Anda di halaman 1dari 19

Banyak peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang harus diingat oleh masyarakat, apalagi

generasi muda. Salah satunya adalah peristiwa Gerakan 30 September atau yang biasa dikenal
dengan nama G30S/PKI.

Peristiwa ini terjadi pada 30 September hingga 1 Oktober 1965 di Jakarta dan Yogyakarta ketika
enam perwira tinggi dan satu perwira menengah TNI Angkatan Darat Indonesia beserta beberapa
orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta.

Baca juga: Budiman Sudjatmiko: Ketum PRD, Dipenjara, Masuk PDIP Jadi Anggota DPR

Berikut adalah kronologi peristiwa G30S beserta sejarah dan kisah singkat pasca kejadian
tersebut yang dirangkum detikcom:

1. Sejarah Singkat G30S/PKI

G30S merupakan gerakan yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno
dan mengubah Indonesia menjadi negara komunis. Gerakan ini dipimpin oleh DN Aidit yang
saat itu merupakan ketua dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, Letkol Untung yang merupakan anggota Cakrabirawa (pasukan
pengawal Istana) memimpin pasukan yang dianggap loyal pada PKI.

Gerakan ini mengincar perwira tinggi TNI AD Indonesia. Tiga dari enam orang yang menjadi
target langsung dibunuh di kediamannya. Sedangkan lainnya diculik dan dibawa menuju Lubang
Buaya.

Jenazah ketujuh perwira TNI AD itu ditemukan selang beberapa hari kemudian.

2. Pejabat Tinggi yang Menjadi Korban

Keenam perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang menjadi korban dalam peristiwa ini adalah:

- Letnan Jendral Anumerta Ahmad Yani


- Mayor Jendral Raden Soeprapto
- Mayor Jendral Mas Tirtodarmo Haryono
- Mayor Jendral Siswondo Parman
- Brigadir Jendral Donald Isaac Panjaitan
- Brigadir Jendral Sutoyo Siswodiharjo

Sementara itu, Panglima TNI AH Nasution yang menjadi target utama berhasil meloloskan diri.
Tapi, putrinya Ade Irma Nasution tewas tertembak dan ajudannya, Lettu Pierre Andreas Tendean
diculik dan ditembak di Lubang Buaya.

Keenam jenderal di atas beserta Lettu Pierre Tendean kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan
Revolusi. Sejak berlakunya UU Nomor 20 tahun 2009, gelar ini juga diakui sebagai Pahlawan
Nasional.

Selain itu, beberapa orang lainnya juga menjadi korban pembunuhan di Jakarta dan Yogyakarta.
Mereka adalah:

- Brigadir Polisi Ketua Karel Satsuit Tubun


- Kolonel Katamso Darmokusumo
- Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto

Baca juga: Polri Pastikan Kondisi Keamanan Wamena, Pelaku Tak Incar Pendatang

3. Pasca Kejadian

Setelah peristiwa G30S/PKI rakyat menuntut Presiden Sukarno untuk membubarkan PKI.
Sukarno kemudian memerintahkan Mayor Jenderal Soeharto untuk membersihkan semua unsur
pemerintahan dari pengaruh PKI.

Soeharto bergerak dengan cepat. PKI dinyatakan sebagai penggerak kudeta dan para tokohnya
diburu dan ditangkap, termasuk DN Aidit yang sempat kabur ke Jawa Tengah tapi kemudian
berhasil ditangkap.

Anggota organisasi yang dianggap simpatisan atau terkait dengan PKI juga ditangkap.
Organisasi-organisasi tersebut antara lain Lekra, CGMI, Pemuda Rakyat, Barisan Tani
Indonesia, Gerakan Wanita Indonesia dan lain-lain.

Berbagai kelompok masyarakat juga menghancurkan markas PKI yang ada di berbagai daerah.
Mereka juga menyerang lembaga, toko, kantor dan universitas yang dituding terkait PKI.

Pada akhir 1965, diperkirakan sekitar 500.000 hingga satu juta anggota dan pendukung PKI
diduga menjadi korban pembunuhan. Sedangkan ratusan ribu lainnya diasingkan di kamp
konsentrasi.

4. Diperingati Pada Zaman Orba

Pada era pemerintahan Presiden Soeharto, G30S/PKI selalu diperingati setiap tanggal 30
September. Selain itu, pada tanggal 1 Oktober juga diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Untuk mengenang jasa ketujuh Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa ini, Soeharto
juga menggagas dibangunnya Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

5. Diabadikan dalam Film Propaganda


Pada tahun 1984, film dokudrama propaganda tentang peristiwa ini yang berjudul Penumpasan
Pengkhianatan G 30 S PKI dirilis. Film ini diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara yang
saat itu dimpimpin Brigjen G. Dwipayana yang juga staf kepresidenan Soeharto dan menelan
biaya Rp 800 juta.

Mengingat latar belakang produksinya, banyak yang menduga bahwa film tersebut ditujukan
sebagai propaganda politik. Apalagi di era Presiden Soeharto, film tersebut menjadi tontonan
wajib anak sekolah yang selalu ditayangkan di TVRI tiap tanggal 30 September malam.

Sejak Presiden Soeharto lengser pada tahun 1998, film garapan Arifin C. Noer tersebut berhenti
ditayangkan oleh TVRI. Hal ini terjadi setelah desakan masyarakat yang menganggap film
tersebut tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya.

