Dampak Fanatisme Beragama Terhadap PDF
Dampak Fanatisme Beragama Terhadap PDF
Dampak Fanatisme Beragama Terhadap PDF
OLEH :
NPM : (1865201045)
Tujuan:
Karya Ilmiah ini Disusun penulis untuk memenuhi tugas individu mata kuliah
Bahasa Indonesia, dan untuk menambah wawasan baik penulis maupun rekan-rekan
yang mengkaji nya
Disusun Oleh :
Menyetujui,
Hartinah, M.Pd
Dosen Pembimbing
ii
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang senantiasa memberikan
banyak nikmat tiada henti kepada kita, sehingga tidak ada alat secanggih apapun yang
dapat menghitung nikmat yang diberikan oleh-Nya. Shalawat serta salam semoga
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah berjuang menyiarkan ajaran Islam
dari zaman jahiliah ke zaman yang ilmiah seperti sekarang ini.
Pada zaman ini pelbagai fenomena fanatisme sangat berkembang pesat tanpa
kita sadari, Dengan retorika yang sedemikian rupa, membuat fanatisme itu dapat
berkembang semakin cepat dikalangan masyarakat awam, penulis menyadari dogma
fanatisme sudah meresahkan teman, keluarga dan masyarakat karna sudah terpapar
dogma tersebut. Maka, dengan seizin Allah penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah
yang berjudul “Dampak Fanatisme Beragama Terhadap Kehidupan Sosial dan
Politik”.
Penulis pun menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang
konstruktif untuk menyempurnakan isi dan penampilan karya ilmiah ini.
iii
Daftar Isi
BAB I ........................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 2
1.4. Kerangka Teori .............................................................................................. 2
1.5. Sumber Data .................................................................................................. 3
1.6. Metode dan Teknik Penelitian ....................................................................... 4
BAB II .......................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN .......................................................................................................... 5
2.1. Fanatisme ....................................................................................................... 5
2.2. Agama ........................................................................................................... 7
2.3. Politik .......................................................................................................... 10
2.4. Fanatisme Beragama ................................................................................... 14
2.5. Politik dalam Agama ................................................................................... 18
2.6. Fanatisme Politik ......................................................................................... 21
BAB III ...................................................................................................................... 24
PENUTUP .................................................................................................................. 24
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 24
3.2 Saran ............................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 25
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Allah suatu otoritas politis dianggap sah untuk mengawasi pikiran, keinginan, dan
iman individu. Secara amat ganjil, kekhawatiran akan keselamatan jiwa-jiwa pun
menjelma menjadi teror atas masyarakat. Buah yang dapat dituai di ruang publik
adalah benturan ideologis antara “iman kita” dan “iman mereka” yang memicu konflik
massa. Penuainya tentu saja bukan agama, melainkan para pembiak kekuasaaan yang
secara licik menggunakan agama sebagai bahan bakar untuk memobilisasi massa.
Agama mempunyai sifat yang suci, agama tidak lagi menjadi moderat, tidak
lagi toleran tetapi dia menjadi ekstrem, karena agama menjadi defense politik maka
agama menjadi rusak. Agama berubah menjadi alat kuasa untuk mengalihkan Motivasi
berkorban kepada Allah ke dalam kesediaan untuk menumpahkan darah demi
kepentingan ideologis yang picik.
2
Fanatisme merupakan fenomena yang sangat penting dalam budaya modern,
pemasaran, serta realitas pribadi dan di sosial masyarakat, hal ini karena budaya
sekarang sangat berpegaruh besar terhadap individu dan hubungan yang terjadi di diri
individu menciptakan suatu keyakinan dan pemahaman berupa hubungan, kesetian,
pengabdian, kecintaan, dan sebagainya (Seregina dkk, 2011:12 ).
Fanatisme didefinisikan sebagai pengabdian yang luar biasa untuk sebuah
objek, di mana "pengabdian" terdiri dari gairah, keintiman, dan dedikasi, dan "luar
biasa" berarti melampaui, rata-rata biasa yang biasa, atau tingkat. Objek dapat
mengacu pada sebuah merek, produk, orang (misalnya selebriti), acara televisi, atau
kegiatan konsumsi lainnya. Fanatik cenderung bersikeras terhadap ide-ide mereka
yang menganggap diri sendiri atau kelompok mereka benar dan mengabaikan semua
fakta atau argumen yang mungkin bertentangan dengan pikiran atau keyakinan (Chung
dkk, 2008:333).
Johan Kaspar Bluntschli dalam buku The Teory of the State: “Ilmu Politik
adalah ilmu yang memerhatikan masalah kenegaraan, dengan memperjuangkan
pengertian dan pemahaman tentang negara dan keadaannya, sifat-sifat dasarnya, dalam
berbagai bentuk atau manifestasi pembangunannya.” (The science which is concerned
with the state, which endeavor to understand and comprehend the state in its
conditions, in its essentials nature, in various forms or manifestations its development).
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta
tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta agama yang berarti
"tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal
dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
3
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian
lapangan dengan melakukan wawancara kepada sumber-sumber terkait.
2. Data sekunder, adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, berupa
bahan-bahan tertulis, seperti buku teks, media cetak dan lain-lain yang
berkaitan dengan pembahasan yang ada dalam penelitian
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Fanatisme
Fanatisme adalah paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan
terhadap sesuatu secara berlebihan. Filsuf George Santayana mendefinisikan
fanatisme sebagai, "melipat gandakan usaha Anda ketika Anda lupa tujuan Anda" dan
menurut Winston Churchill, "Seseorang fanatisme tidak akan bisa mengubah pola
pikir dan tidak akan mengubah haluannya". Bisa dikatakan seseorang yang fanatik
memiliki standar yang ketat dalam pola pikirnya dan cenderung tidak mau
mendengarkan opini maupun ide yang dianggapnya bertentangan.
