Anda di halaman 1dari 16

BAB III

AKAD

 TA’RIF ( PENGERTIAN ) DAN HUKUM WAKALAH


Wakalah artinya penyerahan seseorang kepada orang lain agar dia menggantikan posisinya
dalam hal-hal yang bisa diwakilkan. Hukum wakalah adalah masyru’ (disyariatkan). Dalam
QS Al-Kahfi ayat 19 dan QS. At-Taubah ayat 60 dijelaskan bahwa Allah SWT
membolehkan mewakilkan untuk mengurus sesuatu. Kaum muslimin juga sepakat tentang
bolehnya wakalah secara garis besar, karena kebuthan menghendaki hal itu. bahkan
wakalah dianjurkan, karena termasuk ta’awun ‘alal birri wat taqwa (QS AL-Maidah:2).
Rasulullah SAW bersabda : ‘Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba
tersebut mau menolong saudaranya (HR Muslim).
Rukun wakalah
Wakalah merupakan salah satu akad yang tidak sah kecuali jika dipenuhi rukunnya yaitu
ijab dan qabul, namun tidak disyariatkan untuk ijab dan qabul ini memakai lafaz tertentu.
Bahkan dianggap sah dengan semua yang menujukan ijab dan qabul baik berupa ucapan
maupun perbuatan.

 HIBAH
Hibah adalah pemberian harta kepada orang lain, tanpa mengharapkan pamrih dan ingin
menolong orang lain. Maka rasa iba dan keinginan untuk menolong orang lain lebih
dominan dibandingkan kesadaran untuk memohon pahala dari Allah.
Rukun dan Syarat Hibah
a. Orang yang memberi, syaratnya:
(1) Cakap bertindak sendiri
(2) Atas kehendak sendiri
(3) Tidak untuk maksud sia-sia atau pemborosan
b. Orang yang diberi, syaratnya:
(1) Berhak memiliki
(2) Tidak sah kepada anak yang masih dalam kandungan dan kepada binatang, karena
keduanya tidak dapat memiliki
c. Ijab dan qabul
d. Barang yang diberikan, disyaratkan hendaknya barang yang mubah.
 SEDEKAH
Imam Maqardi menyimpulkan: sedekah adalah zakat dan zakat adalah sedekah. Dua kata
yang berbeda teksnya namun memiliki arti yang sama. Dengan demikian sedekah
mencakup yang wajib dan mencakup pula yang sunnah, asalkan bertujuan untuk mencari
keridhoan Allah SWT semata. Walau demikian dalam beberapa dalil, kata sedekah
memiliki makna yang lebih luas dari sekedar membayarkan sejumlah harta kepada orang
lain. Sedekah dalam beberapa dalil digunakann untuk menyebut segala bentuk amal baik
yang berguna bagi orang lain dan bahkan bagi diri sendiri.

 INFAK
Kata infak dalam dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis memiliki makna cukup luas, karena infak
mencakup semua jenis pembelanjaan harta kekayaan. Allah berfirman : “dan orang-orang
yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir,
dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan :
67). Kemanapun dan untuk tujuan apapun, baik tujuan ayang dibenarkan secara syariat
ataupun diharamkan, semuanya disebut dengan infak. Oleh karena itu banyak dalil untuk
berinfak disertai dengan penjelasan infak dijalan Allah, sebagaimana pada ayat berikut :
“dan infakanlah/belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah.” (QS. Al-Baqarah : 195).

