I. Konsep Dasar
1. Definisi Gagal Ginjal Kronik ( GGK ) / CRF
Gagal ginjal kronis (Chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif
yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (Urea dan limbah nitrogen
lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan
dialisis atau transplantasi ginjal) (Nursalam, 2009:47).
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur
ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (Toksik
uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2011:166).
Menurut Mary Baradero, (2008:124) gagal ginjal kronik terjadi apabila
kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok
untuk kelangsungan hidup. Kerusakan pada kedua ginjal ireversibel, kerusakan
vaskular akibat diabetes melitus, dan hipertensi yang berlangsung terus menerus
dapat mengakibatkan pembentukan jaringan parut pembuluh darah dan hilangnya
fungsi ginjal secara progresif.
Menurut Muhammad, (2012:16) menyatakan gagal ginjal kronis adalah
proses kerusakan ginjal selama rentang waktu lebih dari 3 bulan.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Gagal Ginjal
Kronik (Chronic renal failure) adalah perkembangan gagal ginjal yang progresif
dan ditandai dengan fungsi nefron yang berkurang. Dapat disimpulkan pula bahwa
pada penderita gagal ginjal kronis terjadi penurunan fungsi ginjal secara perlahan-
lahan. Dengan demikian, gagal ginjal merupakan stadium terberat dari ginjal
kronis. Oleh karena itu, penderita harus menjalani terapi pengganti ginjal, yaitu
cuci darah (Hemodialisis) atau cangkok ginjal yang memerlukan biaya mahal.
2. Anatomi Dan Fisiologi Ginjal
a. Anatomi
Masing-masing ginjal manusia terdiri dari kurang lebih satu juta nefron,
masing-masing mampu membentuk urine. Ginjal tidak dapat membentuk nefron
baru. Oleh karena itu, pada trauma ginjal, penyakit ginjal, atau proses penuaan
yang normal akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap. Setiap nefron
terdiri dari glomerulus dan tubulus.
b. Fisiologi
Pada manusia, ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki fungsi vital
yang berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh. Ginjal melakukan
fungsinya yang paling penting ini dengan cara menyaring plasma dan
memisahkan zat filtrat dengan kecepatan yang bervariasi, brgantung pada
kebutuhan tubuh. Kemudian zat- zat yang dibutuhkan oleh tubuh akan
dikembalikan ke dalam darah dan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh akan
dikeluarka melalui urine.
Selain fungsi yang telah dijelaskan, ginjal juga mempunyai fungsi multiple
yang lainnya, diantaranya yaitu mengeksresikan produk sisa metabolik dan bahan
kimia asing, pengaturan keseimbangan air dan elektrolit, pengaturan osmolalitas
cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, pengaturan tekanan arteri, pengaturan
keseimbangan asam-basa, sekresi, metabolisme, dan eksresi hormon serta untuk
proses glukoneogenesis.
Proses pembentukan urine juga dilakukan oleh nefron yang merupakan
bagian dari ginjal. Proses pembentukan urine terjadi melalui tiga tahapan yaitu
filtrasi di glomerulus, reabsorpsi di tubulus dan eksresi di tubulus. proses
pembentukan urin yaitu Pada saat cairan, darah, serta zat-zat masuk ke dalam
ginjal, semua bahan-bahan itu akan difiltrasi di dalam glomerulus dan selanjutnya
akan mengalir ke dalam kapsula bowman dan masuk ke tubulus proksimal yang
terletak di dalam korteks ginjal. Dari tubulus proksimal, cairan akan mengalir ke
ansa henle yang masuk ke dalam medula renal, cairan masuk ke makula densa dan
kemudian ke tubulus distal, dari tubulus distal cairan masuk ke tubulus renalis
arkuatus dan tubulus koligentes kortikal dan masuk ke duktus yang lebih besar
yaitu duktus koligentes medula. Duktus koligentes bergabung membentuk duktus
yang lebih besar yang mengalir menuju pelvis renal melalui papila renal. Dari
pelvis renal, urine akan terdorong ke kandung kemih melalui saluran ureter dan
dikeluarkan melalui uretra. Dibawah ini adalah gambaran tentang proses
pembentukan urine.
