Anda di halaman 1dari 13

KONFLIK LAMPUNG DENGAN BALI SEBAGAI

BENTUK PRIMORDIALISME DALAM


MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Oleh: Kelompok 2

Pendahuluan

Penduduk atau masyarakat merupakan hal terpenting dalam


terbentuknya sebuah negara. Masyarakat merupakan salah satu unsur syarat
pendirian negara. Dalam suatu negara, adanya masyarakat merupakan salah
satu bukti dapat diakuinya keberadaan suatu negara. sesuai dengan Konvensi
Montevindo tahun 1993 yang menyebutkan bahwa dalam suatu negara wajib
memiliki penduduk, masyarakat atau sekumpulan manusia yang hidup
bersama dalam suatu wilayah dan tempat tertentu. Tidak hanya hidup
bersama dan menetap, tapi mereka juga memiliki satu tujuan. Masyarakat
dalam suatu negara ini tidak harus berasal dari rumpun, suku, kebudayaan,
etnis, agama dan bahasa yang sama.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki berbagai


macam suku, etnis dan budaya. Indonesia terbentang dari Sabang hingga
Merauke dengan banyak golongan masyarakat dari suku, etnis dan budaya
yang berbeda-beda. Keanekaragaman budaya ini yang membuat masyarakat
di Indonesia tergolong sebagai masyarakat majemuk atau yang sering juga
disebut masyarakat multikultural.
Pembahasan

Definisi Masyarakat Majemuk Multikultural

Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki banyak budaya


sehingga dapat dikategorikan masyarakatnya merupakan masyarakat multikultural.
Atau dengan kata lain, masyarakat di Indonesia terdiri dari beberapa atau bahkan
banyak suku, etnis dan budaya. Beberapa ahli sendiri telah berpendapat mengenai
defini dan pengertian dari masyarakat multikultural ini.

Pendapat yang pertama adalah menurut JS Furnival. Ia berpendapat


jika masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang terbentuk oleh dua
bahkan lebih komunitas masyarakat, komunitas-komunitas masyarakat ini
memiliki struktur kelembagaan yang berbeda dan secara kultural maupun
ekonomi mereka terpisah. Berdasarkan susunan dan komunitas etniknya,
Furnival membagi masyarakat majemuk ini menjadi empat macam. Yang
pertama adalah masyarakat majemuk kompetisi seimbang, masyarakat
majemuk yang didalamnya merupakan komunitas-komunitas etnik dan
budaya yang memiliki kekuatan kompetitif seimbang. Yang kedua adalah
masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, yaitu dimana masyarakat
majemuk tersebut didalamnya terdapat salah satu komunitas yang paling
dominan dan memiliki kekuatan yang lebih besar daripada komunitas lainnya.
Yang ketiga adalah masyarakat majemuk minoritas dominan. Yaitu dimana
terdapat komunitas yang minoritas di dalam suatau masyarakat majemuk,
komunitas ini memiliki kekuatan kompetitif yang lebih tinggi dari komunitas
lain. Yang terakhir adalah masyarakat majemuk dengan fragmentasi. Yaitu
dimana dalam suatu masyarakat majemuk yang terdiri dari beberapa
komunitas tersebut tidak ada yang menjadi kekuatan dominannya. 1

Pendapat yang kedua adalah pendapat dari Nasikun. Nasikun ini


berpendapat jika selain masyarakat multikultural merupakan yang terdiri dari
dua atau lebih komunitas, masyarakat majemuk juga merupakan masyarakat

1
Furnival JS. Netherlands India : A Study of Plural Economy, Cambridge at The University.
1967. Hal 446
yang terdiri dari dua atau lebih tertib sosial, kelompok-kelompok budaya,
ekonomi, politik-politik yang terisolasi (terpisah), juga struktur dan
kelembagaan yang berbeda antara komunitas satu dengan yang lainnya.

