Anda di halaman 1dari 9

PANDANGAN MAJELIS TERJIH MUHAMDIYAH

TENTANG BAYI TABUNG

PENDAHULUAN

Kehadiran seorang anak dalam keluarga memberikan sebuah arti yang berbeda, tempat
mencurahkan kasih sayang, sebagai penerus garis keturunan dan dapat menunjang kepentingan
dunia dan akhirat bagi kedua orang tuanya. Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu
yang sangat berarti. Anak memiliki arti yang bermakna bagi setiap orang. Anak merupakan
penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk
menjadi sandaran di kala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat
hidup sehingga dapat mengontrol status sosial orang tua.

Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih hidup, anak
sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal, anak adalah lambang penerus dan
lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri
khas, baik maupun buruk, tinggi, maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan potongan
daging orang tuanya. Idries AM, Aspek Medikolegal Pada Inseminasi Buatan/Bayi Tabung, ED.
I Jakarta: Bina Rupa Aksara

Begitu pentingnya kehadiran seorang anak di dalam keluarga sehingga setiap pasangan
suami-istri selalu menginginkan kehadirannya. Tetapi, pada kenyataannya tidak semua pasangan
suami-istri dapat memperoleh keturunan secara normal. Banyak ditemui di lapangan bahwa,
setelah sekian lama menikah pasangan suami-istri belum juga mendapatkan keturunan walaupun
sudah berusaha dengan berbagai cara.

Hasil penelitian, apabila dipresentasikan dalam bentuk angka kurang lebih 10% dari pasangan
suami istri tidak dikaruniai keturunan (infertile), sedangkan kecil kemungkinan bagi mereka
melakukan adopsi anak. Penyebab infertilitas ini kira-kira 40% karena kelainan pada pria, 15%
karena kelainan pada leher rahim, 10% karena kelainan pada rahim, 30% karena kelainan pada
saluran telur dan kelainan peritoneal, 20% kelainan pada ovarium, dan 5% karena hal lain-lain,
dan kejadian totalnya melebihi 100%, karena pada kira-kira 35% pada suami istri terdapat
kelainan yang multiple. 2

Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran dalam hal memproses kelahiran bayi tabung
dengan cara asimilasi buatan, dari satu sisi dapat dipandang sebagai suatu keberhasilan untuk
mengatasi kesulitan bagi pasangan suami isteri yang telah lama mengharapkan keturunan. Tetapi
dari sisi lain, program bayi tabung tersebut di atas, telah banyak menimbulkan permasalahan di
bidang hukum, khususnya bagi umat Islam.

Permasalahan-permasalahan yang pantas ditampilkan antara lain mengenai bagaimana status


hubungan nasab antara bayi tabung dengan orang yang menjadi penyebab kelahirannya, bila
terjadi kelahiran bayi tabung itu dengan proses pengambilan sperma dari suami dan ovum.

Semua permasalahan tersebut di atas, di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, secara eksplisit tidak
didapatkan ketentuan hukumnya, bahkan di Indonesia persoalan yang berhubungan dengan bayi
tabung timbul disebabkan karena peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung.

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut; Apa itu Bayi tabung ?
Bagaimana hukum Bayi tabung dalam pandangan Islam? Bagaimana pandangan ulama tentang
Bayi tabung ?
PEMBAHASAN MASALAH

Bayi tabung merupakan salah satu dari teknologi reproduksi berbantuan (assisted
reproduction technology) yang digunakan ketika pasangan sulit mendapatkan keturunan,
misalnya karena kualitas/kuantitas sperma yang buruk, adanya penghalang antara telur dan
sperma, masalah ovulasi, dan masalah interaksi sel telur dengan sperma.

Bayi tabung yang seringkali dikenal dengan istilah pembuahan in vitro atau dalam bahasa
Inggrisnya in vitro fertilisation adalah sebuah teknik pembuahan sel telur (ovum) di luar tubuh
wanita, yaitu tempat khusus seperti tabung (cawan petri). Dalam bahasa arab bayi tabung
ِ ‫ اْألَنَابِ ْي‬yang artinya jabang bayi.
disebutnya sebagai istilah: ‫ت ِط ْفل‬

Bayi tabung adalah merupakan individu (bayi) yang di dalam kejadiannya, proses
pembuatannya terjadi di luar tubuh wanita (in vitro), atau dengan kata lain bayi yang di dalam
proses kejadiannya itu ditempuh dengan cara inseminasi buatan, yaitu suatu cara memasukkan
sperma ke dalam kelamin wanita tanpa melalui seng-gama. (Tahar, 1987: 4) Dalam bahasa Arab,
inseminasi buatan disebut dengan istilah: At-Talqihus-Sina’i. (Syatout, Tanpa Tahun: 325).