3. Etiologi
Menurut Muttaqin, (2011:166) begitu banyak kondisi klinis yang bisa
menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronis. Akan tetapi, apa pun sebabnya,
respons yang terjadi adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif. Kondisi
klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan Gagal Ginjal Kronis adalah:
a. Penyakit dari ginjal
1) Penyakit pada saringan (Glomerulus): glomerulonefritis.
2) Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteritis.
3) Batu ginjal: nefrolitiasis.
4) Kista di ginjal: polcystis kidney.
5) Trauma langsung pada ginjal.
6) Keganasan pada ginjal.
7) Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/striktur.
b. Penyakit umum di luar ginjal
1) Penyakit sistemik: diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi.
2) Dyslipidemis.
3) Infeksi di badan: TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis.
4) Preeklamsi.
5) Obat-obatan.
6) Kehilangan banyak cairan yang mendadak (Luka bakar).
4. Patofisiologi
Menurut Smeltzer (2001:1448) patofisiologi gagal ginjal kronik dimulai dari
fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah,
maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
Gangguan Klirens renal, banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai
akibat dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurunnya
filtrasi glomerulus (Akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan
menurun dan kadar kreatinin serum akan meningkat.Selain itu, kadar nitrogen
urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator
yang paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara
konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga
oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (Jaringan dan luka RBC), dan
medikasi seperti steroid.
Retensi cairan dan natrium, ginjal juga tidak mampu mengkonsentrasikan
atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon
ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari
tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan resiko
terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat
terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk
kehilangan garam, mencetus risiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah
dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik.
Asidosis, dengan semakin berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis
metabolik sering denga ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam
yang berlebihan.Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus
ginjal untuk menyekresi amonia dan mengabsorpsi natrium bikarbonat. Penurunan
ekskresi fosfat dan asma organik lain juga terjadi.
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal. Eritropoetin, suatu substansi normal yang diproduksi oleh ginjal,
menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada gagal
ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan,
angina, dan sesak napas.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat, abnormalitas utama yang lain pada
gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum
kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah
satunya meningkat maka yang lain akan turun. Menurunnya filtrasi melelui
glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya
penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan
sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun demikian, pada gagal ginjal
tubuh berespons secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon dan
akibatnya, kalsium ditulang menurun, menyebabkan perubahan pada tulang dan
penyakit tulang. Selain itu, metabolit aktif vitamin D yang secara normal dibuat di
ginjal menurun seiring dengan berkembang gagal ginjal. Penyakit tulang uremik,
sering disebut osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat,
dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan
gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein
dalam urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang mengekskresikan secara signifikan
sejumlah protein atau mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan
cepat memburuk dari pada mereka yang tidak mengalami kondisi ini.
4.1 WOC Vesikuler
Reaksi Antigen Antibodi Suplai Darah Ginjal Turun Tertimbun Diginjal Retensi Urin
GFR Turun
GGK
B1 B2 B3 B4 B5 B6 Sindrom Uremia
Retensi Na
Tek. Kapiler naik Sekresi eritropoitin Vol. Intersial naik Obstruksi Ginjal Sekresi protein terganggu Perporasi Ospaleimia
Beban Jantung Naik Produksi Hb Turun Vol. Intersial Naik Fungsi Ginjal Menurun Gangguan Keseimbangan Pruritis
Asam Basa
Tek. Vena Oksigen Hemoglobin Turun Suplai O2 jaringan turun GFR Gangguan
pulmonalis Asam Lambung Naik integritas kulit
Suplai O2 Timb. Asam Retensi air dan
Kapiler paru naik kasar turun Laktat natrium Iritasi Lambung
6. Klasifikasi
KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan
pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi
Glomerolus) :
a) Stadium 1: kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan
LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
b) Stadium 2: Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara
60 -89 mL/menit/1,73 m2)
c) Stadium 3: kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2)
d) Stadium 4: kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2)
e) Stadium 5: kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau gagal
ginjal terminal.