 HADIAH
Hadiah adalah suatu pemberian yang bertujuan untuk memuliakan dan meningkatkan
keeratan hubungan antara pemberi dan penerima hadiah. Disamping itu sebagai bentuk
penghargaan bagi yang menerimanya. “Hendaknya kalian saling memberi hadiah niscaya
kalian saling mencintai.” (HR. Bukhari)

 WAKAF
Wakaf menurut Bahasa yaitu menahan (al-hasu). Menurut istlah yaitu menahan sesuatu
benda yang kekal zatnya dan mengambil manfaatnya untuk kebaikan.
Rukun Wakaf
a. Orang yang berwakaf, disyaratkan:
(1) Berhak berbuat kebaikan, walaupun bukan orang islam sekalipun.
(2) Dengan kehendak sendiri, tidak sah apabila dengan terpaksa.
b. Orang yang berhak menerima hasil wakaf, disyaratkan:
(1) Wakaf itu hendaknya jelas kepada siapa diwakafkan.
(2) Wakaf kepada orang tertentu, disyaratkan orang itu adalah orang yang berhak
memiliki sesuatu. Tidak sah berwakaf kepada anak yang masih dalam kandungan
ibunya dan juga hamba sahaya.
(3) Berwakaf untuk masyarakat umum adalah sah, bahkan ini yang lebih penting,
seperti kepada fakir miskin, sekolah, dll.
c. Ijab dan qabul
d. Benda yang diwakafkan, disyaratkan:
(1) Zat benda itu kekal.
(2) Zat benda itu selamanya dan tidak dibatasi waktu.
(3) Benda itu diwakfkan secara tunai, tidak ada khiyar syarat.
(4) Benda itu milik orang yang mewakafkan.

 QIRADH (Mudharabah/Memberi Modal)


ditinjau dari segi bahasa yaitu memberi pinjaman, sedangkan menurut syara’ adalah bentuk
keja sama dimana seseorang memberi modal kepada orang lain untuk diniagakan dan
keuntungannya dibagi menurut perjanjian yang telah disepakati. Qiradh sama dengan
mudharabah yaitu akad antara pihak pemilik modal (shahibul mal) dengan pengelola
(mudharib) untuk memperoleh keuntungan. Mudharabah dibagi menjadi dua yaitu
mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Dalam mudharabah muthlaqah,
mudharib diberi kekuasaan penuh untuk mengelola modal, mudharib tidak dibatasi baik
mengenai tempat, tujuan maupun jenis usahanya. Sedangkan mudharabah muqayyadah,
shahibul mal menetapkan syarat tertentu yang harus dipatuhi mudharib, baik mengenai
tempat, tujuan maupun jenis usahanya, dan mudharib tidak dioerkenankan untuk
mencampurkan dana modal ataupun dana lainnya.
Rukun dan Syarat Qiradh/Mudharabah
1. Pemilik dana (shahibul mal) yaitu orang yang memberi modal. Pengusaha (Mudharib)
yaitu orang yang menerima pinjaman. Baik pemilik dana dan pengusaha, keduanya
disyaratkan harus berakal, baligh dan merdeka. Dengan kata lain, keduanya orang yang
cakap melakukan perbuatan hukum.
2. Harta (modal usaha), berwujud uang atau lainnya dan diketahui jumlahnya secara jelas.
3. Pekerjaan atau kegiatan usaha.
4. Keuntungan, syaratnya: bagian masing-masing dari keuntungan tersebut telah
ditentukan pada akad.

 RIBA
Riba menurut Bahasa artinya tambahan atau kelebihan. Sedangkan menurut istlah yaitu
tambahan atau kelebihan atas modal (yang diperoleh seseorang pada saat menerima
pembayaran hutang atau pada saat tukar menukar barang yang sejenis). Riba hukumnya
haram, berdasarkan firman Allah SWT pada QS. Ali-Imran : 130, QS Al-baqarah : 276 dan
QS Al-baqarah : 279.
Macam-macam Riba
1. Riba Qardl yaitu tambahan yang diperoleh dengan cara memberikan pinjaman dengan
sayarat ada keuntungan bagi yang meminjamkan.
2. Riba Fadhl yaitu tambahan yang diperoleh dalam peristiwa tukar menukar barang yang
sejenis.
3. Riba Yad yaitu berpisahnya antara penjual dan pembeli dari tempat akad sebelum serah
terima.
4. Riba Nasiah yaitu penukaran yang disyariatkan terlambat salah satu dari dua barang.
Maksudnya tambahan yang diperoleh apabila terlambat membayar hutang. Riba nasiah
disebut juga riba bertempo, lebih lama tempo orang yang berhutang maka lebih besar
tambahan yang harus dibayar.

