Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Telur merupakan salah satu hasil ternak yang dihasilkan oleh unggas. Telur
sebenarnya dihasilkan sebagai bakal mahluk hidup baru, sebagai generasi penerus
bagi ternak ungags. Oleh karena itu telur mempunyai komposisi zat makan yang
lengkap dan seimbang bagi pertumbuhan dan perkembangan bakal mahluk
didalam telur. Kesempurnaan dan keseimbangan zat makanan ini juga diperlukan
bagi mahluk hidup selain ungags, termasuk manusia. Karena struktur fisik
tersebut maka secara alamiah telur mempunyi daya simpan yang relatif (2–3
minggu) dan telur juga mempunyai pengawet alami yang cukup potensial untuk
melindungi dari kerusakan mikrobial.
Telur mempunyai pengawet alami yang disebut dengan putih telur (albumen)
yang mempunyai kemampuan sebagai inhibitor (penghambat) bagi pertumbuhan
mikroorganisme, sehingga telur tidak cepat mengalami kerusakan atau penurunan
kualitas.
Ada dua cara dalam pengawetan telur, yaitu pengawetan alami pada telur dan
pengawetan dengan penggaraman (pembuatan telur asin dengan media cair dan
pembuatan telur asin dengan pembalutan)
Pengawetan dengan penggaraman terdiri dari penggaraman kering dan
penggaraman basah. Pengawetan dengan penggaraman kering yaitu cara
mengawetkan telur untuk diasinkan dengan melakukan pembalutan pada telur
tersebut. Telur dibalut dengan serbuk batu bata, abu gosok dan garam halus yang
dicampur sedangkan pengawetan dengan penggaraman basah yaitu mengasinkan
telur dengan cara merendam telur dalam larutan garam yang ditambah air kapur,
Kedua cara penggaraman ini jelas berbeda kualitasnya.
Pengemasan bahan atau produk pangan merupakan salah satu kegiatan
pengawetan yang sudah cukup lama diaplikasikan dan dilakukan oleh kalangan
industri maupun lingkungan rumah tangga. Pengemasan yang dilakukan pada
bahan atau produk telah diakui dapat memperpanjang umur simpan dan
mempertahankan kualitas bahan atau pangan tersebut dalam jangka waktu
tertantu. Pengemasan membuat kemungkinan kontaminasi udara, dehidrasi

1
produkg,kontak dengan oksigen menjadi terbatas sehingga produk menjadi lebih
tahan lama.
Pengawetan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan
memiliki daya simpan yang lama dan mempertahankan sifat sifat fisik dan kimia
makanan. Bahan pengawet adalah bahan kimia yang berfungsi dapat membantu
mempertahankan bahan makanan dari serangan mikroba pembusuk, baik bakteri,
kapang maupun khamir dengan cara menghambat, mencegah, memberhentikan
proses pembusukan atau kerusakan komponen lain dari bahan panganCuring
merupakan suatu sistem pengawetan terpadu yang mengandalkan kekuatan garam
sebagai pengawet dengan bantuan kontrol mikroba secara selektif. Istilah curing
digunakan jika sistem tersebut diterapkan terhadap daging dan sejenisnya. Daging
merupakan produk yang high perishable atau produk yang mudah mengalami
kerusakan, sehingga dapat dilakukan pengawetan untuk menghindari kerusakan.
Fermentasi adalah proses yang memanfaatkan kemampuan mikroba untuk
menghasilkan metabolit primer dan metabolit sekunder dalam suatu lingkungan
yang dikendalikan. Fermentasi merupakan proses pengubahan bahan organik
menjadi bentuk lain yang lebih berguna dengan bantuan mikroorganisme secara
terkontrol. Mikroorganisme yang terlibat di antaranya adalah bakteri, protozoa,
jamur atau kapang, ragi atau yeast. Manfaat utama fermentasi adalah pengubahan
karbohidrat menjadi asam organik yang bersifat mengawetkan makanan. Untuk
menghasilkan suatu produk fermentasi tertentu, dibutuhkan kondisis fermentasi
dan jenis mikroba dengan karakteristik tertentu. Oleh karena itu diperlukan
keadaan lingkungan, substrat, serta perlakuan yang sesuai sehingga produk yang
dihasilkan menjadi optimal.
Pendiginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan
bahan yaitu -2 sampai +10 0 C. Cara pengawetan dengan suhu rendah lainya yaitu
pembekuan. Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku
yaitu pada suhu 12 sampai -24 0 C. Pembekuan cepat (quick freezing) di lakukan
pada suhu -24 sampai -40 0 C. Pendinginan biasanya dapat mengawetkan bahan
pangan selama beberapa hari atau minggu tergantung pada macam bahan
panganya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk
beberapa bulan atau kadang beberapa tahun. Perbedaan lain antara pendinginan

2
dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap keaktifan
mikroorganisme di dalam bahan pangan. Penggunaan suhu rendah dalam
pengawetan pangan tidak dapat membunuh bakteri, sehingga jika bahan pangan
beku misalnya di keluarkan dari penyimpanan dan di biarkan mencair kembali
(thawing), pertumbuhan bakteri pembusuk kemudian berjalan cepat kembali.
Pendinginan dan pembekuan masing-masing juga berbeda pengaruhnya terhadap
rasa, tekstur, nilai gizi, dan sifat-sifat lainya. Beberapa bahan pangan menjadi
rusak pada suhu penyimpangan yang terlalu rendah.
Pengawetan dengan pengeringan adalah salah satu cara pengawetan yang
banyak digunakan. Pengawetan dengan pengeringan bertujuan untuk memperkecil
atau menghilangkan kadar air dalam bahan pangan sehingga produk akan lebih
tahan lama karena keberadaan air dalam bahan pangan ikut menentukan kualitas
daya tahan bahan panagan, semakin tinggi kadar aiar maka banhan pangan
tersebut relatif tidak tahan lama. Pengurangan kadar air pada bahan pangan dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan sinar matahari ( sun drying ) dan
oven atau pengeringan buatan ( artificial drying ). Kecepatan penurunan kadar air
bahan pangan tergantung dari kandungan air bahan yang dikeringkan, ketebalan
atau luas permukaan bahan pangan, dan temperatur pengeringan. Prinsip dari
penentuan kadar air dengan infrared digital moisture balance adalah mengukur
kadar air dengan mrnguapkan air yang ada dalam bahan pangan dengan
pemanasan (lampu infra merah). Kadar air bahan pangan langsung ditunjukan
dalam persen pada skala penunjuk air

1.2. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum yang berjudul Pengawetan alami pada telur
yaitu untuk mengetahui kemampuan pengawet alami yang ada pada telur, untuk
mengetahui penyebab kerusakan pada telur dan untuk mengetahui daya simpan
telur pada keadaan mentah dan setelah diolah.
Tujuan dari praktikum yang berjudul Pengawetan dengan penggaraman
yaitu untuk mengetahui peran garam dalam pengawetan telur, untuk mengetahui
cara pengawetan dengan penggaraman basah maupun kering dan untuk
mengetahui perbedaan kualitas telur dengan penggaraman basah maupun kering.