Pendapat yang ketiga adalah pendapat dari Clifford Geertz yaitu


dimana masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang terbagi dalam
beberapa subsistem yang berdiri sendiri dan terikat dalam ikatan primodial.
Dan pendapat yang keempat merupakan pendapat dari Pierre L Van de
Berghe yaitu dimana masyarakat majemuk ini merupakan masyarakat yang
terintegrasi ke dalam kelompok-kelompok sosial yang memiliki budaya yang
khas satu sama lainnya. Dari perbedaan itulah adanya integrasi sosial yang
tumbuh diantara kelompok satu dengan yang lainnya. Selain telah terintegrasi
dalam masyarakat majemuk ini juga terdapat lembaga-lembaga sosial yang
bergantungan satu sama lain karena adanya tingkat perbedaan budaya yang
tinggi. Dari dari situlah adanya masyarakat multikultural yang majemuk.

Ciri dan Faktor Masyarakat Multikultural

Masyarakat majemuk adalah suatu kondisi dimasyarakat yang terdiri


dari berbagai perbedaan (diferensiasi sosial) yang terdiri dari berbagai strata,
ekonomi, ras, suku bangsa, agama dan budaya yang berjalan dengan apa
adanya. Masyarakat ini masih seperti masyarakat pada umumnya dengan
berbagai realitas sosial, masih terdapat konflik, pertentangan dan realitas
sosial lainnya. Pada masyarakat ini, dengan banyaknya diferensiasi sosial
masyarakat tercipta suatu keharmonisan, saling menghargai, kesederajatan
dan mempunyai kesadaran tanggungjawab sebagai satu kesatuan.

Contohnya : Masyarakat Indonesia dapat dikategorikan masyarakat


majemuk, dengan segala perbedaan dan konflik yang senantiasa menghiasi
dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Sedangkan masyarakat
multikultural dapat kita contohkan masyarakat pada zaman para-Nabi.
Dengan banyaknya perbedaan, sikap rukun saling menghargai, hidup
berdampingan dan saling membantu adalah cita-cita setiap masyarakat
didunia. Munculnya masyarakat majemuk ini dimulai dengan beberapa faktor,
yaitu :
 Latar belakang historis
Adanya perbedaan waktu dan jalur perjalanan ketika nenek moyang
bangsa Indonesia berpindah (migrasi) dari Yunan (Cina Selatan) ke
pulau-pulau di Nusantara
 Kondisi geografis
Perbedaan kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau
dengan relief beranekaragam dan satu dengan lainnya dihubungkan
oleh laut dangkal, melahirkan suku bangsa yang beranekaragam pula,
terutama pola kegiatan ekonomi dan perwujudan kebudayaan yang
dihasilkan untuk mendukung kegiatan ekonomi tersebut
 Keterbukaan terhadap kebudayaan luar
Bangsa Indonesia adalah contoh bangsa yang terbuka. Hal ini dapat
dilihat dari besarnya pengaruh asing dalam membentuk
keanekaragaman masyarakat di seluruh wilayah Indonesia yaitu antara
lain pengaruh kebudayaan India, Cina, Arab dan Eropa.
Sesuai dengan beberapa definisi mengenai masyarakat majemuk,
masyarakat multikultural ini sendiri memiliki beberapa ciri-ciri, hal itu
dikemukakan oleh Pierre L Van de Berghe yaitu :
 Terintegrasinya masyarakat ke dalam kelompok-kelompok sosial yang
memiliki ciri khas budaya yang berbeda satu sama lain.
 Adanya lembaga-lembaga sosial yang saling tergantung satu sama lain
karena adanya tingkat perbedaan budaya yang tinggi.
 Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota
masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
 Kecenderungan terjadinya konflik lebih besar di antara kelompok satu
dengan yang lain.
 Integrasi sosial tumbuh di antara kelompok sosial yang satu dengan
yang lain.
 Adanya kekuasaan politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang
lain.

