Anda di halaman 1dari 5

Mimpi yang Mengalir Mencari Jalan

Namanya Air Terjun Triberg. Air terjun tertinggi di Jerman yang terletak di tengah
Hutan Hitam. Black forest biasanya hutan itu dikenal. Air terjun ini mempesona.
Terlindung di antara pohon-pohon tinggi Hutan Hitam. Seolah sang hutan bertindak
protektif, tidak ingin keindahan sungainya terusik pihak-pihak tidak bertanggung
jawab.

Air terjun ini tinggi sekali tapi tidak terkesan angkuh. Ia mengalirkan air-airnya secara
perlahan, tidak kasar, tidak menyakiti makhluk hidup yang mencoba berdiri di
bawahnya. Airnya di alirkan secara anggun melewati tujuh tingkat jeram yang bergerak
mengikuti alur sungai ke arah bawah meliuk membentuk sungai kecil yang memukau
siapa saja yang melihatnya.

Aku, termasuk yang terpukau. Pandanganku tidak berhenti melihat bagaimana gesitnya
sang air mencoba mencari jalan menuju sungai kecil indah yang terletak di bawah. Air-
air itu menabrak dinding batu besar. Tidak menemukan jalan turun, lalu berbelok ke
arah lain. Perjuangannya belum selesai. Tidak jauh di depan, sebatang kayu besar yang
tumbang akibat badai kemarin, menghalangi jalan mereka. Para air itu mencari akal.
Mereka bergerak pelan melewati jalan sempit yang berada di samping kayu
mengganggu itu. Berhasil, jalan mereka mulus sekarang.

Tapi ternyata dugaan mereka belum sepenuhnya benar. Sayang beribu sayang, di
hadapan mereka menancap batu runcing panjang berlumut hijau mengerikan. Pilihan
mereka hanya dua. Memaksa tetap menghantam sang batu runcing lalu terhempas ke
luar alur sungai atau berpisah dulu sementara waktu melalui dua jalur yang
berbeda. Mereka memilih berpisah. Mencari jalan yang terbaik, lalu bertemu kembali
dengan teman-temannya di sungai kecil indah yang terletak di bawah.

“Itulah mimpimu, sayang. Perumpamaanya seperti air yang mencari jalan…” Suara
mama, terngiang-ngiang di telingaku bagaikan melodi musik klasik yang di stel
berulang-ulang, lembut tetapi menancap di dasar hatiku yang paling dalam.

“Air itu seperti mimpi-mimpimu, sayang. Mereka mencari jalan. Tujuannya satu :
‘Kamu ingin supaya mimpi-mimpimu itu terwujud.’ Sama seperti air yang mencari
jalan menuju pemberhentian terakhirnya. Ada saatnya, mimpimu tidak tercapai
seolah menabrak batu besar yang tidak bisa di tembus. Ada juga masanya, di mana
mimpimu seperti tersandung kayu yang menghalangi jalan. Ada saja cobaan yang
muncul. Ada juga di mana, kamu terjatuh tertusuk batu runcing yang membuat
mimpimu seolah-olah menyakitkan, susah sekali dicapainya. Kalau sudah begitu,
ingat sayang, jangan di paksa.”

Ketika mendengar itu, aku hanya mengerutkan kening, “Apa maksud mama jangan di
paksa? Itu mimpi Mbak Dhira. Bukankah harus diperjuangkan sampai akhir?”

Mama tersenyum lembut, “Jika mimpimu terasa sulit sekali tercapai, merasa sudah
mati-matian berusaha tetapi terasa tidak ada hasilnya, mungkin itu tanda-tanda
kasih sayang dari Allah bahwa itu bukan mimpi yang terbaik untukmu, sayang.
Kuncinya, jangan ngotot memaksa. Air tidak bisa menembus halangan besar di
depannya. Mereka mencari jalan lain. Cari mimpi baru yang sesuai keinginan di
lubuk hatimu yang paling dalam, sesuai passion-mu, sesuai harapanmu. Hingga di
ujung perjalananmu, Allah bersedia memberikan Surga-Nya untukmu.”

