Anda di halaman 1dari 12

Undang-undang Perlindungan Anak

Afirmasi 2

Nama Anggota :
1. Febri Nurdinda G.
2. Jagihon Tua
3. M. Ardan
4. M,Nur Ihsan
Bab 1
Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional, karena melindungi
anak
berarti melindungi manusia dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat
pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya, oleh karena itu
mengabaikan perlindungan terhadap anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan
nasional
.
Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar kelak dapat
berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Dalam Pasal 2 ayat
(3)
dan ayat (4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, ditentukan
bahwa: "Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan
maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan dari lingkungan
hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan
dengan
wajar".

Kedua ayat di atas dengan jelas menyatakan dan mendorong tentang perlunya
perlindungan
anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap
anak.
Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur
peradaban
bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan demi
kepentingan
nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang
membawa akibat hukum. Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan
perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan
perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang
tidak
diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Untuk itu, kegiatan
perlindungan
anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan
peraturan perundangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek
kedua
menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan perundangan tersebut.

Berkaitan dengan aspek pertama, dapat dilihat baik dalam UUD 1945, Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN), dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan
hukum perlindungan anak. Masalahnya adalah apakah dengan telah tersedianya berbagai
perangkat perundang-undangan tentang hak-hak anak yang ada, telah dengan sendirinya
usaha-usaha untuk mewujudkan hak-hak anak dan upaya penghapusan praktik
pelanggaran
dan pengabaian hak anak sebagaimana dikehendaki oleh peraturan perundangan tersebut,
dapat diakhiri. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam upaya melakukan perlindungan
terhadap hak-hak anak dan bagaimana pengimplementasian kebijakan dan ketentuan yang
telah ada, pembahasan inilah yang merupakan aspek kedua dari masalah perlindungan
anak.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (1992: 111), tujuan dan dasar pemikiran dari
Peradilan Anak jelas tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama untuk mewujudkan
kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan
sosial.
Dengan kalimat terakhir ini tidak harus diartikan bahwa kesejahteraan atau kepentingan
anak
itu pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha mewujudkan kesejahteraan sosial. Hal
ini
sesuai pula dengan pendapat Sudarto yang dikemukakan saat membahas tentang RUU
Pengadilan Anak: “…walaupun di dalam RUU disebutkan Pengadilan Anak
mengutamakan
kesejahteraan anak di samping kepentingan masyarakat, namun beliau berpendapat bahwa
kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi kepentingan masyarakat”.

Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan


Anak
(selanjutnya disebut UU Pengadilan Anak), maka keinginan untuk mewujudkan
perundang
undangan yang khusus bagi anak, yang mengatur secara integratif mengenai hukum
pidana
materiil, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana bagi anak yang melakukan
tindak pidana/kenakalan telah terpenuhi.

Undang-Undang ini menyebut anak yang diajukan ke muka sidang pengadilan pidana
sebagai
"Anak Nakal". Menurut Pasal 1 angka (2) UU Pengadilan Anak, yang dimaksud anak
nakal
adalah:
a. anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut
peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa UU Pengadilan Anak


menggunakan
istilah "Anak Nakal" bagi anak yang melakukan tindak pidana maupun perbuatan
lainnya
yang melanggar peraturan tertulis maupun tidak tertulis (hukum adat). Jadi berdasarkan
ketentuan hukum positif yang mengatur tentang anak, anak yang bermasalah kelakuan
(anak
berkonflik dengan hukum) disebut dengan "Anak Nakal".
Pengertian atau definisi anak nakal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (2) UU
Pengadilan Anak di atas akan membawa persoalan di dalam penerapannya. Untuk
pengertian
Anak Nakal dalam Pasal 1 angka (2) huruf a UU Pengadilan Anak, tidak menimbulkan
persoalan. Namun, untuk pengertian Anak Nakal yang diatur dalam Pasal 1 angka (2)
huruf
b UU Pengadilan Anak akan membawa persoalan dalam penerapannya.
Hal ini berkaitan dengan Asas Legalitas yang dianut dalam Hukum Pidana Indonesia,
yaitu:
"Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang
undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan" (Pasal 1 ayat (1) KUHP).
Ketentuan Pasal 1 angka (2) huruf b UU Pengadilan Anak kurang jelas perumusannya,
"melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan".
Dinyatakan kurang jelas, karena rumusan dalam Pasal 1 angka (2) huruf b UU
Pengadilan
Anak, hanya merumuskan tentang "peraturan perundang-undangan maupun menurut
hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat". Pelaksanaan ketentuan Pasal 1 angka (2)
huruf b UU Pengadilan Anak tersebut dalam kenyataannya tidak dapat diterapkan, karena
tidak ada perumusan ketentuan yang mengatur hal tersebut secara tertulis. Dalam
ketentuan
UU Pengadialan Anak tidak ada penjelasan sama sekali mengenai kedua hal di atas.
Bahkan
dalam Penjelasan Pasal 1 UU Pengadilan Anak, dinyatakan cukup jelas, padahal masalah
tersebut belum jelas dan perlu penjelasan.