 MURABAHAH
Definisi Jual-Beli Murabahah
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu yang berarti kelebihan
dan tambahan (keuntungan). Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah
jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah
menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor
(penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya.
Hukum Murabahah
Hukum jual beli murabahah asalnya dibolehkan. Dalil akan hal ini adalah keumuman
firman Allah SWT yang menjelaskan halalnya jual beli, pada QS. Al-Baqarah : 275 dan
QS. An-Nisa : 29. Murabahah termasuk jual beli saling ridho diantara penjual dan
pembeli, sehingga termasuk jual beli yang dibolehkan.
 SALAM
Pengertian Salam
Salam atau disebut juga salaf adalah jual beli barang yang ditunda yang disifati dan masih
dalam tanggungan dengan bayaran yang didahulukan.

 ISTISHNA

 HIWALAH

 SHARF

 KAFALAH

BAB IV
HUKUM PERKAWINAN

A. MANUSIA DAN PERKAWINAN


Perkawinan memiliki kedudukan yang amat penting dalam kehidupan manusia. Dengan
jalan perkawinan yang sah pergaulan pria dan wanita terjadi secara terhormat sesuai dengan
kedudukan manusia sebagai makhluk paling mulia dan terhormat. Hubungan antara pria
dan wanita ditentukan atas dasar pengabdian kepada Allah SWT sebagai Al-Khaliq dan
kebaktian kepada kemanusiaan guna kelangsungan kehidupannya.

B. SUMBER HUKUM PERKAWINAN


Sumber hukum perkawinan dalam islam adalah Al-Qur’an dan Hadis.
Al-Qur’an
1. QS. Adz-Dzariyat : 49
2. QS. Yasin : 36
3. QS. An-Nisa : 1
4. QS. An-Nahl : 72
Al-Hadits
Rasulullah SAW bersabda: “Hai para pemuda! Barangsiapa diantara kalian ada yang sudah
berkemampuan untuk menikah, hendaklah dia segera menikah. Karena sesungguhnya
pernikahan itu akan lebih menundukan pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Dan
bagi siapa yang belum berkemampuan hendaklah dia berpuasa, karena puasa baginya
merupakan benteng. (HR. Bukhari)
Rasulullah SAW bersabda: “Orang-orang berkata ini itu tentang ibadah; padahal aku salat,
dan tidur, kadang aku puasa dan kadang tidak, aku menikahi wanita-wanita. Barangsiapa
yang tidak suka terhadap sunahku (kebiasaanku) dia tidak termasuk golonganku.” (HR. An-
Nasa’i)

C. HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA


Bangsa Indonesia telah memiliki UU Perkawinan yang bersifat Nasional dan belaku bagi
Warga Negara RI yaitu UU Negara RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Meskipun demikian hukum oerkawinan islam bagi kaum muslimin memperoleh jaminan
tetap berlaku, sebagaimana dapat dipahami dengan jelas pada pasal 2 ayat 1 UU no 1 tahu
1974 tentang perkawinan, dan yang disyaratkan dalam banyak pasal dalam UU. Hal ini
sejalan pula dengan jaminan pada pasal 29 UUD 1945 yang bersumber kepada sila pertama,
Ketuhanan yang Maha Esa, pada dasr falsafah NKRI, yaitu Pancasila.