Biografi Ahmad Yani Singkat dan Lengkap


written by Henry Hafidz

Jenderal TNI Anumerta adalah komandan Tentara Nasional Indonesia yang lahir di Purworejo
provinsi Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 dan meninggal di Sejarah Lubang Buaya kota
Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965 tepat pada umur 43 tahun karena dibunuh oleh anggota PKI
di peristiwa G30SPKI (Gerakan 30 September) ketika mencoba untuk menculik sang Jenderal
dari rumahnya. Menjadikan dia sebagai salah satu dari sepuluh pahlawan revolusi yang menjadi
korban keganasan komunisme.

Kelahiran Jenderal Ahmad Yani

Biografi Ahmad Yani lahir di Jenar Purworejo


provinsi Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922. Dia merupakan anggota keluarga
Wongsoredjo. Wongsoredjo ini mendapatkan penghasilan di pabrik gula yang dikendalikan oleh
pemilik Belanda. Tahun 1927, Yani kemudian pindah bersama keluarganya menuju ke Batavia
karena tempat kerja ayahnya yang kini bekerja untuk General Belanda. Pada tahun 1940 ketika
perang dunia masih berkecamuk, Yani memutuskan untuk menjalani program wajib militer di
tentara Hindia Belanda. Dia mempelajari topografi militer di Kota Malang Provinsi Jawa Timur.

Sayangnya pendidikannya harus terganggu ketika pasukan Jepang datang ke Indonesia pada
tahun 1942. Di waktu yang sama, Yani sekeluarganya harus kembali lagi ke Jawa Tengah.
Jepang pun meraih kemenangan di Indonesia dan berhasil meruntuhkan Hindia Belanda. Pada
tahun 1943, Yani bergabung dengan satuan tentara bernama PETA yang disponsori Jepang dan
latihan militernya berada di Magelang. Setelah pelatihan ini selesai, Yani segera mengikuti
pelatihan sebagai pemimpin peleton PETA dan dipindahkan ke Bogor provinsi Jawa Barat.
Setelah pelatihan selesai, Yani dikirim lagi ke Magelang menjadi instruktur.

Pengalaman dan Prestasi Militer Ahmad Yani

Sesudah perang Kemerdekaan selesai, Yani bergabung tentara dan berperang melawan Belanda.
Di beberapa bulan pertama setelah proklamasi kemerdekaan, Yani menciptakan dan memimpin
sebuah batalion untuk menghadapi Inggris di Magelang. Dan Yani pun berhasil menghancurkan
Inggris. Tidak berhenti di situ, Yani juga berhasil mempertahankan Magelang ketika Belanda
mencoba untuk mengambil alih Magelang. Kepahlawanannya di Magelang ini membuat Yani
mendapat julukan Juruselamat Magelang.

Selain itu, karier Yani yang menonjol selama periode mempertahankan kemerdekaan ini adalah
melakukan serangan gerilya yang dikerahkan pada awal 1949. Serangan ini berguna unutk
mengalihkan perhatian Belanda agar mereka lengah. Selagi mereka lengah, Letnan Kolonel
Soeharto mempersiapkan pasukannya untuk Serangan Umum 1 Maret yang mengarah langsung
pada Yogyakarta. Peperangan terus berlangsung hingga Belanda mengakui kemerdekaan
Indonesia.

Setelah perang mempertahankan Indonesia selesai, Yani pindah ke Tegal provinsi Jawa Tengah.
Yani beraksi lagi pada tahun 1952 ketika dia dipercaya untuk menghadapi Darul Islam. Darul
Islam adalah pemberontak yang mencoba untuk mendirikan sistem pemerintahan teokrasi di
Indonesia. Yani membentuk satuan pasukan khusus yang bernama The Banteng Raiders.
Banteng Raiders menghajar Darul Islam selama 3 tahun ke depan dan terus menderita kekalahan
satu demi satu. Perang melawan Darul Islam selesai pada tahun 1955.

Setelah menyelesaikan kasus Darul Islam, Yani berangkat ke Amerika Serikat pada Desember
1955. Dia harus belajar ilmu Komando dan Staf Umum College, Fort Leavenworth di Kansas.
Yani baru kembali pada tahun 1956 dan dia dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di
Jakarta. Di Markas Besar ini, Yani menjadi anggota staf Umum untuk Abdul Haris Nasution.
Selain itu juga menjabat sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat. Beberapa tahun
kemudian diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat untuk urusan Organisasi dan
Kepegawaian.

Yani sangat gigih mempertahankan keutuhan negara yang baru lahir ini. Mulai dari ancaman dari
luar maupun dalam. Pada Agustus tahun 1958, dia meluncurkan Operasi 17 Agustus untuk
menyelesaikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia yang memberontak di Sumatra
Barat. Pasukan Yani berhasil menguasai kembali Bukittinggi dan Padang. Setelah misi berhasil
jabatannya diangkat pada tanggal 1 September 1962 dia diangkat menjadi wakil kepala
Angkatan Darat ke-2. Baru pada tanggal 13 November 1963, Yani diangkat menjadi Kepala Staf
TNI Angkatan Darat menggantikan Jenderal Nasution. Di masa itu, sistem pemerintahan sedikit
berbeda dengan sekarang. Sehingga ketika diangkat, Yani juga sekaligus menjadi anggota
kabinet.

Peran Ahmad Yani Pada Peristiwa G 30 S PKI

Ketika masih berkuasa di awal tahun enam puluhan, gerakan politik Bung Karno cenderung lebih
condong ke Partai Komunis Indonesia atau biasa disebut PKI. Yani adalah orang yang sangat
anti-komunis dan tentunya Yani mulai waspada pada perkembangan PKI yang sangat pesat di
waktu itu. Kebenciannya terhadap komunis semakin bertambah ketika PKI memberikan
dukungan untuk membentuk angkatan kelima. Angkatan kelima adalah angkatan setelah tiga
angkatan TNI dan polisi yaitu mempersenjatai buruh dan tani. Terlebih lagi Bung Karno, di sisi
ideologi, mencoba untuk memaksa ideologi Nasionalis-Agama-Komunis atau biasa disebut
dengan Nasakom sebagai doktrin di militer.