Kenyataan yang demikian ini dalam suatu perundang-undangan tentunya kurang


membawa
kepastian hukum, oleh karena itu perlu diadakan penelitian tentang definisi atau
pengertian
anak nakal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (2) UU Pengadilan Anak. Dengan
demikian penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul " Analisis terhadap
Pengertian
Anak Nakal yang diatur dalam Pasal 1 angka (2) huruf b Undang-Undang No. 3
Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak".
1.2.Identifikasi Masalah
Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional, karena melindungi
anak
berarti melindungi manusia dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat
pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya, oleh karena itu
mengabaikan perlindungan terhadap anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan
nasional
1.3.Rumusan Masalah
Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar kelak dapat
berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Dalam Pasal 2 ayat (3)
dan ayat (4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, ditentukan
bahwa: "Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan
maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan dari lingkungan
hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan
dengan
wajar".
1. Apa pengertian uu perlindungan anak?
2. Bagaimana asal-usul uu perlindungan anak?
3. Apa saja fungsi uu perlindungan anak dalam kehidupan?
4. Bagaimana pemahaman fungsi uu perlindungan anak?
5. Bagaimana pengaruh uu perlindungan anak terhadap pendidikan?
1.4.Pemecahan Masalah
Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah
pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah ini
digunakan untuk menegaskan masalah-masalah yang akan di teliti, sehingga
akan lebih memudahkan dalam melakukan penelitian yang akan dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam
dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak terkait keberadaan mereka
di lokasi produksi dan pengkonsumsi miras di wilayah Sukoharjo?
2. Bagaimana realita perlindungan anak di lokasi produksi dan pengkonsumsi
miras di Wilayah Sukoharjo?
3. Apa yang dilakukan kepolisian dan upaya perlindungan anak di lokasi
produksi dan pengkonsumsi miras di Wilayah Sukoharjo?
1.5.Tujuan
Tujuan dan manfaat penelitian terhadap suatu obyek yang diteliti dapat
bermanfaat maka harus memiliki tujuan yang jelas dari sebuah penelitian yang
akan diteliti. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan solusi
masalah atau pemecaham masalah yang ada di dalam rumusan masalah
tersebut di atas. Tujuan dari masalah ini adalah:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk memperoleh data serta mengetahui secara jelas mengenai
bagaimana perlindungan hukum yang terkait terhadap anak yang
berada di lokasi pengkonsumsi miras.
8
b. Untuk mengetahui realita perlindungan yang di berikan kepada anak di
lokasi pengkonsumsi miras.
c. Serta mengetahui peran atau tindakan yang dilakukan kepolisian dalam
memberikan perlindungan kepada anak di lokasi pengkonsumsi miras.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memberikan pengetahuan serta manfaat bagi peneliti tentang
perlindungan hukum yang diberikan kepada anak dan mengetahui
peran polisi dalam melindungi anak dari lokasi pengkonsumsi miras.
b. Melatih keterampilan penulis agar dapat berfikir kritis dalam
menyelesaikan sebuah penelitian dan menganalisis suatu masalah,
serta untuk membantu mendapatkan data dan informasi yang berguna
untuk menyelesaikan skripsi sebagai syarat wisuda dan mendapatkan
gelar sarjana hukum di bidang ilmu hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Suatu penulisan karya ilmiah akan sangat berguna apabila dapat
memberikan bermanfaat bagi orang lain maupun instansi dimana penelitian
tersebut dilakukan. Penelitian ini diharapkan untuk dapat member manfaat
sebagai berikut:
Bab 2
Pembahasan
2.1.Pengertian
Keberadaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mempertegas perlunya
pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama
kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong
adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak.
Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak (korban kejahatan) dikemudian
hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Karena berdasarkan fakta yang terungkap
pada saat pelaku kejahatan terhadap anak (terutama pelaku kejahatan seksual) diperiksa di
persidangan, pada kenyataannya ada beberapa pelaku yang mengaku bahwa pernah
mengalami tindakan pelecehan seksual ketika pelaku masih berusia anak.
Oleh karenanya, keberadaan undang-undang ini semoga menjadi harapan baru dalam
melakukan perlindungan terhadap anak. Berikut adalah beberapa poin penting dalam
undnag-undang tersebut.
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih
dalam kandungan.
2. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan
hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 76E UU
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Pasal 82
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang
Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Untuk lebih lengkap, silahkan unduh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2014
2.2.Masalah
Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional, karena melindungi
anak.berarti melindungi manusia dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat
pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya, oleh karena itu mengabaikan
perlindungan terhadap anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional.