D. ISLAM MENGANJURKAN PERKAWINAN, MELARANG MEMBUJANG


D

E. TUJUAN DAN HIKMAH PERKAWINAN


Tujuan Perkawinan
a. Untuk mendapatkan ketenangan hidup . QS Ar-Ruum : 21.
b. Untuk menjaga kehormatan diri dan pandangan mata
c. Untuk mendapatkan keturunan
Dalam UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dinyatakan dalam pasal 1 sebagai
rangkaian dari pengertian perkawinan, yakni : Perkawinan ialah ikatan lahhir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Karena itu syariat Islam mengatur pelaksanaan perkawinan untuk kemaslahatan kehidupan
rumah tangga dan turunan juga untuk kemaslahatan masyarakat. Adapun tujuan pernikahan
yang kadang-kadang terjadi dalam kehendak seseorang dari dahulu sampai sekarang adalah
:
1. Karena mengharapkan harta benda
2. Karena mengharapkan kebangsawanannya
3. Karena mengharapkan kecantikannya
4. Karena agama dan budi pekertinya yang baik
Sebagaimana sabda Nabi “wanita itu dinikah karena empat perkara – karena harta, karena
bangsawan, karena kecantikan dan karena agamanya, karena itu peganglah karena
agamanya.”(HR. Bukhari Muslim)

F. HIKMAH PERKAWINAN
Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fikih al-Sunnah, mengatakan bahwa hikmah perkawinan
diantaranya adalah:
1. Sesungguhnya naluri sex merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya
menuntut adanya jalan keluar.
2. Pernikahan adalah satu-satunya jalan yang alami dalam pemenuhan kebutuhan biologis
yang paling baik, dengan pernikahan badan menjadi segar, jiwa menjadi tenang, mata
terpelihara dari melihat yang haram.
3. Kawin merupakan jaan terbaik untuk membuat anak-anakmenjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan kehidupan manusia serta memelihara nasab
yang oleh Islam dangat diperhatikan.
4. Perkawinan akan menumbuhkan naluri kebapaan dan keibuan, keduanya akan saling
melengkapi, menumbuhkan rasa saling mencintai dan menyayangi.
5. Menumbuhkan rasa tanggung jawab dan rajin bekerja.
6. Terjadi pembagian tugas antara suami dan istri. Dll.

G. PENGERTIAN (Nikah) PERKAWINAN


Menurut bahasa nikah itu artinya berkumpul ata bersetubuh. Menurut istilah syara’ nikah
adala akad dengan syarat-syarat tertentu antara seorang wali perempuan dengan calon
suami, dimana dengan akad ini akan menjadi halal pergaulan suami isteri. Menurut KH
Azhar Basyir dalam bukunya hukum perkawinan islam; perkawinan menurut hukum islam
adalah “suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki
dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa
ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah”. Menurut UU no 1 tahun
1974 tentang Perkawinan : perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Hukum nikah
Ulama tidak sepakat dalam menetapkan asal hukum nikah, ada yang berpendapat bahwa
nikah itu hukumnya wajib; sunnat; dan mubah.
Perkawinan yang Wajib
Perkawinan hukumnya wajib bagi yang telah mempunyai keinginan kuat untuk kawin dan
telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam
hidup berumah tangga serta ada kekhawatiran apabila tidak kawin akan mudah terjerumus
kepada perzinahan. Menurut kaidah fiqhiyyah : “sesuatu yang mutlak diperlukan untuk
melaksanakan kewajiban, hukunya adalah wajib.” Penerapan kaidah ini dalam masalah
perkawinan adalah apabila seseorang hanya dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan
jalan perkawinan, maka bagi dia perkawinan itu hukumnya wajib.
Perkawinan yang sunnah
Perkawinan hukumnya sunnah bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan
telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dari memikul kewajiban-kewajiban
dalam hidup berumah tangga (perkawinan), tetapi apabila tidak kawin dia masih mampu
menjaga diri.
Perkawinan yang haram
Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup berumah
tangga, sehingga apabila dia kawin akan menyusahkan dan memadaratkan istri dan
keluarganya.
Perkawinan yang makruh
Perkawinan hukumnya makruh bagi orang yang mampu dalam segi materi, cukup memiliki
daya tahan mental dan agama hingga tidak khawatir akan terjerumus dalam perbuatan zina,
tetapi mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap
istrinya, meskipun tidak akan berakibat menyusahkan pihak istri.
Perkawinan yang mubah
Perkawinan hukumnya mubah bagi yang memiliki harta, tetapi apabila tidak kawin tidak
merasa khawatir akan berbuat zina,dan andaikata kawin pun tidak merasa khawatir akan
menyia-nyiakan kewajibannya terhadap istrinya. Perkawinan dilakukan sekedar memenuhi
syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga keselamatan
hidup.

