Anda di halaman 1dari 3

Meningkatya jumlah fasilitas kesehatan secara kontinu, juga menyebabkan kenaikan

permintaan alat medis. Menurut pengamatan dari Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2017
memperlihatkan bahwa tak kurang dari 90 persen permintaan kebutuhan alat medis di
Indonesia masih ditopang dengan impor dari luar negeri. Hal tersebut disebabkan karena
investasi di bidang alat kesehatan di Indonesia sendiri masih masuk dalam golongan kategori
kecil. Investasinya hanya berkisar 10-30 milyar. Dari sisi tenaga kerja pun industri alat
kesehatan biasanya hanya menyerap 20-30 orang saja. Hal itu yang membuat pemerintah
masih belum tertarik untuk memberikan perhatian lebih di bidang alat kesehatan.

Diketahui di tahun 2017, dana APBN yang digunakan untuk belanja alat kesehatan adalah
tidak kurang dari 17 triliun per tahunnya. Namun, dana APBN tersebut masih lebih
diorientasikan untuk mengimpor alat kesehatan dari luar negeri. Jika dana yang dialokasikan
untuk membeli produk alat kesehatan lokal lebih diutamakan, maka kebutuhan impor akan
bisa lebih ditekan. Karena, meskipun investasi industri di bidang alat kesehatan masih
tergolong kategori sedikit, untuk kualitasnya masih banyak yang mampu memenuhi standar
internasional. Tak kalah dari produk luar negeri seperti Cina, bahkan tak sedikit pula yang
telah diekspor ke negara luar seperti Amerika Serikat dan negara – negara lain di Eropa.

Sejak 2014, Pemerintah melalui Permenkes 4 tahun 2014 tentang Cara Distribusi Alat
Kesehatan yang Baik (CDAKB) telah menyosialisasikan pentingnya penyaluran alat
kesehatan yang dapat menjamin keselamatan pasien. Hal ini menjadi pertimbangan penting
dari distribusi alat kesehatan baik lokal maupun impor. Peraturan ini turut menyumbang
standarisasi investasi ‘tinggi’ di bidang alat kesehatan. Dibuktikan dengan baru sekitar 87
perusahaan yang memiliki sertifikat CDAKB. CDAKB sendiri berfungsi untuk memastikan
pengadaan alat kesehatan yang aman, berkualitas, dan terpercaya, serta sesuai regulasi.

Namun, Berita baik disampaikan oleh Menteri Kesehatan Nila Moeloek, bahwa Instruksi
Presiden No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan
menyebabkan perkembanga yang signifikan di industri alat kesehatan. Saat ini saja,
kebutuhan alat kesehatan dalam negeri sudah didominasi oleh industri lokal. Sebagian besar
kebutuhan alat suntik sudah tidak lagi dipenuhi oleh barang-barang impor, melainkan
dipenuhi oleh industri lokal. Sebut saja Oneject Indonesia. Dengan semakin ditingkatkannya
pembangunan fasilitas dan produksi alat kesehatan baru, maka ke depan kebutuhan nasional
bisa 100 persen dipenuhi oleh produk dalam negeri. Serta juga kapasitas produksi yang
semakin memadai bisa dimanfaatkan untuk menyasar pasar ekspor di luar negeri.

Tak hanya alat kesehatan, Menurut Direktur Jenderal Alat Kesehatan dan Farmasi Kemenkes,
perkembangan industri kesehatan bidang obat-obatan semakin menunjukkan pergerakannya
ke arah yang lebih positif. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya keberadaan 11 industri
yang mampu memproduksi obat-obatan. Padahal seperti diketahui sebelumnya sekitar 95
bahan baku obat-obatan yang beredar di Indonesia diperoleh dengan mengandalkan produk-
produk impor. Seperti insulin, atorvastatin, simvastatin, kopidogrel, serta juga antibiotik dan
turunannya, Indonesia sudah mulai gencar memproduksinya. Tahun 2017, tercatat investasi
di bidang kesehatan seniai Rp53,76 triliun, sedangkan di 2019, sudah naik menjadi Rp60,9
triliun. Berkat keberadaan 11 industri tersebut, impor bahan baku obat Indonesia akan turun
sebesar 15 persen di tahun 2021. Maka dengan begitu, Indonesia dapat mengurangi
ketergantungannya dengan negara lain.