KARAKTER
Konflik Sosial
Konflik sering sekali terjadi dalam kehidupan bermasyarakat kita.
Tidak hanya ada kehidupan masyarakat saja, akan tetapi dalam diri kita
sendiri pun sering terjadi konflik, seumpama dalam menentukan pilihan bagi
diri sendiri saja kita masi sulit dan akan timbulah konflik dalam diri sendiri
akibat susah nya dalam memilih. Dalam pengertian lain konflik sering di
artikan sebuah pertikaian ataupun perkelahian. Konflik sendiri juga memiliki
banyak pengertian, mulai dari negatif, positif maupun netral. Dalam negatif
sendiri konflik sering di kaitkan dengan hal-hal berbau perkelahian yang
berujung penghancuran. Konflik dalam segi positif pun bisa di kaitkan
dengan hal bagaimana konflik tersebut membawa kea rah pertumbuhan,
perkembangan kepada hal yang baik maupun perubahan-perubahan baru yang
bersifat positif. Konflik dalam segi netral juga akibat biasa dari
keanekaragaman individu manusia dengan sifat-sifat yang berbeda, dan
tujuan hidup yang tidak sama pula.2 Masyarakat merupakan arena konflik
atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh
sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi
setiap kehidupan sosial. Konflik sendiri memiliki pengertian secara
etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan
“fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.3 Hal-hal yang mendorong
timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan
kepentingan sosial. Seperti yang di katakan oleh Soerjono Soekanto, Konflik
adalah pertentangan atau pertikaian suatu proses yang dilakukan orang atau

2
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998), Hal. 213
3
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), hal 345
kelompok manusia guna memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak
lawan yang disertai ancaman dan kekerasan. Oleh karena itu konflik
diidentikkan dengan tindakan kekerasan.4 Karena terdapatnya perbedaan
dalam kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya bagi kelompok
sosial nya yang akan mengarah kepada konflik sosial dimana dengan
memenuhi kepentingan tersebut, konflik sendiri sering mengarah kepada
kekerasan, dimana tidak dapatnya di bending suatu konflik atau tidak
dapatnya penyelesaian permasalahan tersebut. Kekerasan sendiri merupakan
sebuah produk kecil dari akan konflik yang tidak dapat di selesaiakan ini
tidak menutup kemungkinan akan menuju kepada peperangan.
Menurut, Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan
terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan
dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir
saingannya.5 Konflik sosial adalah salah satu bentuk interaksi sosial antara
satu pihak dengan pihak lain didalam masyarakat yang ditandai dengan
adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan.
Konflik sosial sesungguhnya merupakan suatu proses bertemunya dua pihak
atau lebih yang mempunnyai kepentingan yang relative sama terhadap hal
yang sifatnya terbatas. Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik itu
dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan
eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf pembinasaan eksistensi
orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.

Landasan Teori
Banyak para pemikir yang mengemukakan teori penyebab terjadinya
konflik. Baik pemikir barat maupun islam. Seperti Karl Marx, Georg Simmon
dan lain-lain, mereka masing masing mempunyai presepsi dan kesimpulan
sendiri-sendiri mengenai asal mula konflik. Di islam sendiri ada seorang Ibnu
Khaldun yang memiliki teori konflik fungsionalnya. Teori dari Ibnu Khaldun
inilah yang akan kita aplikasikan ke konflik ini agar dapat menjustifikasi
kesimpulan dari asal mula terjadinya konflik tersebut.

4
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), Hal. 86
5
Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1998),hal.156.
Ibnu Khaldun hidup dipenghujung abad pertengahan zaman
renaissance, yaitu abad ke-14. Abad ini merupakan periode dimana terjadi
perubahan-perubahan historis besar, baik di bidang politik maupun
pemikiran. Bagi Eropa, periode ini merupakan periode awal zaman
renaissance. Sementara bagi Islam periode ini merupakan periode
kekhalifahan. Tapi kekhalifahan disini mengalami ketimpangan akibat
perebutan kekuasaan. Akibatnya konflik begitu kerap terjadi.

Berdasarkan pengalaman empirik dari Ibnu Khaldun sendiri, beliau


dapat mengklasifikasikan perbedaan-perbedaan kelompok-kelompok yang
ada di dalam masyarakat.

Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa manusia memiliki sifat agresif


dalam dirinya. Sifat ke-agresifan ini muncul dikarenakan adanya pengaruh
animal power dalam diri manusia. Hal ini menyebabkan manusia disebut
rational animal.