H. PRINSIP-PRINSIP PERKAWINAN DALAM ISLAM


 Memilih jodoh yang tepat
 Melihat calon istri
 Meminang
 Wanita-wanita yang boleh dipinang
 Akad nikah dan unsur-unsurnya
 Ijab qabul
 Wali dan saksi nikah
 Susunan wali nikah
 Keterangan tambahan

I. HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI


Suami mempunyai hak dari istrinya, dan dalam waktu yang sama ia memounyai kewajiban
terhadap itrinya. Demikian pula sebaliknya, istri punya hak dari suaminya, dan mempunya
kewajiban terhadap suaminya,. Mengenai hak dan kewajiban suami istri tercermin dalam
Al-Qur’an surat an-Nisa : 4 dan hadits Rasulullah SAW.
“sebaik-baik perempuan ialah perempuan yang apabila engkau memandang kepadanya ia
menggembirakan engkau, dan apabila engkau menyuruhnya, ia metaatinya, dan jika
engkau bepergian, dipeliharanya harta engkau dan dijaganya dirinya.”
Dari ayat Al-Qur’an dan Hadits diatas dapat disingkatkan bahwa yang menjadi kewajiban
suami terhadap isteri itu adalah memberi nafkah (lahir bathin), pakaian dan tempat tinggal
sesuai dengan kemampuannya, demikian pula memelihara, memimpin, membimbing dan
bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan. Sedang kewajiban istri ialah taat
dan patuh terhadap suami, memelihara hak suami sepanjang batas kemampuannya dan
sepanjang suami tidak melanggar aturan Allah.
Uraian luas tentang hak dan kewajiban suami isri dapat dilihat dalam akta nikah yang
diterbitkan oleh Departemen Agama.

J. HAL-HAL YANG MEMUTUSKAN IKATAN PERKAWINAN


1. Kematian
2. Thalaq
3. Pelanggaran ta’liq thalaq
4. Ila
5. Khulu’
6. Fasakh
7. Zhihar
8. Li’an
Iddah
Perempuan yang putus perkawinannya, baik karena ditinggal mati ataupun karena cerai, ia
tidak dapat langsung menikah lagi dengan laki-laki lain, melainkan harus menunggu
sementara waktu lebih dahulu. Masa menunggu itu disebut masa iddah, masa iddah bagi
seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a. Karena ditinggal mati dalam keadaan tidak hamil, masa menunggunya empat bulan
sepuluh hari atau 130 hari.
b. Karena thalaq (perceraian)
 Yang masih haid tiga kali suci
 Yang tidak haid lagi tiga bulan
c. Dithalaq atau ditinggal mati, dalam keadaan hamil, sampai melahirkan.
d. Wanita yang dithalaq atau dicerai sebelum melakukan hubungan suami istri tidak ada
masa tunggu.

K. AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN


1. Istri yang menjalani iddah raj’iyyah (boleh ruju’ se;ama iddah), bila ia taat atau baik-
baik, maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian, dan uang belanja dari
mantan suaminya, tetapi bila ia durhaka, makai a tidak berhak menerima apa-apa.
2. Wanita yang menjalani iddah talaq ba’in, jika ia tidak hamil, ia hanya berhak
memperoleh tempat tinggal (rumah). Tapi jika ia hamil, makai a juga berhak
mendapatkan nafkah sebagaimana dijelaskan dalam QS al-Thalaq : 6.
3. Wanita yang menjalani iddah wafat, ia tidak berhak sama sekali atas nafkah dan tempat
tinggal dari mantan suaminya, karena ia dan anak-anak mereka merupakan pewaris
yang berhak memperoleh harta pusaka/warisan dari almarhum mantan suaminya.