3
Tujuan dari praktikum yang berjudul Pengemasan dengan pendinginan
yaitu untuk mengetahui peran dan fungsi kemasan dalam mempertahankan
kualitas bahn pangan dan untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada daging
yang didinginkan dengan menggunakan kemasan dan tanpa kemasan.
Tujuan dari praktikum Pengemasan produk ternak yaitu untuk mengetahui
peran dan fungsi kemasan dalam mempertahankan kualitas daan untuk
mengetahui perubahan yang terjadi pada produk yang disimpan dalam kemasan
dengan produk tanpa kemasan.
Tujuan dari praktikum yang berjudul Pengawetan dengan bahan kimia
(Curing) yaitu untuk mengetahui daya tahan simpan produk dan untuk melihat
perubahan warna produk.
Tujuan dari praktikum yang berjudul Pengawetan dengan fermentasi yaitu
untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada susu yang difermentasi selama 12-
14 jam pada suhu kamar.
Tujuan dari praktikum yang berjudul Pengawetan dengan pembekuan
yaitu untuk mengetahui dripp daging setelah pembekuan, untuk mengetahui drip
dari berbagai irisan/bagian karkas ayam, untuk mengetahui factor-faktor yang
berpengaruh terhadap jumlah dripp yang dikeluarkan dari daging setelah
pembekuan.
Tujuan dari praktikum yang berjudul Pengawetan dengan pengeringan
yaitu untuk mengetahui factor-faktor yang berpengaruh terhadap kecepatan proses
pengeringan dan untuk mengetahui cara mengukur kadar air pangan/bahan
pangan.

1.3. Manfaat

Adapun manfaat dari praktikum Teknologi Hasil Ternak ini adalah


praktikan dapat mengetahui berbagai proses ataupun tindakan dalam
memperpanjang umur simpan dari suatu produk pangan, dapat mengetahui cara
pengawetan bahan pangan, dapat mengevaluasi proses pengolahan bahan pangan
ternak, serta praktikan dapat menerapkan tindakan praktikum dalam kehidupan
sehari-hari, dan dapat mengetahui kualitas yang unggul dari setiap proses
pengolahan hasil ternak tersebut.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengawet Alami Pada Telur


Menurut Adnan (2002), yang menyatakan bahwa pada telur yang sudah
pecah akan mudah atau cepat mengalami kerusakan, karena akibat
mikroorganisme yang ada didalam telur tersebut akan cepat tumbuh dan
berkembang, sehingga telur tersebut akan rusak atau sudah berbau amis bahkan
akan berbau busuk.
Menurut Allen (2001), yang menyatakan bahwa telur yang direbus bau
(aroma) nya akan rusak pada hari yang ketiga sehingga, bau amis.
Menurut Antonius (2001) menyatakan bahwa telur adalah sumber protein
bermutu tinggi, kaya akan vitamin dan mineral, protein telur termasuk sempurna
karena menggandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah cukup
seimbang.
Budiman dkk (2012:225) menambahkan bahwa tingkat kekenyalan yang
cenderung semakin meningkat disebabkan karena pengaruh kadar air, kadar air
yang sedikit akan menghasilkan tekstur yang kenyal.
Hadiwiyanto (2003), yang menyatakan bahwa pada telur yang sudah
diolah misalnya telur tersebut digoreng, maka bau (aroma) telur yang sudah
digoreng akan lebih cepat mengeluarkan bau (aroma) amis, dibandingkan dengan
bau dari telur yang hanya dipecahkan begitu saja.
Haris dan Kermas (2005), yang menyatakan bahwa pada telur yang sudah
digoreng (diolah), maka viscositasnya (kekentalan) sudah pecah/rusak karena
adanya pemanasan.
Lukito dkk (2012) Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang
memiliki rasa yang lezat. Selain itu, telur mudah diperoleh dan harganya relatif
murah. Ada bermacam-macam jenis telur unggas yang umum dikonsumsi,
diantaranya telur ayam, telur bebek dan telur puyuh.
Nurhidayat dkk, (2013) Selain itu tekstur putih telur dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu kadar protein, suhu pemanasan, kekuatan ion dan
adanya interaksi dengan komponen lain.

5
Oktaviani dkk, (2012) Kadar air mempengaruhi konsentrasi pigmen,
sedangkan lemak bebas mempengaruhi keluarnya pigmen. Kuning telur
merupakan suatu emulsi lemak dalam air dengan kandungan bahan kering sekitar
50% yang terdiri dari 2/3 lemak dan 1/3 protein.
Menurut Rasyaf, M (2007),telur sangat mudah mengalami kerusakan
apalagi telur yang sudah tidak mempunyai kerabang sehingga mikroba sangat
mudh berkembang dalam telur khususnya pada telur putih.

2.2. Pengawetan Dengan Penggaraman


Lukito dkk, (2012) Pengasinan telur dapat dilakukan dengan merendam
telur dalam larutan garam jenuh (metode basah) dan dengan
membalut/membungkus telur dengan adonan garam, dan abu (metode kering).
Lukman (2008) mengemukakan bahwa berdasarkan perbedaan metode
pengasinan metode kering lebih disukai oleh panelis.
Menurut Mu’addimah dkk (2015), kadar protein pada telur asin akan
mengalami perubahan setelah proses pengasinan. Perbedaan konsentrasi garam
yang digunakan pada proses pengasinan telur asin berpengaruh terhadap kadar
protein telur asin.
Novia dkk, (2011) Pengasinan merupakan salah satu upaya untuk
mengawetkan telur bebek, mengurangi bau amis dan menciptakan rasa khas.
Garam merupakan faktor utama dalam proses pengasinan telur yang berfungsi
sebagai bahan pengawet untuk mencegah pembusukan telur, sehingga
meningkatkan daya simpannya.
Sipan dan Winarto (2007) setelah telur direndam dalam larutan garam,
secara umum kadar airnya menurun, menjadi sekitar 85.03-86.56% (pada putih
telur) dan 30.97-33.24% (pada kuning telur). Penurunan ini disebabkan adanya
difusi larutan garam NaCl ke dalam telur, sehingga menyebabkan keluarnya air
dari dalam telur
Sujinem (2006) Selain hal tersebut, agar penetrasi garam ke dalam telur
dapat berlangsung lebih cepat, maka pengasinan telur juga bisa dilakukan dengan
metode tekanan.

6
Wikanastri dan Nurrahman (2006:56) menjelaskan bahwa masuknya
garam dalam telur selama proses pemeraman melalui mekanisme difusi. Difusi
merupakan perpindahan partikel/pelarut dari konsentrasi tinggi menuju rendah
dan melewati membran semi permeabel.
Menurut Winarno (2006), cita rasa bahan pangan terdiri dari bau, rasa, dan
rangsangan dari mulut, cita rasa telur asin khas dapat disebabkan oleh faktor
pemecahan senyawa dalam telur atau fermentasi mikroba.
Menurut Wiston (2003), didalam memberikan nilai hedomik untuk
pengawetan dengan penggaraman ini bernilai cukup baik apabila nilai
hedomiknya mendapatkan nilai suka dan biasa dan tidak ada kata tidak suka.
Wulandari et al. (2014)Telur asin merupakan salah satu produk yang
disukai masyarakat. Prinsip dari pembuatan telur asin adalah terjadinya proses
ionisasi garam NaCl yang kemudian berdifusi ke dalam telur melalui pori-pori
kerabang.
2.3. Pengemasan Produk Ternak
Menurut Bambang, S (2007), yang menyatakan bahwa pengawetan atau
penyimoanan pada suhu rendah lebih tahan lama dari pada disuhu kamar karena
pada suhu rendah pertumbuhan mikroba akan terhambat.
Brody (2000), yang menyatakan bahwa pengemasan merupakan suatu cara
dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan da dengan
demikian membutuhkan pemikiran dan perhatian yang lebih besar daripada yang
biasanya diketahui.
Fennema (2002), yang menyatakan bahwa ada 2 pengaruh pendinginan
terhadap makanan diantaranya penurunan suhu akan mengakibatkan penurunan
kimi, mikrobiologi dan biokimia yag berhubungan dengan kelayuan (senescene),
kerusakan (decay) pembusukan dan yang kedua adalah pada suhu dibawah 0 oC
air akan membeku dan terpisah dari larutan yang membentuk es, yang mirip
dalam hal air yang diuapkan paada pengeringan atau suatu penurunan Aw
(aktivitas air).
Menurut Frazier dan Dennis (2001), penyimpangan aroma disebabkan
dekomposisi protein, peptide, dan asam amino yang menyebabkan bau busuk dan