Potensi lain yang ada didalam diri manusia adalah potensi akan cinta
dengan kelompoknya. Ketika manusia hidup bersama-sama dalam suatu
kelompok maka fitrah inimendorong terbentuknya rasa cinta terhadap
kelompok (ashobiyah).

Ashobiyah merupakan faktor pendukung yang sangat mempengaruhi


terjadinya konflik. Menurut Abdul Raziq al-Makhi, ‘ashobiyah’ dibagi
menjadi 5, yaitu :

a) Ashobiyah kekerabatan dan keturunan, adalah Ashobiyah yang


paling kuat.

b) Ashobiyah pesekutuan, terjadi karena keluarnya seseorang dari


garis keturunanya yang semula ke garis keturunan yang lain.

c) Ashobiyah kesetiaan yang terjadi karena peralihan seseorang dari


garis keturunan dan kekerabatan ke keturunan yang lain akibat
kondisi-kondisi sosial. Dalam kasus yang demikian, Ashobiyah
timbul dari persahabatan dan pergaulan yang tumbuh dari
ketergantungan seseorang pada garis keturunan yang baru.
d) Ashobiyah penggabungan, yaitu Ashobiyah yang terjadi karena
larinya seseorang dari keluarga dan kaumnya dan bergabung pada
keluarga dan kaum lain.

e) Ashobiyah perbudakan yang timbul dari hubungan antara para


budak dengan tuan- tuan mereka.

Manusia tidak akan rela jika salah satu anggota kelompoknya


terhinakan dan dengan segala daya upaya akan membela dan mengembalikan
kehormatan kelompok mereka. Ada perbedaan rasa integrastif ini, jika
dimasyarakat primitif (nomad) faktor pengikatnya adalah pertalian darah atau
garis keturunan. Sedangkan dalam masyarakat menetap atau modern yang
ikatan darahnya sudah tidak murni satu suku lagi maka ikatanya didasarkan
atas kepentingan-kepentingan anggota kelompok maupun secara imaginer
menjadi kepentingan kelompok.

Potensi lainya adalah agresi, manusia sejak awal memiliki watak


agresif sebagai akibat adanya animal power dalam dirinya yang mendorong
untuk melakukan kekerasan serta penganiayaan . Agresifitas ini bisa berakibat
terjadinya pertumpahan darah dan permusuhan. Agresifitas tersebut kemudian
menjadi pemicu terjadinya konflik. Teori ini kemudian ditentang dengan teori
yang menyebutkan bahwa agresifitas tersebut bukan hanya karena faktor
animal power dalam diri manusia, tetapi juga karena frustasi, yakni ketika
manusia tidak berhasil mendapatkan apa yang diinginkan. Menurut teori ini
bukan karena instink manusia dalam melakukan kekerasan melainkan juga
frustasi.

Contoh Kasus

Dalam kasus ini dapat kita korelasikan bahwa konflik horizontal antar
etnis yang terjadi antara etnis Lampung dan Bali ini adalah konflik
antargolongan yang dipicu oleh sebuah masalah yang melibatkan beberapa
orang dari dua etnis tersebut. Lalu setelah konflik tersebut pecah, akhirnya
timbulah saling tuduh dan saling tidak terima di kedua belah pihak. Disinilah
muncul sikap ashobiyah atau primordialisme baik di kubu Lampung maupun
kubu Bali. Rasa cinta pada kaumnya sendiri ini membuat orang-orang yang
berada dalam satu kaum, tapi tidak ada kaitannya dengan konflik ini menjadi
ikut-ikutan dalam konflik ini, karena seperti yang sudah dijelaskan bahwa
manusia tidaklah rela jika salah satu anggota kelompoknya terhinakan.