L. MASALAH FIKIH MUNAKAHAT KONTEMPORER


Perkawinan sesudah hamil
Imam Syafi’I ra menyatakan kebolehan wanita hamil dinikahkan, Imam Abu Hanifah
membolehkan dengan syarat tidak boleh melakukan hubungan suami istri sampai wanita
itu melahirkan, sementara Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, keduanya
mengharamkan wanita hamil karena zina dinikahkan kecuali setelah melahirkan.
Siapakah pria yang harus mengawini wanita yang hamil karena zina itu? Allah SWT telah
menjelaskan hal tersebut dalam QS. Al-Nuur : 3 dan QS. Al-Nuur : 26.
Dalam bab tentang kawin hamil, kompilasi hukum Islam di Indonesia menegaskan,
seseorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang disebut pada pasal
1 dapat dilangsungkan tanpa harus menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya (ayat 2).
Dengan dilangsukannyan perkawinan saat wanita itu hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir (ayat 3).
Penegasan kompilasi Hukum Islam tersebut sama sekali tidak emnggurkan status zina bagi
pembuahan yang mengakibatkan hamil diluar nikah. Bagi anak yang lahir dari perzinaan,
meskipun akhirnya pasangan yang berzina tersebut kawin dengan sah, namun status
anaknya tetap merukan anak hasil zina. Menurut mazhab Syafi’I, anak hasil zina hanya
mempunyai hubungan keturunan dengan ibunya, dan secara yuridis, dia tidak mempunyai
ayah. Karena itu, jika anak zina itu wanita , ia tidak mempunyai wali nasab yang berhak
mengawinkannya, dan ini pula yang berlaku di negara kita, termasuk dikalangan petugas
pencatat sipil.
Kawin mut’ah
Kawin mut’ah adalah kawin yang dilakukan seseorang untuk waktu yang terbatas. Dalam
perkawinan ini suami tidak diwajibkan membayar maskawin dan nafkah, teapi cukup
memberi mut’ah (pemberian tertentu yang dijanjikan pada waktu akad nikah). Dalam
istilah sekarang disebut dengan “kawin kontrak”. Pada permulaan islam kawin mut’ah
diperbolehkan, terutama agi para pejuang islam yang banyak terlibat peperangan diluar
neri, sedang mereka tidak membawa istri. Namun kemudian dilarang. Mayoritas ulama
dengan tegas mengharamkan perkawinan mut’ah ini Imam Daud Al-Zhahiri dan
sebahagian kalangan syiah memperbolehkan kawin mut’ah.
Perkawinan antar agama
Dalam Pedoman Pegawai Pencatat nikah (PPPN) disebutkan bahwa “Perkawinan
antaragama adalah perkawinan yang terjadi di Indonesia antara dua orang yang menganut
agama yang berbeda. Misalnya antara pria muslim dan wanita non muslim.”
Pasal 2 ayat 1 UU no. 1 tahun 1974 menegaskan bahwa sahnya perkawinan apabila
dilakukan menurut hukum masing-masingagama dan kepercayaannnya. Karena, maka pada
dasarnya tidak ada perkawinan antaragama. Syari’at Islam senidri hanya memperbolehkan
pria muslim menikah dengan wanita Kitabiyyah (ahli kitab), dan melarang wanuta
Muslimah menikah dengan pria non muslim, baik pria kitabiyyah maupun bukan.
Nikah sirri
Nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan diluar pengetahuan PPPN/kepala KUA,
karenanya perkawinan semacam itu tidak dicatat di KUA, sehingga suami istri tersebut
tidak memiliki surat nikah.
Masalah kafaah (kufu/kesetaraan)
Persoalan ini sering dipahami secara tidak proporsional, dalam arti seseorang diseyogikan
kawin dengan lawan jenis yang sama derajatnya, kecantikan ketampanannya, dsb. Padahal
itu hanya sifat lahiriah belaka. Jika itu dapat terjadi memang tidak ada jelknya tetapi
kafaah/kufu sebenarnya lebih berlaku mengenai keagamaan dan budi pekertinya.