Menurut definisinya, Fanatisme biasanya tidak rasional atau keyakinan
seseorang yang terlalu kuat dan kurang menggunakan akal budi sehingga tidak
menerima paham yang lain dan bertujuan untuk mengejar sesuatu. Adanya fanatisme
dapat menimbulkan perilaku agresi dan sekaligus memperkuat keadaan individu yang
mengalami deindividuasi untuk lebih tidak terkontrol perilakunya. (Wikipedia)
Awal abad 21 ini bisa dibilang sebagai era fanatisme. Setelah dua pesawat
menghantam Word Trade Center di New York pada 2001 lalu, dunia seolah dikejutkan
oleh fanatisme agama dan politik yang berakar begitu dalam pada kelompok-
kelompok radikal di berbagai belahan dunia. Fanatisme itu berujung pada tindakan-
tindakan yang mengancam keselamatan orang lain, terutama orang-orang yang
memiliki identitas berbeda dengan kelompok tersebut.
Di daerah-daerah berbahasa Arab, atau yang lebih kita kenal sebagai Timur
Tengah, perang dan ketegangan antara beragam kelompok fanatik terus berlangsung.
Dalam konteks ini, kita bisa menemukan dua tipe fanatisme, yakni fanatisme agama
dan fanatisme politik. Di Mesir, misalnya, ada kekhawatiran besar, bahwa negara
tersebut akan tersungkur kedalam fanatisme religius yang bisa membangkitkan konflik
raksasa dengan negara sekitarnya. Di Indonesia, beragam gerakan yang amat
bertentangan dengan UUD 1945 justru tumbuh menjamur di berbagai pelosok negeri.
Pemerintah seolah membiarkan, dan masyarakat pun akhirnya hidup dalam suasana
resah terus menerus. Diskriminasi dan rasisme mengental begitu dalam di dalam
5
ingatan kolektif sekaligus aktivitas sehari-hari orang Indonesia. Orang merasa takut,
hanya karena ia memiliki identitas yang berbeda. Fanatisme bagaikan api yang siap
disulut oleh bensin untuk menjadi api raksasa yang menghancurkan sekitarnya.
(https://www.researchgate.net/publication/329528359_FANATISME_TERORISME_BERK
EDOK_ISLAM)
Jenis-jenis fanatisme
Ada beberapa jenis klasifikasi fanatisme, yaitu :
• Fanatisme etnis
• Fanatisme nasional
• Fanatisme ideologi
• Fanatisme agama
• Fanatisme olahraga
Tentunya setiap segala sesuatu itu mempunyai baik-buruk, positif-negatif nya.
Sama halnya dengan fanatisme, sisi positif fanatisme adalah militansi yang tinggi dan
juga loyalitas tanpa batas. Jika kita memanfaatkan sisi positif dari adanya fanatisme
kita akan menjadi makhluk sosial yang sangat di segani tetapi jika hanya sisi negatif
yang kita terapkan maka akan menjadi sebuah alat penghancur yang sangat untuk di
lebur. Bahkan jika fanatisme yang negatif di lestarikan maka akan muncul isme-isme
yang lain. Diri kita adalah oknum yang paling rentan terhadap sesuatu yang seperti ini,
jika tidak memiliki bekal yang cukup akan pengetahuan tentang ilmu sosial budaya,
bermasyarakat, atau bergaul dengan sesama.
Bahkan di dalam fanatisme terdapat fanatik-fanatik yang terkadang
merongrong fanatisme itu sendiri. benar sekali juga manusia itu memiliki hak
prerogatif masing-masing dan untuk bebas untuk menentukan jalan hidupnya sendiri-
sendiri. tetapi jika kebebasan satu orang ini menciderai kebebasan lebih dari satu orang
maupun pihak apakah akan tetap kita tinggal diamkan, tentu tidak bukan?. pemikiran
yang sederhana kita butuhkan untuk hal yang besar dan pemikiran yang kompleks
untuk hal yang simple dan mungkin kelihatannya cenderung remeh. kita adalah muda.
kita hebat karena kita erat. kita adalah penerus bangsa. selamatkan bangsa dengan apa
6
yang kita lakukan sekarang. gunakan segala sesuatu pada tempatnya. fanitisme boleh
kita pakai asal sesuai dengan porsi dan dosis yang standart kepentingan.
2.2. Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta
tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya. Kata "Agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama (आगम) yang
berarti "tradisi". Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal
dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Menurut filolog Max Müller, akar kata bahasa Inggris "religion", yang dalam
bahasa Latin religio, awalnya digunakan untuk yang berarti hanya "takut akan Tuhan
atau dewa-dewa, merenungkan hati-hati tentang hal-hal ilahi, kesalehan" ( kemudian
selanjutnya Cicero menurunkan menjadi berarti " ketekunan " ). Max Müller menandai
banyak budaya lain di seluruh dunia, termasuk Mesir, Persia, dan India, sebagai bagian
yang memiliki struktur kekuasaan yang sama pada saat ini dalam sejarah. Apa yang
disebut agama kuno hari ini, mereka akan hanya disebut sebagai "hukum".
Banyak bahasa memiliki kata-kata yang dapat diterjemahkan sebagai "agama",
tetapi mereka mungkin menggunakannya dalam cara yang sangat berbeda, dan
beberapa tidak memiliki kata untuk mengungkapkan agama sama sekali. Sebagai
contoh, dharma kata Sanskerta, kadang-kadang diterjemahkan sebagai "agama", juga
berarti hukum. Di seluruh Asia Selatan klasik, studi hukum terdiri dari konsep-konsep
seperti penebusan dosa melalui kesalehan dan upacara serta tradisi praktis. Jepang
pada awalnya memiliki serikat serupa antara "hukum kekaisaran" dan universal atau
"hukum Buddha", tetapi ini kemudian menjadi sumber independen dari kekuasaan.
