Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PANCASILA

“KASUS PELANGGARAN SILA KE 2”

Disusun Oleh :

Kiki sulastri amelia

134180032

TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN


PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2019
A. Kasus Kekerasan Pada Anak
Kronologi Kejadian Kasus Penelantaran 5 Orang Anak di Cibubur
Pasangan suami Utomo Permono (45) dan istri Nur Indriasari (42) yang
menelantarkan kelima anak mereka resmi menyandang status tersangka. Penetapan status
itu diputuskan setelah penyidik menerima hasil analisis psikologi Utomo dan Nuri yang
menunjukkan keduanya menentarkan anaknya dengan kesadaran penuh.
Kelima anak yang ditelantarkan itu berinisial D (8) serta 4 saudarinya, C dan L (10),
D (8), Al (5), dan DA (3). Nasib D sangatlah malang. Dia mondar mandir mengendarai
sepeda selama sebulan di Perumahan Citra Gran Cibubur. Pada siang hari D mondar-
mandir di perumahan tersebut, ke rumah tetangga dan ke tempat-tempat lainnya selain
rumah. Kemudian malam harinya, D tidur di pos jaga. Selain tidak diperbolehkan masuk
rumah, Dani juga sudah tidak bersekolah sejak sebulan lalu.
D memang bukan anak jalanan. Tapi hidupnya sama terlantarnya dengan mereka yang
di jalanan. Entah apa yang terjadi padanya, hingga bocah tersebut mulai berani mencuri.
Dari sandal, sepatu, hingga makanan milik warga pernah diambil bocah tersebut.
Krishna Murti mengatakan, selain hasil kejiwaan pelaku, polisi juga mengantongi 2
alat bukti, yaitu hasil visum fisik anak dan keterangan saksi ahli tentang kondisi psikis
anak. Dari hasil visum et repecentrum, kondisi fisik kelima anak yang ditelantarkan
mengalami gizi buruk. Selain itu ada bekas luka di kaki anak D (8) yang menunjukkan
masa penyembuhan lukanya lama akibat pukulan benda tumpul. Dari 2 hal tersebut
dianggap sebagai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh penyidik.
Dengan ditetapkannya Tomo dan Nuri sebagai tersangka, maka keduanya dijerat pasal
berlapis yaitu Pasal 76B juncto 77B dan Pasal 80 juncto 76C Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 44 atau Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT. “Pasal-pasal tersebut karena kedua pelaku
terbukti melakukan penelantaran dan kekerasan terhadap anak mereka dalam kurun
waktu 2014-2015,” jelas Krishna.
Saat menggeledah rumah milik pasangan suami istri UP alias T dan NS, kondisi
rumah 2 lantai itu sangat memprihatinkan, berantakan dan banyak sampah. Polisi
mendapati 4 anak perempuan dalam kondisi fisik yang buruk. Mereka seperti kekurangan
gizi dan tertekan. Saat polisi dan KPAI hendak mengamankan anak-anak malang
tersebut, sang ayah mencoba menghalau dan bersikeras ia berhak melakukan perbuatan
itu karena ia ayah kandung kelima anak.
Keduanya pun digelandang ke Polda Metro Jaya untuk diperiksa sebagai saksi. Saat
pengembangan kasus, polisi menemukan paket sabu di dalam kamar tidur kedua pelaku.
Keduanya lalu ditetapkan sebagai tersangka atas kasus kepemilikan narkoba dan
diserahkan ke Direktorat Narkotika, sembari menjalani pemeriksaan kejiwaan. (Sumber:
liputan6.com tanggal 17 Juni 2015)