Bab 3
Penutup
3.1.Kesimpulan
1. Pengertian uu perlindungan anak
Keberadaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mempertegas perlunya
pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama
kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta
mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial
anak.
2. Asal-usul uu perlindungan anak
Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang marak terjadi di Indonesia amat
bertentangan dengan niat negara melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Padahal
Indonesia ialah salah satu negara yang ikut meratifikasi Konvensi Hak Anak atau
Convention on the Rights of the Child pada 5 September 1990 berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak
Anak.

Dengan meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia berdasarkan asas pacta sunt
servanda (itikad baik) berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang
terkandung dalam Konvensi Hak Anak, khususnya memenuhi hak-hak anak secara
umum, termasuk memberikan perlindungan dan penghargaan kepada anak agar
terhindar dari kekerasan dan pengabaian dalam lingkungan sosial.

Meski demikian, nyatanya masih banyak kasus kekerasan, penganiayaan, sampai


kejahatan seksual yang terjadi dan melibatkan anak-anak sebagai korbannya.

Satu dari banyak kasus kekerasan seksual pada anak yang mengundang perhatian
masyarakat ialah Robot Gedek tahun 1994-1996. Seorang gelandangan bernama
Siswanto atau Robot Gedek terbukti melakukan sodomi terhadap 12 anak laki-laki
dan membunuh mereka.

Kasus itu menyentak publik dan menyadarkan betapa peran negara minim dalam
melindungi anak-anak. Sebagai upaya penguatan hukum perlindungan anak,
pemerintah kemudian menerapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. UU itu disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Pasal 81 ayat 1 UU tersebut mengatur ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun


dan minimal tiga tahun, serta denda maksimal Rp300 juta bagi pelaku kekerasan
seksual terhadap anak.
Baca juga:Hukuman Kebiri Tak Permanen, Bidik Dua Kategori Pemerkosa
Namun UU dan ancaman sanksi tak lantas mengurangi tingkat kasus kekerasan atas
anak. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2014 justru menunjukkan
peningkatan pelanggaran hak anak sepanjang tahun 2011 hingga 2013.

Dari sekitar 500 kasus pada 2010, meningkat menjadi 1.500 kasus pelanggaran hak
anak pada tahun 2013.

Dari 1.500 kasus tersebut, 525 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual terhadap
anak. Pada 2010 misalnya, di Magelang dan Indramayu mencuat kasus sodomi
dengan tujuh anak sebagai korban.

Baekuni ‘Babeh’ terbukti telah menyodomi tujuh orang anak. Dia mengaku
melakukan kekerasan seksual kepada anak sejak 2007. Baekuni juga memutliasi para
korbannya untuk menghilangkan jejak kejahatan dia.

Kasus-kasus lain yang menyita perhatian publik ialah pemerkosaan oleh 13 atlet
Banten terhadap bocah SD, dan belakangan kasus tindakan asusila di Jakarta
International School pada April 2014.

Kasus-kasus itu dan deretan perkara kekerasan seksual pada anak lainnya membuat
pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagai Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

UU Nomor 2 Tahun 2002 memuat beberapa perubahan atas aturan sebelumnya, salah
satunya penegasan dan penambahan sanksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap
anak.

Pasal 81 UU tersebut menyebut, para pelaku dapat dikenai pidana penjara paling
singkat lima tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.