Tidak ada setara yang tepat dari "agama" dalam bahasa Ibrani,
dan Yudaisme tidak membedakan secara jelas antara, identitas keagamaan nasional,
ras, atau etnis. Salah satu konsep pusat adalah "halakha" , kadang-kadang
diterjemahkan sebagai "hukum" ",yang memandu praktik keagamaan dan keyakinan
dan banyak aspek kehidupan sehari-hari. Penggunaan istilah-istilah lain, seperti
7
ketaatan kepada Allah atau Islam yang juga didasarkan pada sejarah tertentu dan
kosakata.
Definisi Agama
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan
cara menghambakan diri, yaitu:
• menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal
dari Tuhan, dan
8
• menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan.
9
kejiwaan. Akhirnya manusia hidup dalam kehampaan nilai dan makna. Ketika itu
agama hadir untuk memberikan makna. Ibarat orang tengah kepanasan di tengah
Padang Sahara. Agama berfungsi sebagai pelindung yang memberikan keteduhan dan
kesejukan, serta memiliki ketentraman hidup.
Dengan demikian, ajaran agama mencakup berbagai dimensi kehidupan
manusia (multi dimensional) senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan dan tidak pernah mengenal istlah ketinggalan zaman (out of date).
Kedua fungsi tersebut tetap berlaku dan dibutuhkan dalam kehidupan sosial. Etika
mendukung keberadaan agama, dimana etika sanggup membantu manusia dalam
menggunakan akal pikiran untuk memecahkan masalah. Etika mendasarkan diri pada
argumentasi rasional sedangkan agama mendasarkan pada wahyu Tuhan. Dalam
agama ada etika dan sebaliknya. Agama merupakan salah satu norma dalam etika.
Berdasarkan kedua fungsi tersebut di atas, manusia dapat meningkatkan dan
mengembangkan dirinya menjadi manusia yang memiliki yang peradaban yang tinggi.
(https://media.neliti.com/media/publications/231177-hubungan-etika-dan-agama-
dalam-kehidupan-b0d43e84.pdf).
2.3. Politik
Dalam kehidupan kita sehari-hari istilah “politik” sudah tidak begitu asing,
karena segala sesuatu yang dilakukan atas dasar kepentingan kelompok atau
kekuasaaan seringkali diatas namakan dengan label politik. Dalam Roget’s Trusty
Thesaurus, pelaku politik (politisi) diartikan sama dengsn perbuatan korupsi, pembuat
rusuh, tukang protes, penipu, dan semacamnya. Politik dicitrakan dengan perbuatan
tidak jujur, curang, tega, kotor, dan jahanam. Sebuah penyimpangan perilaku yang
keluar dari tatanan kehidupan normal.
Istilah ilmu politik pertama kali digunakan oleh Jean Bodin di Eropa pada
1576, kemudian Thomas Fitzherbert dan Jeremy Bentham pada 1606. Tetapi istilah
politik yang dimaksud ialah ilmu negara sebagaimana tertulis dalam karya-karya
sarjana Eropa daratan yang bersifat institusional yudiris, sementara yang berkembang
di Amerika adalah teori politik. Konsepsi teori politik sebagai ilmu negara bukan lagi
dalam pengertian institusi yang statis, tetapi lebih maju dengan melihat negara sebagai
10
lembaga politik yang memengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh karna itu, definisi-
definisi politik belakangan ini lebih banyak memberi tekanan kepada negara dalam
hubungannya dengan dinamika masyarakat seperti dibuat oleh Kaspar Bluntschli
“politics is the science which is concerned whit the state, which endeavors to
understand and comprehend the state in condition, in its essential nature, its various
forms of manifestation, its development.” Bahkan Harold D. Lasswell lebih tegas
merumuskan politik sebagai ilmu tentang kekuasaaan “when we speak of the science
of politics, we mean the science of power”. (Hafied Cangara, 2016:22)
Miriam Budiardjo (2017:13) mengatakan, ilmu politik adalah yang politik atau
politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di
Indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loh jinawi. Orang Yunani Kuno terutama
Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the god life. Menurut
Anderw Heywood “politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk
membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang
mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja
sama.”
Disamping itu ada definisi-definisi lain yang lebih bersifat pragmatis.
Perbedaan-perbedaan dalam definisi yang kita jumpai disebabkan karena setiap
sarjana meneropong hanya satu aspek unsur dari politik. Unsur ini diperlukannya
sebagai konsep pokok yang akan dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lain.
Etika Politik
Sebagai usaha ilmiah, filsafat pun dibagi dalam beberapa cabang, terutama
menurut bidang yang dibahas. Dua cabang utama filsafat adalah filsafat teoritis dan
filsafat praktis. Yang pertama mempertanyakan yang ada, sedangkan yang kedua,
bagaimana manusia harus bersikap terhadap apa yang ada itu. Jadi, filsafat teoritis
mempertanyakan apa itu manusia, alam, apa hakikat realitas sebagai keseluruhan, apa
itu pengetahuan, apa yang kita ketahui tentang Yang Transenden dan sebagainya.
Dalam hal ini, teoritis pun mempunyai suatu maksud yang praktis karena pemahaman
yang dicarinya diperlukan manusia untuk mengarahkan kehidupannya. Filsafat yang
11
langsung mempertanyakan praktis manusia adalah etika, etika mempertanyakan
tanggung jawab dan kewajiban manusia.
Etika sendiri dibagi lagi kedalam etika umum dan etika khusus. Etika umum
mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia,
sedangkan Etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan
kewajiban manusia dalam pelbagai lingkup kehidupannya. Etika politik
mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia-sebagai manusia dan bukan
hanya sebagai warga negara-terhadap negara, hukum yang berlaku, dan lain
sebagainya. Dua-duanya, kebaikan manusia sebagai manusia dan kebaikannya sebagai
warga negar, memang tidak identik. Aristoteles menulis bahwa identitas antara
manusia yang baik dan warga negara yang baik hanya terdapat apabila negara sendiri
baik. Apabila negara itu buruk, maka orang baik sebagai warga negara, yang didalam
segala-galanya sesuai dengan aturan negara buruk itu, adalah buruk.(Franz Magnis-
Suseno, 2018:7)
Menurut Eko Handoyo, dkk (2016:14) Etika adalah filsafat atau pemikiran
kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.