B. Opini Tentang Kasus Kekerasan Pada Anak


Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan
emosional, atau pengabaian terhadap anak. Sebagian besar terjadi kekerasan terhadap
anak di rumah anak itu sendiri dengan jumlah yang lebih kecil terjadi di sekolah, di
lingkungan atau organisasi tempat anak berinteraksi. Menurut Undang-undang
Perlindungan anak No 23 Tahun 2002, Kekerasan terhadap anak dalam arti kekerasan
dan penelantaran anak adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik maupun
emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi
lain yang mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap
kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak-
anak atau kekuasaan.
Seharusnya kekerasan terhadap anak bukan suatu kultur dan ini yang harus diluruskan
dalam program pencegahan deteksi dini. Serta perlunya pemahaman di sekolah, rumah,
dan anggota keluarga, bahwa memukul anak yang diklaim sebagai suatu proses
pembelajaran agar lebih baik, justru itu merupakan satu bentuk kekerasan kepada anak.
Kasus kekerasan pada anak ini memang miris untuk terdengar oleh telinga kita
sebagai warga Indonesia. Tentu hal ini telah melenceng dari sila kedua Pancasila, yaitu
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Karena dalam sila kedua terkandung nilai-nilai
humanistis yang harus kita terapkan pada segala aspek kehidupan, antara lain:
1. Pengakuan terhadap adanya martabat manusia dengan segala hak asasinya yang harus
dihormati oleh siapapun.
2. Perlakuan yang adil terhadap sesama manusia.
3. Pengertian manusia beradab yang memiliki daya cipta, rasa, karsa dan iman, sehingga
nyatalah bedanya dengan makhluk lain.

Nilai-nilai tersebut akan semakin pudar jika kita tidak segera menghentikan
kebiasaan-kebiasaan buruk orang yang mendidik anak dengan menggunakan kekerasan
sebagai alat disiplin yang sebenarnya tidak ada pengaruh positif bagi anak.

Bentuk kekerasan pada anak sendiri terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan secara
verbal, dan kekerasan secara mental. Hal ini terlihat jelas pada kasus penelantaran 5
orang anak di Cibubur tersebut. Kedua orang tuanya telah melakukan ketiga bentuk
kekerasan tersebut yaitu berupa adanya bekas luka di kaki anak akibat pukulan benda
tumpul, kelima anak tersebut mengalami gizi buruk, dan lebih mirisnya menelantarkan
mereka di jalanan. Hal ini akan sangat berdampak buruk pada kelangsungan hidup anak-
anak tersebut baik terhadap mental maupun psikisnya.

C. Solusi Untuk Kasus Kekerasan pada Anak


Sebagai bentuk penegakan hukum di Indonesia, kekerasan terhadap anak sudah
melanggar sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Dan itu tertulis pula dalam Undang-
undang yang menyinggung tentang perlindungan anak. Hukuman kepada pelaku sangat
penting untuk membuat efek jera dan takut untuk mengulangi tindak kekerasan yang
sama. Kekerasan terhadap anak memiliki dampak sangat dalam sehingga pelaku haruslah
dihukum. Semua sanksi dari bentuk kekerasan sudah tercantum di dalam undang-undang,
hanya saja penerapannya masih perlu pendalaman lebih jauh tentang kasusnya. Namun,
kekerasan tersebut dapat di minimalisir atau dicegah.
Tindakan pencegahan diperlukan untuk menekan tingkat frekuensi kekerasan yang
melanggar keberadabannya sesama manusia. Kiat yang bisa dilakukan untuk itu adalah :
1. Membantu anak melindungi diri
Dengan memberikan pemahaman dan mengajarkan anak untuk menolak segala
perbuatan yang tidak senonoh dengan segera meninggalkan di mana sentuhan terjadi.
Mengingatkan anak untuk tidak gampang mempercayai orang asing dan membuat
anak untuk selalu menceritakan jika terjadi sesuatu pada dirinya.

2. Pembekalan ilmu bela diri


Bela diri dapat digunakan untuk membela diri sendiri dari ancaman-ancaman yang
ada. Namun tetap harus diberikan pengarahan bahwa ilmu bela diri dipelajari bukan
untuk melakukan kekerasan.
3. Maksimalkan peran sekolah
4. Sekolah harus memiliki fungsi kontrol sosial, yakni sekolah memiliki assesment
(penilaian) terhadap perilaku anak. Sekolah juga harus menggagas aktivitas-aktivitas
internal sekolah yang bersifat positif.
5. Pendidikan budi pekerti
Salah satu solusi untuk mencegah krisis moral yang melanda di kalangan generasi
penerus adalah mengajarkan budi pekerti, baik di rumah maupun di sekolah.
6. Melaporkan kepada pihak berwajib
Hal ini bertujuan agar segera diambil tindakan lebih lanjut terhadap tersangka dan
mengurangi angka kejahatan yang sama terjadi.