Maka aku tumbuh menjadi pribadi yang selalu mencari jalan. Jika aku sudah memiliki
suatu keinginan, pasti selalu berusaha aku kejar. Seandainya restu orang tuaku belum
aku pegang, aku akan mencari banyak cara yang santun sehingga pada akhirnya izin aku
dapat. Cara A tidak berhasil, ganti cara B. Tidak berhasil juga, cara C, pindah ke cara D,
sembari meminta izin terus menerus kepada Allah. Hingga pada akhirnya Allah
mungkin melihat kesungguhanku mengetuk pintu langit dengan doa yang sama selama
bertahun-tahun. Ntah bagaimana cara Allah meluluhkan hati orang tuaku sampai pada
akhirnya aku mendapatkan izin. Intinya, aku rela menunggu bertahun-tahun sampai
doaku dikabulkan. Dalam kepalaku, jika sekarang doaku belum dikabulkan, berarti
doaku masih ditunda oleh-Nya. Ya, aku adalah hamba-Nya yang paling keras kepala
dalam berdoa. Seperti anak kecil yang setiap hari mengetuk pintu langit-Nya, aku
membayangkan ada cahaya teduh yang membuka pintu itu setiap aku berdoa, kemudian
aku nyengir lebar dengan kedua mata berbinar ketika pintu itu di buka, tangan
mengadah ke atas sambil berdoa di depan pintu-Nya. Begitu terus setiap hari.

Dari sejak aku sekolah dasar, aku ingin sekali kuliah di Jepang. Impian itu tidak pernah
pudar, lulus SMA berusaha apply beasiswa ke Jepang, orang tuaku sepertinya memberi
izin, tetapi dalam setiap obrolan sesekali terlihat secara sekilas bahwa mereka masih
keberatan puteri pertamanya ini kuliah jauh ke negeri orang. Misalnya, ketika orang
tuaku bilang, “Mbak Dhira yakin kalau mau kuliah di sana? Tapi kan di sana…” Ini
adalah contoh kalimat penolakan orang tuaku katakan secara halus hehe

Dan terbukti, dengan berbagai cara Allah juga tidak mengizinkan, sehingga aku
terpaksa kuliah di Indonesia dulu mengambil jurusan Psikologi. Ketika kuliah juga,
tidak pernah terbesit dalam kepalaku bahwa aku akan lulus empat tahun. Karena di
kepalaku, aku harus ke luar negeri bagaimapun caranya. Kalau tidak bisa
kuliah, exchange student. Sampai dosen waliku hapal bahwa aku adalah mahasiswinya
yang tidak pernah peduli untuk lulus empat tahun. Karena kerjaanku adalah meminta
surat rekomendasi beliau agar aku bisa melengkapi syarat-syarat exchange student (yg
artinya aku harus cuti satu semester). Dua tahun, aku berusaha membujuk orang tuaku
untuk memberi izin. Dua tahun pula, aku berdoa. Sampai akhirnya, adikku mendapat
peluang kuliah di Jerman. Maka aku berusaha mencari kesempatan untuku kuliah di
sana juga karena ada adik laki-lakiku yang bisa melindungiku.

Sayangnya, kondisi keuangan ayahku pada saat itu hanya mampu membiayai satu orang
anaknya saja. Maka lagi-lagi aku mencari akal agar bisa ikut adikku ke luar negeri.
Pikirku, jika Jepang memang bukan yang terbaik untukku, mungkin Jerman tempatnya
karena sebagian besar teorikus psikologi banyak berasal dari Jerman atau Austria dan
buku manual psikotesku juga ada beberapa yang tetap menggunakan Bahasa Jerman.
Doaku tidak pernah berhenti, kawan. Mungkin Allah geleng-geleng kepala karena setiap
hari aku menunggu sambil mengetuk di depan pintu langit-Nya, dengan cengiran yg
sama, dengan doa yg sama. Maka kali ini doaku Allah kabulkan, Allah turunkan bala
bantuan-Nya agar membantuku untuk pergi ke sana. Ntah bagaimana, di tembok
kampus aku melihat iklan dalam kertas kecil yg memberikan info mengenai tempat les
yang bisa memberikan peluang untuk Homestay di Jerman. Kehidupanku di sana akan
ditanggung oleh keluarga asuhku selama setahun. Okay, Dhir. Kalau bukan kuliah,
homestay dulu gapapa. Yg jelas liat medan dulu selama setahun homestay di
Jerman.” Ujarku pada waktu itu, Dan kali ini, izin orang tuaku aku pegang.
Alhamdulillah.