Bagaimana seseorang harus hidup, dibicarakan dalam moral; sedangkan etika hendak
mengkaji tentang mengapa seseorang harus mengikuti ajaran moral tertentu atau
bagaimana ia mengambil sikap yang bertanggung jawab ketika dihadapkan pada
berbagai ajaran moral.
Kebebasan dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu kebebasan sosial politik dan
kebebasan individual. Subjek kebebasan sosial politik adalah bangsa atau rakyat,
sedangkan kebebasan individual adalah manusia perorangan. Kebebasan tidak
bersifat absolut atau mutlak, tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan baik kepada
Tuhan, negara, masyarakat, dan dirinya sendiri.
Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang bersifat saling melengkapi atau
komplementer. Sebagaimana keyakinan kelompok utilitarianisme, hak dan kewajiban
memiliki hubungan timbal balik. Dalam pandangan utilitarianis, setiap kewajiban
seseorang berkaitan dengan hak orang lain, demikian pula sebaliknya, setiap hak
seseorang berkaitan dengan kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut.
Mereka berkeyakinan bahwa hakyang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya,
12
tidak pantas disebut hak. Pandangan kaum utilitarianisme ini tidak sepenuhnya benar.
Ia mengingkari hak mutlak atau absolut yang dimiliki Tuhan. Tuhan memilikisemua
hak, yakni ketundukan dari semua makhluk-Nya, tetapi tidak mengharuskan Tuhan
untuk memenuhi kewajiban kepada makhluk-Nya. Tidak hanya Tuhan yang harus
senantiasa memenuhi kewajiban kepada umat-Nya, kewajiban legal kepada negara
juga termasuk kewajiban yang tidak berkorelasi dengan hak yang dapat dituntut oleh
warga negara.
Secara formal, filsafat politik, termasuk etikanya. Dibandingkan terhadap
ilmu-ilmu politik seperti ilmu pengetahuan tingkat II terhadap ilmu-ilmu pengetahuan
tingkat I, begitu pula penggambaran segi-segi relevan dimensi politis manusia,
perumusan istilah-istilah, dan dalil-dalil yang membantu untuk mendkripsikan proses-
proses berlangsung, penyediaan strategi-strategi alternative dalam kerangka skema
tujuan-sarana, pengamatan terhadap segala macam lembaga politis atau quasi politis,
terhadap kegiatan-kegiatan dan hubungan antara mereka. Filsafat politik sebagai ilmu
tingkat II mengupas argumentasi dan pernyataan-pernyataan ilmu politik dari segi
hakikat dan realitas manusia, dan secara spesifik, mempersoalkan pola-pola legitimasi
dan tuntutan-tuntutan normatif dasar yang dikemukakan. Dalam kerangka ini, tugas
etika politik harus ditentukan.
Secara lebih rinci, kita bisa membedakan antara tiga tingkatan kriteria bagi
betul-salahknya tindakan politik. Di tingkatan pertama dan paling umum, kita
menemukan prinsip-prinsip moral dasar, misalnya prinsip keadilan. Prinsip-prinsip
tingkat dua bersifat menengah dan sudah mengacu ke suatu bidang permasalahan
tertentu, misalnya bahwa kekuasaaan harus dilegitimasi secara demokratis. Tingkat
tiga menyangkut kriteria-kriteria penilaian yang sesuai dengan zaman dan situasi.
Komunikasi Politik
Kajian Komunikasi politik awalnya berakar pada ilmu politik, meskipun
penamaan lebih banyak dikenal dengan istilah propaganda. Ini dimulai pada tahun
1922 dengan penelitian dari Ferdinand Tonnies dan Walter Lippmann tentang opini
publik pada masyarakat, kemudian dilanjutkan oleh Begehot, Maine, Bryce, dan Graha
Wallas di inggris yang menelaah peranan pers dan pembentukan opini publik.
13
Sedangkan di Indonesia, pada awalnya perhatian untuk membicarakan
Komunikasi politik justru tumbuh di kalangan para sarjana Ilmu Politik dari pada
sarjana Ilmu Komunikasi itu sendiri. Tetapi tidak terlalu ketinggalan, sebab
pertengahan decade 1980-an jurusan-jurusan Ilmu Komunikasi sudah mulai banyak
mengajarkan studi Komunikasi Politik, sekalipun belum focus dan masih banyak
didukung oleh materi opini publik dan efek media massa terhadap perilaku politik.
Menurut Dahlan (1999) Komunikasi politik ialah suatu bidang atau disiplin
yang menelaah perilaku dan kegiatan kamunikasi yang bersifat politik, mempunyai
akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik. Untuk menghindari kajian
Komunikasi politik itu tidak hanya bicara tentang kekuasaaan, maka Doris Graber
mengingatkan dalam tulisannya Political Language (1981) bahwa Komunikasi politk
tidak hanya retorika, tetapi juga mencakup simbol-simbol Bahasa, seperti Bahasa
tubuh serta tindakan-tindakan politik misalnya boikot, protes, dan untuk rasa.
Dengan demikian, pengertian Komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai
suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol Komunikasi yang
berisi pesan-pesan politik dari seorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan
untuk membuka wawasan atau cara berfikir, serta memengaruhi sikap dan tingkah laku
khalayak yang menjadi target politik.
14
yang mengarah pada dogmatisme pengetahuan khsusunya agama.( Karlina Supelli,
dkk., 2011:238)
Dalam jurnalnya Indah Fitri,dkk. Mengatakan, Awal abad 21 ini bisa dibilang
sebagai era fanatisme. Setelah dua pesawat menghantam Word Trade Center di New
York pada 2001 lalu, dunia seolah dikejutkan oleh fanatisme agama dan politik yang
berakar begitu dalam pada kelompok-kelompok radikal di berbagai belahan dunia.