Yani bersama Nasution terus menunda ketika Bung Karno memerintahkan mereka untuk
membuat rencana angkatan kelima pada tanggal 31 Mei 1965. Yani di malam hari tanggal 30
September itu menemui beberapa tokoh. Salah satunya adalah Jendral Basuki Rahmat yang
merupakan komandan divisi di provinsi Jawa Timur. Jendral Basuki Rahmat mengungkap
laporan dan keprihatinan akan adanya peningkatan aktivitas kaum komunis di Jawa Timur. Yani
memuji laporan dari Jendral Basuki Rahmat. Sambil mengakhiri pertemuan, Yani meminta agar
Jendral Basuki Rahmat menemani dirinya di pertemuan esok hari untuk membahas hal ini
dengan presiden.

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, Sejarah PKI pun memulai aksinya. Gerakan 30 September
dimulai dan mendatangi rumah tujuh anggota staf umum Angkatan Darat untuk menculik
mereka. Ahmad Yani termasuk staf Angkatan Darat yang ada di daftar para penculik. PKI
mengirim satu tim dari sekitar dua ratus orang ke rumah Yani yang berada di Jalan Latuhahary
No. 6 di daerah Menteng di Jakarta Pusat. Yani memiliki sebelas tentara yang menjaga
rumahnya. Istri Yani lalu memberitahu bahwa seminggu yang lalu ada tambahan sebanyak enam
orang ditugaskan kepadanya. Para tentara ini di bawah pimpinan Kolonel Latief. Sepengetahuan
Yani, Latief merupakan salah satu dari beberapa komplotan utama dalam Gerakan 30 September.

Meskipun kabarnya sudah ada orang tambahnya, istri Yani berkata bahwa dia tidak melihat
kemunculan para tentara tambahan. Kondisi rumah cenderung sepi. Yani dan anak-anaknya
sedang tidur di rumah. Istri Yani tidak ada di rumah karena dia sedang ada pesta ulang tahunnya
dengan para teman dan kerabat. Istri Yani bercerita bahwa ketika dia keluar rumah di pukul
23.00, dia menangkap ada seorang yang duduk-duduk di seberang jalan. Seperti sedang
mengawasi seakan menjaga rumah. Istri Yani tidak memikirkan apapun atau tidak curiga
sedikitpun pada saat itu. Baru setelah peristiwa tragis itu istri Yani mulai curiga. Selain itu yang
mencurigakan adalah adanya beberapa panggilan telepon jam 9 pada malam 30 September yang
diiringi oleh keheningan aneh. Panggilan telepon aneh itu terus berbunyi hingga pukul satu dini
hari dan istri Yani merasakan adanya firasat yang sangat buruk di malam 30 September itu.
Para penculik yang datang ke rumah harus membawa Yani karena Bung Karno memanggil. Yani
menyanggupi dan mengatakan bahwa dirinya membutuhkan waktu sebentar untuk mandi dan
berganti pakaian. Pasukan penculik yang datang disebut dengan Pasukan Pasopati. Penculik
menolak permintaan Yani dan tentu Yani sangat marah atas sikap mereka yang kurang ajar lalu
menampar salah satu penculik dan menutup pintu rumahnya. Salah seorang penculik kemudian
menembak dan berhasil membunuh Yani. Tubuh Yani diangkut ke daerah Lubang Buaya di
pinggiran Jakarta. Sang Jendral diseret bersama dengan para jenderal yang diculik lalu
disembunyikan di sebuah sumur yang sudah tidak terpakai.

Meninggalnya Ahmad Yani

Tubuh Yani dan para korban Gerakan 30 September yang lain diangkat dari sumur pada tanggal
4 Oktober dan tanggal 1 Oktober dijadikan sebagai sejarah hari kesaktian pancasila. Pada 5
Oktober dilakukan upacara khas kenegaraan lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di
Kalibata. Yani dan para korban Gerakan 30 September resmi dinyatakan sebagai
pahlawan Revolusi pada hari yang sama sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor
111/KOTI/1965. Secara anumerta, pangkatnya dinaikkan dari Letnan Jenderal ke Jenderal
Bintang Empat.

Istri Yani mengajak para anaknya pindah rumah setelah suaminya gugur di peristiwa Gerakan 30
September. Istri Yani juga berkontribusi untuk mengubah rumah mereka menjadi museum publik
yang membahas banyak hal khususnya penyerangan terhadap Yani pada malam yang mencekam
tahun 1965 itu. Bahkan hingga kini, lubang peluru di dinding dan pintu masih ada. Keadaan
interior rumah dan perabotannya masih sama dengan kondisi waktu itu. Ini untuk mengenang
Jenderal Ahmad Yani sang pahlawan revolusi. Selain diangkat sebagai pahlawan revolusi dan
didirikan museum, banyak jalan di kota yang dinamai Jalan Ahmad Yani. Tidak hanya jalan,
nama sang pahlawan revolusi juga diabadikan menjadi nama dari Bandar Udara Internasional di
Semarang.