D. KRONOLOGI PENYERANGAN DI LAPAS CEBONGAN


Sholahuddin Al Ayyubi Jum'at, 5 April 2013 − 00:28 WIB, Sindonews.com -
Penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta berawal
ketika mantan kopassus yang bernama Sertu Sriyono yang notebene rekan seangkatan
dari pelaku, mengalami pembacokan oleh korban Lapas 2B Cebongan, Sleman
Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan Sriyono tersungkur dan tewas di tempat kejadian.
Mengetahui rekan seangkatannya tewas di tangan korban Lapas 2B Cebongan, sebelas
rekan seangkatan Sriyono langsung menyimpan dendam terhadap empat orang yang
mengeksekusi Sriyono di tempat kejadian.
Selanjutnya, rekan-rekan Sriyono yang tergabung dalam grup 2 kopassus, seusai
latihan dari Gunung Lawu, langsung mendatangi Lapas Cebongan. "Mereka adalah
anggota kopassus, jadi sangat mudah untuk menemukan lapas, dimana pelaku yang
menewaskan rekan seangkatannya" ujar Ketua TIM Investigasi, Wakil Komandan Pusat
Polisi Militer, Brigjen TNI Unggul K Yudhoyono saat konferensi Pers di Kartika Media
Center, Jakarta Pusat (4/4/2013).
Dengan bersenjatakan enam pucuk senjata, jenis senjata AK 47 berjumlah tiga buah
yang dibawa dari tempat latihan, dan tiga pucuk senjata lainnya adalah replika AK 47
dan pistol.
Kemudian, Ketua TIM Investigasi, Wakil Komandan Pusat Polisi Militer, Brigjen
TNI Unggul K Yudhoyono mengungkapkan, bahwa datangnya kesebelas rekan
seangkatan Sriyono menggunakan dua unit kendaraan, yaitu satu unit mobil Avanza
berwarna biru dan satu lagi menggunakan kendaraan APV berwarna hitam.
Lalu terdapat satu kendaraan lagi yaitu mobil feroza yang diisi oleh dua orang
kopassus untuk mencegah kejadian tersebut, namun tidak berhasil untuk dicegah.Setelah
sampainya di lapas cebongan, grup dua kopassus tersebut langsung mendatangi petugas
piket yang berjaga disana. Saat ditodongkan senjata AK 47, akhirnya petugas lapas
membuka pintu lapas dan menunjukkan ruang tahanan tersebut. Saat dimintai keterangan
terkait dengan CCTV lapas, Brigjen TNI Unggul K Yudhoyono menjelaskan gerakan
kopassus itu sudah seperti ninja, karena mereka memang sudah dilatih untuk cepat dan
tidak terdeteksi.