7. Komplikasi
Menurut Smeltzer (2001:1449), komplikasi gagal ginjal kronik yang
memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan mencakup:
1) Hiperkalemia
Diakibatkan penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diet berlebihan.
2) Perikarditis
Efusi perikardial, dan temponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3) Hipertensi
Disebabkan oleh retensi cairan dan natrium, serta malfungsi sistem renin
angioaldosteron.
4) Anemia
Disebabkan oleh penurunan eritroprotein, rentang usia sel darah merah, dan
pendarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan kehilangan darah
selama hemodialisa.
5) Penyakit Tulang
Hal ini disebabkan oleh retensi fosfat kadar kalium serum yang rendah,
metabolisme vitamin D, abnormal, dan peningkatan kadar aluminium.
8. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Muttaqin (2011:172), pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan
gagal ginjal kronik adalah:
1) Laju Endap Darah: meninggi yang diperberat oleh adanya anemia,dan
hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit
yang rendah.
2) Uremia dan kreatinin: meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20:1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan
obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang: ureum lebih kecil dari
kreatinin, pada diet rendah protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
3) Hiponatremia: umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia: biasanya
terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunnya diuresis.
4) Hipokaslemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis
vitamin D3 pada GGK.
5) Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada
gagal ginjal (Resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer).
6) Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan
peninggian hormon insulin dan menurunya lipoprotein lipase.
7) Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukan pH yang
menurun, BE yang menurun disebabkan retensi asam-asam organik pada
gagal ginjal.
8) Foto polos abdomen
Untuk menilai bentuk dan besar ginjal (Adanya batu atau adanya suatu
obstruksi). Dehidrasi akan memperburuk keadaan ginjal, oleh sebab itu
penderita diharapkan tidak puasa.
9) Intra Vena Pielografi (IVP)
Untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai
risiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu, misalnya: usia lanjut,
diabetes melitus, dan nefropati asam urat.
10) USG
Untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandungan
kemih, dan prostat.
11) Renogram
Untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan (Vaskular,
parenkim, ekskresi), serta sisa fungsi ginjal.
12) EKG
Untuk melihat kemungkinan: hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (Hiperkalemia).
9. Penatalaksanaan Medis
Menurut Muttaqin (2011:173), tujuan dari penatalaksanaan medis pada
pasien dengan gagal ginjal kronik untuk menjaga keseimbangan cairan elektrolit
dan mencegah komplikasi.
1) Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia; menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan
membantu penyembuhan luka.
2) Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat adalah
jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah,
hiperkalemia juga dapat di diagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi
hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake
kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
3) Koreksi anemia
Usaha pertama harus di tunjukan untuk mengatasi faktor defisiensi,
kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi.
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb.
Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya
ada insufisiensi koroner.
4) Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus di hindari.natrium
bikarbonat dapat di berikan peroral atau perenteral. Pada permulaan 100
mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperlukan
dapat diulang. Hemodialisis dan dialisis peritoneal dapat juga mengatasi
asidosis.
5) Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator dilakukan
mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati
karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
6) Transplantasi ginjal
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka seluruh faal
ginjal dengan ginjal yang baru.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Smeltzer, (2001:1451-1456) pasien gagal ginjal kronis
memerlukan asuhan keperawatan yang tepat untuk menghindari komplikasi akibat
menurunnya fungsi renal dan stress serta cemas dalam menghadapi penyakit yang
mengancam jiwa ini. Diagnosa keperawatan potensial untuk pasien-pasien ini
mencakup yang berikut:
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin, diet
berlebih dan retensi cairan serta natrium.
2) Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual dan muntah, pembatasan diet, dan perubahan membran
mukosa mulut.
3) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan uremia.
4) Kurang pengetahuan tentang kondisi dan program penanganan.
3. Intervensi Keperawatan
Menurut Smeltzer, (2001:1452-1454) perencanaan keperawatan dari
diagnosa diatas adalah:
1) Diagnosa keperawatan: Kelebihan volume cairan berhubungan dengan
penurunan haluaran urin, diet berlebih dan retensi cairan serta natrium.