Demikian informasi tentang Biografi Ahmad Yani. Biografi Ahmad Yani perlu diketahui agar
orang memahami cara hidup, dedikasi dan prestasinya di dunia militer serta kepahlawanan sang
Jenderal ketika akhir hayat dimana dia menjadi korban keganasan komunisme. Seperti yang kita
tahu, komunisme adalah ideologi yang sangat brutal dan bahkan mereka tidak ragu untuk
memfitnah dan membunuh orang-orang yang dianggap lawan politiknya. Selain Ahmad Yani,
ada banyak pahlawan di Indonesia. Contohnya adalah biografi Cut Nyak Dhien, biografi
Mohammad Hatta, biografi Pangeran Diponegoro, biografi W. R. Supratman, biografi Soeharto
dan biografi Ki Hajar Dewantara
Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto merupakan salah satu korban dalam G30SPKI, beliau
meninggal di Lubangbuaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 45 tahun, dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta. R. Suprapto dijadikan Pahlawan Revolusi oleh Soekarno berdasarkan Kepres
no. 111/KOTI/1965 .

Suprapto yang lahir di Purwokerto, 2 Juni 1920, ini boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar
Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar. Pendidikan
formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta
yang diselesaikannya pada tahun 1941.

Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya
Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie
di Bandung. Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena pasukan Jepang sudah
keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tapi kemudian ia berhasil
melarikan diri.

Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda,
latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan
Masyarakat.

Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan berhasil merebut
senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan
Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya
walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu
hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya.

Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut menjadi salah satu yang
turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu, pasukannya dipimpin
langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang pernah menjadi ajudan dari Panglima
Besar tersebut.

Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas. Pertama-tama ia


ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Dari Semarang
ia kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian Pertahanan. Dan
setelah pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi Deputy Kepala Staf Angkatan Darat
untuk wilayah Sumatera yang bermarkas di Medan. Selama di Medan tugasnya sangat berat sebab harus
menjaga agar pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang lagi.

Pada tanggal 01 Oktober dini hari, Suprapto, yang saat itu tidak bisa tidur karena sakit gigi yang
dideritanya, didatangi oleh sekawanan orang, yang mengaku sebagai pengawal kepresidenan
(Cakrabirawa), yang mengatakan bahwa ia dipanggil oleh presiden Sukarno untuk menghadap. Suprapto
kemudian dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya, daerah pinggiran kota Jakarta,
bersama dengan 6 orang lainnya.

Malam harinya, Jendral Suprapto dan keenam orang lainnya ditembak mati dan dilemparkan ke dalam
sebuah sumur tua. Baru pada tanggal 5 Oktober, jenazah para korban pembunuhan tersebut bisa
dikeluarkan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Di hari itu juga, Presiden Sukarno
mengeluarkan Kepres no. 111/KOTI/1965, yang meresmikan Suprapto bersama korban Lubang Buaya
yang lain sebagai Pahlawan Revolusi.

Biografi Letjen M.T Haryono. Dengan nama lengkap Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas
Tirtodarmo Haryono lahir di Surabaya, 20 Januari 1924 merupakan salah satu dari dari Tujuh
Pahlawan Revolusi, sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar)
kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia
sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun
tidak sampai tamat. Seorang perwira yang fasih berbicara dalam bahasa Belanda, Inggris, dan
Jerman. Kemampuannya itu membuat dirinya menjadi perwira penyambung lidah yang sangat
dibutuhkan dalam berbagai perundingan.

Perwira kelahiran Surabaya ini pernah menjadi Sekretaris Delegasi Militer Indonesia pada
Konferensi Meja Bundar, Atase Militer RI untuk Negeri Belanda dan terakhir sebagai Deputy III
Menteri/ Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia
yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang
mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara
Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor.

Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun
1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung,
kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu
kali ia juga pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu
sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika
diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer
Indonesia.

Tenaga M.T. Haryono memang sangat dibutuhkan dalam berbagai perundingan antara
pemerintah RI dengan pemerintah Belanda maupun Inggris. Hal tersebut disebabkan karena
kemampuannya berbicara tiga bahasa internasional yakni bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman.
Terakhir ketika ia menjabat Deputy III Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad),
pengaruh PKI juga sedang marak di Indonesia. Partai yang merasa dekat dengan Presiden
Soekarno dan sebagian rakyat itu semakin hari semakin berani bahkan semakin merajalela.

BACA JUGA : Biografi dan Profil Ahok - Biodata Basuki Tjahaja Purnama

Ide-ide yang tidak populer dan mengandung resikO tinggi pun sering dilontarkan oleh partai
komunis itu. Seperti ide untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani atau yang disebut dengan
Angkatan Kelima. Ide tersebut tidak disetujui oleh sebagian besar perwira AD termasuk oleh
M.T. Haryono sendiri dengan pertimbangan adanya maksud tersembunyi di balik itu yakni
mengganti ideologi Pancasila menjadi komunis. Di samping itu, pembentukan Angkatan Kelima
tersebut sangatlah memiliki resiko yang sangat tinggi. Namun karena penolakan itu pula, dirinya
dan para perwira lain dimusuhi dan menjadi target pembunuhan PKI dalam pemberontakan
Gerakan 30 September 1965.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono bersama enam
perwira lainnya yakni: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta Suprapto;
Letjen.TNI Anumerta S Parman; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta
Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh
secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya tanpa
prikemanusiaan. M.T. Haryono yang tewas karena mempertahankan Pancasila itu gugur sebagai
Pahlawan Revolusi. Ia kemudian dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Sebagai
penghargaan atas jasa-jasanya, pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian
dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal.

