Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali mengenal tata
kelola administrasi. Pada kebanyakan kasus korupsi yang dipublikasikan media, seringkali
perbuatan korupsi tidak lepas dari kekuasaan, birokrasi, ataupun pemerintahan. Korupsi juga
sering dikaitkan pemaknaannya dengan politik. Sekalipun sudah dikategorikan sebagai tindakan
yang melanggar hukum, pengertian korupsi dipisahkan dari bentuk pelanggaran hukum lainnya.
Selain mengkaitkan korupsi dengan politik, korupsi juga dikaitkan dengan perekonomian,
kebijakan publik, kebijakan internasional, kesejahteraan sosial dan pembangunan nasional. Begitu
luasnya aspek-aspek yang terkait dengan korupsi hingga organisasi internasional seperti PBB
memiliki badan khusus yang memantau korupsi dunia. Dasar atau landasan untuk memberantas
dan menanggulangi korupsi adalah memahami pengertian korupsi itu sendiri.
Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk
luar biasa pada hampir seluruh sendi kehidupan. Korupsi telah menghancurkan sistem
perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan
sosial kemasyarakatan di negeri ini. Di lain pihak upaya pemberantasan korupsi yang telah
dilakukan selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Korupsi dalam berbagai tingkatan
tetap saja banyak terjadi seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan kita yang bahkan sudah
dianggap sebagai hal yang biasa. Jika kondisi ini tetap kita biarkan berlangsung maka cepat atau
lambat korupsi akan menghancurkan negeri ini.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa fungsi dan wewenang kpk dalam pemberantasan korupsi ?
2. Bagaimanakah cara menumbuhkan sikap anti korupsi ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Fungsi Dan Wewenang Kpk Dalam Memberantas Korupsi

Sesungguhnya pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) merupakan amanat


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU
31/1999”) di mana dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut:

Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi yang akan diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam jangka waktu paling lambat 2
(dua) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.

Perlu diketahui bahwa UU 31/1999 telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (“UU 20/2001”).

Kemudian latar belakang pembentukan KPK juga tertuang dalam Konsiderans huruf b Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU
30/2002”) yang berbunyi sebagai berikut:

bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi
secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Jika kita telaah bersama, lembaga pemerintah yang dimaksud yaitu Kejaksaan dan Kepolisian.
Dalam perkembangannya, UU 30/2002 telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“Perppu 1/2015”) sebagaimana telah
ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang

2
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang (“UU 10/2015”).

Sebelum lebih jauh membahas keterkaitan fungsi dan kewenangan KPK dengan Kepolisian dan
Kejaksaan, perlu dipahami terlebih dahulu fungsi dan kewenangan KPK itu sendiri. Fungsi KPK
tertuang pada Pasal 6 UU 30/2002 yang berbunyi:

KPK mempunyai tugas:


a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Berkaitan dengan pasal sebelumnya, Pasal 7 UU 30/2002 berbunyi sebagai berikut:

Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, KPK
berwenang:
a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
yang terkait;
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Dapat disimpulkan ada 5 (lima) poin fungsi KPK yaitu koordinasi, supervisi, monitoring,
penindakan dan pencegahanan. Satu hal yang ditekankan dalam pembentukan KPK, di mana

3
lembaga ini menjadi pemicu dan pemberdayaan institusi pemberantasan korupsi yang telah ada
(Kepolisian dan Kejaksaan) yang sering kita sebut “Trigger Mechanism”. Sehingga keberadaan
KPK tidak akan tumpang tindih serta mengganggu tugas dan kewenangan pemberantasan korupsi
Kejaksaan dan Kepolisian, malah KPK akan mendorong kinerja kedua institusi tersebut agar
bekerja maksimal.

Mengenai fungsi penindakan, ada hal yang membedakan KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan.
Dimana KPK lebih berfokus kepada “Big Fish” dengan kriteria seperti yang disebutkan pada
Pasal 11 UU 30/2002, yaitu:

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Terkait dengan fungsi kehakiman, sesungguhnya kedudukan KPK tidak dapat dikategorikan
sebagai cabang kekuasaan yudikatif. Namun KPK merupakan lembaga independen sesuai dengan
Pasal 3 UU 30/2002 yang berbunyi:

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Melihat rumusan pasal di atas, yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan
yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota Komisi secara individual dari
pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana
korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.[1]

4
Selain itu, KPK termasuk kedalam badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman,
hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi:

Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-
undang.

Alasan KPK termasuk badan-badan lain tersebut karena terdapat kriterianya yaitu KPK memiliki
tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana Pasal 6 huruf c UU 30/2002.

Ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar hukum lembaga atau lain yang berkaitan
dengan fungsi kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut. Hal-hal
mengenai badan lain itu diatur dalam undang-undang. Hal tersebut adalah mekanisme checks and
balances antara kekuasaan yudikatif Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dan
Mahkamah Konstitusi dengan kekuasaan legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) dan
kekuasaan eksekutif lembaga penyidik dan lembaga penuntut guna mewujudkan sistem peradilan
terpadu (integrated judiciary system) di Indonesia.

