalam waktu
lama.
2. Komplikasi Janin
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah persalinan lebih
awal. Periode laten, yang merupakan masa dari pecahnya selaput amnion
sampai persalinan secara umum bersifat proporsional secara terbalik
dengan usia gestasi pada saat KPD terjadi. Sebagai contoh, pada sebuah
studi besar pada pasien aterm menunjukkan bahwa 95% pasien akan
mengalami persalinan dalam 1 hari sesudah kejadian. Sedangkan analisis
terhadap studi yang mengevaluasi pasien dengan preterm 1 minggu,
dengan sebanyak 22 persen memiliki periode laten 4 minggu. Bila KPD
terjadi sangat cepat, neonatus yang lahir hidup dapat mengalami sekuele
seperti malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion, necrotizing
enterocolitis, gangguan neurologi, perdarahan intraventrikel, dan
sindrom distress pernapasan.
Prognosis pada ketuban pecah dini bergantung pada kondisi ibu dan
anak, usia kehamilan, penanganan yang diberikan, dan penyulit yang ada.
40
Pada umumnya, prognosis ketuban pecah dini adalah ragu-ragu menuju baik,
namun jika disertai penyulit seperti kematian janin dan sepsis, prognosis akan
menjadi ragu-ragu menuju buruk.11
Pada pasien dilihat dari kondisi ibu dan anak serta usia kehamilan,
didapatkan prognosis dubia ad bonam untuk ad vitam, sanationam, maupun
functionam.
41
BAB IV
KESIMPULAN
42
DAFTAR PUSTAKA
43
12. Lumbantobing J, Nasution SA. Ketuban Pecah Dini. Dalam: Standar
Pelayanan Medik SMF. Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUD Dr.
Pringadi. Medan. 2014 (3) : 46-48.
13. Dayal S, Hong P. StatPearls. StatPearls Publishing; Treasure Island (FL):
Dec 6, 2018. Premature Rupture of Membranes: Available at
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532888/ . Acessed on 19
September 2019
14. Parry S, Strauss JS. Mechanism of Disease-Premature Rupture of Fetal
Membrane. New England Journal Medicine. Massachusets, 2006; 338(10):
1-8
15. Gangwar R, Chaudhary S. Caesarean Section for Foetal Distress and
Correlation with Perinatal Outcome. The Journal of Obstetrics and
Gynecology of India (September–October 2016) 66(S1):S177–S180 DOI
10.1007/s13224-015-0831-5
44