7
disebut putrefaksi. Reaksi tersebut menghasilkan senyawasenyawa yang
mengandung sulfur
Hadi wiyoto (2007), yang menyatakan bahwa penyimpanan yang baik
tidak bisa menjamin kualitas bahan karena adanya sifat alami bahan yang dapat
mengalami kerusakan walupun sudah ada proses pengawetan yang bertujuan
untuk mencegah proses kerusakan.
Hardono.S. (2000), yang menyatakan bahwa penentuan daya awet dapat
dilakukan dilaboratorium dengan cara menilai mutu bahan pangan bila disimpan
didalam bahan pengemas tertentu untuk jangka waktu yang berbeda-beda di
bawah kondisi standar.
Menurut Hari Purnomo dan Adiono (2002), Secara umum tujuan dari
pengemasan adalah mempertahankan kualitas : yakni melindungi kontaminasi dari
mikroorganisme, kotoran dan serangga, melindungi kandungan air dan lemak,
yaitu agar kandungan air bahan pangan tetap konstan, mencegah masuknya bau
dan gas sehingga bau/aroma produk dapat dipertahankan, melindungi dari tekanan
dan benturan.
Menurut Lawrie, AR. (2000), pH akhir yang tinggi mengubah sifat-sifat
penyerapan mioglobin, permukaan daging menjadi lebih merah gelap.
Rahayu et al., (2002) menjelaskan bahwa penyimpangan baud an aroma
yang terjadi pada produk perikanan disebabkan oleh adanya enzim dan
mikroorganisme. Bau busuk terjadi akibat aktivitas bakteri proteolitik yang
memecah protein menjadi senyawa-senyawa sederhana seperti polipeptida, asam
amino, H2S, indol, dan skatol.
Menurut Winarno dan Betty (2003), kerusakan bahan pangan dapat
disebabkan oleh dua hal yaitu kerusakan oleh sifat alamiah dari produk yang
berlangsung secara spontan yang kedua adalah kerusakan karena pengaruh
lingkungan.
2.4 Pengemasan Dengan Pendinginan
Daging merupakan salah satu hasil ternak yang sangat penting dalam
pemenuhan kebutuhan pangan manusia, khususnya sebagai sumber protein
hewani. Sejauh ini penyediaan daging di Indonesia masih belum cukup
memadahi, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Daging merupakan bahan

8
pangan yang bernutrisi tinggi, kandungan gizi yang tinggi tersebut merupakan
media yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme
(Warriss, 2000).
Pendinginan atau refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata
yang digunakan masih di atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan
biasanya antara – 1oC sampai + 4oC. Pada suhu tersebut, pertumbuhan bakteri
dan proses biokimia akan terhambat. Pendinginan biasanya akan mengawetkan
bahan pangan selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada
jenis bahan pangannya. Pendinginan yang biasa dilakukan di rumah-rumah tangga
adalah dalam lemari es yang mempunyai suhu –2oC sampai + 16Oc (Warriss,
2000).
Pembekuan atau freezing ialah penyimpanan di bawah titik beku bahan,
jadi bahan disimpan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik dapat dilakukan
pada suhu kira-kira –17 oC atau lebih rendah lagi. Pada suhu ini pertumbuhan
bakteri sama sekali berhenti. Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu
antara – 12 oC sampai – 24 oC. Dengan pembekuan, bahan akan tahan sampai
bebarapa bulan, bahkan kadang-kadang beberapa tahun (Benjamin, N. And
Collins. 2003).
2.5 Curing (Pengawetan Dengan Bahan Kimia)
Menurut Lawrie (2000), fungsi nitrit dalam curing yaitu dapat
menghambat pertumbuhan bakteri.
Menurut Petrucci (2001),bahan kimia nitrit dan nitrat merupakan bahan
kimia yang dapat digunakan dalam pengawetan bahan pangan daging maupun
bahan pangan lainnya.
Menurut Syarif (2003), pada dasarnya prinsip dari pengawetan bahan
pangan dengan bahan kimia yaitu mencegah pertumbuhan mikroba, menghentikan
proses-proses pembusukan oleh mikroba pada bahan pangan.

2.6 Pengawetan Dengan Fermentasi


Menurut Robert (2002), susu fermentasi diketahui mengandung bakteri
asam laktat yang mampu meningkatkan kerja enzim galaktosidae yang

9
memudahkan pencernaan laktosa dalam usus, meningkatkan kualitas nutrisi,
menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah kanker dan mengatasi diare.
Menurut Yuanta (2001), protein yang sering digunakan dalam fermentasi
bahan pangan terutama susu antara lain lactobacillus, yang digunakan dalam
pembuatan yakult.

2.7 Pengawetan Dengan Pembekuan


Menurut Lawrie (2001), menyatakan bahwa pada ruangan terbuka bahan
akan mengalami perubahan yang berupa adanya penguapan yang dapat
menyebabkan kekeringan pada bahan tersebut
2.8 Pengawetan Dengan Pengeringan
Menurut Lawrie (2000), proses pengeringan dalam pembuatan dendeng
ada dua cara, pengeringan dengan sinar matahari dan pengeringan dengan oven
yang dapat dijamin hygienis, mutu, dan kekeringannya.
Menurut Lawrie (2001), pengeringan suatu bahan makanan dengan suhu
yang tinggi dan waktu pengeringan yang lama dapat menutunkan aktifitas air
(AW).
Mazarnis (2002) menyatakan bahwa factor utama yang mempengaruhi
proses pengeringan adalah secara fisik dan kimiawi, pengaturan geometri produk
sifat dari lingkungan alat pngeringan dan suhu pengeringan.
Menurut Purnomo (2003), pengeringan dapat di percepat dengan
tempelatur yang tinggi dan memperkecil luas permukaan atau menipiskan bahan
yang.
Menurut Winarno (2005), semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin
cepat terjadi penguapan, sehingga kandungan air di dalam bahan semakin rendah.
akan di keringkan.

10
BAB III
MATERI DAN METODA

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum Teknologi Hasil Ternak ini dilaksanakan pada hari Sabtu mulai
tanggal 19 Oktober 2019 pukul 13.00 WIB sampai dengan tanggal 9 November
2019 bertempat di Laboratorium Gedung C Fakultas Peternakan Universitas
Jambi.

3.2. Materi

Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum yang berjudul


Pengawetan alami pada telur yaitu telur ayam ras, piring, minyak goreng, dan
penggorengan.
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum yang berjudul
Pengawetan dengan penggaraman yaitu telur itik, garam halus, kapur sirih, air
matang yang dingin, amplas, sebuk batu bata, abu gosok, sabut, dan toplles atau
ember kecil.
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum yang berjudul
Pengemasan dengan pendinginan yaitu daging, kemasan plastic poli etilen, pisau,
refrigerator, dan sealer.
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum yang berjudul
Pengemasan produk ternak yaitu susu pateurisasi, gelas/botol, panic, kompor, dan
refrigerator.
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum yang berjudul
Pengawetan dengan bahan kimia (Curing) yaitu daging sapi, garam, gula, air,
sodium nitrat, pisau, timbanagan dan toples.
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum yang berjudul
Pengawetan dengan fermentasi yaitu susu segar, bakteri stater lactobacillus casei
(yakult), susu bubuk, gula atau sirup, panic email, kompor, dan alat pengaduk.
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum yang berjudul
Pengawetan dengan pembekuan yaitu daging ayam, freezer, refrigerator, talenan,
thermometer, plastic, pisau dan timbangan ohaus.

