disusun oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2008
Abstract :
The nematode infection, Strongyloidiasis has become increasingly recognized
world – wide. Strongyloidiasis in human caused by parasite Strongyloides
stercoralis which is found commonly in the tropical and subtropical areas. The
worms live mainly in the upper part of ileum and yeyunum, and is believed to be
parthenogenetic. Transmission is commonly by skin penetrarion with the infective
filariform larvae. In human, the worm may live in years and develop into
hiperinfective cases – mostly in an immunocompromised / immunosupressed hosts -
- which may lead to severity and can be fatal.
Taksonomi
Kingdom : Animalia
Phylum : Nematoda
Class : Secernentea
Order : Rhabditida
Family : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Spesies : S. Stercoralis(2,5)
Morfologi
Bentuk bebas (free living form) :
- betina : ukuran ± 1 x 0,05 mm, esofagus ± ¼ panjang tubuh serta pendek
dan terbuka, uterus berupa satu barisan lurus yang berisi 40 – 50 telur.
Vulva terbuka di sisi ventral dekat pertengahan tubuh.
- jantan : fusiform, ukuran 0,7 x 0,07 mm, esofagus tertutup, memiliki 2
spikula dan 1 gubernakulum, ujung ekor runcing dan melengkung.
Bentuk parasitik :
- betina : halus dan transparan, ukuran 2,2 x 0,05 mm, esofagus filiform ¼
panjang tubuh.Pada betina gravid uterus berisi 10 – 20 telur yang
mengandung embrio. Vulva pada sisi ventral 1/3 posterior panjang tubuh.
- Jantan : menurut Kreist (1932) dan Faust ada bentuk parasitik jantan pada
manusia yang morfologinya sama dengan morfologi jantan bentuk bebas
(free living). Namun belum ada peneliti yang menemukan bentuk parasitik
jantan ini selain Kreist dan Faust. Oleh karena itu dianutlah pemahaman
bahwa bentuk parasitik betina pada manusia berkembang biak secara
parthenogenesis.
Larva rhabditiform
Ukuran ± 380 x 20 µ, esofagus pendek dan terbuka, genital primordium besar dan
ovoid terletak di ventral dekat intestinal. Ekor runcing.
Larva filariform :
Ukuran ± 630 x 16 µ, mulut tertutup, esofagus ½ panjang badan, ujung ekor
bercabang 2 pendek (fork tail) atau tumpul saja, sarung (sheath) tidak
ada(6,7,8,9,10,11,12) .
Siklus Hidup
Siklus hidup Strongyloides stercoralis cukup kompleks dengan adanya pergantian
antara siklus bebas (= siklus tidak langsung / indirect cycle) dan siklus parasitik (=
siklus langsung / direct cycle), serta adanya potensi autoinfeksi dan multiplikasi
dalam tubuh hospesnya.
Gbr 1. Siklus hidup Strongyloides stercoralis seperti dikutip dari cdc.
Autoinfeksi internal
Terjadi terutama pada hospes yang mengalami gangguan obstipasi.
Pada autoinfeksi internal, larva rhabditiform dalam lumen usus tumbuh menjadi
larva filariform. Larva ini menembus mukosa usus, masuk ke pembuluh darah
kapiler kemudian ke jantung lalu ke paru dan seterusnya melanjutkan siklus hidup
seperti yang diuraikan pada siklus parasitik.
Autoinfeksi eksternal
Daerah perianal hospes terkontaminasi larva rhabditiform saat hospes BAB, lalu
larva ini tumbuh menjadi larva filariform. Larva filariform ini kemudian menembus
kulit perianal dan masuk ke pembuluh darah kapiler dan seterusnya melanjutkan
siklus hidup seperti yang diuraikan pada siklus parasitik(6,7,8,9,10,11,12).
• Gastrointestinal
o Kembung, rasa penuh di perut
o Nyeri perut yang menyebar
o Diare dengan darah (-)
o Muntah
o Berat badan menurun
• Pulmonal
o Wheezing
o Batuk
o Hemoptisis (batuk darah, pada kasus disseminated atau pun
hiperinfeksi).
o Pernafasan dangkal
• Susunan Syaraf Pusat (SSP) -- Gejala – gejala meningeal dapat dijumpai
pada kasus disseminated.
• Sistem reproduksi – pernah dilaporkan 1 kasus infertilitas oleh karena
infeksi strongyloidiasis disseminated dengan dijumpainya larva pada air
mani penderita dan konsepsi berhasil setelah penderita mendapat
pengobatan infeksinya.
Pada sindrom hiperinfeksi, selain meningitis dapat juga terjadi sepsis, biasanya
polimikrobial akibatnya menyebarnya bakteri usus ke dalam darah(4,7,12,13,14,18).
Diagnosa
• Menemukan larva rhabditiform atau pun larva filariform pada sediaan feses,
cairan duodenum, cairan asites, dan sputum (pada kasus yang disseminated).
Larva rhabditiform biasanya dijumpai pada sediaan tinja segar. Larva
filariform dapat dijumpai pada pembiakan tinja dan pembiakan sekret
duodenum yang diambil dengan duodenal sonde.
• Serologis dengan Antibody Detection Assay termasuk EIA, IFA, dan IHA
dengan sensitivitas terbesar pada teknik EIA(7,8,9,12,13,14,18).