Ketua Majelis Ulama Indonesia, Prof. Dr. Khuzaimah T Yanggo berpendapat


mengenai teknik bayi tabung “Teknik bayi tabung diperbolehkan menurut Islam adalah
tidak melibatkan pihak ketiga, jadi sperma dan ovum harus berasal dari suami istri yang
sah dan masih rukun.

Menurut Syekh Ali Jum’ah, salah satu ulama yang menjadi mufti Al-Azhar Mesir
mengatakan bahwa praktik bayi tabung tersebut dibolehkan agama. Tetapi dengan syarat sperma
suami tidak tercampur dengan sperma lain saat proses inseminasi. Jika tercampur sperma milik
orang lain, meskipun sedikit, maka praktik inseminasi haram dilakukan dan sperma milik orang
lain tersebut harus dibuang karena dapat menyebabkan tertukarnya nasab. Sebab, menukar nasab
dengan sengaja adalah tindakan kejahatan yang dilarang agama dan yang pelakunya diancam
akan diberi siksaan pedih.

Nadwah Al Injab fi Dhouil Islam yang merupakan sebuah musyawarah para ulama di
Kuwait 11 sya’ban 1403 H [23 Maret tahun 1983] sudah berdiskusi mengenai bayi tabung ini
dan menghasilkan keputusan. Musyawarah ini menghasilkan keputusan berhubungan dengan
bayi tabung, hukumnya diperbolehkan secara syar’i apabila dilakukan antara suami dan istri,
masih mempunyai ikatan suami istri dan bisa dipastikan jika tidak terdapat campur tangan nasab
lainnya.

Akan tetapi, sebagian para ulama juga bersikap hati-hati dan tetap tidak memperbolehkan
supaya tidak terjadi perbuatan yang terlarang. Ini akhirnya membulatkan kesepakatan jika
hukum bayi tabung adalah haram apabila terdapat pihak ketiga yang ikut andil dalam
mendonorkan sperma, sel telur, janin atau pun rahim.

Dasar Hukum Bayi Tabung

1. Dasal Hukum di Indonesia,terdapat hukum kesehatan terkait teknik reproduksi buatan


yang diaturdalam:

UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009, pasal 127 menyebutkan bahwa upaya kehamilan
diluar cara alamiyah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami yang sah dengan
ketentuan :

a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan
dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu; Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

2. Dasar Agama/Religius (Al-Quran dan Al-Hadits)

Islam pada dasarnya tidak mempersulit keadaan sesuai dengan Firman Allah SWT

ْ ‫ش ِر ي‬
‫ش َر ا‬ ْ ‫ا ِ َّن َم َع الع‬

Artinya: “Setiap ada kesulitan, ada kemudah an”

a. (QS. Al-Insyirah: 5).

Aspek hukum penggunaan bayi tabung didasarkan kepada sumber sperma dan
ovum serta rahim. Dalam hal ini bayi tabung ada tiga macam, yaitu:Jika dilakukan
dengan sperma dan ovum pasangan suami istri yang sah dan diimplantasikan ke
istri yang sah maka hukumnya mubah. Dalam hal ini kaidah fiqih menentukan
bahwa “Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam
keadaan terpaksa (emergency) padahal keadaan darurat/terpaksa membolehkan
hal-hal yang terlarang.”

Proses bayi tabung yang dilakukan dengan menggunakan sperma dan ovum
dari donor maka hukumnya haram karena hukumnya sama dengan melakukan zina
sehingga anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung tersebut tidak sah dan
nasabnya hanya dihubungkan dengan ibu yang melahirkannya. Termasuk juga
haram menggunakan sperma mantan suami yang telah meninggal dunia, sebab
antara keduanya tidak terikat perkawinan lagi sejak suaminya meninggal dunia .

Haram hukumnya bayi tabung yang diperoleh dari sperma dan ovum dari
suami istri yang terikat perkawinan yang sah namun transfer embrio ke rahim
wanita yang bukan ibu biologisnya. Atau dengan donor sperma yang bukan suami
sah dari pasangan tersebut. Ini berarti bahwa kondisi darurat tidak menolerir
perbuatan zina atau bernuansa zina, zina tetap haram dalam keadaan darurat
sekalipun.

Alasan-alasan haramnya bayi tabung dengan menggunakan sperma dan ovum dari
donor atau ditansfer kedalam rahim wanita lain, adalah:

b. (Q.S Al-Isra: 70)

Artinya : “Orang-orang diantara kamu yang menzihar istrinya (menganggap


istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu -ibu mereka
hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka benar -benar
telah mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf dan Maha Pengampun” (Q.S Al-Mujadilah: 2)

c. Kaidah Fiqih
Islam pada dasarnya memperbolehkan proses inseminasi bayi tabung dalam
pelaksanaannya jika sperma dan ovum yang digunakan dari pasangan suami istri
yang sah, namun ada beberapa hal yang membuat mafsadah (bahaya) bayi tabung,
terutama pada proses bayi tabung dengan donor sperma maupun donor ovum.