Fanatisme itu berujung pada tindakan-tindakan yang mengancam keselamatan orang
lain, terutama orang-orang yang memiliki identitas berbeda dengan kelompok tersebut.
Di daerah-daerah berbahasa Arab, Di daerah-daerah berbahasa Arab, atau yang lebih
kita kenal sebagai Timur Tengah, perang dan ketegangan antara beragam kelompok
fanatik terus berlangsung. Dalam konteks ini, kita bisa menemukan dua tipe fanatisme,
yakni fanatisme agama dan fanatisme politik. Di Mesir, misalnya, ada kekhawatiran
besar, bahwa negara tersebut akan tersungkur ke dalam fanatisme religius yang bisa
membangkitkan konflik raksasa dengan negara sekitarnya.
Di Indonesia, beragam gerakan yang amat bertentangan dengan UUD 1945
justru tumbuh menjamur di berbagai pelosok negeri. Pemerintah seolah membiarkan,
dan masyarakat pun akhirnya hidup dalam suasana resah terus menerus. Diskriminasi
dan rasisme mengental begitu dalam di dalam ingatan kolektif sekaligus aktivitas
sehari-hari orang Indonesia. Orang merasa takut, hanya karena ia memiliki identitas
yang berbeda. Fanatisme bagaikan api yang siap disulut oleh bensin untuk menjadi api
raksasa yang menghancurkan sekitarnya.
15
Pandangan itu menjadi sulit terbantah tatkala Indonesia juga dilanda aksi
kekerasan berbentuk peledakan bom seperti tragedi Bali dan Hotel Marriot Jakarta.
Kasus di Bali dan Jakarta ini terasa menyulitkan Indonesia untuk menolak atau
setidaknya berapologi kalau tragedi di Bali itu misalnya, Indonesia dipopulerkan
melakukan support to terrorism dan sebagai state of terorrism, karena (asumsi dan
hipotesisnya) di negara ini telah memberikan kebebasan bagi masing-masing pemeluk
agama untuk mengimplementasikan dan mengembangkan ajaran agamanya, termasuk
fundamentalisme beragama.(Indah Fitri,dkk.)
fundamentalisme menjadi akar bagi fanatisme, hal itu bisa menjadikan para
penganut, entah menjadi ekstremis atau penganut agama yang lebih moderat. Jadi, bisa
dikatakan bahwa fundamentalisme merupakan akar dari ekstrimisme (Unnever &
Cullen, 2006: 1). Seorang ekstremis biasanya memilih jalan kekerasan untuk
memaksakan apa yang mereka percayai pada orang lain. Kadang kita mendengar berita
bahwa mereka melakukan pembajakan pesawat dan meledakkan bangunan seperti
hotel dan fasilitas umum yang menimbulkan banyak korban jiwa.
Para ekstremis dengan rela melakukannya meskipun harus mengorbankan
nyawa mereka. Tak heran apabila banyak sekali kasus bom bunuh diri. Bunuh diri,
dalam perspektif awam, merupakan tindakan konyol dan sia-sia, akan tetapi dalam
pemahaman mereka, mengorbankan diri sendiri dengan memakai bom adalah sebuah
tindakan martir, dimana mereka akan diganjar dengan surga. Ekstremis memercayai
akan kebenaran tunggal dalam agama yang dipeluknya.
Mereka juga tidak merasa perlu membangun dialog antar golongan atau
dengan pemeluk agama lain untuk menciptakan toleransi dan perdamaian. Malah,
ekstremis memercayai bahwa Kitab secara teks tanpa mempertimbangkan konteks
pendukung lain, seperti pendekatan sosiologi, sejarah, dan hukum. Mereka percaya
bahwa umat manusia telah keluar jalur dari yang diajarkan, sehingga para ekstremis
ini merasa harus meluruskan kembali jalan umat manusia yang bengkok. Akibatnya,
mereka cenderung menghakimi orang lain dengan mudahnya. Mereka menginginkan
umat manusia kembali ke jalan yang benar untuk menyenangkan hati Tuhan.(
https://www.qureta.com/post/fanatisme-agama-fanatisme-tanpa-dialog-2)
16
Para teroris itu bukanlah atheis, tetapi beragama dan jelas bertuhan, bahkan
tidak jarang sebagai pemuka agama. Di Myanmar, kita mengenal Ashin Wirathu,
bikshu Buddha yang sedemikian keji menyuarakan narasi kebencian dan membantai
penduduk Muslim Rohingya. Dominic Ongwen, anggota Kristen Lord’s Resistance
Army (Tentara Perlawanan Tuhan) Uganda, merekrut siswi-siswi sekolah menengah
sebagai budak seks, memerintahkan mereka membunuh dan memakan daging ratusan
warga sipil Uganda. Tak beda jauh dengan pelaku bom bunuh diri gereja Surabaya.
Mereka sekeluarga muslim, bahkan dikenal rajin beribadah. Menurut cerita tetangga,
mereka masih menyempatkan diri berjamaah Shubuh di masjid sebelum meledakkan
diri.
Sebagai insan beragama, mengapa mereka menjadi teroris? Menjadi teroris
bukan hal yang mudah dan instan. Pada tahap awal biasanya dimulai dari sikap
sentrisme (merasa benar sendiri), lalu meningkat menjadi primordialis (sikap fanatik
akut terhadap kelompoknya), atau dalam bahasa agama disebut dengan tatharruf
(ekstrim), berlanjut menjadi intoleran, radikal, dan puncaknya sebagai teroris.
Pada dasarnya, teroris juga manusia normal yang memiliki empati dan rasa
kemanusiaan. Kebrutalan teroris terjadi ketika empati di dalam hatinya tergantikan
oleh tujuan yang sangat kuat tetapi hanya sesaat. Teroris adalah orang-orang yang
karena suatu alasan, gagal menyelami makna kehidupan kemudian bertemu dengan
kelompok yang menawarkan 'kehidupan baru', tetapi harus ditempuh melalui jalan
kematian.
