Undang Undang Perlindungan Anak
Undang Undang Perlindungan Anak
Afirmasi 2
Nama Anggota :
1. Febri Nurdinda G.
2. Jagihon Tua
3. M. Ardan
4. M,Nur Ihsan
Bab 1
Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional, karena melindungi
anak
berarti melindungi manusia dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat
pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya, oleh karena itu
mengabaikan perlindungan terhadap anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan
nasional
.
Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar kelak dapat
berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Dalam Pasal 2 ayat
(3)
dan ayat (4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, ditentukan
bahwa: "Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan
maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan dari lingkungan
hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan
dengan
wajar".
Kedua ayat di atas dengan jelas menyatakan dan mendorong tentang perlunya
perlindungan
anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap
anak.
Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur
peradaban
bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan demi
kepentingan
nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang
membawa akibat hukum. Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan
perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan
perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang
tidak
diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Untuk itu, kegiatan
perlindungan
anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan
peraturan perundangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek
kedua
menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan perundangan tersebut.
Berkaitan dengan aspek pertama, dapat dilihat baik dalam UUD 1945, Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN), dan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan
hukum perlindungan anak. Masalahnya adalah apakah dengan telah tersedianya berbagai
perangkat perundang-undangan tentang hak-hak anak yang ada, telah dengan sendirinya
usaha-usaha untuk mewujudkan hak-hak anak dan upaya penghapusan praktik
pelanggaran
dan pengabaian hak anak sebagaimana dikehendaki oleh peraturan perundangan tersebut,
dapat diakhiri. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam upaya melakukan perlindungan
terhadap hak-hak anak dan bagaimana pengimplementasian kebijakan dan ketentuan yang
telah ada, pembahasan inilah yang merupakan aspek kedua dari masalah perlindungan
anak.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (1992: 111), tujuan dan dasar pemikiran dari
Peradilan Anak jelas tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama untuk mewujudkan
kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan
sosial.
Dengan kalimat terakhir ini tidak harus diartikan bahwa kesejahteraan atau kepentingan
anak
itu pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha mewujudkan kesejahteraan sosial. Hal
ini
sesuai pula dengan pendapat Sudarto yang dikemukakan saat membahas tentang RUU
Pengadilan Anak: “…walaupun di dalam RUU disebutkan Pengadilan Anak
mengutamakan
kesejahteraan anak di samping kepentingan masyarakat, namun beliau berpendapat bahwa
kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi kepentingan masyarakat”.
Undang-Undang ini menyebut anak yang diajukan ke muka sidang pengadilan pidana
sebagai
"Anak Nakal". Menurut Pasal 1 angka (2) UU Pengadilan Anak, yang dimaksud anak
nakal
adalah:
a. anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut
peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat.
Bab 3
Penutup
3.1.Kesimpulan
1. Pengertian uu perlindungan anak
Keberadaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mempertegas perlunya
pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama
kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta
mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial
anak.
2. Asal-usul uu perlindungan anak
Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang marak terjadi di Indonesia amat
bertentangan dengan niat negara melindungi dan memenuhi hak-hak anak. Padahal
Indonesia ialah salah satu negara yang ikut meratifikasi Konvensi Hak Anak atau
Convention on the Rights of the Child pada 5 September 1990 berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak
Anak.
Dengan meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia berdasarkan asas pacta sunt
servanda (itikad baik) berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang
terkandung dalam Konvensi Hak Anak, khususnya memenuhi hak-hak anak secara
umum, termasuk memberikan perlindungan dan penghargaan kepada anak agar
terhindar dari kekerasan dan pengabaian dalam lingkungan sosial.
Satu dari banyak kasus kekerasan seksual pada anak yang mengundang perhatian
masyarakat ialah Robot Gedek tahun 1994-1996. Seorang gelandangan bernama
Siswanto atau Robot Gedek terbukti melakukan sodomi terhadap 12 anak laki-laki
dan membunuh mereka.
Kasus itu menyentak publik dan menyadarkan betapa peran negara minim dalam
melindungi anak-anak. Sebagai upaya penguatan hukum perlindungan anak,
pemerintah kemudian menerapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. UU itu disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Dari sekitar 500 kasus pada 2010, meningkat menjadi 1.500 kasus pelanggaran hak
anak pada tahun 2013.
Dari 1.500 kasus tersebut, 525 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual terhadap
anak. Pada 2010 misalnya, di Magelang dan Indramayu mencuat kasus sodomi
dengan tujuh anak sebagai korban.
Baekuni ‘Babeh’ terbukti telah menyodomi tujuh orang anak. Dia mengaku
melakukan kekerasan seksual kepada anak sejak 2007. Baekuni juga memutliasi para
korbannya untuk menghilangkan jejak kejahatan dia.
Kasus-kasus lain yang menyita perhatian publik ialah pemerkosaan oleh 13 atlet
Banten terhadap bocah SD, dan belakangan kasus tindakan asusila di Jakarta
International School pada April 2014.
Kasus-kasus itu dan deretan perkara kekerasan seksual pada anak lainnya membuat
pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sebagai Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
UU Nomor 2 Tahun 2002 memuat beberapa perubahan atas aturan sebelumnya, salah
satunya penegasan dan penambahan sanksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap
anak.