1. Pencampuran nasab, karena pencampuran hasil donor akan berkaitan


dengan masalah mahrom dan hukum waris.

Bertentangan dengan sunnatullah.

2 . Statusnya sama dengan zina, karena pencampuran sperma dan ovum tanpa
perkawinan yang sah.

3. Anak yang dilahirkan dari hasil bayi tabung dengan donor akan menjadi
sumber konflik karena perbedaan gen sifat/fisik dan karakter serta mental
yang tidak sama dengan ibu/bapaknya.

4. Anak yang dilahirkan melalui bayi tabung yang pencampuran nasabnya


terselubung dan dirahasiakan donornya, lebih jelek daripada anak adopsi
yang umumnya diketahui asal atau nasabnya.

5. Bayi tabung dengan menggunakan rahim sewaan akan lahir tanpa proses
kasih sayang yang alami (tidak terjadi hubungan mental antar ibu dan
janin).
Pandangan Muhammadiyah Terhadap Teori Maslahah

Kemashlahatan merupakan tujuan utama disyariatkannya Hukum dalam Islam.


Majelis Tarjih Muhammadiyah sebagai lembaga legislasi keagamaan turut serta
mempertimbangkan keberadaan Maslahah tersebut dan menjadikannya sebagai salah satu
metode perumusan Hukum Islam. Namun hingga saat ini, belum diketemukan penjelasan
khusus dari Majelis Tarjih perihal Maslahah dan sejauh mana pengembangan konsep
Maslahah tersebut dalam diskursus Tarjih Muhammadiyah. Hanya saja berdasarkan catatan
para pemikir Tarjih Muhammadiyah diketahui bahwa Maslahah yang dimaksudkan oleh
Muhammadiyah adalah Maslahah yang sesuai dengan Shariat Islam, yakni yang tidak
bertentangan dengan nash. Apabila terdapat pertentangan antara Maslahah dan nash maka
nas harus lebih didahulukan daripada Maslahah (Djamil, Metode ijtihad 61).

Di luar apa yang dipublikasikan oleh Majelis Tarjih, penelitian yang dilakukan oleh Imron
Rosyadi menghasilkan kesimpulan antara lain mengenai cara Majelis Tarjih menentukan
kemashlahatan untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam menetapkan hukum dengan tekni
Mashlahah Mursalah adalah 1. Memperhatikan kesesuaian kemaslahatan dengan tujuan hukum
Islam atau maqasid asy-syari’ah, 2. Memperhatikan niat (tujuan) dan hasil akhir dari suatu
perbuatan atau peristiwa yang memberikan manfaat dan menghindarkan dari kesulitan, baik
kepada pelaku maupun orang lain, 3. Mengedepankan prinsip keseimbangan dan keadilan, bila
persoalan dihadapkan pada dua orang atau lebih sebagai bagian dari kemaslahatan, dimana
semua pihak diposisikan setara. 4. Kemaslahatan yang ada pada suatu masalah adalah
kemaslahatan yang menghadirkan kepastian dan ketertiban (Kaji Fatwa-Fatwa Majelis Tarjih,
dalam (uin-suka.ac.id/page/berita/detail/715/kajifatwa-fatwa-majelis-tarjih-muhammadiyah-
dosen-ums-raih-doktor-di-uin-sunan-kalijaga 21 Juli 2015).