Menyoal anggapan KPK sebagai lembaga Super Body, hal ini kurang tepat. Dalam negara
demokratis sesungguhnya tidak ada lembaga Super Body karena dalam bekerja antar lembaga
negara sudah ada mekanisme checks and balances system, di mana antar lembaga negara saling
mengawasi satu sama lain agar tugas dan kewenangannya berjalan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan tidak ada penyimpangan. Tidak terkecuali KPK, KPK
diawasi oleh rakyat melalui DPR khususnya Komisi III, buktinya di tahun 2017 lalu KPK pernah
dikenakan hak angket oleh DPR yang menghasilkan beberapa rekomendasi. Namun perlu
digarisbawahi bahwa proses penegakan hukum tidak dapat dijadikan sebagai objek hak angket.
Yang dapat dikenakan angket antara lain proses administrasi, pengelolaan keuangan, dan
dokumen. Pengawasan lainnya adalah audit keuangan yang diperiksa oleh BPK dan KPK juga
transparan dengan mengeluarkan laporan pertanggungjawaban disetiap tahunnya.

5
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas keberadaan KPK masih diperlukan sebagai
Trigger Mechanism dalam upaya pemberantasan korupsi bersama dengan Kejaksaan dan
Kepolisian serta dengan adanya mekanisme checks and balances system dalam ketatanegaraan
tidak dimungkinkan keberadaan lembaga Super Body, tak terkecuali KPK.

Dasar Hukum:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah ditetapkan
menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang.

6
2.2. Sikap Anti Korupsi

1. Pengertian Korupsi
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus”. Selanjutnya dikatakan
bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa
Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis)
dan “corruptie/ korruptie” (Belanda).
Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat
disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.[2] Menurut Kementrian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) korupsi merupakan suatu fenomena sosial yang bersiftat kompleks, sehingga sulit
untuk didefinisikan secara tepat ruang lingkupnya. Sehingga korupsi memiliki dampak negatif di
berbagai bidang seperti politik, sosial, ekonomi dan sebagainya. Sedangkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mendefinisikan korupsi sebagai semua penyalahgunaan
penggunaan kewenangan yang menyebabkan kerugian negara dan oleh karena itu dianggap
sebagai tindak pidana. Berdasarkan pada definisi KPK, penyalahgunaan kewenangan berbentuk:
a) suap menyuap
b) penggelapan dalam jabatan
c) perbuatan pemerasan
d) perbuatan curang
e) benturan kepentingan dalam pengadaan.

2. Sikap Anti Korupsi


Sebenarnya masalah korupsi ini adalah masalah kita bersama, bukan hanya masalah pemerintah
saja. Untuk itulah kita punya andil bersama untuk memberantas korupsi ini sampai ke akar-
akarnya. Tentu itu bukan hal yang mudah, karena di butuhkan kesadaran dari masing-masing
individu dan kerjasama dari berbagai pihak untuk bisa mewujudkannya. Berikut beberapa cara
untuk membangun sikap anti korupsi:
a) Meningkatkan kadar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT
b) Ikut serta membina hubungan antar anggota keluarga yang harmonis, rukun, terbuka, saling
menghargai, peduli, menghormati, menjaga, dan membina kebersamaan sejati

7
c) Bersama rekan dan teman hendaknya saling menjaga dan membimbing agar tetap hidup di
jalan lurus, baik dan benar.
d) Memiliki nilai-nilai kehidupan yang cukup untuk memperkuat diri sehingga menjadi
pribadi yang tegak, tegas dan berprinsip sesuai suara hati atau hati nurani.
e) Meliliki perasaan dan kesadaran akan pentingnya menjaga harga diri, mampu dengan bijak
mengolah realita kehidupan
f) Memiliki kemampuan untuk menahan diri sehingga mampu mengendalikan diri.
g) Bersosialisasi dan bekerja sama dengan orang yang potensial untuk membangun
h) kebaikan dan mutu kehidupan.

8
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat
disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Sedangkan secara istilah yaitu
penyalahgunaan wewenang yang ada pada seseorang, demi keuntungan pribadi, keluaraga,
perekanan, dan teman atau kelompoknya. Adapun macam-macam karupsi meliputi: (1) betrayal
of trust, (2) abuse of power, (3) material of benefit.
Adapun beberapa cara untuk membangun sikap anti korupsi yaitu (1). Meningkatkan kadar
keimanan dan ketaqwaan. (2). Ikut serta membina hubungan antar anggota keluarga yang
harmonis, terbuka, peduli, dan membina kebersamaan sejati. (3). Saling menjaga dan membimbing
agar tetap hidup di jalan lurus. (4). Memiliki nilai-nilai kehidupan yang cukup untuk memperkuat
diri. (5). Meliliki perasaan dan keasadaran akan pentingnya menjaga harga diri. (6). Memiliki
kemampuan untuk menahan diri sehingga mampu mengendalikan diri. (7). Bersosialisasi dan
bekerja sama dengan orang yang potensial untuk membangun kebaikan dan mutu kehidupan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Andita,rizka. 2014. Membangun Sikap Anti Korupsi .Tersedia


http://rizkaandita.wordpress.com/tag/membangun-sikap-anti-korupsi/, [online] diakses 30
oktober 2019.

Wikipedia. 2019. Komisi pemeberantasan korupsi. Tersedia


https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi_Republik_Indonesia [online]
diakses 30 oktober 2019

10

Anda mungkin juga menyukai