ALAT ALAT KESEHATAN INDUSTRI 4.0

Segala aspek kehidupan manusia pada era 4.0 seperti sekarang ini telah didominasi oleh
teknologi. Pergeseran fenomena ini membuat masyarakat pada akhirnya menjadi bergantung
pada teknologi.

Begitu pula dalam sektor kesehatan, di mana alat-alat kesehatan telah diciptakan sedemikian
dengan memanfaatkan teknologi-teknologi digital untuk menunjang kualitas pelayanan
kesehatan itu sendiri. Era industri 4.0 memberikan tantangan nyata yang cukup serius di
sektor kesehatan. Selain bonus demografi yang melimpah, tantangan lain juga terdapat pada
ranah inovasi teknologi pelayanan kesehatan. Perkembangan dan inovasi teknologi ini
terbukti semakin membantu dalam peningkatan kualitas layanan kesehatan masyarakat
global.

Revolusi Industri 4.0 turut membawa perubahan pada bidang kesehatan. Teknologi semakin
berperan penting untuk para dokter dan praktisi kesehatan, demi terwujudnya kualitas
kesehatan yang lebih baik untuk para pasien. Bukti teknologi semakin berkembang di dunia
kesehatan misalnya kehadiran Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) dan alat-
alat kesehatan berteknologi canggih.

Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) merupakan sarana penting, bahkan bisa
dikatakan mutlak untuk mendukung pengelolaan operasional rumah sakit. Selain dapat
mengurangi pemakaian kertas (paperless), sistem ini juga berguna dalam pengambilan
keputusan bagi para direktur dan manajer rumah sakit sebab mampu menyediakan informasi
yang cepat, akurat, serta terpercaya.

Pengoperasian sistem manajemen mutakhir pun akan semakin baik ketika dilengkapi dengan
alat-alat kesehatan yang canggih. Misalnya, alat kesehatan yang dipadu dengan teknologi
kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) sehingga mampu memberikan dampak
yang lebih siginifikan. Melalui alat kesehatan yang baik performa
Para pelaku industri kesehatan memperkirakan sektor kesehatan akan sangat mendapatkan
manfaat yang besar dari fusi antara sistem fisik, digital, dan biologis di era Industri 4.0. Saat
ini sudah banyak teknologi sehari-hari (konsumer) yang mampu mengumpulkan data tentang
kesehatan dan kebugaran (fitness) seseorang, misalnya cukup dengan memencet-mencet
smartphone dan smartwatch. Informasi-informasi yang terkumpul tersebut memiliki potensi
untuk membuat transformasi tidak hanya individual, tetapi juga bidang riset medis (Park,
2016).

Terdapat beberapa contoh tentang bagaimana kombinasi teknologi fisik, digital, dan biologis
dapat membuat transformasi dalam bidang kesehatan. Sensor yang terkoneksi dapat
memudahkan pasien mengatur kesehatannya sendiri. Salah satu contoh adalah Novartis yang
mengembangkan inhaler digital, yang memungkinkan pasien penyakit paru obstruktif
menahun (PPOK) memantau data tentang penggunaan inhalasi secara real-time (Wedzicha,
2016). Bahkan, nanti pasien dengan gangguan pernapasan dapat memiliki sensor di rumah
mereka yang mampu menentukan saat pernapasan mereka tampak akan terganggu untuk
segera menggunakan inhaler, sebelum rawat inap di rumah sakit. Tentu hal ini dapat
mengurangi pembiayaan kesehatan akibat kepatuhan pasien yang buruk terhadap pengobatan
yang dijalani (Park, 2016).

Anda mungkin juga menyukai