Teori Utilitarisme
1. Definisi Utilitarisme
Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut
teori ini, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, berfaedah atau
berguna, tapi menfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan
masyarakat sebagai keseluruhan. Aliran ini memberikan suatu norma bahwa baik
buruknya suatu tindakan oleh akibat perbuatan itu sendiri. Tingkah laku yang baik
adalah yang menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dibandingkan
dengan akibat-akiba tburuknya. Setiap tindakan manusia harus selalu dipikirkan, apa
akibat dari tindakannya tersebut bagi dirinya maupun orang lain dan masyarakat.
Utilitarisme mempunyai tanggung jawab kepada orang yang melakukan suatu
tindakan, apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Menurut suatu perumusan
terkenal, dalam rangka pemikiran utilitarisme (utilitarianism) kriteria untuk
menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the
greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.
Utilitarisme disebut lagi suatu teori teleoligis ( dari kata Yunani telos =
tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan
dicapainya tujuan perbuatan. Dalam perdebatan antara para etikawan, teori
utilitarisme menemui banyak kritik. Keberatan utama yang dikemukakan adalah
bahwa utilitarisme tidak berhasil menampung dalam teorinya dua paham etis yang
amat penting, yaitu keadilan dan hak. Jika suatu perbuatan membawa manfaat
sebesar – besarnya untuk jumlah orang terbesar, maka menurut utilitarisme perbuatan
itu harus dianggap baik. Jika mereka mau konsisten, para pendukung utilitarisme
mesti mengatakan bahwa dalam hal itu perbuatannya harus dinilai baik. Jadi, kalau
mau konsisten, mereka harus mengorbankan keadilan dan hak kepada manfaat.
Namun kesimpulan itu sulit diterima oleh kebanyakan etika-wan. Sebagai contoh
bisa disebut kewajiban untuk menepati janji. Dasarnya adalah kewajiban dan hak.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Jeremi Bentham (1748-1832) dan John Stuart
Mill (1806-1873). Bentham merumuskan prinsip utilitarisme sebagai the greatest
happiness fot the greatest number (kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi jumlah
yang sebesar mungkin). Prinsip ini menurut Bentham harus mendasari kehidupan
politik dan perundangan. Menurut Bentham kehidupan manusia ditentukan oleh dua
ketentuan dasar:
2. Pembagian Utilitarisme.
1. Utilitarisme perbuatan (act utililitarianism)
Menyatakan bahwa kita harus memperhitungkan, kemudianmemutuskan, akibat-
akibat yang dimungkinkan dari setiap tindakanaktual ataupun yang direncanakan.
2. Utilitarisme aturan (rule utilitarianism).
Menyatakan bahwa kita harus mengira-ngira, lalu memutuskan, hasil-hasil dari
peraturan dan hukum-hukum.
3. Kelemahan Utilitarisme
1. Manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis
akan menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit.
2. Etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada
dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan
dengan akibatnya.
3. Etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang.
4. Variabel yang dinilai tidak semuanya dapat dikualifikasi.
5. Seandainya ketiga kriteria dari etika utilitarisme saling bertentangan, maka
akan ada kesulitan dalam menentukan prioritas diantara ketiganya.
6. Etika utilitarisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan
demi kepentingan mayoritas .
2. Teori Deontologi
Etika Deontologi adalah sebuah istilah yang berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang
berarti kewajiban dan ‘logos’ berarti ilmu atau teori. Mengapa perbuatan ini baik dan
perbuatan itu harus ditolak sebagai keburukan, deontologi menjawab, ‘karena perbuatan
pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’.
Sejalan dengan itu, menurut etika deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Karena bagi etika
deontology yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Pendekatan
deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu
teori etika yang terpenting.
Ada tiga prinsip yg harus dipenuhi :
1. Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan
kewajiban.
2. Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan
itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah
dinilai baik.
3. Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari
tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.
Dengan kata lain, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada
dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Sebaliknya,
suatu tindakan dinilai buruk secara moral sehingga tidak menjadi kewajiban untuk kita
lakukan. Bersikap adil adalah tindakan yang baik, dan sudah kewajiban kita untuk
bertindak demikian. Sebaliknya, pelanggaran terhadap hak orang lain atau mencurangi
orang lain adalah tindakan yang buruk pada dirinya sendiri sehingga wajib dihindari.
Bagi Kant, Hukum Moral ini dianggapnya sebagai perintah tak bersyarat (imperatif
kategoris), yang berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi
dan tempat.
Perintah Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan kalau orang menghendaki
akibatnya, atau kalau akibat dari tindakan itu merupakan hal yang diinginkan dan
dikehendaki oleh orang tersebut. Perintah Tak Bersyarat adalah perintah yang
dilaksanakan begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau
tanpa mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau
tidak.
Dengan demikian, etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan
tersebut, baik atau buruk. Akibat dari suatu tindakan tidak pernah diperhitungkan untuk
menentukan kualitas moral suatu tindakan. Hal ini akan membuka peluang bagi
subyektivitas dari rasionalisasi yang menyebabkan kita ingkar akan kewajiban-kewajiban
moral.
3. Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan
yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau
perilaku. Sebetulnya teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena hak
berkaitan dengan kewajiban. Malah bisa dikatakan, hak dan kewajiban bagaikan dua sisi
dari uang logam yang sama. Dalam teori etika dulu diberi tekanan terbesar pada
kewajiban, tapi sekarang kita mengalami keadaan sebaliknya, karena sekarang segi hak
paling banyak ditonjolkan. Biarpun teori hak ini sebetulnya berakar dalam deontologi,
namun sekarang ia mendapat suatu identitas tersendiri dan karena itu pantas dibahas
tersendiri pula. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu
sama. Karena itu teori hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis. Teori
hak sekarang begitu populer, karena dinilai cocok dengan penghargaan terhadap
individu yang memiliki harkat tersendiri. Karena itu manusia individual siapapun tidak
pernah boleh dikorbankan demi tercapainya suatu tujuan yang lain.
Menurut perumusan termasyur dari Immanuel Kant : yang sudah kita kenal
sebagai orang yang meletakkan dasar filosofis untuk deontologi, manusia merupakan
suatu tujuan pada dirinya (an end in itself). Karena itu manusia selalu harus dihormati
sebagai suatu tujuan sendiri dan tidak pernah boleh diperlakukan semata – mata sebagai
sarana demi tercapainya suatu tujuan lain.