Monumen Pancasila Sakti

Untuk menghormati jasa para Pahlawan Revolusi sekaligus untuk mengingatkan bangsa ini akan
peristiwa penghianatan PKI tersebut, dengan demikian diharapkan peristiwa yang sama tidak
akan terulang kembali, maka oleh pemerintahan Soeharto ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap
tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Dan di daerah
Lubang Buaya, Jakarta Timur di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangunlah Tugu
Kesaktian Pancasila sebagai tugu peringatan yang berlatar belakang patung ketujuh Pahlawan
Revolusi tersebut.
Mau copy artikel ini? Jangan lupa sertakan sumber link : https://www.biografiku.com/biografi-
letjen-mt-haryono/

Biografi Letjen S. Parman. Bernama lengkap Letjen.


Anumerta Siswondo Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agustus 1918. Dia
merupakan salah satu dari tujuh pahlawan revolusi dan korban kebiadaban PKI. Pria kelahiran
Wonosobo, Jawa Tengah ini merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang kegiatan
rahasia PKI karena itulah dirinya termasuk salah satu di antara para perwira yang menolak
rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani. Penolakan
yang membuatnya dimusuhi dan menjadi korban pembunuhan PKI. Pendidikan umum yang
pernah diikutinya adalah sekolah tingkat dasar, sekolah menengah, dan Sekolah Tinggi
Kedokteran. Namun sebelum menyelesaikan dokternya, tentara Jepang telah menduduki
Republik sehingga gelar dokter pun tidak sampai berhasil diraihnya.

Setelah tidak bisa meneruskan sekolah kedokteran, ia sempat bekerja pada Jawatan Kenpeitai. Di
sana ia dicurigai Jepang sehingga ditangkap, namun tidak lama kemudian dibebaskan kembali.
Sesudah itu, ia malah dikirim ke Jepang untuk mengikuti pendidikan pada Kenpei Kasya Butai.
Sekembalinya ke tanah air ia kembali lagi bekerja pada Jawatan Kempeitai.
Awal kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yaitu
Tentara RI yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan. Pada akhir bulanDesember, tahun
1945, ia diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara (PT) di Yogyakarta.

Selama Agresi Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang gerilya. Pada
bulan Desember tahun 1949 ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya.
Salah satu keberhasilannya saat itu adalah membongkar rahasia gerakan Angkatan Perang Ratu
Adil (APRA) yang akan melakukan operasinya di Jakarta di bawah pimpinan Westerling.
Selanjutnya, pada Maret tahun 1950, ia diangkat menjadi kepala Staf G. Dan setahun kemudian
dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan pada Military Police School.

BACA JUGA : Biografi Thariq bin Ziyad, Kisah Panglima Islam Terkenal Penakluk Spanyol

Sekembalinya dari Amerika Serikat, ia ditugaskan di Kementerian Pertahanan untuk beberapa


lama kemudian diangkat menjadi Atase Militer RI di London pada tahun 1959. Lima tahun
berikutnya yakni pada tahun 1964, ia diserahi tugas sebagai Asisten I Menteri/Panglima
Angkatan Darat (Men/Pangad) dengan pangkat Mayor Jenderal. Ketika menjabat Asisten I
Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) ini, pengaruh PKI juga sedang marak di
Indonesia. Partai Komunis ini merasa dekat dengan Presiden Soekarno dan sebagian rakyat pun
sudah terpengaruh. Namun sebagai perwira intelijen, S. Parman sebelumnya sudah banyak
mengetahui kegiatan rahasia PKI. Maka ketika PKI mengusulkan agar kaum buruh dan tani
dipersenjatai atau yang disebut dengan Angkatan Kelima. Ia bersama sebagian besar Perwira
Angkatan Darat lainnya menolak usul yang mengandung maksud tersembunyi itu. Dengan dasar
itulah kemudian dirinya dimusuhi oleh PKI.

Maka pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965, dirinya
menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan pada tanggal 1 Oktober 1965
dinihari, Letjen. TNI Anumerta S. Parman bersama enam perwira lainnya yakni Jend. TNI
Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta Suprapto; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono;
Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI
Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara membabi buta dan
jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya tanpa prikemanusiaan.

S. Parman gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila. Bersama enam
perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang
sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal
sebagai penghargaan atas jasa-jasanya.

Mayor Jendral TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo adalah seorang perwira tinggi TNI-AD yang diculik
dan kemudian dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September di Indonesia. Sutoyo Siswomiharjo yang
lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 28 Agustus 1922 termasuk ke dalam salah satu Pahlawan Revolusi 1965.

Kehidupan awal
Sutoyo Siswomiharjo menyelesaikan sekolahnya sebelum invasi Jepang pada tahun 1942, dan selama
masa pendudukan Jepang, ia belajar tentang penyelenggaraan pemerintahan di Jakarta. Dia kemudian
bekerja sebagai pegawai pemerintah di Purworejo, namun mengundurkan diri pada tahun 1944.

Karier militer
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Sutoyo bergabung ke dalam bagian Polisi Tentara Keamanan
Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Hal ini kemudian menjadi Polisi Militer Indonesia.
Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto, komandan Polisi Militer. Ia terus
mengalami kenaikan pangkat di dalam Polisi Militer, dan pada tahun 1954 ia menjadi kepala staf di
Markas Besar Polisi Militer. Dia memegang posisi ini selama dua tahun sebelum diangkat menjadi
asisten atase militer di kedutaan besar Indonesia di London. Setelah pelatihan di Sekolah Staf dan
Komando Angkatan Darat di Bandung dari tahun 1959 hingga 1960, ia diangkat menjadi Inspektur
Kehakiman Angkatan Darat, kemudian karena pengalaman hukumnya, pada tahun 1961 ia menjadi
inspektur kehakiman/jaksa militer utama.