Adanya aturan pemerintah yang mennyelenggarakan program


transmigrasi ke daerah yang masih belum padat penduduk menyebabkan
adanya percampuran 2 budaya yang berbeda, hal ini dikarenakan adanya
penolakan secara halus dari penduduk lokal dengan kebudayaan baru dari
pendatang yang mencoba berbaur. Hal ini juga menyebabkan kesenjangan
yang terjadi sehingga munculnya sebuah konflik etnis yang terjadi di suatu
daerah yang memiliki penduduk dengan dua atau lebih kebudayaan berbeda.
Konflik yang terjadi pada Januari 2012 ini karena adanya kecelakaan yang
terjadi pada 2 orang gadis asli Lampung yang berasal dari desa Agom yang
sedang mengendarai kendaraan bermotor dan melewati jalan di sekitaran desa
Balinuraga yang menjadi pemukiman mayoritas warga Bali di Lampung.
Mereka mendapatkan gangguan atau godaan yang dilakukan oleh pemuda
dari desa setempat, yang pada akhirnya menjadi awal mula dari konflik yang
terjadi di Lampung Selatan. Masyarakat asli Lampung yang memegang
prinsip fiil pesenggiri dengan salah satu unsur nemui nyimah yang berarti
terbuka dan ramah terhadap semua orang termasuk para pendatang atau
transmigran. Tetapi perlahan-lahan prinsip asli masyarakat Lampung tersebut
hilang. Hal ini terjadi karena hilangnya kepercayaan masyarakat Lampung
terhadap masyarakat pendatang yang terkadang menyulut amarah dan ini
menyangkut harga diri masyarakat Lampung sendiri. Kejadian yang menimpa
dua gadis asli Lampung yang diganggu oleh masyarakat pendatang dari Bali
ini menjadi awal dari sebuah konflik baru. Karena masyarakat Lampung
menganggap bahwa telah terjadi sebuah pelecehan yang dilakukan pria
terhadap wanita. Hal ini dianggap sebuah diskriminasi terhadap wanita yang
menyebabkan masyarakat lokal geram. Karena dianggap melecehkan harga
diri masyarakat asli Lampung sehingga terjadi bentrokan antar warga. Warga
dari desa Agom beramai-ramai mendatangi desa Balinuraga dengan
membawa senjata tajam dan memporak porandakan desa Balinuraga.
Semuanya berbeda jika kita mendengar dari yang dikisahkan oleh
masyarakat Bali yang bermukim disana. Menurut Wayan Rauh mantan
Kepala Desa Blinuraga kejadian tersebut merupakan kesalahpahaman
tentang kejadian kecelakaan tersebut, beliau berkata bahwa awalnya
bermula ketika sekitar sepuluh warga Desa Balinuraga sedang mengendarai
motor melewati jalan menuju desa, ditengah perjalanan mereka berpapasan
dengan dua orang gadis asli Lampung yang sedang mengndarai motor juga,
kemudian terjadilah peristiwa naas tersebut, kedua gadis tersebut
bersenggolan dengan para pemuda dari Desa Balinuraga yang akhirnya
mereka terjatuh. Kemudian sebagai etikat baik, warga Desa Balinuraga
berupaya memberikan pertolongan kepada kedua gadis tersebut, akan tetapi
kemungkinan ada warga Desa Agom yang melihat, dan menafsirkannya
sebagai pelecehan kepada kedua gadis tersebut.6 Akhirnya terjadilah
peristiwa naas tersebut berujung dengan penyerangan yang dilakukan oleh
lima puluh warga Desa Agom bersenjata Tajam seperti, Celurit, Parang,
Golok, bahkan ada yang membawa Senapan Angin. Mereka mulai
menyerang Desa Balinuraga pada tanggal 27 Oktober 2012, lebih tepatnya
Sabtu malam. Seketika itu juga beberapa masyarakat diungsikan di Sekolah
Polisi Negara Kemiling, Bandar Lampung.

Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki berbagai macam


etnik, ras, dan budaya. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia sebagai
masyarakat yang beranekaragam atau disebut dengan masyarakat majemuk
sangatlah penting untuk menjaga keutuhan dan kesatuan sebagai sebuah
identitas bangsa. Identitas yang dimaksud adalah identitas masyarakat
sebagai bangsa Indonesia yang berbeda-beda tetapi tetap satu (Bhineka
Tunggal Ika), bukan dari satu etnik tertentu. Konflik identitas yang dialami
oleh etnik Lampung (Agom) dan etnik Bali (Balinuraga) di Lampung
Selatan merupakan salah satu contoh dimana sebagian masyarakat Indonesia
memiliki kesadaran yang minim akan identitas sebagai bangsa yang satu,
bangsa Indonesia.