11
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum yang berjudul
Pengawetan dengan pengeringan yaitu daging ayam, ketumbar, bawang putih,
gula merah, asam jawa, garam, food prosesor, pisau, talenan, baskom, plastic,
daun pisang dan oven.

3.3. Metoda

Adapun cara kerja pada Pengawetan alami pada telur yaitu siapkan 3
(tiga) butir telur dan bersihkan dari kotoran yang ada pada permukaan kerabang.
Masing – masing di beri tanda sesuai dengan perlakuan yaitu: T-1: Biarkan telur
dalam keadaan mentah dan utuh. T-2: Pecah telur dan letakkan dalam piring. T-3:
Rebus telur sampai masak (10 mnit), kemudian kupas dan letakkan pada piring. T-
4: Goreng telur menjadi mata sapi dan letakkan dalam piring. Letakkan semua
perlakuan telur di dalam ruangan dengan suhu dan kelembapan kamar. Lalu amati
semua perlakuan tersebut selama 5 hari.
Adapun cara kerja pada Pengawetan dengan penggaraman yang mengenai
pembuatan telur asin dengan cara basah yaitu cuci telur dan gosok dengan sabut,
kemudian di lap kain kering. Amplas kerabang telur agar penetrasi garam lebih
mudah dan lap dengan kain. Rendam dalam larutan garam (air : garam = 3 :1),
dan di tambah sedikit air kapur selama 8-10 hari dalam wadah ember. Lalu rebus
sampai masak. Dan pengawetan dengan penggaraman pada telur dengan cara
kering yaitu bersihkan telur yang akan di asinkan, buat larutan dan campur antara
garam halus, serbuk batu bata dan abu gosok, buat adonan tersebut seperti pasta
lalu tambah dengan larutan teh, bungkus telur dengan adonan pasta dan simpan 8-
10 hari, lalu rebus sampai masak, bandingkan hasilnya.
Adapun cara kerja pada pengemasan dengan pendinginan pertama kali
yang dilakukan adalah Pengemasan dengan pendinginan yaitu, menyiapkan
daging sapi dua potong dengan ukuran 5 x 7 cm, daging disimpan dalam
refrigerator pada suhu rendah ( 1 – 100C ) dengan ketentuan daging I daging
dimasukkan dalam plastik poli etilen dan rekatkan, daging II daging dibiarkan
terbuka dalam refrigerator,amati perubahan yang terjadi pada daging setiap hari
selama lima hari, daging diukur dan ditentukan kadar air masing – masing daging.

12
Adapun cara kerja pada Pengemasan produk ternak yang dilakukan, yaitu
menyiapkan susu segar sebanyak 0,5 liter, pasteurisasi susu tersebut pada suhu 72
c selama 15 detik, susu dimasukkan kedalam empat botol, dua botol disimpan
pada suhu kamar, dua botol disimpan suhu rendah, salah satu dari botol tutupnya
dibuka dalam masing – masing penyimpanan, amati perubahan yang terjadi pada
susu setiap 8 jam selama 2 hari.
Adapun cara kerja pada Pengawetan dengan bahan kimia (curing) yaitu
siapkan 2 potong daging dengan ukuran sekitar 5x7 cm dengan tebal 1-2 cm dan
timbang, buat 2 larutan dengan bahan:
Larutan Garam NaCL Gula (gr) Na.nitrit (gr) Air(gr)
I 7,3 2,7 0,23 45
II 7,3 2,7 - 45
Kemudian masukkan dalam toples/botol, selanjutnya masukkan masing-masing
daging dalam toples/botol (larutan I dan II) lalu simpan toples dalam refrigerator
selama 7 hari, setelah 7 hari, keluarkan toples/botol dari refrigerator dan keluarkan
daging, selanjutnya rebus daging dari masing-masing toples/botol selama 5 menit,
dan amati perubahan dan perbedaan daging masing-masing toples/botol antara
sebelum perebusan dan setelah serta antara larutan I dan larutan II.
Adapun cara kerja pada Pengawetan dengan fermentasi yaitu panaskan 1
liter susu sampai mendidih sambil diaduk sampai 2/3 bagian dari volume awal
kemudian tambahkan susu bubuk sebanyak 5% dari berat susu dan dinginkan
sampai suhu 45°C lalu letakan susu dalam tiga perlakuan yaitu yang pertama
ditambah 2 sendok teh yakult, yang kedua ditambah 3 sendok teh yakult dan yang
ketiga ditambah 4 sendok teh yakut sebagai starter selanjutnya masukan ke dalam
botol kecil yang tertutup rapat dan letakan pada suhu 25-27°C selama 12-14 jam
serta amati perubahan yang terjadi selama proses fermentasi, dan lakukan uji
organoleptic.
Adapun cara kerja pada Pengawetan dengan pembekuan yaitu siapkan
karkas ayam dan belah menjadi 2 bagian, masing-masing pisahkan berdasarkan
irisan yang meliputi irisan punggung, sayap dada, paha atas dan paha bawah,
timbang masing-masing irisan karkas lalu masukkan dalam kemasan plastik,
setelah di beri tanda masukkan semua kemasan karkas dalam freezer selama 48

13
jam, setelah 48 jam cairkan kemasan karkas yang membeku sebagai beriku: a).
irisan bagian kiri, thawing pada suhu kamar sampai irisan karkas lunak, b). irisan
bagian kanan, thawing pada refrigerator selama 24 jam dan selanjutnya thawing
pada suhu kamar sampai irisan lunak. Timbang masing-masing irisan sesaat
sebelum dithawing dan setelah dithawing selanjutnya keluarkan irisan karkas dari
kemasan plastic dan timbang (pisahkan irisan karkas dengan cairan yang keluar)
dan hitung drippnya.
Adapun cara kerja pada pengawetan dengan pengeringan yaitu daging
ayam di pisahkan dari tulang, kulit dan lemak, di cacah di haluskan dengan
blender, haluskan semua bumbu, di campur dengan daging ayam dalamfood
processor, buat lapisan sekitar 3-5 mm, adonan dendeng yang sudah siap letakkan
di atas daun pisang, keringan dalam oven dengan 2 perlakuan, I : Dengan di
keringkan dalam oven selama 36 jam pada suhu 500, II : dendeng di keringkan
dalam oven selama 48 jam pada suhu 500 C.

14
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengawet Alami Pada Telur

Telur merupakan salah satu hasil ternak yang dihasilkan oleh ternak
unggas. Telur yang segar baik ditandai oleh bentuk kulitnya yang bagus, cukup
tebal, tidak cacat (retak), warnanya bersih, rongga udara dalam telur kecil, posisi
kuning telur ditengah-tengah, dan tidak terdapat bercak atau noda darah. Telur
mengandun asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh. Dilakukan 4
perlakuan pada telur ayam ras yang digunakan yaitu pada T1 telur dibiarkan utuh
dan letakan dipiring, pada T2 telur dipecahkan dan dimasukan kedalam pirin,
pada T3 telur direbus keudian dikupas dan diletakkan dipiring, dan pada T4 telur
di goreng menjadi mata sapi dan diletakan dipiring. Kemudian setelah diamatai
selama 5 hari diperoleh hasil sebagai berikut.
Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan hasil pengamatan terhadap
pengawetan alami pada telur, sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil pengamatan pengawet alami pada telur
Pengamatan ke
Peubah Perlakuan
1 2 3 4 5
T1 Normal Normal Normal Normal Normal
Bau T2 Busuk Rusak Rusak Rusak Rusak
T3 Busuk Rusak Rusak Rusak Rusak
T4 Normal Rusak Rusak Rusak Rusak
T1 Normal Normal Normal Normal Normal
T2 Kekuningan Rusak Rusak Rusak Rusak
Kuning
Warna T3 Rusak Rusak Rusak Rusak
Pucat
Telur
T4 Normal Rusak Rusak Rusak
Goreng
T1 Normal Normal Normal Normal Normal
T2 Encer Rusak Rusak Rusak Rusak
Viscositas
T3 Lembek Rusak Rusak Rusak Rusak
T4 Lembek Lembek Rusak Rusak Rusak
Adapun hasil yang diperoleh pada pengawetan alami pada olahan hasil
ternak adalah bahwa dalam pengolahan hasil ternak yang secara alami pada
dasarnya menunjukkan kualitas olahan yang sederhana. Artinya rentan waktu
yang dapat digunakan untuk mempertahankan kualitas dan kuatitas daripada hasil
olahan ternak tersebut adalah rendah.