UU ini juga mempertegas hukuman bagi para pelaku kejahatan seksual yang
merupakan orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga pendidik. Bagi
mereka, dikenakan pidana dengan tambahan satu pertiga dari hukuman semula.

UU Nomor 2 Tahun 2002 pun mengakomodasi penegasan perlindungan hukum bagi


anak-anak penyandang disabilitas.

Meski ada penguatan dari segi hukum, tak ada dampak signifikan yang ditimbulkan.
Kekerasan seksual atas anak masih marak.
Baca juga:Kriminolog Tak Setuju Jokowi Terbitkan Perppu soal Kebiri
Belum lama ini terjadi pemerkosaan terhadap seorang siswi SMP oleh 14 pemuda di
Bengkulu. Siswi itu tewas mengenaskan. Ia dicegat 14 pemuda mabuk , diperkosa,
dan dibunuh pada 2 April.

Tragisnya kasus itu mendorong aksi solidaritas muncul spontan di berbagai kota.
Pemerintah pun didorong untuk menghukum seberat-beratnya para pemerkosa siswi
itu.
Ini menjadi titik tolak bagi pemerintah untuk mengkaji ulang UU Perlindungan Anak.
Pemerintah kemudian mengusulkan perubahan UU dengan menerapkan sejumlah
hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Kemarin, Presiden Jokowi pun menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perppu itu memuat pemberatan hukuman bagi pemerkosa anak, mulai pidana penjara
paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun, penjara seumur hidup, hukuman
mati, hingga penambahan hukuman seperti kebiri kimia, pengungkapan identitas, dan
pemasangan alat deteksi elektronik atau cip pada pelaku kekerasan seksual terhadap
anak. (agk)
3. Fungsi uu perlindungan dalam kehidupan
Indonesia merupakan negara yang menegakkan HAM bagi setiap warganya. Hak
Asasi Manusia sendiri merupakan hak dasar yang dibawa sejak lahir yang berlaku
universal pada semua manusia. Yang dimaksud dengan HAM sesuai dengan UU RI
No 39 Tahun 1999 pasal 1 yaitu “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”

Banyak sekali pasal-pasal yang mengatur tentang perlindungan, pemajuan,


penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 serta jaminannya,
meski begitu masih saja banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di
Indonesia. Saya mengambil contoh salah satunya yaitu pelanggaran hak asasi
perlindungan anak. Padahal hak asasi perlindungan anak jelas sudah diatur dalam:

-Undang Undang No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak

-Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

-Undang Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak

-Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tentang ratifikasi konversi hak anak

Contoh pelanggaran HAM pada anak-anak dapat terjadi saat hak anak di abaikan.
Anak merupakan masa depan bangsa, jadi tidak ada pengecualian, hak asasi manusia
untuk anak perlu di perhatikan. Contoh-contoh pelanggaran hak asasi manusia pada
anak seperti pembuangan bayi, penelantaran anak, gizi buruk hingga penularan
HIV/Aids. Komnas PA menerima pengaduan kasus penelantaran sekitar 5,4 juta anak,
dan pembuangan bayi sebanyak 886 bayi. Tempat pembuangan bayi juga beragam,
mulai dari halaman rumah warga, sungai, rumah ibadah, terminal, stasiun kereta api,
hingga selokan dan tempat sampah. Contoh lainnya yaitu gizi buruk (marasmus
kwasiokor) yang berdasarkan dari UNICEF, badan PBB untuk perlindungan anak,
jumlahnya mencapai 10 juta jiwa di Indonesia.

Kasus lainnya misalnya pernikahan dini, minimnya pendidikan, perdagangan anak,


penganiayaan anak dan mempekerjakan anak di bawah umur. Pernikahan dini banyak
terjadi di pedesaan, 46,5% perempuan menikah sebelum mencapai 18 tahun dan
21,5% menikah sebelum mencapai 16 tahun. Kasus paling nyata dan paling segar
adalah pernikahan yang dilakukan oleh Kyai Pujiono Cahyo Widianto atau dikenal
dengan Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa (12 tahun). Di dalam pernikahan itu
seharusnya melanggar Undang Undang perkawinan dan Undang Undang
perlindungan anak.