Pengobatan
Ivermectin merupakan terapi pilihan utama untuk Strongyloidiasis, oleh karena
efektivitasnya yang tinggi (mencapai hampir 100 % ) serta pemberiannya cukup
dosis tunggal baik untuk kasus tanpa atau pun dengan komplikasi dengan efek
samping yang sedikit. Dosis ivermectin 0,2 mg / kg bb / hari, diberikan dalam
dosis tunggal. Angka kesembuhan 98, 7 % (Nontasutet al, 2005). Sebagai terapi
alternatif adalah Albendazole dan Thiabendazole, sedang di Indonesia sediaan yang
ada pada umumnya adalah Albendazole. Dosis Albendazole 25 mg / kg bb/ hari.
Pemberiannya biasa berupa Albendazole 400 mg 2 x per hari (anak < 2 tahun : 200
mg) selama 3 - 5 hari. Untuk kasus hiperinfeksi, pemberian dapat dilakukan hingga
15 hari. Angka kesembuhan 78, 8 % (Nontasut et al, 2005).
Efek samping pengobatan berupa diare, gatal – gatal dan mengantuk lebih sering
dijumpai pada ivermectin dibandingkan albendazole.
Pencegahan infeksi adalah dengan memakai alas kaki dan menghindari kontak
dengan tanah yang tercemar. Pasien harus diskrining terlebih dahulu terhadap
kemungkinan adanya infeksi strongyloidiasis sebelum pemakaian obat - obat
immunosupresif(12,13,14,19) .
Kesimpulan
Strongyloidiasis merupakan infeksi oleh nematoda Strongyloides stercoralis –
termasuk ke dalam Soil Transmitted Helminth (STH) -- yang biasanya asimtomatik.
Namun carier asimtomatik ternyata dapat berlangsung bertahun – tahun oleh karena
adanya autoinfeksi, dan di kemudian hari bisa menimbulkan kasus hiperinfeksi --
biasanya pada penderita yang immunocompromised -- yang dapat berakibata fatal.
Strongyloidiasis memiliki hubungan dengan ko – infeksi virus HTLV – 1 dengan
mempercepat fase pre-leukemik infeksi HTLV – 1. Antigen strongyloides
mempecepat leukemogenesis.
Obat pilihan utama untuk infeksi strongyloidiasis adalah ivermectin, dengan terapi
alternatif lain adalah albendazole.
Infeksi strongyloidiasis dapat dicegah dengan memakai alas kaki dan menghindari
kontak dengan tanah yang tercemar. Pasien harus diskrining terlebih dahulu
terhadap kemungkinan adanya infeksi strongyloidiasis sebelum pemakaian obat -
obat immunosupresif.
Kepustakaan :
1. Faust EC, Russel PF. Clinical Parasitology. 7th ed. Philadelphia. Lea &
Febriger. 1964 : 355- 65.
2. Strongyloides stercoralis. Available at :
http://en.wikipedia.org/wiki/Strongyloides_stercoralis.
3. Manson – Bahr PH. Manson’s Tropical Diseases. 16th ed. London. ELBS &
BT and C. 1968 : 955 – 9.
4. Hunter GW, Frye WW, Swartzwelder JC. A Manual of Tropical Medicine.
3rd ed. London. WB Saunders Company. 1963 : 428 – 31.
5. Severe Malabsorption and Arthritis in an Immune Competent Host.
Available at :
http://www.ispub.com/ostia/index.php?xmlFilePath=journals/ijrh/vol2n2/str
ongyloides.xml.
6. Strongyloidiasis. Available at :
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/Strongyloidiasis.htm.
7. Gani EH. Helmintologi Kedokteran. Bagian Parasitologi Fakultas
Kedokteran USU Medan. Edisi 2002 : 26 – 9.
8. Hargreaves WH, Morrison RJG. The Practice of Tropical Medicine.
London. Staples Press. 1965 : 233 – 4.
9. Brown HW, Neva FA. Basic Clinical parasitology. United States of
America. Appleton Century Crofts. 1983 : 115 -9.
10. Miyazaki, Ichiro. An Illustrated Book of Helminthic Zoonoses. Tokyo.
Shukosha Printing. 1991 : 355 – 61.
11. Roberts LS, Janovy J. Gerald D. Schmidt & Larry S. Roberts’ Foundations
of Parasitology. 7th ed. New York. 2005 : 412 – 5.
12. Waikagul J, et al . Medical Helminthology. Bangkok. Department of
Helminthology Faculty of Tropical Medicine Mahidol University. 2002 : 15
-8.
13. Markell EK, John DT, Krotoski WA. Medical Parasitology. 8th ed.
Philadelphia. WB Saunders. 1999 : 287 – 92.
14. Heelan JS, Ingersol FW. Essentials of Human Parasitology. United States.
Delmar. 2002 : 144 – 7.
15. Asdamongkol N, et al. Risk Factors for Strongyloidiasis Hyperinfection and
Clinical Outcomes. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and
Public Health vol. 37 no. 5. September 2006.
16. Pinlaor S, et al. Detection of Opportunistic and Non – Opportunistic
Intestinal Parasites and Liver Flukes in HIV – Positive and HIV – Negative
Subjects. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public
Health vol. 36 no. 4. Juli 2005.
17. Tetsuo Hirata, Nobufumi Uchima, et al. Impairment of Host Immune
Response Against Strongyloides stercoralis by Human T Cell Lymphotropic
Virus type 1 Infection. Available at :
http://www.ajtmh.org/cgi/content/abstract/74/2/246.
18. Carpenter EA, Allison JR. Strongyloides stercoralis. Available at :
http://www.emedicine.com/emerg/topic843.htm
19. Nontasut P, et al. Prevalence of Strongyloides in Northern Thailand and
Treatment with Ivermectin vs Albendazole. The Southeast Asian Journal of
Tropical Medicine and Public Health vol. 36 no. 2. March 2005.