BAB V
HUKUM WARIS

A. PENGERTIAN WARIS
Kata waris dalam bahasa arab berasal dari kata waratsa-yaritsu-irtsan-miratsan yang
mengandung arti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu
kaum kepada kaum yang lain. Sebagai contoh, nabi Sulaiman telah mewarisi kenabian dan
kerajaan nabi Dawud (QS. An-Naml:16). Dalam suatu hadits Rasulullah bersabda “bahwa
para ulama itu adalah pewaris para nabi”. Secara syar’I wais berarti berpindahnya hak
milik dai orang yang telah meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup.
Ilmu waris disebut juga ilmu faraidh, sebagai istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu
yang membahas tentang hak-gak yang berhubungan dengan harta peninggalan/harta
warisan secara garis besar.
Dalam hukum islam kematian orang yang mewariskan harta itu dapat diklasifikasikan
menjadi tiga; mati haqiqi (terpisahnya nyawa dengan raga), mati hukmi (berdasarkan
putusan pengadila, seperti orang hilang), mati taqdiri (berdasarkan dugaan keras, seperti
kecelakaan yang jenazahnya tidak teridentifikasi). Hidupnya ahli waris juga dapat
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu hidup haqiqi, hukmi, maupun taqdiri. Sedangkan yang
dimaksud dengan harta warisan adalah harta openinggalan almarhum/ah setelah dipotong
untuk biaya mengurus jenazahnya (jika diperlukan) melunasi utang-utangnya baik utang
kepada Allah yang berupa ibadah maliyah – seperti zakat maupun utang kepada sesame
manusia, baik perseorangan maupun Lembaga dan melaksanakan wasiatnya jika ia
berwasiat.

B. SEJARAH HUKUM WARIS


Sebelum kedatangan agama islam, masyarakat arab jahiliyah telah mengenal hukum waris
yang didasarkan kepada adat kebiasaan mereka. Adat kebiasaan itu dilator belakangi
kondisi sosial ekonomi pada zaman itu. Yang dianggap sebagai ahli waris menurut adat
jahiliyah dalah laki-laki dewasa yang terampil mencari nafkah, baik dari kalangan
keluarga, anak angkat, atau orang terikat persekutuan (muhalafah). Pada awal periode
Madinah, Rasulullah Saw mengubah tradisi pewarisan berdasarkan persekutuan yang
didasarkan pada kesukuan menjadi pewarisan yang didasarkan pada kesamaan di antara
sesana muslim, terutama kaum muhajirin dan anshar.
Setelah Allah Swt dan Rasulullah memerintahkan berhujrah, kaum muslimin penduduk
Makkah segera melaksanakan perintah tersebut. Tempat tinggal, harta, dan kerabat mereka
tinggalkan demi mematuhi perintah Allah dan Rasul tersebut, serta mempertahankan
keimanan dan agamanya. Hal ini mengakibatkan timbulnya krisis sandang, pangan, dan
papan bagi kaum muhajirin. Untuk mengatasinya Rasulullah membuat kebijakan yang jitu,
yakni mempersaudarakan antara orang muhajir dan anshar. Untuk memperkokoh ikatan
itu, Rasulullah Saw menetaokan bahwa diantara muhajirin dan anshar yang di
persaudarakan itu memiliki hak waris satu sama lain.
Setelah turun ayat-ayat waris, kebijakan yang bersifat temporal itu ditiggalkan dan
melaksanakan hukum waris berdasarkan QS. Al-Anfal : 75.

C. DASAR HUKUM WARIS ISLAM


 QS. An-Nisa : 11 ; ahli waris karena ada hubungan darah
 QS. An-Nisa : 12 ; ahli waris karena ada hubungan perkawinan
 QS. An-Nisa : 176

D. TIMBULNYA HAK WARIS


Timbulnya hak waris disebabkan oleh tiga hal yaitu
 Adanya hubungan perkawinan; hanya berlaku anatara kedua belah pihak yang
menikah secara timbal balik, yakni antara suami istri yang terikat dalam pernikahan
yang sah
 Adanya hubungan nasab; disyaratkan bahwa kela=hiran seseorang itu dari hasil
pernikahan yang sah atau pernikahan subhat, dan berlaku bagi setiap orang yang
terikat tali kekerabatan tersebut berdasarkan skala prioritas yang ditentukan oleh
syara’.
 Karena memerdekakan hamba sahaya; hanya berlaku bagi orang yang memerdekakan
hamba sahaya tersebut. Dia berhak menerima warisan dari harta yang ditinggalkan
hamba yang dimerdekakan itu.