Nalar yang bengkok dalam memahami teks-teks kitab suci juga seolah
melegalkan aksi teror atas nama agama. Bukan cuma Islam, kondisi seperti ini dapat
menimpa pada pemeluk agama apa pun. Para penceramah bernarasi kebencian dan
permusuhan banyak bertebaran di kanal informasi. Menganggap yang berbeda sebagai
musuh dan harus diperangi menjadi doktrin sehari-hari. Di tengah masyarakat awam
yang haus spiritualitas, kemunculan mereka justeru meracuni darah kehidupan.
Anehnya, yang demikian ini justeru laku keras dan digemari. Jika demikian yang
terjadi, sesungguhnya mereka telah gagal memahami agama sebagai jalan perdamaian
dan keselamatan serta tidak mampu mengenal sifat Tuhan sebagai Maha Pengasih dan
17
Penyayang.(http://www.nu.or.id/post/read/90484/terorisme-dan-nalar-bengkok-
beragama-)
18
dihadapkan problem yang begitu runyam. Keberpihakan seseorang/kelompok pada
partai politik yang cenderung primordial begitu kental dan fanatik. Hal ini bisa
dibilang wajar, namun yang tidak wajar ketika sampai fanatik buta apalagi sampai
"dalih agama" dilakukan untuk mengemas propaganda dan kampanye sehingga
terkesan mendapatkan legitimasi agama. Agama lalu menjadi sebuah komoditas yang
bisa 'dijual' demi meraih dukungan masyarakat.
Tidak heran bila menjelang pesta demokrasi, marak fanatisme politik. Seolah-
olah partai politik itu sesakral agama serta mendewa-dewakan tokoh atau pemimpin
partainya. Tidak sampai di situ, dalil agama ditafsirkan menurut kepentingan
kelompok dan partainya, tempat ibadah jadi arena politisasi, orang yang berbeda partai
diintimidasi, dihujat dan dibenci setengah mati, meskipun seagama dan
seiman. Cendekiawan muslim Nurcholis Madjid atau Cak Nur mempertanyakan
(1997: 134), “Jika agama tidak dapat mempengaruhi tingkah laku pemeluknya, maka
apalah arti pemeluk itu?” Namun, bagi Cak Nur juga, kenyataannya ialah banyak orang
yang sangat serius memeluk agamanya, tanpa peduli pada tuntutan nyata
keyakinannya itu dalam amal perbuatan dan tingkah laku. Tentu saja, cara berpolitik
di Indonesia bagi Cak Nur, keterbukaan sikap bukanlah segala-galanya. Persoalan
kuncinya ialah bagaimana menciptakan "kesalinghormatan" di kalangan elite bangsa,
dan di kalangan seluruh rakyat, sebab demokrasi adalah mustahil tanpa hal itu.(
http://www.nu.or.id/post/read/89958/waras-beragama-waras-berpolitik)
Sejarah mencatat, tokoh, komunitas, dan institusi keagamaan bisa berperan
menjadi penjaga moral masyarakat serta pengkritik kekuasaan yang garang. Pula,
agama bisa menjadi sumber energi luar biasa untuk melakukan perlawanan terhadap
rezim korup dan despotik. Sejarah gerakan Gereja Katolik di Amerika Latin, Black
Chruches di Amerika Serikat, Sufi Sanusiyah di Lybia, atau Tarekat Qadiriyah-
Naqsabandiyah di Banten, Indonesia, hanyalah sekelumit contoh sejarah dimana
agama telah melakukan fungsi kritisnya sebagai medium kritik sosial sebuah
masyarakat sekaligus sarana perubahan politik sebuah tatanan kekuasaan.
Penting untuk dicatat, bukan hanya agama yang melakukan perlawanan
terhadap politik. Politik juga sering melawan, mengintimidasi, dan menghancurkan
agama. Dengan kata lain, hubungan sekaligus nasib agama dan politik akan ditentukan
19
oleh otoritas mana yang paling kuat dan dominan dari keduanya serta bagaimana watak
dan karakter para elit politik dan elit agama yang kebetulan berkuasa. Jika politik
menjadi “superordinat”, maka agama akan berpotensi menjadi “subordinat”. Begitu
pula sebaliknya.
Tetapi di sisi lain, agama juga bisa berfungsi sebagai “stempel” atau
legitimator politik-kekuasaan sejak zaman "baheula" hingga dewasa ini. Di
sejumlah negara, dewasa ini agama-politik banyak melakukan “perkawinan” dan
menjalin hubungan “simbiosis mutualisme”: politik memberi jaminan proteksi
keamanan masyarakat agama, sementara agama memberi “legitimasi teologis”
untuk melanggengkan kekuasaan politik.
Dalam konteks ini, secara teori, maka hubungan agama dan politik adalah
sejajar (koordinat), bukan saling mendominasi dan menguasai tetapi saling
melengkapi dan menguntungkan satu sama lain. Meskipun dalam prakteknya tentu
saja tetap terjadi “perselingkuhan” sana-sini dimana agama atau politik mencoba
“main mata” dan “berselingkuh” dengan pihak lain diluar “komunitas agama”
(misalnya kelompok adat, kaum pebisnis, sekuler-ateis, dlsb) atau bahkan secara diam-
diam saling menjegal dan mendelegitimasi otoritas masing-masing. Diktum-diktum
keagamaan (ajaran, diskursus, teks, norma dan lain sebagainya) memang sangat lentur
dan fleksibel sehingga mudah untuk diseret-seret kesana-kemari sesuai dengan
kepentingan pemeluknya. (https://www.dw.com/id/agama-politik-dan-politik-
agama/a-19131469)
Namun Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah M. Syafii
Maarif menyatakan supaya agama tidak dijadikan kendaraan politik. “Agama
memang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Tapi seharusnya agama menjadi
panduan moral politik,” kata Buya Syafii di rumahnya di Nogotirto, Gamping,
Sleman, Senin, 15 Oktober 2018. Namun pada kenyataannya, ia mengungkapkan,
saat ini di Indonesia terjadi seperti itu: agama dijadikan kendaraan politik. Ia
mencontohkan negara-negara Arab hancur karena agama dijadikan kendaraan
politik. (https://nasional.tempo.co/read/1136504/buya-syafii-agama-jangan-
dijadikan-kendaraan-politik/full&view=ok)
20
2.6. Fanatisme Politik
Tensi politik memang jadi begitu terasa panas di Indonesia sejak Pilpres 2014.