Setelah satu tahun di sana, aku ingin kuliah di Jerman. Tetapi persyaratanku belum
memenuhi, maka aku mencari cara lain agar tidak pulang dulu ke Indonesia. Kerja
sosial, volunteer kalau dalam Bahasa Inggrisnya atau Freiwilliges Soziales Jahr kalau
dalam Bahasa Jermannya adalah kesempatan yg amat sangat menarik. Banyak
hambatan yang aku lalui untuk bisa diterima menjadi salah satu pekerja sosial di sana.
Setelah melalui banyak tantangan, cobaan, bahkan nyaris terpaksa pulang karena visa
sebentar lagi habis sementara belum fix diterima oleh lembaga sosial ini, doaku
terakhirku adalah, “Ya Allah, hanya Engkau yang tahu di seluruh Jerman ini, tempat
kerja sosial mana yang bisa menerimaku apa adanya. Yang memperbolehkanku
sholat, mengizinkanku menutup aurat, memperbolehkanku puasa dan segala
perintahMu yang harus aku lakukan. Engkau tahu persis betapa saat ini aku lebih
memilih tinggal di sini. Tetapi jika memang Engkau melihat bahwa tidak ada satupun
tempat kerja sosial di Jerman yang bisa menerimaku apa adanya, maka aku rela
pulang ke Indonesia.” Selesai berdoa, telepon berdering dan doaku dikabulkan setelah
aku selesai Sholat Dhuha.

Setahun kontrak kerjaku di sana. Menjadi volunteer menangani anak-anak


berkebutuhan khusus yg memakai kursi roda. Dengan atasan yg luar biasa baik,
mengizinkanku beribadah, mengizinkanku menutup aurat dengan lingkungan yg sangat
nyaman. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di sini dengan
jurusan yg berbeda. Bukan psikologi tetapi di ranah pendidikan anak-anak
berkebutuhan khusus. Semua syarat sudah berusaha aku penuhi, aku sudah mendaftar
ke beberapa universitas. Dua tahun, aku mencari jalan agar bisa kuliah di sini. Dua
tahun. Sayangnya, kali ini Allah merasa bahwa kehidupanku di Jerman sudah cukup.
Karena suatu alasan penting, adik laki-lakiku harus kembali ke Indonesia, adik
perempuanku yg pada saat itu masih SMP juga membutuhkan kehadiranku di rumah,
maka orang tuaku memintaku kembali ke Indonesia. Ternyata bukan kuliah di Jerman
yg ada dalam rencana Allah. Saat itu aku pulang dengan tingkat kepahitan yg cukup
tinggi, tetapi pada waktu itu keyakinanku tetap sama. Doaku sedang ditunda oleh-Nya.

Ternyata di Indonesia, Allah menyiapkan rencana lain untukku. Aku mendapatkan


kesempatan untuk menulis buku, menceritakan sedikit pengalamanku ketika tinggal di
Jerman selama dua setengah tahun. Menerbitkan buku perdanaku dengan penerbit
ternama. Kalian tahu, lauching buku pertamaku itu seperti wisuda. Novel perdanaku
seperti skripsinya hehe. Alhamdulillah aku mendapatkan kesempatan sharing di
berbagai tempat di Indonesia, pengalamanku bertambah, tiga tahun aku tidak kemana-
mana. Tetap stay di Indonesia. Impianku berkembang dan sedikit mengalami
pergeseran. Akhirnya aku mengetahui bahwa kuliah it’s not my thing. Aku lebih
suka volunteer ke luar negeri. Mengamati banyak hal sembari melihat perkembangan
muslim dari seluruh dunia. Berpikir bagaimana caraku berjuang agar dapat
berkontribusi dalam bersatunya umat Islam. Doaku masih tetap sama, ingin ke luar
negeri. Kali ini tujuannya bukan kuliah tapi volunteer semudah membuka pintu. Saking
keras kepalanya aku meminta, mungkin Allah juga mencari cara agar doaku dikabulkan.
Sayangnya, konsekuensinya tidak mudah. Ada doa lain yang saling bertabrakan,
sehingga jalan satu-satunya yang Allah lakukan untuk mengabulkan kedua doaku yang
saling bertabrakan adalah dengan memberikan ujian yg luar biasa berat kepadaku,
paket komplit plus trauma yang sangat banyak.