15
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa telur T1 yang dibiarkan utuh lebih
tahan lama, dibandingkan telur lain yang mendapat perlakuan. Hal tesebut
dikarenakan telur mempunyai pengawet alami yang terdapat pada kerabangnya
yang mebuat telur terjaga dari serangan mikroorganisme sehingga daya tahan telur
lebih lama. Hal ini sesuai dengan pendapat Murtidjo, BA (2006), yang
menyatakan bahwa telur yang kulitnya bersih mulus dan kerabangnya coklat
menandakan ketebalan kerabang yang merupakan salah satu faktor daya tahan
simpan telur. Pada telur T3 dan T4 perubahan wananya terdapat warna hitam yang
disebabkan oleh jamur.

Hal ini sesuai dengan pendapat Idris ,S (2004), yang menyatakan bahwa
telur yang sudah pecah (tidak ada lagi pembungkusnya) dan yang sudah digoreng
pada hari ke tiga akan berubah warna, karena pada saat itu jamur yang ada pada
telur tersebut sudah tumbuh dan berkembang sehingga dapat merubah warnanya
menjadi abu-abu atau keputihan pucat. Telur yang mendapat perlakuan lebih cepat
rusak dikarenakan tidak adanya kerabang yang melindungki telur tersebut. Hal ini
sesuai denan pendapat Rasyaf, M (2007), yang menyatakan bahwa telur sangat
mudah mengalami kerusakan apalagi telur yang sudah tidak mempunyai kerabang
sehingga mikroba sangat mudh berkembang dalam telur khususnya pada telur
putih

4.2 Pengawetan dengan Penggaraman

Pada praktikum pengawetan dengan penggaraman digunakan telur itik.


Pengawetan telur dapat dilakukan denga cara kering, perendaman, dan penutupan
kulit. Hal ini sesuai dengan pendapat Soedjai (2005), yang menyatakan bahwa
pengawetan telur dapat dilakukan dentgan cara melapisi kulit telur dengan
pembungkus kering (dry packing), perendaman (immertion in liquid), penutupan
kulit dengan bahan pengawet (shell shealing) dan penyimpanan dalam ruangan
pendingin (coid store). Setelah didiamkan dalam suhu ruang selama satu minggu
diperoleh hasil sebagai berikut

Tabel 2. Hasil pengamatan dengan penggaraman

Bobot Bobot
Unit Penyusutan Berat
Penggaraman awal akhir volume
telur (%) jenis
(gr) (gr)
1 67 67 - 60 1,11
Basah 2 66 66 - 60 1,1
3 74 74 - 70 1,06
Rataan 157,667 157,667 122,33 1,09
1 65 66 -1 60 1,08
Kering 2 68 68 - 60 1,13
3 68 69 -1 60 1,13
Rataan 157,67 157 -1 60 2,60

16
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada telur yan diasinkan terjadi
penyusutan. Pada penggaraman dengan cara basah didapat hasil minus diduga hal
tersebut dikarekana terjadi kesalahan dalam praktikum. Selain pengamatan selama
proses penggaraman, setelah disimpan selama satu minggu telur kemudian di
masak dan dilakukan pengamatan terhadap cita rasa dari telur asin sehingga
diperoleh hasil sebagai berikut

Tabel 3. Hasil pengamatan cita rasa telur asin

Nilai Bau Warna Tekstur Rasa


Penggaraman
hedonik Alb yolk alb yolk alb yolk alb Yolk
Andes B S S B S S B S
Cica B S S B S S B S
Basah Devi TS TS S B S S TS TS
Dhio B S S B B B B S
Yoga TS TS S B B B TS TS
Andes B S S B S S S S
Cica B S S B S S S S
Kering Devi TS TS B B S S TS TS
Dhio B S S B B B S S
Yoga B S B B B B B B

Setelah di rasakan, proses pengawetan dengan penggaraman pada telur


asin berhasil karena setelah di rasakan telur yang diawetkan dengan penggaraman
terasa asin. Dari hasil pengamatan pada bau telur asin dinilai biasa karena telur
asin memiliki aroma yang khas.
Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf Muh (2000) yang menyatakan
bahwa telur asin adalah telur itik yang diolah dalam keadaan utuh, dimana
kandungan garam didalam telur dapat menghambat perkembangan organisme dan
sekaligus memberikan aroma yang khas, sehingga telur dapat disimpan dalam
waktu relative lama. Dari hasil pengamatan, tingkat kesukaan berbeda pada telur
asin dengan cara basah dan cara kering, hal ini disebabkan oleh perbedaan
perilaku yan diberikan terhadap telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Soedjai
(2005) yang menyatakan bahwa hasil pengawetan akan terasa berbeda jika bahan
dan cara pengolahannya juga berbeda. Perbedaan dari hasil pengamatan tersebut
dipengaruhi oleh adanya pengawetan yang dilakuakn menurut Winarno (2006)
cita rasa bahan pangan terdiri dari bau, rasa, dan rangsangan dari mulut, cita rasa
telur asin khas dapat disebabkan oleh faktor pemecahan senyawa dalam telur atau
fermentasi mikroba. Dari hasil pengamatan cita rasa tersebut bernilai cukup baik.
Hal ini sesuai dengan pendapat Wiston (2003), yang menyataka bahwa didalam
memberikan nilai hedomik untuk pengawetan dengan penggaraman ini bernilai

17
cukup baik apabila nilai hedomiknya mendapatkan nilai suka dan biasa dan tidak
ada kata tidak suka

4.3 Pengemasan dengan pendinginan

Pengemasan dengan pendinginan dilakukan pada daging dengan perlakuan


pada daging I direkatkan dengan berat 36,01 gr, sedangkan pada daging II
dibiarkan terbuka dengan berat 27,56. Dari hasil pengamatan diperoleh hasil
sebagai berikut
Tabel 4. Hasil pengamatan Pengemasan dengan pendinginan
Pengamatan hari ke
Pengamatan Daging
1 2 3 4
Merah merah merah merah
I
normal gelap gelap kebiruan
Warna
Merah Merah Merah
II Merah
normal gelap gelap
I Normal Lembut Lembut Lembut
Testur
II Normal Lembut lembut Lembut
Tidak Tidak
I Normal Padat terlalu terlalu
padat padat
Konsistensi
Tidak Tidak
II Normal Padat terlalu terlalu
padat padat
I 36,01
Bobot awal
II 27,56
I 35,27
Bobot akhir
II 25,09