6
http://nasional.tempo.co/read/news/2012/11/01/058439069/pemicu-bentrokan-lampung-
versi-penduduk diakses pada 18 November 2015, pukul 14.23 WIB.
Dalam menangani konflik etnik yang terjadi di Lampung Selatan
antara etnik Lampung dan etnik Bali, beberapa upaya yang telah dilakukan
diantaranya:

1. Bupati Lampung membetuk 3 tim untuk merespon konflik


tersebut diantaranya tim yang mengatur soal pengungsian,
mediasi perdamaian, dan tim perbaikan7. Masing-masing
tim melaksanakan tugas untuk penghentian serta
pencegahan konflik agar tidak semakin meluas dan
menimbulkan jumlah korban dan kerusakan harta benda
yang lebih banyak lagi.
2. Pemerintah (Kementerian Agama) telah membentuk forum
kerukunan umat beragama sampai ke tingkat kecamatan8.
Forum tersebut adalah sebagai sarana untuk memberikan
pendidikan kepada masyarakat secara rohani untuk
mencegah terjadinya konflik dengan memasukkan nilai-
nilai kaidah agama yang mendorong umat manusia menuju
ke arah kebaikan yaitu dengan menjaga hubungan baik
dengan sesama umat manusia.
3. Pasca konflik baik konflik yang terjadi di awal tahun 2012
dan di penghujung tahun 2012 menghasilkan “Piagam
Perdamaian” sebagai instrumen penyelesaian konflik,
namun tidak mampu menyelesaikan masalah begitu saja
sehingga menghasilkan piagam perdamaian kembali pasca
konflik di ujung tahun 2012.
4. Pemerintah dalam hal ini telah menerbitkan Undang-
Undang No.7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial. Penanganan Konflik menurut pasal 1 ayat (2)
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik

7
http://nasional.tempo.co/read/news/2012/11/01/058439069/pemicu-bentrokan-
lampung-versi-penduduk, diakses pada 17 November 2015.
8
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55e6877686d20/pemerintah-dituntut-serius-
selesaikan-konflik-di-lampung, diakses pada 17 November 2015.
sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang
mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan
pemulihan pasca konflik9.
5. Pada awal tahun 2013 Pemerintah setempat bersama aparat
keamanan menggulirkan program Rembug Pekon. Rembug
pekon merupakan pelembagaan negoiasi yang bersifat
kekeluargaan baik dari elemen pemerintah maupun
masyarakat seperti tokoh adat, tokoh agama, pemuda dan
yang lainya bisa diterima oleh semua pihak terutama pihak
yang berkonflik sehingga konflik di daerah tersebut tidak
terulang kembali.

Penutup

Kesimpulan

Namun lebih dari itu, masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan


upaya pemerintah tanpa adanya kerjasama. Peran dari pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah, aparat keamanan, dan lembaga-lembaga
masyarakat dalam menengahi konflik yang terjadi dengan mempertemukan
tokoh-tokoh dari kedua kelompok etnik sehingga tercapai resolusi konflik
kelompok berupa perjanjian damai yang diikuti dengan permohonan maaf
secara tertulis dari kedua etnik yang berkonflik akan lebih efektif dalam
penyelesaian konflik diantara keduanya. Selain itu, yang paling penting
adalah kesadaran masyarakat untuk bersatu tanpa adanya diskriminasi baik
itu dalam hal keagamaan, etnik, maupun status sosial. Upaya untuk
masyarakat agar dapat menjalin hubungan kerjasama dalam berbagai
bidang seperti ekonomi juga sangat efektif dalam mengurangi konflik. Jika
masyarakat multikultural memiliki kesadaran untuk mengakui satu
identitas bangsa yaitu bangsa Indonesia, maka integrasi dalam masyarakat
akan dengan mudah tercapai.

9
http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/PANSUS-Undang-Undang-Nomor-2-Tahun-2012-
tentang-Penanganan-Konflik-Sosial-1421724804.pdf, diakses pada 17 November 2015.

Anda mungkin juga menyukai