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.
Kriteria hasil:
Klien tidak sesak napas, edema ekstrimitas berkurang, produksi urine >600
ml/hari.
Intervensi:
1. Kaji status cairan:
1) Timbang berat badan harian.
2) Keseimbangan masukan dan haluaran.
3) Turgor kulit dan adanya edema.
4) Distensi vena leher.
5) Tekanan darah, denyut dan irama nadi.
R/ Pengkajian merupakan dasar dan data dasar berkelanjutan untuk
memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi.
2. Batasi masukan cairan.
R/ Pembatasan cairan akan menentukan berat badan ideal, haluaranurin, dan
respon terhadap alergi.
3. Identifikasi sumber potensial cairan:
1) Medikasi dan cairan yang di gunakan.
2) Makanan
R/ Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi.
4. Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan.
R/ Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan.
5. Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan
cairan.
R/ Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap pembatasan diet.
6. Tingkatkan dan dorong higiene oral dengan sering.
R/ Hygiene oral mengurangi kekeringan mebran mukosa mulut.
4. Implementasi Keperawatan
Tahap awal tindakan keperawatan menuntut perawat mempersiapkan segala
sesuatu yang diperlukan dalam tindakan. Persiapan tersebut meliputi kegiatan-
kegiatan: Review tindakan keperawatan yang diidentifikasi pada tahap
perencanaan,menganalisa pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang
diperlukan, mengetahui komplikasi dari tindakan keperawatan yang mungkin
timbul,menentukan dan mempersiapkan peralatan yang diperlukan,
mempersiapkan lingkungan yang konduktif sesuai dengan yang akan
dilaksanankan mengidentifikasi aspekhukum dan etik terhadap resiko dari
potensial tindakan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang menandakan
seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah
berhasil dicapai. Tujuannya adalah untuk melihat kemampuan klien dalam
mencapai tujuan, sehingga perawat dapat mengambil keputusan dalam mengakhiri
rencana tindakan keperawatan (klien telah mencapai tujuan yang ditetapkan),
memodifikasi rencana tindakan keperawatan (klien mengalami kesulitan untuk
mencapai tujuan pertama), meneruskan rencana tindakan keperawatan (klien
memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai tujuan). Proses evaluasi
terdiri dari 2 tahap yaitu tahap mengukur pencapaian tujuan klien yang terdiri dari
komponen kognitif, afektif, psikomotor, perubahan fungsi tubuh dan gejala.
Sedangkan tahap kedua adalah tahap penentuan keputusan pada tahap evaluasi.
Dalam tahap yang kedua ini terdapat 2 komponen untuk mengevaluasi kualitas
tindakan keperawatan yaitu proses (formatif) dan hasil (sumatif).
1. Proses (formatif)
Fokus evaluasi tipe evaluasi ini adalah aktivitas dari proses keperawatan dan
hasil kualitas pelayanan tindakan keperawatan. Evaluasi proses baru dilaksanakan
segera setelah perencanaan keperawatan dilaksanakan untuk membantu
keefektifitasan terhadap tindakan dan harus dilakukan terus menerus sampai
tujuan yang telah dilakukan tercapai.
2. Hasil (Sumatif)
Fokus evaluasi hasil adalah perubahan perilaku atas status kesehatan pada
akhir tindakan keperawatan.Adapun langkah-langkah evaluasi keperawatan :
a. Mengumpulkan data perkembangan pasien.
b. Menafsirkan (menginteprestasikan) perkembangan pasien.
c. Membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan
dengan menggunakan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
d. Mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar
norma yang berlaku.
Seorang perawat harus mampu menafsirkan hasil evaluasi dari masalah
keperawatan klien yaitu sebagai berikut :
1) Tujuan tercapai
Bila klien menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan
kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian
Bila klien menunjukkan perubahan dan perkembangan kesehatan hanya
sebagian dari kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
3) Tujuan tidak tercapai
Bila klien menunjukkan tidak ada perubahan perilaku dan perkembangan
kesehatan atau bahkan timbul masalah baru.