Kematian
Sama seperti Pahlawan Revolusi lainnya, Sutoyo Siswomiharjo meninggal saat terjadinya Gerakan 30
September 1965. Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, anggota Gerakan 30 September yang dipimpin
oleh Sersan Mayor Surono masuk ke dalam rumah Sutoyo di Jalan Sumenep, Menteng, Jakarta Pusat.
Mereka masuk melalui garasi di samping rumah. Mereka memaksa pembantu untuk menyerahkan
kunci, masuk ke rumah itu dan mengatakan bahwa Sutoyo telah dipanggil oleh Presiden Soekarno.
Mereka kemudian membawanya ke markas mereka di Lubang Buaya. Di sana, dia dibunuh dan tubuhnya
dilemparkan ke dalam sumur yang tak terpakai. Seperti rekan-rekan lainnya yang dibunuh, mayatnya
ditemukan pada 4 Oktober dan dia dimakamkan pada hari berikutnya. Dia secara anumerta
dipromosikan menjadi Mayor Jenderal dan menjadi Pahlawan Revolusi.

Sutoyo Siswomiharjo meninggal di Lubang Buaya, Jakarta pada 1 Oktober 1965 saat berusiar 43 tahun,
Beliau menjadi Pahlawan Revolusi pada 5 Oktober 1965 atas Keppres No. 111/KOTI/1965

Monumen Pancasila Sakti

BACA JUGA : Biografi Teuku Umar, Kisah Heroik Perjuangan Pahlawan Nasional Dari Aceh
Untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, oleh pemerintah Orde Baru ditetapkanlah
tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur
nasional. Dan di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, di depan sumur tua tempat jenazah
ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut.
Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.

Mau copy artikel ini? Jangan lupa sertakan sumber link : https://www.biografiku.com/biografi-
letjen-s-parman/

Pierre Tendean lahir tanggal 21 Februari 1939, tepat 80 tahun yang lalu. Sejarah mencatat,
perwira militer TNI berdarah Manado-Perancis ini menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan
30 September (G30S) 1965. Oleh pemerintah RI, Pierre Tendean ditetapkan sebagai pahlawan
revolusi. Sebenarnya, Pierre Tendean bukanlah target utama penculikan pada malam Jumat
kelabu itu. Yang dibidik adalah atasan Pierre, Jenderal Abdul Haris Nasution, perwira tinggi
TNI-AD sekaligus Menteri Pertahanan RI saat itu. Ya, Pierre Tendean adalah ajudan Nasution.
Namun, justru ia yang menjadi korban salah sasaran, selain putri sang jenderal, Ade Irma
Suryani, juga Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun yang berjaga di kediaman Wakil Perdana
Menteri Johannes Leimena yang rumahnya berdekatan dengan rumah Nasution. Pierre Tendean
sejatinya sudah merencanakan pergi dari Jakarta sebelum tanggal 30 September 1965 untuk
merayakan ulang tahun ibunya yang tinggal di Semarang. Akan tetapi, ia terpaksa menunda
rencananya karena ada tugas mengawal Nasution, hingga terjadilah malapetaka itu. Baca juga:
Ade Irma Terbunuh Karena Jadi Perisai A.H. Nasution Berikut ini jejak-rekam Pierre Tendean
dalam kronik: 1939 Pierre Andries Tendean dilahirkan di Jakarta tanggal 21 Februari 1939.
Ayahnya, A.L. Tendean, merupakan seorang dokter kelahiran Manado, Sulawesi Utara.
Sedangkan sang ibunda, Maria Elizabeth Cornet, adalah perempuan blasteran Indo-Perancis.
__________________________________ 1958 Sejak kecil, Pierre Tendean sudah bercita-cita
menjadi prajurit, atau setidaknya menjadi dokter seperti ayahnya. Tahun 1958, ia diterima di
Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung. Baca juga: Kematian Tragis Seorang
Ajudan, Pierre Tendean __________________________________ 1961 Pierre Tendean lulus
dari akademi militer dengan menyandang pangkat letnan dua. Pada 1961, ia ditugaskan menjadi
Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Sumatera Utara.
__________________________________ 1962 Setahun di Sumatera Utara, Pierre Tendean
dikirim ke Bogor untuk menjalani pendidikan intelijen. Setelah lulus, ia bergabung dengan Dinas
Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) dan disusupkan ke Malaysia yang kala itu sedang
terlibat konfrontasi dengan Indonesia. Baca juga: Usman dan Harun, Marinir Indonesia
Digantung di Singapura __________________________________ 1965 Pierre Tendean naik
pangkat menjadi letnan satu pada 1965 dan ditugaskan sebagai ajudan Jenderal Abdul Haris
Nasution. Malam hari tanggal 1 September 1965, pasukan pimpinan Pelda Djaharup sebanyak
satu kompi bersenjata dan satu peleton milisi sipil komunis menyambangi rumah Nasution.
Mendengar suara gaduh, Pierre Tendean terjaga dan segera melihat apa yang terjadi. Tak
disangka, ia ditodong senapan oleh para penculik yang mengira Pierre adalah Jenderal Nasution.
Ia dibawa ke Lubang Buaya dan ditembak mati di sana. Baca juga: Ajal M.T. Haryono Dijemput
Boengkoes dari Cakrabirawa Jasad Pierre Tendean dan beberapa jenderal TNI-AD ditemukan,
kemudian dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, pada 5 Oktober 1965.
Pemerintah RI menetapkan Pierre Tendean sebagai salah satu pahlawan revolusi dan secara
anumerta dipromosikan menjadi kapten.