Seandainya pada waktu itu aku memutuskan untuk tidak mempercayai keputusan-Nya,
maka aku tidak akan pernah melihat bahwa doaku sedang dalam proses dikabulkan
oleh Allah. Setelah proses panjang menguras hati dan tenaga melewati ujian berat itu,
tetap sabar akan cobaan yang Allah berikan kepadaku, tidak peduli akan fitnah yg
menyebar kemana-mana, pola pikirku untuk menghadapi fitnah itu cuma satu, “Aku
punya Allah yg lebih besar. Orang yg memfitnahku tidak ada apa-apanya dengan
Tuhanku yg Maha Besar. Biarlah ia dengan fitnahnya. Allah akan menunjukkan
dengan cara-Nya kebenaran yg sesungguhnya. No matter what happens to me, I will
stay elegant until the end." Berdiri tegak dengan doa yg sama tanpa henti. Allah is
always with me. Always. Semua itu terjadi karena konsekuensi dua doaku yg saling
bertabrakan dan memiliki kadar sama beratnya.

Memang benar apa yang aku duga, ujian ini adalah proses pengabulan doaku yg tidak
pernah berhenti. Jawaban doa itu datang di waktu yang tepat. Setelah ujian kesabaran
yg sangat panjang, tawaran itu datang. Tawaran ke Palestina. Semuanya dibiayai oleh
sponsor, alhamdulillah lagi-lagi aku tidak mengeluarkan biaya sepeserpun. Bahkan
orang tuaku mengizinkanku pergi hanya satu hari setelah kabar itu diterima. Ke negara
lain, aku membutuhkan waktu dua tahun lebih membujuk. Ke Palestina, negara yg
sedang penuh konflik, izin orang tua turun hanya dalam waktu sehari. Maha Besar Allah
atas segala kuasa-Nya. Dan Maha Pengasih Allah dalam mengabulkan doa hamba-Nya
yang amat sangat keras kepala ini.

Aku memang anak dari orang tuaku yang paling susah disuruh diam. Tidak bisa diam di
suatu tempat, tidak bisa bekerja di tempat yg monoton. Semakin ekstrim tempatnya,
semakin berbinar mata ini. Semakin unik masalahnya, semakin semangat mencari
solusinya. Semakin doa ditolak oleh-Nya, semakin gencar mengetuk pintu langit agar
doaku dikabulkan oleh-Nya. Bahkan aku bisa dengan antusias mewawancarai
para Guard of Masjidil Aqsa yg berjaga langsung di depan tentara Israel. Putus asa,
tidak ada dalam kamusku. Do’a itu dapat mengubah takdir, maka doa adalah senjataku
yang tidak pernah padam. Sampai suatu hari aku pernah bertanya kepada
mamaku, “Mam, anak mama yg paling susah di stop kalau udah punya mau, yg
paling ga bisa diem, susah diatur untuk melakukan sesuatu itu siapa, yg kerjaannya
nanya mulu sampai rasa penasarannya terjawab itu siapa, mam?” Mamaku langsung
menjawab otomatis tanpa berpikir, “Kamu.”

“Eehh, tapi..tapi.” Aku berusaha bantah. “Ya emang kamu, kook!” Jawab mama
cepat. “Emang mama ga khawatir apa, Mb Dhira jadi volunteer jauh banget gitu ke
negara orang?” Tanyaku lagi. Mama menatapku dengan tatapannya yang teduh, “Udah
mama titipin ke Allah. Minta Allah untuk menjaga anak mama.”
Begitulah, aku. Seorang wanita yang tumbuh dengan kepercayaan penuh bahwa doa
adalah senjata terkuat umat Islam. Mimpi itu mencari jalan dan hanya Allahlah yang
dapat membuka jalan itu. Bagaimana caranya agar jalan itu terbuka? Berdoa, ketuk
pintu langit sesering mungkin. Tapi ingat ya, doa yang berat, konsekuensinya juga berat.
Bisa jadi cara Allah mengabulkan doa kita yang berat itu, dengan memberikan ujian
yang besar agar doa kita terkabul. Aku pernah merasakannya, jadi aku tahu rasanya.
Kapok? Tidak. Dari ujian yang berat itu aku semakin yakin, bahwa Allah selalu
mengabulkan doa kita dengan cara-Nya bukan dengan cara kita.

Jika cara Allah mengabulkan doaku tampak berat dari sudut pandang manusia, aku
selalu ingat nasihat ayahku, “Sabar nak, pelaut yang ulung tidak akan pernah lahir di
laut yang tenang. Orang-orang hebat tidak akan pernah lahir tanpa cobaan dan
ujian.”

Dan pastinya rencana Allah, selalu indah dari rencanaku yang terindah.

Anda mungkin juga menyukai