Pasal 81 UU tersebut menyebut, para pelaku dapat dikenai pidana penjara paling
singkat lima tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
UU ini juga mempertegas hukuman bagi para pelaku kejahatan seksual yang
merupakan orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga pendidik. Bagi
mereka, dikenakan pidana dengan tambahan satu pertiga dari hukuman semula.
Meski ada penguatan dari segi hukum, tak ada dampak signifikan yang ditimbulkan.
Kekerasan seksual atas anak masih marak.
Baca juga:Kriminolog Tak Setuju Jokowi Terbitkan Perppu soal Kebiri
Belum lama ini terjadi pemerkosaan terhadap seorang siswi SMP oleh 14 pemuda di
Bengkulu. Siswi itu tewas mengenaskan. Ia dicegat 14 pemuda mabuk , diperkosa,
dan dibunuh pada 2 April.
Tragisnya kasus itu mendorong aksi solidaritas muncul spontan di berbagai kota.
Pemerintah pun didorong untuk menghukum seberat-beratnya para pemerkosa siswi
itu.
Ini menjadi titik tolak bagi pemerintah untuk mengkaji ulang UU Perlindungan Anak.
Pemerintah kemudian mengusulkan perubahan UU dengan menerapkan sejumlah
hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Perppu itu memuat pemberatan hukuman bagi pemerkosa anak, mulai pidana penjara
paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun, penjara seumur hidup, hukuman
mati, hingga penambahan hukuman seperti kebiri kimia, pengungkapan identitas, dan
pemasangan alat deteksi elektronik atau cip pada pelaku kekerasan seksual terhadap
anak. (agk)
3. Fungsi uu perlindungan dalam kehidupan
Indonesia merupakan negara yang menegakkan HAM bagi setiap warganya. Hak
Asasi Manusia sendiri merupakan hak dasar yang dibawa sejak lahir yang berlaku
universal pada semua manusia. Yang dimaksud dengan HAM sesuai dengan UU RI
No 39 Tahun 1999 pasal 1 yaitu “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”
-Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tentang ratifikasi konversi hak anak
Contoh pelanggaran HAM pada anak-anak dapat terjadi saat hak anak di abaikan.
Anak merupakan masa depan bangsa, jadi tidak ada pengecualian, hak asasi manusia
untuk anak perlu di perhatikan. Contoh-contoh pelanggaran hak asasi manusia pada
anak seperti pembuangan bayi, penelantaran anak, gizi buruk hingga penularan
HIV/Aids. Komnas PA menerima pengaduan kasus penelantaran sekitar 5,4 juta anak,
dan pembuangan bayi sebanyak 886 bayi. Tempat pembuangan bayi juga beragam,
mulai dari halaman rumah warga, sungai, rumah ibadah, terminal, stasiun kereta api,
hingga selokan dan tempat sampah. Contoh lainnya yaitu gizi buruk (marasmus
kwasiokor) yang berdasarkan dari UNICEF, badan PBB untuk perlindungan anak,
jumlahnya mencapai 10 juta jiwa di Indonesia.
Menurut saya, sangat disayangkan jika anak diperlakukan seperti itu. Anak
mempunyai peran yang cukup penting dalam proses pembangunan. Anak adalah
tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita – cita perjuangan yang dasar –
dasarnya telah di letakkan oleh generasi sebelumnya.Hal ini bertujuan agar setiap
anak kelak mampu memiliki tanggung jawab penuh, baik secara individual maupun
universal.Oleh sebab itu anak membutuhkan perlindungan dan hukum terhdap
berbagai hak – hak anak.
Solusi dari pelanggaran HAM dalam bentuk ini juga bisa melalui Komisi Nasional
Perlindungan Anak. Tugas KNPA yaitu:
Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan
bangsa sekaligus modal sumberdaya manusia bagi pembangunan nasional. Melihat
arti pentingnya anak bagi kelangsungan bangsa dan negara, pemerintah tetap
memandang perlu adanya acuan yuridis formal yang mengatur tentang pelaksanaan
perlindungan anak. Atas dasar pertimbangan tersebut, pemerintah telah menerbitkan
peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan
anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perkembangan teknologi dan budaya yang terjadi dewasa ini telah memunculkan
beberapa efek positif dan negatif dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena
itu menjadi kewajiban bagi orang dewasa, baik orang tua, keluarga, masyarakat
maupun bangsa untuk memberikan jaminan, memelihara dan mengamankan
kepentingan anak serta melindungi dari gangguan yang datang dari luar maupun dari
anak itu sendiri. Asuhan anak, terutama menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang
tua di lingkungan keluarga, akan tetapi demi kepentingan kelangsungan tata sosial
maupun untuk kepentingan anak itu sendiri, perlu adanya campur tangan dari
pemerintah.
3.2.Saran
perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara
langsung, maksudnya kegiatan tersebut langsung ditujukan kepada anak yang menjadi
sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini, antara lain dapat berupa cara melindungi
anak dari berbagai ancaman baik dari luar maupun dari dalam dirinya, mendidik, membina,
mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah kelaparan dan mengusahakan
kesehatannya dengan berbagai cara, serta dengan cara menyediakan pengembangan diri bagi
anak. Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan anak secara tidak langsung adalah
kegiatan yang tidak langsung ditujukan kepada anak, melainkan orang lain yang terlibat atau
melakukan kegiatan dalam usaha perlindungan terhadap anak tersebut.