Baca selengkapnya di artikel "Sejarah 21 Februari 1939: Lahirnya Pierre Tendean Pahlawan
Revolusi", https://tirto.id/dhuu

Karel Satsuit Tubun atau disebut juga K.S Tubun merupakan salah satu pahlawan revolusi, pahlawan
yang ikut menjadi korban G30SPKI pada 1965. Dia dilahirkan di Tual, Maluku Tenggara tanggal 14
Oktober 1928. Karel Satsuit Tubun dijadikan Pahlawan Revolusi pada 5 Oktober 1965 dengan Keppres
No. 114/KOTI/1965.

Pada tahun 1941 Karel lulus dari Sekolah Dasar dan langsung mendaftarkan diri di Kepolisian. Setamat
mengikuti pendidikan kepolisian, Karel diangkat menjadi polisi dengan pangkat AIP (Agen Polisi Tingkat)
II dan kemudian ditempatkan dalam kesatuan Brigade Mobil (Brimob) di Ambon. Karel kemudian
dipindahtugaskan ke Jakarta.
Di Jakarta dia ikut dalam operasi militer di Irian ketika pembebasan irian barat dari Belanda. Setelah
keberhasilan tersebut dia diberi tugas untuk mengawal kediaman wakil perdana menteri Dr. J.Leiman
yang membuat pangkatnya naik menjadi Brigadir Polisi.

Karel Satsuit Tubun menjadi salah satu korban PKI ketika dia menjaga rumah Dr.J. Leiman. Pada waktu
itu PKI merasa terancam dan menganggap para Pimpinan Angkatan Darat sebagai penghalang utama
cita cita mereka. Maka PKI merencanakan untuk melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap
sejumlah Perwira Angkatan Darat yang dianggap membahayakan rencana operasi mereka. Dan salah
satu sasarannya adalah Jenderal A.H. Nasution yang bertetangga dengan rumah Dr.J. Leimena yang
dijaga oleh K.S. Tubun.

Saat Gerakan itu dimulai, Karel Satsuit Tubun sedang kebagian tugas jaga pagi, maka ia menyempatkan
diri untuk tidur. Para penculik pun datang, pertama-tama mereka menyekap Para Pengawal rumah Dr.J.
Leimena. Karena mendengar suara gaduh maka K.S.Tubun pun terbangun dengan membawa senjata ia
mencoba menembak para gerombolan PKI tersebut. Malang, gerombolan itu pun juga menembaknya.
Karena tidak seimbang K.S.Tubun pun tewas seketika setelah peluru pasukan PKI menembus tubuhnya.

Atas segala jasa-jasanya selama ini, serta turut menjadi korban Gerakan 30 September maka pemerintah
memasukannya sebagai salah satu Pahlawan Revolusi Indonesia, bersama dengan Jenderal Ahmad Yani,
Letjen R. Suprapto, Letjen M.T. Haryono, Letjen S. Parman, Mayjen Sutoyo, Mayjen D.I. Pandjaitan,
Brigjen Katamso, Kolonel Sugiono dan Kapten CZI Pierre Tendean. Selain itu pula pangkatnya dinaikkan
menjadi Ajun Inspektur Dua Polisi. Namanya juga kini diabadikan menjadi nama sebuah Kapal Perang
Republik Indonesia dari fregat kelas Ahmad Yani dengan nama KRI Karel Satsuit Tubun (356).

KARIR
Anggota Polri
Polisi Brimob Pangkat Agen Polisi Kelas Dua
Polisi Brimob Pangkat Agen Polisi Kelas Satu
Polisi Brimob Brigadir Polisi
Polisi Pangkat Ajun Inspektur Dua Polisi.

PENGHARGAAN
Pahlawan Revolusi pada tanggal 5 Oktober 1965.
Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo yang lahir pada hari Senin, 5 Februari 1923 adalah salah satu
pahlawan nasional Indonesia yang terbunuh dalam peristiwa G.30S/PKI, namun ia tidak mengalaminya
bersama para jenderal lainnya di Jakarta, melainkan di Jogjakarta, sekalipun dalam hari dan peristiwa
yang sama. Beliau meninggal pada 22 Oktober 1965.

Selama masa mudanya, Katamso Darmokusumo menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar dan Sekolah
Menengah. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan tentara Peta di Bogor.

Setelah kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, beliau mengikuti TKR yang perlahan lahan berubah
menjadi TNI. Selama masa agresi militer belanda, pasukan yang dipimpinnya sering bertempur untuk
mengusir Belanda dari Indonesia. Sesudah pengakuan Kedaulatan, beliau diserahi tugas untuk
menumpas pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah.

Pada tahun 1958 Ketika beliau menjabat sebagai Komandan Batalyon “A” Komando Operasi 17 Agustus
yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani, terjadilah peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta.

Pada tahun 1963, beliau menjabat sebagai Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro yang
berkedudukan di Yogkakarta. Untuk menghadapi kegiatan PKI di daerah Solo, beliau aktif membina
mahasiswa. Mahasiswa mahasiswa itu diberi pelatihan militer.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 di Yogyakarta, disaat terjadi upaya kudeta oleh Partai Komunis Indonesia
dengan penculikan para jenderal di Jakarta, G.30 S/PKI pun berhasil menguasai RRI Jogjakarta, Markas
Korem 072 dan mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi.

Pada sore harinya mereka menculik Komandan Korem 072, Kolonel Katamso dan Kepala Staf Korem
Letnan Kolonel Sugiono dan membawanya ke daerah Kentungan. Kedua perwira tersebut dipukul
dengan kunci mortar dan tubuhnya dimasukan dalam sebuah lubang yang sudah disiapkan. Kedua
jenazah baru ditemukan pada tanggal 21 Oktober 1965 dalam keadaan rusak, setelah dilakukan
pencarian secara besar-besaran.