E. PELANGGARAN TERHADAP SILA KE 2 YANG DILAKUKAN DALAM KASUS


PENEMBAKAN DI LAPAS CEBONGAN
Kasus Cebongan ini terkait dengan pelanggaran HAM yang tidak sesuai nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila Sila Ke 2. Pelanggaran yang pertama adalah
menghilangkan hak untuk hidup bagi seseorang. Dimana empat tahanan dibunuh dengan
cara ditembak berkali-kali di kepala. Bahkan penembakan tetap dilakukan meskipun
empat tahanan tersebut sudah dalam keadaan tewas.
Pelanggaran yang selanjutnya adalah pelanggaran hak untuk tidak mendapat
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Hal ini terjadi saat
sipir lapas tidak mau untuk membukakan pintu sebelum mendapat ijin dari pemimpin
lapas terlebih dahulu namun pelaku tersebut mengancam akan meledakkan pintu dengan
granat. Sesaat setelah kepala keamanan datang, pintu gerbang dibuka. Saat itulah belasan
pelaku masuk ke dalam lapas. Mereka menggunakan senjata laras panjang dan
menodongkannya ke penjaga. Sebagian di antaranya masuk ke penjagaan lapis dalam
sembari menodong dan menyandera sipir. Selain itu sipir juga dianiaya dan diseret oleh
pelaku sampai terlihat bercak darah di lantai penjara. Dua sipir yang terluka dalam
kejadian tersebut adalah Widiatmoko (35) yang mengalami luka pada bagian mulut dan
gigi depan tanggal dan Nugroho Putro (30) yang mengalami luka bengkak diwajah
terhantam gagang senjata.
Pelanggaran lainnya adalah hak untuk memperoleh keadilan. Dimana empat tahanan
tersebut mendapat perlakuan atas pembunuhan diluar prosedur hukum. Seharusnya
mereka hanya mendapat hukuman kurungan, tetapi pelaku tersebut menghakimi sendiri
terhadap empat tahanan. Kegiatan menghakimi sendiri ini tentu melanggar hukum dan
hak asasi manusia.
Selain itu pelanggaran yang terjadi adalah pelanggaran atas rasa aman. Di mana dalam
kasus ini menimbulkan rasa takut dan khawatir yang dialami oleh para tahanan, aparat
kepolisian, petugas lapas, warga NTB yang berada di DIY karena salah satu dari
keempat tahanan merupakan warga asli NTB, serta warga DIY secara umum.
Berdasar pelanggaran-pelanggaran tersebut selain juga tidak sesuai dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila Sila Ke 2 perlakuan tersebut juga telah melanggar
undang-undang. Pasal yang terkait dengan Kasus Cebongan tersebut adalah Undang-
undang pidana pasal 351-358 KUHP tentang penganiyaan dan pasal 185, 338-340, 342,
343, dan 350 KUHP yang berkaitan tentang pembunuhan.
F. SOLUSI
Melihat persoalan-persoalan yang telah diuraikan di atas, kita dapat mengetahui
berbagai masalah tentang pelanggaraan nilai-nilai Pancasila terutama sila ke 2. Padahal
seharusnya masyarakat bisa dapat dengan mudah mewujudkan milai-nilai sila ke 2,
karena seluruh nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila berasal dari masyarakat itu
sendiri. Kenyataannya masalah sepele tentang saling menghargai sesama manusia dan
memperlakukan orang lain sebagai manusia seutuhnya saja tidak mampu.
Dengan melihat semua masalah tersebut, sebaiknya langkah pertama yang dilakukan
pemerintah adalah lebih memberikan penyuluhan kepada masyarakat kususnya
masyarakat golongan atas. Hal ini dikarenakan pelanggaran-pelanggaran nilai Pancasila
yang berat justru sering dilakukan oleh kalangan atas. Seperti pada kasus di atas, justru
para anggota kopassus lah yang menghakimi tersangka pengeroyokan, bukan masyarakat
biasa. Oleh karena itu, mereka yang sering disebut berpendidikan harus difasilitasi oleh
pemerintah agar benar-benar menjadi orang yang berpendidikan, bukan hanya difasilitasi
berupa uang yang hanya akan membuat mereka merasa berkuasa.
Selain itu, hukum yang ada seharusnya juga ditegaskan. Bukan hanya masyarakat
biasa yang melanggar hukum yang dipidana, tapi kalangan atas seperti anggota kopassus
juga pantas untuk dipidana, bukan hanya sebatas pencabutan jabatan saja. Pemerintah
perlu mendengarkan suara dari masyarakat kecil, karena justru merekalah yang bisa
berfikir secara netral dan tidak memihak siapapun. Percuma jika para pejuang di zaman
dahulu bertumpah darah untuk menyatukan negeri ini jika pemerintahan yang sekarang
tidak berusaha menjaga kesatuan tersebut. Selain dasar negara, Pancasila juga perlu
dianggap sebagai peninggalan kaum terdahulu dan harus dijaga baik secara simbolik
maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai