Anda di halaman 1dari 5

REFLEKSI KASUS

PENGGUNAAN DEXAMETHASONE PADA PASIEN PREOPERATIF


DENGAN ASMA

1. Pengalaman
Seorang laki-laki berusia 41 tahun, datang dengan keluhan benjolan
di sekitar anus. Benjolan dirasakan sejak 10 tahun yang lalu, namun 1 bulan
terakhir benjolan tersebut tidak dapat dimasukan kembali ke dalam anus dan
terasa nyeri (+). BAB mengeluarkan darah segar (+), nyeri ketika BAB (-).
Riwayat alergi obat (-), penyakit jantung (-), hipertensi (-) dan riwayat DM
(-). Riwayat asma (+) dengan obat rutin salbutamol. Asma terakhir kambuh 4
bulan yang lalu. Dari pemeriksaan fisik didapatkan, keadaan umum baik,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 150/60 mmHg, nadi 100 x/menit,
respirasi 20 x/menit, suhu 36,50 C. Terdapat benjolan di sekitar anus
berukuran ± ø 2 cm, nyeri tekan (+). Pada auskultasi didapatkan Ves +/+, Wh
-/-. Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal. Pasien kemudian
diberikan deksametason 2A sebagai medikasi preoperative.

Diagnosis: Hemorrhoid interna derajat IV


Status Fisik ASA II

2. Masalah yang dikaji


Apa manfaat pemberian dexamethasone pada pasien preoperative
dengan riwayat asma bronchial?
3. Pembahasan
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan
menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara. Asma dapat
bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas tetapi dapat juga bersifat
menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Asma telah
menyebabkan gangguan kesehatan pada 300 juta penduduk di seluruh dunia
dan diperkirakan akan terdapat 100 juta orang lagi yang menderita asma
pada tahun 2025. Pasien asma memiliki pola inflamasi saluran napas yang
khas, ditandai oleh sel mast bergranulasi, infiltrasi eosinofil dan peningkatan
jumlah sel T helper -2 yang teraktivasi. Pola inflamasi khas inilah yang
mendasari gambaran klinis pasien asma termasuk mengi intermitten, sesak
napas, batuk dan rasa berat di dada. Peningkatan berbagai mediator inflamasi
diantaranya mediator lipid, sitokin atau kemokin dan growth factor yang
berasal dari struktur sel saluran napas antara lain sel otot polos saluran
napas, sel epitel, sel endotel dan fibroblast ditemukan pada pasien asma. Sel
epitel diduga berperan penting karena mengalami aktivasi oleh sinyal
lingkungan dan melepaskan berbagai protein inflamasi yang diatur oleh
meningkatanya transkripsi gen yang dikendalikan oleh factor transkripsi pro
inflamasi misalnya nuclear factor –kB (NF –kB) dan activator protein -1 (AP
-1) yang teraktivasi pada saluran napas pasien asma.
Kortikosteroid biasa digunakan dalam manajemen asma. Signifikansi
dan peran kortikosteroid dalam pengurangan insidens komplikasi pulmonal
perioperatif pada pasien dengan asma telah terbukti. Kortikosteroid inhalasi
merupakan terapi utama dari asma persisten. Obat ini memblok reaksi
lambat pada alergen, mengurangi jalan nafas yang hiperresponsif dan
menginhibisi produksi sitokin, aktivasi adhesi protein dan aktivasi dan
migrasi sel inflamatorik. Kortikosteroid sistemik digunakan untuk
mengontrol eksaserbasi sedang ke berat untuk mencegah progresifitas,
inflamasi yang berlawanan, penyembuhan yang cepat dan mengurangi angka
kekambuhan. Pada dosis tinggi, kortikosteroid inhalasi dapat menimbulkan
efek sistemik. Efek sistemik jangka panjang dari kortikosteroid berhubungan
dengan aksis adrenal dan supresi dari pertumbuhan, osteoporosis, penipisan
kulit, diabetes, hipertensi, Cushing’s syndrome dan fungsi imun yang buruk.
Kortikosteroid mengurangi jumlah sel inflamasi saluran napas pada
tingkat seluler termasuk eosinofil, limfosit T, sel mask dan sel dendritik. Hal
itu terjadi dengan menghambat perekrutan sel inflamasi ke dalam saluran
napas melalui penekanan produksi mediator kemotaktik dan molekul adesi
serta menghambat keberadaan sel inflamasi dalam saluran napas misalnya
eosinofil, sel limfosit T dan sel mast. Kortikosteroid memiliki spektrum efek
anti inflamasi luas pada asma dengan menghambat berbagai mediator serta
sel inflamasi.
Kortikosteroid secara umum menunjukkan efektivitas yang baik
dalam mengkontrol asma maupun penyakit infalamasi kronik lain tetapi
sejumlah kecil pasien asma tidak menunjukkan respon yang baik meskipun
telah mendapatkan kortikosteroid inhalasi maupun oral dosis tinggi.
Penurunan HDAC diduga menyebabkan penurunan respons pasien tersebut
terhadap kortikosteroid serta relatif tidak beresponsnya pasien asma terhadap
kortikosteroid.

4. Kesimpulan
5. DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, SA., Suryadi, KA., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis


Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif.
Jakarta : FK UI.
2. Mallett, SV. 2002. Perioperative Asthma and Its Management. The
Medicine Publishing Company Ltd.
3. Rozaliyani, A., Susanto, A.D., Swidarmoko,B., Yunus, F., 2011.
Mekanisme Resistens Kortikosteroid Pada Asma. Jurnal Respirasi Indonesia
Volume 31 No. 4. Jakarta : Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FKUI-RS Persahabatan Jakarta

Yogyakarta, 2 September 2013


Preceptor 1, Preceptor 2,

dr. Basuki Rahmat, Sp. An dr. Ardi Pramono, Sp.An

Anda mungkin juga menyukai