Dan pada tanggal 22 Oktober 1965 beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta.
Katamso Darmokusumo diangkat menjadi Pahlawan Revolusi pada 19 Oktober 1965 atas Keppres No.
118/KOTI/1965.

Pendidikan:
Sekolah Menengah Pendidikan Militer: Pembela Tanah Air (PETA), Bogor

Karir:
Shodanco Peta di Solo
Komandan Kompi di klaten
Komandan Kompi Batalyon 28 Divisi IV
Komandan Batalyon "A" Komando Operasi 17 Agustus
Kepala Staff Resimen Team Pertempuran (RTP) II Diponegoro
Kepala Staff Resimen Riau Daratan Kodam III/17 Agustus
Komando Pendidikan dan Latihan (Koplat) merangkap Komandan Pusat
Pendidikan Infanteri (Pusdikif) di Bandung
Komandan Resort Militer korem 072, Komando Daerah Militer (Kodam) VII Diponegoro di Yogyakarta.

Pengghargaan
Gelar Pahlawan Revolusi (SK Presiden RI No. 118/KOTI/Tahun 1965, tanggal 19 Oktober 1965)

Nama Lengkap : Sugiyono Mangunwiyoto

Alias : No Alias

Profesi : Pahlawan Nasional

Tempat Lahir : Gedaren, Gunungkidul


Tanggal Lahir : Kamis, 12 Agustus 1926

Zodiac : Leo

Warga Negara : Indonesia

Istri : Supriyati
Anak : R. Erry Guthomo, R. Agung Pramuji, R. Agung Pramuji, R. Danny Nugroho, R.
Budi Winoto, R. Ganis Priyono, Rr. Sugiarti Takarina
BIOGRAFI

Sugiyono Mangunwiyoto adalah salah satu pahlawan revolusi RI. Dia dilahirkan pada 12
Agustus 1926 di Gedaren, Gunungkidul. Ia adalah anak kesebelas dari 14 bersaudara.

Ayahnya, Kasan Sumitrorejo adalah petani sekaligus Kepala Desa Gedara. Sugiyono pernah
mengikuti Sekolah Guru di Wonosari. Namun selesai sekolah, ia tidak menjadi guru.

Dia kemudian memutuskan untuk masuk dalam militer setelah dia memahami Situasi penjajahan
Jepang malah memicu Sugiyono untuk terjun di dunia militer.

Setelah ikut serta dalam Peta (Pembela Tanah Air), Sugiyono diangkat sebagai Budanco
(Komandan Peleton) di Wonosari. Seperti para Pahlawan Revolusi lainnya, Sugiyono pun ikut
bergabung ketika Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk dan diganti menjadi Tentara
Keamanan Rakyat (TKR).

Sugiyono menikah dengan Supriyati. Mereka memiliki anak enam orang laki-laki; R. Erry
Guthomo (l. 1954), R. Agung Pramuji (l. 1956), R. Haryo Guritno (l. 1958), R. Danny Nugroho
(l. 1960), R. Budi Winoto (l. 1962), dan R. Ganis Priyono (l. 1963); serta seorang anak
perempuan, Rr. Sugiarti Takarina (l. 1965), yang lahir setelah ayahnya meninggal. Nama
Sugiarti Takarina diberikan oleh Presiden Sukarno.

Sugiyono meninggal pada 2 Oktober 1965 setelah terjadi peristiwa G30S PKI, Sugiyono dipukul
hingga tewas. Mayatnya dimasukkan ke dalam lubang. Lokasi lubang ini baru ditemukan
pemerintah tanggal 21 Oktober 1965.
Di dalam lubang yang sama pula, mayat Kolonel Katamso ditemukan. Berdasarkan Surat
Keputusan Presiden R.I No. 111/KOTI/1965, tanggal 5 Oktober 1965, beliau turut dianugerahi
gelar Pahlawan Revolusi.

Riset dan Analisa oleh Nur Laila

KARIR

 Komandan Seksi 1 Kompi 2 Batalyon 10 Resimen 3 di Yogyakarta. Pangkat Letnan Dua.


 Ajudan Komandan Batalyon 30 Resimen 22
 Ajudan Komandan Brigade 10 Divisi III, Letnan Kolonel Suharto
 Perwira Operasi Brigade C di Yogyakarta
 Komandan Kompi 4 Batalyon 411 Brigade C di Purworejo
 Wakil Komandan Batalyon 441 di Semarang. Saat ini pangkatnya sudah Kapten.
 Komandan Batalyon 441/Banteng Raiders III. Pangkatnya sudah Mayor.
 Komandan Komandi Distrik Militer (Kodim) 0718 di Pati.
 Komandan Kodim di Yogyakarta sekaligus Pejabat Sementara Kepala Staf Korem 072.
Pangkatnya sudah Letnan Kolonel.

PENGHARGAAN

 Bintang RI II
 Bintang Gerilya
 Bintang Sewindu ABRI
 Satya Lencana Kesetiaan XVI Tahun
 Satya Lencana Perang Kemerdekaan I
 Satya Lencana Perang Kemerdekaan II
 Satya Lencana Gerakan Operasi Militer I
 Satya Lencana Gerakan Operasi Militer II
 Satya Lencana Gerakan Operasi Militer IV
 Satya Lencana Sapta Marga
 Satya Lencana Satya Dharma
 Pahlawan Revolusi

Anda mungkin juga menyukai