PusparagamDimensiPemikiranCakNun PDF
PusparagamDimensiPemikiranCakNun PDF
net/publication/325528366
CITATIONS READS
0 4,580
1 author:
Rony K. Pratama
Universitas Negeri Yogyakarta
161 PUBLICATIONS 3 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Rony K. Pratama on 02 June 2018.
Pusparagam Dimensi Pemikiran Cak Nun
Rony K Pratama • 2 Jun 2018 • Dibaca normal 4 menit
Maiyahan, Resensi
Memadatkan identitas Muhammad Ainun Nadjib—selanjutnya disebut Mbah Nun—merupakan usaha
simplifikatif yang acap disematkan khalayak umum. Dari budayawan, penyair, penulis, hingga pekerja
sosial, setidaknya, dilakukan jamak orang selama kurun waktu lima dekade terakhir. Fragmentarisasi
demikian didasarkan atas rekam jejaknya di jagat sosialkemasyarakatan.
Remahremah identitas yang cenderung tercerabut dari akarnya sebagai manusia otonom itu kemudian
dikumpulkan Susmasno Hadi. Melalui tesis pascasarjana yang dibukukan bertajuk Semesta Emha Ainun
Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran (2017), Sumasno mengonstruksi keutuhan pemikiran
Mbah Nun. Ia berpijak pada benang merah ontologi, epistemologi, dan aksiologi berikut studi literer
karya dan kiprah Mbah Nun guna menyibak “jalan sunyi”nya.
https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/ 1/4
6/2/2018 Pusparagam Dimensi Pemikiran Cak Nun • CakNun.com
Buku ini mendedah Mbah Nun dalam perspektif teks dan konteks. Sumasno mafhum betapa kedua
aspek struktural dari dimensi kebahasaan itu niscaya akan bersemuka dengan arasaras periodik apa,
bagaimana, dan di mana Mbah Nun melakukan pengembaraan kehidupan. Yang terucap dan yang
tetulis, dengan kata lain, saling beririsian sehingga lapisan perjalanan Mbah Nun akan terjelaskan total.
Sumasno menyadari bahwa kerja ilmiahnya meniscayakan sebuah kerangka tekstual bernama biografi.
Sekalipun sepanjang uraian tertulisnya ia seakanakan menghindari penjelasan yang sekadar berputar
pada “apa yang tampak” sebagaimana biografi konvensional. Ia memilih jalan eksploratif dengan
pendalaman fenomenologis di balik tabir “apa yang tampak” itu. Sumasno, karenanya, menawarkan
biografi pemikiran yang mendedah narasinarasi yang subtil dan elementer.
Biografi pemikiran ini disusun sebanyak 221 halaman. Sumasno mengambil posisi untuk
mengeksplanasikan fasetfaset perjalanan Mbah Nun di bagian awal agar sidang pembaca mampu
mengimajinasikan di mana dan bagaimana sebuah pemikiran berkembang secara dialektis. Dimulai dari
periode Jombang, Malioboro, Dinasti, Lautan Jilbab, ICMIPolitik, Pak Kanjeng, Padangmbulan,
Reformasi, hingga Maiyah, Sumasno secara jeli menelusuri perjalanan Mbah Nun.
Penjelajahan Mbah Nun dari tempat ke tempat, masa ke masa, dan momen ke momen itu secara implisit
berdampak pada bangunan pemahamannya. Tentu Mbah Nun bukan tipe orang yang abai terhadap
peristiwa monumental. Ia tak luput meliterasikan pengalaman kemanusiaannya itu secara rapi dan
komprehensif. Kecenderungan demikian memudahkan Sumasno melacaknya melalui buah pena. Baik
lewat esai, cerpen, puisi, reportase, maupun naskah drama karyanya dan ulasan mengenainya.
“Karyakarya Emha di sini dapat dikategorisasikan dalam empat jenis teks karya, yaitu esai, puisi,
cerpen, dan naskah drama. Kategorisasi karya ini dapat memperjelas antara karya penulisan (tekstual)
dan karya nonkepenulisan yang dihasilkan Emha” (hlm. 108).
Vakansi jagat teks Mbah Nun yang dilakukan Sumasno menyiratkan suatu pandangan hidup dan nilai
yang ajek. Konsistensi tersebut dipertautkan oleh spirit “perjuangan nilai” mengenai sikapnya yang
nonkooperatif dengan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan. Kecenderungan demikian dilakukan
Mbah Nun dengan “…sikapsikap kultural Emha [yang] lentur, dalam arti responsrespons dan
berbagai aktivitasnya yang cairmengalir dan progresif mengikuti perubahan zamannya…” (hlm. 112).
Persemukaan Mbah Nun terhadap rakyat kecil hampir dilaluinya sepanjang hidup. Ia berposisi sebagai
individu yang ringan tangan karena tak tega melihat ketidakadilan merajalela. Masyarakat lintas kelas ia
bantu dengan bentuk dan sikap yang kontekstual. Inspirasi ini kemudian membentuk idiom, analogi, dan
idiosinkrasi tulisan Mbah Nun yang kerap berangkat dari situasi empiris di lapangan. Pada titik ini
tulisan Mbah Nun diterima dan dipahami banyak orang tanpa mengenal sekatsekat baku.
https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/ 2/4
6/2/2018 Pusparagam Dimensi Pemikiran Cak Nun • CakNun.com
Sumasno mengumpulkan tataltatal pandangan filsafat Mbah Nun yang tersirat di dalam bejibun karya
kreatifnya. Seperti diketahui khalayak umum, Mbah Nun merupakan tipe penulis yang tak
mengonstruksi gagasan universalisme keilmuannya dalam satu buku khusus. Ia cenderung menyebarkan
nilainilai filsafat di semua karya tanpa terkecuali. Hampir, bahkan tak ada, satu karya kreatifnya yang
absen dari kekosongan nilai filsafat.