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa warna akhir yang didapat adalah
warna pada daging I warna merah kebiruan sedangkan pada daging II berwarna
merah gelap hal ini dipengarugi oleh PH, sesuai dengan pendapat Lawrie, AR.
(2000) yang menyatakan pH akhir yang tinggi mengubah sifat-sifat penyerapan
mioglobin, permukaan daging menjadi lebih merah gelap. Dari bobot awal dan
bobot akhir yang diperoleh daging yang dikemas pengurangan airnya lebih sedikit
dibanding yang dibuka hal ini sesuai dengan pendapat Hari Purnomo dan Adiono
(2002) yang menyataan Secara umum tujuan dari pengemasan adalah
mempertahankan kualitas : yakni melindungi kontaminasi dari mikroorganisme,
kotoran dan serangga, melindungi kandungan air dan lemak, yaitu agar kandungan
air bahan pangan tetap konstan, mencegah masuknya bau dan gas sehingga
bau/aroma produk dapat dipertahankan, melindungi dari tekanan dan benturan.
Namun pengemasan pada daging segar memiliki tujuan utama yakni untuk

18
mengurangi kehilangan air atau susut bobot, mencegah masuknya bau dari luar
dan membatasi jumlah oksigen
Pada pengemasan produk ternak, sebelum digunakan susu segar terlebih
dahulu di pasteurisasi selama dengan suhu 72ºC selama 15 detik . hal ini sesuai
dengan pendapat Piliang (2005), yang menyatakan bahwa cara mempertahankan
klualitas susu dari serangan mikroba yaitu dengan cara dipanaskan atau
pasteurisasi pada suhu 72 derjat celcius selama 15 detik atau 65 derajat celcius
selam 30 . Dari hasil pengamatan diperoleh hasil sebagai berikut
4.4 Pengemasan produk ternak
Tabel 5. Hasil pengamatan pengemasan susu pada suhu kamar
Bentuk Hari ke
Pengamatan Waktu(jam)
penyimapanan 1 2
Putih Rusak
Terbuka
kekuningan
8
Putih Rusak
Tertutup
Warna kekuningan
Terbuka Rusak Rusak
16
Tertutup Rusak Rusak

Terbuka Tengik Rusak


8
Tertutup Tidak Terlalu Rusak
Bau
Terbuka Rusak Rusak
16
Tertutup Rusak Rusak

Terbuka Kental Rusak


8
Tertutup Kental Rusak
Testur
Terbuka Rusak Rusak
16
Tertutup Rusak Rusak
Bergumpal Rusak
Terbuka (Tidak
Homogen)
8
Bergumpal Rusak
Konsistensi Tertutup (Tidak
Homogen)
Terbuka Rusak Rusak
16
Tertutup Rusak Rusak

Tabel 6. Hasil pengamatan pengemasan susu pada suhu rendah (refrigerator)

19
Hari ke
Bentuk
Pengamatan Waktu(jam)
penyimapanan
1 2
Terbuka Putih susu Putih susu
8
Tertutup Putih susu Putih susu
Warna
Terbuka Putih susu Putih susu
16
Tertutup Putih susu Putih susu
Terbuka Bau susu Bau susu
8
Tertutup Bau susu Bau susu
Bau
Terbuka Bau susu Bau susu
16
Tertutup Bau susu Bau susu
Terbuka Encer Encer
8
Tertutup Encer Encer
Testur
Terbuka Encer Encer
16
Tertutup Encer Encer
Terbuka Homogen Homogen
8
Tertutup Homogen Homogen
Konsistensi
Terbuka Homogen Homogen
16
Tertutup Homogen Homogen

Dari hasil praktikum diketahui bahwa susu yang disimpan pada suhu kamar
teksturnya menggumpal dari pada susu yang disimpan pada refrigator yan masih
cair. Hal ini sesuai dengan pendapat Bambang, S (2007), yang menyatakan bahwa
pengawetan atau penyimoanan pada suhu rendah lebih tahan lama dari pada
disuhu kamar karena pada suhu rendah pertumbuhan mikroba akan terhambat.
Bua daging yang disimpan di refrigerator amis dikarenakan didalam refrigerator
terdapat daging yang digunakan untuk bahan praktikum sehingga susu yang
terbuka terkontaminasi bau daging

4.5 Curing (Pengawetan dengan Bahan Kimia)

Dalam praktikum curing, sebelum dimasukan kedalam larutan I dan


larutan II, daging yang telah dipotong ditimbang terlebih dahulu dan diperoleh
daging untuk larutan I adalah 35,8 gr sedangkan untuk latutan II adalah 23,9 gr.
Manfaat daring curing adalah untuk mencegah dan mempertahankan bahan
makanan dari serangan mikroba pembusuk, hal ini sesuai dengan Syarif
(2003) yang mengatakan mengatakan bahwa pada dasarnya prinsip dari
pengawetan bahan pangan dengan bahan kimia yaitu mencegah pertumbuhan
mikroba, menghentikan proses-proses pembusukan oleh mikroba pada bahan
pangan.
Perbedaan antara kedua larutan adalah pada larutan I diberi nitrit
sedangkan larutan II tidak diberi nitrit. Nitrit dapat digunakan sebagai bahan
pengawet pada makanan, hal ini sesuai dengan pendapat Petrucci (2001) yang
mengatakan bahwa bahan kimia nitrit dan nitrat merupakan bahan kimia yang

20
dapat digunakan dalam pengawetan bahan pangan daging maupun bahan pangan
lainnya.Setelah daging diamati setelah 6 hari dan telah direbus maka diperoleh
hasil sebagai berikut
Tabel 7 . Hasil pengamatan daging pada praktikum curing
Perlakuan
1 2 3 4 5
daging
Diberi Coklat
Merah Coklat
sodium - Keabu- Coklat Gelap
Kehitaman Gelap
nitrat abuan
Tanpa
Merah Coklat
sodium - Coklat Pucat Coklat Pucat
Pucat Pucat
nitrat
Larutan I :
Sebelum Larutan I : Larutan I : Larutan I :
- merah
perebusan merah merah gelap merah gelap
gelap
Larutan II :
Setelah Larutan II Larutan I : Larutan II :
- merah
perebusan : merah merah gelap merah pucat
pucat

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa daging yang diberi nitrit lebih
merah dari pada yang tidak diberi nitrit. Hal ini sesuai dengan pendapat Winarno
(2002) yang menyatakan bahwa daging yang dicuring dengan penambahan nitrat
akan menghasilkan warna merah daging yang lebih bagus dibanding daging yang
tidak di beri nitrit. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Anonymous (2006) yang
menyatakan bahwa tujuan dari curing ini yaitu untuk mempertahankan warna
merah daging ataupun ikan, memberi rasa pada daging dan ikan, dan sebagai
pengawetan. Daging yang dicuring akan lebih awet dibandingkan dengan daging
tanpa pengolahan, karena proses curing dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrie (2000) yang menyatakan bahwa fungsi
nitrit dalam curing yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri

4.6 Pengawetan dengan Fermentasi

Dalam praktikum ini, susu dibagi atas 3 dengan perlakuan pemberian


yakult yang berbeda. Pada YK I diberi yakult 2 sendok teh, YK II 3 sendok teh,
dan YK III 4 sendok teh. Bakteri yang digunakan adalah lactobacilus casei.
Bakteri ini mempunyai peran yang menguntungkan bagi pencernaan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Yuanta (2001) yang mengatakan bahwa protein yang
sering digunakan dalam fermentasi bahan pangan terutama susu antara lain
lactobacillus, yang digunakan dalam pembuatan yakult. Dipilihnya laktobacillus
ini dikarenakan bakteri tersebut bakteri yang baik karena dapat menekan bakteri
patogen dalam saluran pencernaan. Setelah proses fermentasi selama 12-14 jam
pada suhu kamar maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 8. Hasil pengamatan pengawetan susu dengan fermentasi
Perlakuan
Pengamatan
YK-I YK-II YK-III

21
Warna Putih Putih Putih
Bau/aroma Asam/susu basi Tape Sangat asam
Kekentalan Menggumpal Menggumpal Menggumpal
Rasa - - -

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hasil pada YK III lebih baik,
karena yakutl diberikan sebanyak 4 sendok teh. Sehingga pada YK-III
menghasilkan hasil fermentasi yang lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Buckle (2003) yang menyatakan bahwa fermentasi oleh bakteri akan
menghasilkan asam. Produk yang difermentasi akan lebih bagus dibandingkan
dengan produk yang tidak difermentasi. Susu yang difrmentasi banyak membawa
manfaat. Hal ini sesuai dengan pendapat Robert (2002) menyatakan bahwa susu
fermentasi diketahui mengandung bakteri asam laktat yang mampu meningkatkan
kerja enzim galaktosidae yang memudahkan pencernaan laktosa dalam usus,
meningkatkan kualitas nutrisi, menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah
kanker dan mengatasi diare

4.7 Pengawetan dengan Pembekuan

Karkas ayam yang digunakan seberat 1 kg dengan perlakuan Irisan sebelah


kiri di thawing pada suhu kamar, dan irisan sebelah kanan di thawing pada
refrigerator dan di thawing pada suhu kamar, dari hasil pengamatan diperoleh
hasil sebagai berikut
Tabel 9. Hasil pengamatan pengawetan daging dengan pembekuan
Irisan/ bagian Temperatur Bobot Irisan karkas (gr)
% dripp
Karkas ayam thawing Awal Akhir
Suhu kamar 74,3 72,2 2,8
Paha bawah
Refrigerator 77,6 74,6 3,9

Lawrie (2001), menyatakan bahwa pada ruangna terbuka bahan akan


mengalami perubahan yang berupa adanya penguapan yang dapat menyebabkan
kekeringan pada bahan tersebut .Dari tabel diatas diketahui bahwa setiap irisan
karkas memiliki berat yang berbeda karena adanya kandungan air . Hal ini sesuai
dengan pendapat Anonymous (2000), yang menyatakan bahwa suatu bahan
pangan yang banyak mengandung air yang banyak ataupun sedikit akan
mengalami perbedaan berat bahan tersebut. Hasil dripp yang diperoleh juga
berbeda hal ini juga dipengaruhi oleh berat awal dan kuantitas cairan yang
dibebaskan. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrie, AR. (2001) yang menyatakan
Eksudasi weep atau dripp akan tergantung pada kuantitas cairan yang dibebaskan
dari proses yang ada hubungannya dengan protein-protein urat daging

22
4.8 Pengawetan dengan Pengeringan

Pada praktikum pengawetan dengan pengeringan dilakukan pembuatan


dendeng yang dikeringkan dalam oven dengan 2 perlakuan yaitu yang I
dikeirngkan dalam oven selama 36 jam dengan suhu C dan yang II dikeringkan
dalam oven selama 72 jam dengan suhu C. Hal ini sesuai dengn pendapat Lawrie
(2000) yang menyatakan bahwa proses pengeringan dalam pembuatan dendeng
ada dua cara, pengeringan dengan sinar matahari dan pengeringan dengan oven
yang dapat dijamin hygienis, mutu, dan kekeringannya. Dari hasil pengovenan
diperoleh hasil dendeng menjadi tipis dan kering,Aroma dendeng yang
dikeringkan juga lebih tercium, hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (2005)yang
menyatakan pembuatan dendeng ayam merupakan salah satu usaha pengawetan
daging. Daging yang dibuat dendeng, bisa diperoleh aroma lain dan dendeng yang
baik dapat disimpan sampai 60 hari, Kemudian dilakukan perhitungan kadar air
dan diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 10. Hasil pengamatan kandungan air dendeng yang dikeringkan
Berat
Kelompok Perlakuan KA %
W W1 W2
C, 36 jam 36,2 39,3 38,9 14,8
A6
Rataan 14,8

Dari tabel tersebut pada perlakuan C selama 36 jam dilakukan


perhitungan kadar air dan diperoleh kandungan ainya adalah 14,8 %. Sedangkan
pada suhu C selama 72 jam diperoleh hasil dari kelompok A3 dan A4,
dikarenakan sampel dari kelompok A6 tidak ada. Oleh karena itu diperoleh dari
dua kelompok yang telah melaksanakn praktikum, dan dari dua data yang
diperoleh dari kedua kelompok menunjukan hasil yang sama yaitu kandungan
airnya berkurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lawrie (2001), yang
menyatakan bahwa pengeringan suatu bahan makanan dengan suhu yang tinggi
dan waktu pengeringan yang lama dapat menutunkan aktifitas air (AW), hal ini
juga sesuai dengan pendapat Menurut Robert (2002) yang menyatakan bahwa
tujuan pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan sampel batas dimana
perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan
pembusukkan terhambat. Dalam pembuatan dendeng ini juga ditambahkan
beberapa bahan dan garam. Menurut Buckle (2000) penambahan garam dalam
bahan pangan mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, jadi mengendalikan
pertumbuhan mikroorganisme dengan suatu metoda yang bebas dari pengaruh
racun. Kecepatan penurunan kadr air bahan pangan tergantung pada kandungan
air bahan yan dikeringkan, ketebalan atau luas permukaan bahan, dan temperatur
pengeringan. Hal ini sesuai dengan pendapat Purnomo (2003) yang menyatakan
bahwa pengeringan dapat di percepat dengan tempelatur yang tinggi dan
memperkecil luas permukaan atau menipiskan bahan yang akan di keringkan .
Dengan kandungan air yang berkurang pada bahan makanan tersebut maka akan

23
terhambatnya pembusukan dan meningkatkan daya tahan produk karena
mikrooranisme tidak dapat tumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Repandi
(2003) yang menyatakan bahwa bahan makanan yang di keringkan mempunyai
daya simpan yang lebih lama, karena air yang di dalam suatu bahan makanan
dapat menjadi media pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan jika
kandungan air rendah maka aktifitas Mikroorganisme akan
terhambat, pertumbuhan dan perkembangannya akan terhenti sehingga
Mikroorganisme tersebut tidak dapat merusak bahan makanan yang sudah di
keringkan
4.8. Penentuan Kadar Air dengan Infrared Digital Moisture Balance

Prinsip dari penentuan kadar air dengan infrared digital moisture balance
adalah mengukur kadar air dengan menguapkan air yang ada dalam bahan panagn
dengan pemanasan. Setelah dilaksanakan praktikum penentuan kadar air dengan
infrared digital moisture balance diperoleh hasil kandungan air pada daging
adalah50 %. Hal ini menunjukan bahwa daging tersebut adalah normal, karena
kisaran kadar air yang normal berkisar 50-70 % . Hal ini sesuai dengan
pendapat Winarno (2003), yang menyatakan bahwa daging memiliki komposisi
yang terdiri dari 75 5 air, 18 % protein, 4 % protein yang dapat larut (termasuk
mineral) dan 3 5 lemak. Tingkat kadar air dipengarhui kadar airnya, volume, dan
tinggi dalam daging sesuai dengan pendapatBuckle (2002), yang menyatakan
bahwa untuk mempengaruhi tingkat kadar air yang perlu untuk mempunyai rasio
permukaan volume yang tinggi dalam daging oleh karena itu digunakan daging
yang sudah dipotong-potong halus.Air yang diikat dalam daging dapt dibagi
dalam 3 komponen yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein daging
sebesar 4-5 % yang merupakan lapisan monomolekuler pertama. Lapisan kedua
adalah air yang terikat agak laemah ini molekul air terhadap kelompok hidrofilik
yakni sebesar 4 %. Lapisan ketiga merupakan air bebas yang terdapat diantara
komponen molekul-molekul protein yanag memiliki jumlah terbanyak.
Airbebas terletak dibagian luar sehingga mudah lepas,hal ini sesuai dengan
pendapat Purnomo (2004), yang menyatakan bahwa air bebas dengan mudah
hilang bila terjadi pengeringan dan penguapan, sedangkan air terikat sulit
dibebaskan denga cara tersebut sedangkan air terikat terletak didalam dimana air
sulit dilepaskan karena kuat pada rantai protein, dan air dalam bentuk tidak tetap
merupakan air labil sehingga mudah lepas bila terjadi perubahan