E. GUGURNYA HAK WARIS


Hak waris seseorang dapat gugur karena status seseorang turun menjadi hamba sahaya,
karena oerbedaan agama, dan karena seseorang itu sebagai pembunuh orang yang
mewariskan.
1. Hak waris hamba sahaya akan gugur karena pada zaman perbudakan, jiwa dan arta
yang ia miliki akan menjadi milik tuannya. Jika hamba sahaya itu diberikan hak waris,
artinya akan memberikan hak waris kepada orang yang tidak berhal menerimanya.
2. Seorang muslim dan non muslim tidak dapat saling mewarisi. Hal ini ditegaskan oleh
Rasulullah saw yaitu “seorang muslim tidak berhak mewariskan harta peninggalan
orang kafur, dan orang kafir tidakberhak mewariskan harta peninggalan orang islam.”
(HR Bukhari Muslim)
3. Apabila ahli waris membunuh orang yang mewariskan, maka gugurlah hak warisnya.
Hal ini berdasakan hadits Rasulullah yang menyatakan “orang yang membunuh tidak
berhak mewaris harta orang yang dibunuhnya.”

F. HAK WARIS YANG DIMILIKI AHLI WARIS


Hak waris
Hak waris yang dimiliki oleh setiap ahli waris itu dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu
furudhul muqaddarah (bagian-bagian tertentu dan pasti) dan ushubah (bagian tak tertentu,
bisa seluruh harta warisan, seluruh sisa harta warisan, atau sama sekali tidak memperoleh
harta warisan karena telah habis diwaris ahli waris lain.
Muhammad Ali ash-Shabuni menerangkan bahwa hak waris itu ada empat macam:
a. Hak waris fardh, bagian tertentu atau yang telah ditentukan nash
b. Hak waris ushubah
c. Hak waris radd, tambahan hak karena ada sisa harta setelah dibagikan kepada ahli
waris yang berhak)
d. Hak wari dzawil arham
Furudhul muqaddarah itu hanya terdiri atas enam bilanhan pecahan yang dapat
disembunyikan secara berurutan berdasarkan kelompoknya. Bila disebutkan mulai
bilangan yang terkecil disebut penyebutan secara taraqqi, dan jika disebutkan mulai
bilangan terbesar disebut tadalli. Bilangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua,
yakni : 1/8, 1/4, 1/2 dan 1/6, 1/3, 2/3.
Klasifikasi ahli waris

G. KEWAJIBAN MELAKSANAKAN HUKUM WARIS ISLAM

BAB VI
HUKUM PIDANA ISLAM

A. PENGERTIAN JINAYAH DAN JARIMAH

B. RUANG LINGKUP HUKUM PIADANA


C. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA ISLAM
D. MACAM-MACAM HUKUMAN DAN JARIMAH
E. MACAM-MACAM JARIMAH/DETIK PIDANA ISLAM

BAB VII
KEPEMIMPINAN (IMAMAH) DAN JIHAD

A. KEPEMPINAN (Imamah)
B. LANDASAN HUKUM KEPEMPINAN
C. MODEL PENGANGKATAN PEMIMPIN
D. WILAYAH KEPEMIMPINAN
E. SYARAT PEMPIMPIN
F. HAK DAN KEWAJIBAN PEMIMPIN DAN RAKYAT
G. JIHAD
H. LANDASAN DAN HUKUM JIHAD
I. BENTUK DAN TAHAPAN JIHAD
J. TUJUAN JIHAD
K. KEUTAMAAN JIHAD
L. BIDANG JIHAD

Anda mungkin juga menyukai