Atas dasar itu Sumasno mengikat percikanpercikan filsafat yang distimulus Mbah Nun berdasarkan
jagat teks yang secara produktif ditulisnya. Di luar teks, Sumasno juga menelisik “…kandungan filsafati
dalam pemikiran Emha berupa diskografi seperti rekamanrekaman lagu, musik, renungan, pembacaan
puisi, juga narasi ceramahceramah yang begitu banyaknya” (hlm. 116). Semua itu disusun Sumasno
secara sistematis agar “…butirbutir itu jadi gumpalan cahaya yang memberikan sorot kemanfaatan
inspiratif…”
Fragmenfragmen filsafat Mbah Nun dijelaskan Sumasno meliputi tiga perspektif. Pertama, dimensi
ontologi yang meliputi kosmologi, filsafat manusia, eksistensialisme, dan metafisika cinta (hlm. 113
129). Kedua, dimensi epistemologi yang mendudukan tiga ranah: kesadaran dan pengetahuan,
kebenaran, serta analogi (hlm. 131139). Ketiga, dimensi aksiologi yang berusaha menyibak persoalan
etika, estetikaseni, dan filsafat pendidikan (hlm. 143152). Kesemuanya itu dipertautkan oleh rumus
Segitiga Cinta yang mengikat kesadaran posisi antara Allah, Muhammad, dan manusia.
Praksis nilai filsafat yang diintroduksikan Mbah Nun mengguratkan pemikiran kebudayaan. Di sini
Sumasno mengakui kesulitan untuk merekonstruksi dimensi budaya yang menjadi diskursus Mbah Nun
selama melakukan “kerja sosial” di ranah mana pun. “…membahas keluasan pemikiran Emha tentang
kebudayaan—sebagaimana luasnya pengertian atau konsep mengenai kebudayaan—adalah usaha yang
berat dan sulit” (hlm. 161). Preferensi ini Sumasno jadikan pertimbangan lebih lanjut untuk mengambil
jalan tengah. Ia melimitasi pokok kajian pada tiga hal, yakni sastra, seni, dan budaya.
Soal referensi kebudayaan, Sumasno merujuk karya Mbah Nun tahun 1995 berjudul Terus Mencoba
Budaya Tanding. Buku ini menghimpun 30 esai mengenai kontemplasi pemikiran kritis atas “fenomena
kebudayaan aktual” pada periode 19801990an. Salah satu gagasan tematik yang Mbah Nun sikapi dan
mengundang polemik antara lain ihwal konsep sastra independen. Puncak dari perseteruan kritis
antarseniman dan sastrawan ini dikatakan Sumasno memuncak dalam wacana sastra kontekstual.
Kumpulan tulisan tersebut dikumpulkan Ariel Heryanto yang dibubuhi judul Perdebatan Sastra
Kontekstual (1985).
Sikap aksiologis Mbah Nun mengenai sastra diuraikan Sumasno: “…sastra harus bebas dan mampu
melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sosialpolitik. Inilah dasar dari konsep sastra
independen Emha” (hlm. 164). Pijakan yang dikuatkan Mbah Nun lewat tulisantulisan kritisnya itu
memadat pada 1984 menjadi wacana sastra pembebasan. Sebagai contoh, manakala Mbah Nun menyoal
https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/ 3/4
6/2/2018 Pusparagam Dimensi Pemikiran Cak Nun • CakNun.com
sastra (puisi), ia sekadar menempatkannya sebagai media atau metode perjuangan. Orientasi puisi,
menurut Mbah Nun, lebih pada nilai esensial atau dimensi aksiologis.
Kerja Sumasno yang dimanifestasikan di dalam buku ini patut diberi tempat sebagaimana semestinya.
Terutama di arena akademis yang mewajibkan acuan metodologis sebagai navigasi mayor guna
mendapatkan kerangka ilmiah. Lintasan pemikiran Mbah Nun yang relatif panjang serta rumit itu
disajikan Sumasno secara apik karena menggunakan bahasa yang renyah dan populer.
Terlepas dari penggunaan istilah teknis yang jamak digunakan Sumasno—apalagi tak didukung oleh
glosarium mini sebagai bantuan untuk meneroka term partikular—buku ini relevan bagi sidang pembaca
yang ingin menyelami ceruk pemikiran Mbah Nun secara kronologis. Seperti penutup yang ditulis
Sumasno, “…humanisme lentur Emha relevan untuk dibicarakan, dengan cinta yang manusiawi” (hlm.
200), buku ini menawarkan kesemestaan nilai yang tak tepermanai.
Rony K Pratama
Pembelajar di Maiyah. Jamaah Maiyah Yogyakarta dan aktif menghadiri Mocopat Syafaat.
https://www.caknun.com/2018/pusparagam-dimensi-pemikiran-cak-nun/ 4/4
View publication stats