Dari catatan tersebut di atas dapat diketahui bahwa Muhammadiyah hanya menerima
Maslahah Mursalah, sebagaimana yang dikembangkan oleh Imam Malik. Namun sampai saat ini
belum ada rumusan yang tepat perihal bagaimana Maslahah dalam perspektif Muhammadiyah
serta bagaimana pengembangan dari konsep Maslahah tersebut. Penggunaan Maslahah dalam
Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah bukan merupakan hal yang baru dilakukan. Terdapat
banyak putusan yang dikeluarkan dalam Musyawarah Nasional Majelis Tarjih (Munar Tarjih)
yang menggunakan metode Maslahah, khususnya dalam menyikapi permasalahan kontemporer,
dimana Majelis Tarjih Muhammadiyah menggunakan pendekatan Ijtihad Bayani, Ijtihad Qiyasi
dan Ijtihad Istislahi. Pada Munas Tarjih ke 21 tahun 1980, terdapat pembahasan masalah Bayi
Tabung dan Transplantasi. Kemudian dalam Munas Tarjih ke 22 tahun 1989, terdapat
pembahasan masalah Aborsi. Kemudian pada Munas Tarjih ke27 tahun 2010 di malang, terdapat
masalah kontemporer perihal pencatatan nikah yang masik dalam bahasan Fikih Perempuan.
Dalam Munas Tarjih ke 28 tahun 2014 terdapat pembahasan mengenai Fikih Air yang berangkat
dari masalah kontemporer perihal privatisasi air. Permasalahan kontemporer tersebut dibahas
dalam Ijtihad Jama’i (kolektif) Majelis Tarjih Muhammadiyah baik dengan pendekatan Bayani,
Qiyasi maupun Istislahi. Selain berupa putusan, terdapat banyak hasil ijtihad Majelis Tarjih
Muhammadiyah berupa fatwa yang menggunakan pendekatan Maslahah di dalamnya, antara lain
fatwa tentang perceraian di luar persidangan, fatwa kebolehan menasarufkan dana zakat bagi
korban bencana, fatwa tentang hukum merokok dan fatwa lain dari Majelis Tarjih
Muhammadiyah.

Implementasi maslahah dalam Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang bayi tabung

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa bayi tabung dengan
sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini
termasuk ikhtiar yang berdasarkan kaidah-kaidah agama.

Namun, para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri
yang dititipkan di rahim perempuan lain. "Itu hukumnya haram," papar MUI dalam fatwanya.
Apa pasal? Para ulama menegaskan, di kemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang
rumit dalam kaitannya dengan warisan.

Para ulama MUI dalam fatwanya juga memutuskan, bayi tabung dari sperma yang
dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram. "Sebab, hal ini akan
menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam
hal kewarisan," tulis fatwa itu.

Lalu bagaimana dengan proses bayi tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari
pasangan suami-istri yang sah? MUI dalam fatwanya secara tegas menyatakan hal tersebut
hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan hubungan kelamin antarlawan jenis di luar
penikahan yang sah alias zina.

Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah ini dalam forum
Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan
ulama NU terkait masalah bayi tabung: Pertama, apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke
dalam rahim wanita,tersebut ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung
hukumnya haram.

Hal itu didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW
bersabda, "Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT,
dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim
perempuan yang tidak halal baginya."
Kedua, apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara
mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. "Mani muhtaram adalah mani
yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara'," papar ulama NU dalam
fatwa itu.

Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum
dari Kifayatul Akhyar II/113. "Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya
(dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang
tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang." Ketiga, apabila mani yang
ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukan ke
dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).
Meski tak secara khusus membahas bayi tabung, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
juga telah menetapkan fatwa terkait boleh tidak nya menitipkan sperma suami-istri di rahim istri
kedua. Dalam fatwanya, Majelis Tarjih dan Tajdid mengung kapkan, berdasarkan ijitihad jama'i
yang dilakukan para ahli fikih dari berbagai pelosok dunia Islam, termasuk dari Indonesia yang
diwakili Mu hammadiyah, hukum inseminasi buat an seperti itu termasuk yang dilarang.
"Hal itu disebut dalam ketetapan yang keempat dari sidang periode ke tiga dari Majmaul Fiqhil
Islamy dengan judul Athfaalul Anaabib (Bayi Tabung)," papar fatwa Majelis Tarjih PP
Muhammadiyah. Rumusannya, "cara kelima inseminasi itu dilakukan di luar kandungan antara
dua biji suami-istri, kemudian ditanamkan pada rahim istri yang lain (dari suami itu) ... hal itu
dilarang menurut hukum Syara'." Sebagai ajaran yang sempurna, Islam selalu mampu menjawab
berbagai masalah yang terjadi di dunia modern saat ini.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/fatwa/10/05/08/114856-apa-hukum-bayi-tabung-
menurut-islam-

(uin-suka.ac.id/page/berita/detail/715/kajifatwa-fatwa-majelis-tarjih-muhammadiyah-dosen-
ums-raih-doktor-di-uin-sunan-kalijaga 21 Juli 2015).

Mahjuddin, Masailil Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2007)

(Q.S Al-Isra: 70)

(QS. Al-Insyirah: 5).

(Q.S Al-Mujadilah: 2)

Djamil, Metode Ijtihad, 61

Kaji Fatwa-Fatwa Majelis Tarjih, dalam http://uin-suka.ac.id/page/berita/detail/715/kajifatwa-fatwa-majelis-tarjih-


muhammadiyah-dosen-ums-raih-doktor-di-uin-sunan-kalijaga (21 Juli 2015)

http://ejournal.iainkendari.ac.id/al-adl/article/download/1383/996.

Anda mungkin juga menyukai