Tidak heran, karena waktu itu hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil
presiden yang ‘bertarung’: Joko Widodo bersama Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto
bersama Hatta Rajasa. Selain itu, ada faktor media sosial yang turut andil dalam
panasnya tensi politik karena menjadi arena pencitraan, debat terbuka, dan
penyebaran hoax. Dogma fanatisme politik ini bisa makin masif dan tak terbendung
untuk puluhan tahun ke depan andai generasi muda tidak menyadari apalagi
memahami bahayanya hal ini.
Saat kita sudah fanatik pada seorang politikus atau partai, maka percayalah
bahwa itu sama saja kita sudah menutup telinga, mata, dan pikiran dari apa pun.
Penilaian kita sudah pasti berat sebelah. Kita akan buta pada kenyataan karena tak mau
lagi mendengar segala informasi yang datang dari pihak luar. “Kita hanya akan
menerima apa yang mau didengar”. Kita tak mau lagi terbuka atau menerima pendapat
orang lain yang berbeda pandangan dari kita. Artinya, kalau ada kritik atau hal negatif
tentang sosok atau partai yang kita dukung secara fanatik, maka kita akan menolaknya
mentah-mentah dan tak mau mencari tahu kebenarannya, sekalipun informasi itu
sudah benar. Kita hanya akan mau menerima segala informasi yang baik atau positif
soal sosok atau partai yang kita dukung.
Apabila orang sudah fanatik. Maka, tak bisa lagi berpikir rasional. Pemahaman
kita lebih mudah dimanipulasi. Kita hanya akan percaya dan mengikuti apa yang
disampaikan atau direferensikan oleh sosok atau partai tersebut. Kita pun hanya akan
memilih dan mendukung kelompok atau sosok itu terus menerus. Seolah-olah kita
sudah tak lagi mampu menganalisa dan berpikir: Apakah saya perlu mencari tahu lebih
jauh tentang sosok ini atau partai ini? Apakah saya perlu mencari tahu prestasi dari
sosok atau partai di pihak seberang? Apakah ada pilihan yang lebih baik daripada
sosok atau partai yang direferensikan ini?
Fanatisme hanya akan membuat kita mudah untuk membenci pihak lain yang
berseberangan dengan paham atau keyakinan yang kita pegang. Padahal, dalam hidup
ini kita akan selalu menemui perbedaan, baik dalam hal gagasan, pikiran, prinsip,
hingga pilihan. Tapi, bagi penganut dogma fanatisme politik, mereka yang berbeda
21
adalah lawan. Kita tak akan bisa mengakui atau mengapresiasi hal positif apalagi dari
sosok atau partai lain yang tak kita dukung. Kita hanya akan melihat segala kekurangan
dan keburukan yang dimiliki oleh kubu seberang. Karena itu, kebencian bisa begitu
melekat bagi mereka yang menganut dogma fanatisme politik ini. Kita pun hanya akan
memandang pilihan-pilihan dari kubu seberang secara skeptis atau ragu-ragu dan
merasa bahwa pilihan kita yang paling baik.
fanatisme politik bisa membuat kita lupa mengkritik sosok atau partai yang
sudah kita pilih saat sudah berkuasa. Apa pun kebijakan yang diambil olehnya,
sekalipun kebijakan itu tak sesuai dengan janji kampanyenya dulu, atau kebijakan itu
justru hanya menguntungkan segelintir kelompok tak membuat kita resah. Kita akan
menerima segala macam itu karena terlalu percaya pada sosok atau partai yang kita
dukung. Padahal manusia tak ada yang sempurna. Manusia perlu untuk diingatkan
apabila sudah lupa, manusia perlu ditegur apabila sudah kelewat batas, dan manusia
perlu didekati lagi apabila sudah terlalu jauh melangkah keluar dari jalurnya. Dan yang
perlu diingat, manusia bisa berubah karena tahta.
Dan menurut pengamatan penulis, hal ini sudah tampak nyata. Mereka yang
merupakan pendukung fanatik tak akan mengkritik panutannya apa pun kebijakan
yang dibuat atau apabila ada keputusan yang dilanggar. Misalnya saja ada presiden
yang sebelumnya melarang menterinya merangkap jabatan, tapi kenyataannya malah
membiarkan salah satu menterinya menjabat sebagai ketua umum partai. Atau ada
gubernur yang meresmikan program rumah DP 0% atau Rp 0 tapi ternyata tidak sesuai
janji kampanye karena hanya bisa diakses oleh warga berpenghasilan minimal Rp 7
juta/bulan. Dan tak ada pendukung fanatik dari masing-masing pihak itu yang
mengkritik pemimpin pilihannya.
Karena fanatisme membuat kita tak lagi bisa berpikir rasional, mendorong kita
terlalu benci pada pihak lain, dan membuat kita terlalu percaya pada sosok atau partai
tertentu, maka jangan heran apabila kita mudah untuk diprovokasi, dimanipulasi,
hingga kemudian mudah untuk diorganisir untuk kepentingan kelompok elit politik.
Fanatisme politik bisa membuat kita menjadi peluru yang dikendalikan oleh elit
politik. Kita hanya akan dijadikan mortir untuk melenggangkan kekuasaan atau
meruntuhkan kekuasaan yang sudah ada. Padahal, semestinya posisi rakyat bukanlah
22
sebagai mortir atau peluru dalam peta perpolitikan yang berdemokrasi, tapi sebagai
penentu arah. Semestinya rakyatlah yang memainkan caturnya, bukan menjadi bidak
catur. Tapi, fanatisme politik bisa membuat hal semacam ini terjadi dan berlangsung.