Menurut saya, sangat disayangkan jika anak diperlakukan seperti itu. Anak
mempunyai peran yang cukup penting dalam proses pembangunan. Anak adalah
tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita – cita perjuangan yang dasar –
dasarnya telah di letakkan oleh generasi sebelumnya.Hal ini bertujuan agar setiap
anak kelak mampu memiliki tanggung jawab penuh, baik secara individual maupun
universal.Oleh sebab itu anak membutuhkan perlindungan dan hukum terhdap
berbagai hak – hak anak.

Dengan lahirnya UU Perlindungan Anak, diharapkan anak-anak Indonesia bisa


menikmati hak mereka sebagai seorang anak. Atau bahkan mereka bisa tumbuh
menjadi generasi yang berkualitas dan diharapkan bisa menjadi tulang punggung
bangsa yang akan menjalankan pembangunan.

Solusi dari pelanggaran HAM dalam bentuk ini juga bisa melalui Komisi Nasional
Perlindungan Anak. Tugas KNPA yaitu:

-melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang


berkaitan dengan perlindungan anak

- mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan


penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak.

-memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam


rangka perlindungan anak. Misalnya untuk tugas memberikan masukan kepada
Presiden/pemerintah KPAI meminta pemerintah segera membuat undang–undang
larangan merokok bagi anak atau setidak-tidaknya memasukan pasal larangan
merokok bagi anak dalam UU.

Solusi lainnya yaitu, jika dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan


perlindungan anak, perlu peran masyarakat yang baik, baik melalui lembaga
perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga
pendidikan.
4. Bagaimana memahami fungsi uu perlindungan anak
Menurut saya, sangat disayangkan jika anak diperlakukan seperti itu. Anak
mempunyai peran yang cukup penting dalam proses pembangunan. Anak adalah
tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita – cita perjuangan yang dasar –
dasarnya telah di letakkan oleh generasi sebelumnya.Hal ini bertujuan agar setiap
anak kelak mampu memiliki tanggung jawab penuh, baik secara individual maupun
universal.Oleh sebab itu anak membutuhkan perlindungan dan hukum terhdap
berbagai hak – hak anak.
5. Pengaruh uu perlindungan anak pada pendidikan
Dengan lahirnya UU Perlindungan Anak, diharapkan anak-anak Indonesia bisa
menikmati hak mereka sebagai seorang anak. Atau bahkan mereka bisa tumbuh
menjadi generasi yang berkualitas dan diharapkan bisa menjadi tulang punggung
bangsa yang akan menjalankan pembangunan.

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan
bangsa sekaligus modal sumberdaya manusia bagi pembangunan nasional. Melihat
arti pentingnya anak bagi kelangsungan bangsa dan negara, pemerintah tetap
memandang perlu adanya acuan yuridis formal yang mengatur tentang pelaksanaan
perlindungan anak. Atas dasar pertimbangan tersebut, pemerintah telah menerbitkan
peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan
anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 bahwa


yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Seiring dengan
perkembangan jaman, perlindungan terhadap anak semakin dituntut pelaksanaannya.

Perkembangan teknologi dan budaya yang terjadi dewasa ini telah memunculkan
beberapa efek positif dan negatif dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena
itu menjadi kewajiban bagi orang dewasa, baik orang tua, keluarga, masyarakat
maupun bangsa untuk memberikan jaminan, memelihara dan mengamankan
kepentingan anak serta melindungi dari gangguan yang datang dari luar maupun dari
anak itu sendiri. Asuhan anak, terutama menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang
tua di lingkungan keluarga, akan tetapi demi kepentingan kelangsungan tata sosial
maupun untuk kepentingan anak itu sendiri, perlu adanya campur tangan dari
pemerintah.
3.2.Saran
perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara
langsung, maksudnya kegiatan tersebut langsung ditujukan kepada anak yang menjadi
sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini, antara lain dapat berupa cara melindungi
anak dari berbagai ancaman baik dari luar maupun dari dalam dirinya, mendidik, membina,
mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah kelaparan dan mengusahakan
kesehatannya dengan berbagai cara, serta dengan cara menyediakan pengembangan diri bagi
anak. Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan anak secara tidak langsung adalah
kegiatan yang tidak langsung ditujukan kepada anak, melainkan orang lain yang terlibat atau
melakukan kegiatan dalam usaha perlindungan terhadap anak tersebut.

Anda mungkin juga menyukai