24
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari praktikum kesehatan ternak ini


adalah bahwa keberadaan ektoparasit sangat merugikan peternak. Hal itu
disebabkan karena akibat dari gigitan ektoparasit seperti kutu menyebabkan ruam
dan luka pada kulit diman bila luka tersebut dihinggapi lalat atau digigit nyamuk
maka bisa menyebabkan ternak sakit karena lalat dan nyamuk merupakan vector
penyakit. Oleh sebab itu keberadaan ektoparasit sebaiknya dibasmi agar tidak
mrugikan ternak dan peternak. Pada caplak dan kutu memiliki perbedaan yang
signifikan karena pada kutu memiliki sepasang kaki di caput, dua pasang
dithoraks, memiliki bulu, bentuk badannya oval dan berbuku-buku. Sedangkan
pada caplak keempat pasang kakinya terletak diabdomen, tidak memiliki thoraks,
badannya besar, bulat, tidak bebuku-buku dan tidak memiliki bulu.

5.2 Saran

Sebaiknya praktikum dimulai tepat waktu dan praktikan harus mematuhi


peraturan selama praktikum, serta praktikum ini diharapkan dapat memberikan
manfaat sehingga dapat dimengerti dan dapat diterapkan oleh mahasiswa.

25
DAFTAR PUSTAKA

Adnan .2002. Hasil-hasil Olahan Dari Ternak. Penerbit Agritech, Yogyakarta.


Allen. 2001. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia : Jakarta.
Antonius Riyanto.2001. Kandungan Energi Dalam Telur. Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Bambang, S .2007. Pengawetan Bahan Pangan Hasil Ternak. PT Mutiara Sumber
Widya Penabur Benih Kecerdasan.
Brodi 2002. Penambahan Garam Mempengaruhi Aktivitas Air Dalam Pangan.
Penerbit. GITA. PT Gallus Indonesia Utama.
Budiman, A., A. Hintono dan Kusrahayu. 2012. Pengaruh Lama Penyangraian
Telur Asin Setelah Perebusan Terhadap Kadar NaCl, Tingkat Keasinan Dan
Tingkat Kekenyalan. Animal Agriculture Journal, 1(2): 219-227.
Fennema. 2002. Ilmu Pangan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Frazier, W.C., dan Dennis, C.W. 2001. Food Microbiology. Fourt Edition. Me
GrawHill, Ine. New York. Hadiwiyoto.2007. Hasil-hasil Olahan. Liberty.
Yogyakarta

Hardono.2002. Evaluasi Kerusakan-kerusakan Pada Telur Unggas. Penerbit


Liberty ,Yogyakarta.

Handiyanto, Soeswodo.2003. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur.


Liberty ,Yogyakarta.
Haris dan Kemas .2004. Evaluasi Kerusakan-kerusakan Pada Telur Unggas.
Penerbit Liberty ,Yogyakarta.
Lawrie, AR. 2001. Pengawetan Hasil Ternak. Universitas Indonesia. Jakarta
Lawrie.2000. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University ,Yogyakarta.
Lawrie. 2001. Pencegahan Kerusakan Bahan Pangan. Pustaka Media, Yoyakarta.
Lukito, G.A., A. Suwarastuti dan A. Hintono. 2008. Pengaruh Berbagai Metode
Pengasinan Terhadap Kadar NaCl, Kekenyalan dan Tingkat Kesukaan
Konsumen pada Telur Puyuh Asin. Jurnal Animal Agriculture, 1(1): 829-
838
Lukman, H. 2008. Pengaruh Metode Pengasinan dan Konsentrasi Sodium Nitrit
Terhadap Karakteristik Telur Itik Asin. Jurnal Ilmiah Ilmu Peternakan, XI
(1): 9-17.
Mazaniz 2002. Food Microbiology. Third Edition MC Graw Hill Book Co, New
York.

26
Mu’addimah, I. Thohari dan D. Rosyidi. 2015 . Pengaruh Konsentrasi Sari Kunyit
Putih (Curcuma zediaria) Terhadap Kualitas Telur Asin Ditinjau Dari
Aktivitas Antioksidan, Total Fenol, Kadar Protein, dan Kadar Garam. Jurnal
Fakultas Peternakan UNIBRAW. 1-9.
Novia, D., S. Melia dan N. Z. Ayuza. 2011. Kajian Suhu Pengovenan Terhadap
Kadar Protein dan Nilai Organoleptik Telur Asin. Jurnal Peternakan, 8 (2):
70-76.
Nurhidayat, Y., J. Sumarmono dan S. Wasito. 2012. Kadar Air, Kemasiran Dan
Tekstur Telur Asin Ayam Niaga yang Dimasak dengan Cara Berbeda.
Jurnal Ilmiah Peternakan, 1(3): 813-820.
Oktaviani, H., N. Kaniada dan N. R. Utami. 2012. Pengaruh Pengasinan Terhadap
Kandungan Zat GiziTelur Bebek Yang Diberi Limbah Udang. JurnalUnnes
of life Sciense, 1(2): 106-112.
Petrucci. 2001. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Erlangga. Jakarta
Purnomo, S .2003. Pengawetan Bahan Pangan Hasil Ternak. PT Mutiara Sumber
Widya Penabur Benih Kecerdasan
Purnomo hari dan Adiono .2002. Pit dan Pembususkan Daging. Fesis Fkit. IPB,
Bogor
Rahayu, Andhika, A., dan Lasmi, K. 2002. Penurunan Kandungan dalam kemasan
dengan katalis untuk memperpanjang masa simpan produk pangan. Laporan
penelitian IPB. Bogor.
Rasyaf, M. 2005. Pengelolaan Uasaha peternakan Ayam Pedaging. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta
Robert.2002. Evaluasi Gizi dan Kerusakan Bahan Pangan. Institut Teknologi
Bandung, Bandung.

Sipan G, WP. Winarto. 2007. Kimia umum untuk pengobatan herbal. UGM.

Sujinem. 2006. Percepatan penetrasi garam ke dalam telur itik (Anasplatyrhincos)


dengan metode tekanan dalam proses pembuatan telur asin. Skripsi.
Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Syarif.2003. Teknologi Penyimpanan Daging. Masa Balai Bandung. Bandung.

Wikanastri, H. dan Nurrahman. 2006. Studi Tentang Perubahan Kadar Iodium dan
Sifat Organoleptik pada Proses Pembuatan dan Waktu simpan Telur Asin.
Jurnal Litbang Universitas Muhammadiyah Semarang. 54-61.
Winarno, F. G. 2005. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

27
Winarno F,G.2006. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia : Jakarta 1993. Pangan
Gizi Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia : Jakarta.

Winarno dan Betty. 2003. Teknologi Penyimpanan pangan. IPB. Bogor

Winston.2003. Mendeteksi Ketahahan Kualitas Telur saat Pengawetan. Penerbit


Fakultas Peternakan Brawijaya, Malang.

Wulandari Z, Rukmiasih, T Suryati, C Budiman, N Ulupi. 2014. Tehnik


pengolahan Telur dan daging Unggas. IPB Press. Bogor.

Yuanta, T. 2001. Penyimpanan Pengolahan dan Pengawetan Produk Ternak.


UGM.

28
LAMPIRAN

29

Anda mungkin juga menyukai