Sebab kita tak bisa lagi menganalisa mana yang mengerahkan massa untuk
kepentingan rakyat yang sebenar-benarnya, dan mana yang hanya untuk kepentingan
dan perlindungan elit politik.
Dampak terburuk yang bisa saja terjadi atau bahkan, mungkin, sedang terjadi
di Indonesia. Fanatisme politik yang kita anut justru bisa dimanfaatkan oleh para
politikus nanti saat sudah memimpin. Bagaimana bisa? Karena fanatisme politik
membuat kita selalu tergerak untuk membela politikus atau partai yang kita dukung.
Ketika ada kritik yang datang, maka kitalah yang akan membelanya mati-matian.
Padahal kita adalah rakyat yang tak perlu sering-sering ikut berbebat layaknya para
‘pekerja partai’ itu. Tapi fanatisme politik justru akan membuat kita secara sukarela
menjadi tameng untuk menangkis segala kritikan kepadanya sekalipun kritikan itu
benar dan perlu diterima oleh pemimpin. Dia yang memimpin pun akan lebih santai
dalam mengambil kebijakan karena sudah yakin bahwa kita akan selalu mendukung
apa pun keputusannya. Dia pun yakin akan tetap diberikan mandat sebagai pemimpin
sekalipun tak ada prestasi yang dilahirkan selama memimpin karena dia tahu kalau
kita mudah dimanipulasi.
Inilah bahayanya kalau fanatisme politik sampai dianut secara masif oleh
masyarakat kita, terutama oleh generasi muda seperti kamu. Karena sebuah dogma
kalau sudah tertancap, maka akan sulit dihilangkan atau dihapuskan dalam waktu
lama. Malah, bisa-bisa dogma itu ditularkan ke generasi-generasi selanjutnya. Kalau
sudah begitu, bisa-bisa negara kita ini akan dipimpin oleh orang-orang yang tidak
kredibel sebab hanya memanfaatkan dogma fanatisme politik untuk bisa duduk di
parlemen apalagi untuk jadi presiden. Malah, bukan tak mungkin polarisasi akan
makin tampak dan konflik sipil akibat politik terjadi di kemudian hari.
(https://www.idntimes.com/opinion/politic/rahardian-shandy/fanatisme-politik-
untuk-generasi-millennials-c1c2/full)
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fanatisme adalah paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan
terhadap sesuatu secara berlebihan, dalam fanatisme itu sendiri mempunyai nilai
positif dan negatifnya, namun fanatisme dalam segi beragama dan berpolitik jelas akan
menimbulkan ketidakromantisan dalam hidup masyarakat yang bhineka, itu semua
dikarenakan apabila fanatisme sudah menjadi dogmatis maka seseorang tidak akan
bisa berfikir secara rasional. Pemahaman kita bahkan akan mudah dimanipulaasi,
Fanatisme hanya akan membuat kita mudah untuk membenci pihak lain yang
berseberangan dengan paham atau keyakinan yang kita pegang. Padahal, dalam hidup
ini kita akan selalu menemui perbedaan, baik dalam hal gagasan, pikiran, prinsip,
hingga pilihan.
Agama dan politik selalu saling terikat satu sama lain, Relasi tersebut terbentuk
dalam beragam corak. Bisa saja agama menjadi spirit politik untuk menduduki
kekuasaan, atau penguasaan politik untuk memperkuat praktik dan syiar agama,
bahkan bisa juga kedok agama menjadi alat politik serta untuk melanggengkan
kekuasaan. secara teori, maka hubungan agama dan politik adalah sejajar (koordinat),
bukan saling mendominasi dan menguasai tetapi saling melengkapi dan
menguntungkan satu sama lain. Meskipun dalam prakteknya tentu saja tetap terjadi
“perselingkuhan” sana-sini dimana agama atau politik mencoba “main mata” dan
“berselingkuh” dengan pihak lain diluar “komunitas agama” (misalnya kelompok adat,
kaum pebisnis, sekuler-ateis, dlsb) atau bahkan secara diam-diam saling menjegal dan
mendelegitimasi otoritas masing-masing.
3.2 Saran
Generasi milenial harus paham akan persoalan yang terjadi pada bangsa ini,
jangan sampai buta sama sekali, agar tidak mudah terprovokasi dan dimanipulasi oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Generasi milenial harus dapat berfikir
secara rasional, dapat berfikir panjang, dan tidak sempit pemikiran, harus bisa memilih
mana yang baik dan mana yang buruk. Agar, tidak terjadinya pergerakan fanatisme
yang makin masif dan tak terbendung untuk beberapa puluh tahun kemudian.
24
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Magnis, Franz. 2018. Etika Politik.Cetakan ke-9. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Budiardjo, Meriam. 2017. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cetakan ke-11. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Cangara, Hafied. 2016. Komunikasi Politik. Cetakan ke-5. Jakarta: Rajawali Pers
Handoyo, Eko dkk. 2016. Etika Politik. Cetakan ke-2. Semarang: Widya Karya
Zarfi. 2017. Hubungan Etika dan Agama dalam Kehidupan Sosial. Sulawesi Barat
C. Internet
(https://www.idntimes.com/opinion/politic/rahardian-shandy/fanatisme-politik-
untuk-generasi-millennials-c1c2/full)
( http://www.nu.or.id/post/read/89958/waras-beragama-waras-berpolitik)
(https://www.dw.com/id/agama-politik-dan-politik-agama/a-19131469)
(https://nasional.tempo.co/read/1136504/buya-syafii-agama-jangan-dijadikan-kendaraan-
politik/full&view=ok)
( https://www.qureta.com/post/fanatisme-agama-fanatisme-tanpa-dialog-2)
(http://www.nu.or.id/post/read/90484/terorisme-dan-nalar-bengkok-beragama-)
(https://media.neliti.com/media/publications/231177-hubungan-etika-dan-agama-
dalam-kehidupan-b0d43e84.pdf).
25