III. Konsep Dasar Hemodialisa
1. Definisi
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan
dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan
proses tersebut.
Suatu proses pembuatan zat terlarut dan cairan dari darah melewati
membrane semi permeable. Ini berdasarkan pada prinsip difusi; osmosis dan ultra
filtrasi.
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialysis jangka pendek (beberapa hari
hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal
(ESRD; end-stage renal disease) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau
terapi permanent. Sehelai membrane sintetik yang semipermeabel menggantikan
glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang
terganggu fungsinya itu.
Bagi penderita GGK, hemodialisis akan mencegah kematian. Namun
demikian, hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal
dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang
dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas
hidup pasien. Pasien-pasien ini harus menjalani terapi dialysis sepanjang hidupnya
(biasanya 3 kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi) atau
sampai mendapat ginjal baru melalui operasi pencangkokan yang berhasil. Pasien
memerlukan terapi dialysis yang kronis kalau terapi ini diperlukan untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala uremia.
2. Tujuan
Mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal
pulih kembali. Metode terapi mencakup hemodialisis, hemofiltrasi dan peritoneal
dialysis. Hemodialisis dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus
segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanent atau menyebabkan
kematian. Hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan.
Peritoneal dialysis mengeluarkan cairan lebih lambat daripada bentuk-bentuk
dialysis yang lain.
3. Indikasi
Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih. Pasien-pasien tersebut dinyatakan
memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi :
1. Hiperkalemia ( K > 6 mEq/l)
2. Asidosis
3. kegagalan terapi konservatif
4. Kadar ureum/kreatinin tinggi dalam darah
5. Kelebihan cairan.
6. Perikarditis dan konfusi yang berat.
7. Hiperkalsemia dan hipertensi.
4. Prinsip Hemodialisa
Prinsip mayor/proses hemodialisa :
a. Akses Vaskuler :
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien. Kronik
biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf sementara. Akut
memiliki akses temporer seperti vascoth.
b. Membran semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk mengadakan
kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi.
c. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang menyebabkan
pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi. Berpindah dari area yang
konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi
tercipta antara darah dan dialisat yang menyebabkan pemindahan zat pelarut
yang diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.
d. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang dipindahkan akan
mengambil bersama dengan zat terlarut yang tercampur dalam cairan tersebut.
e. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai ultrafiltrasi
artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan. Tiga tipe
dari tekanan dapat terjadi pada membrane :
1) Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan
dalam membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan
resisten vena terhadap darah yang mengalir balik ke fistula tekanan positip
“mendorong” cairan menyeberangi membrane.
2) Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane
oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane tekanan negative “menarik”
cairan keluar darah.
3) Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan
dengan kadar zat terlarut yang tinggi akan menarik cairan dari larutan lain
dengan konsentrasi yang rendah yang menyebabkan membrane permeable
terhadap air.
5. Perangkat Hemodialisa
a. Perangkat khusus
1) Mesin hemodialisa
2) Ginjal buatan (dializer) yaitu : alat yang digunakan untuk mengeluarkan
sisa metabolisme atau zat toksin laindari dalam tubuh. Didalamnya
terdapat 2 ruangan atau kompartemen :
- Kompartemen darah
- Kompartemen dialisat.
3) Blood lines : selang yang mengalirkan darah dari tubuh ke dializer dan
kembali ke tubuh. Mempunyai 2 fungsi :
- Untuk mengeluarkan dan menampung cairan serta sisa-sisa
metablolisme.
- Untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialysis.
b. Alat-alat kesehatan :
Tempat tidur fungsional
Timbangan BB
Pengukur TB
Stetoskop
Termometer
Peralatan EKG
Set O2 lengkap
Suction set
Meja tindakan.
c. Obat-obatan dan cairan :
Obat-obatan hemodialisa : heparin, frotamin, lidocain untuk anestesi.
Cairan infuse : NaCl 0,9%, Dex 5% dan Dex 10%.
Dialiser
Desinfektan : alcohol 70%, Betadin, Sodium hypochlorite 5%
Obat-obatan emergency.