Anda di halaman 1dari 79

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Media sosial sebagai alat komunikasi yang dapat

menghubungkan individu yang satu dengan yang lain. Media sosial

menghapus batasan-batasan dalam bersosialisasi, karena dalam

bersosialisasi tidak ada batasan ruang dan waktu, seseorang dapat

berkomunikasi kapanpun dan dimanapun berada. Tidak dapat

dipungkiri media sosial mempunyai pengaruh besar dalam

kehidupan masa kini. Hampir seluruh manusia di berbagai belahan

dunia mengetahui dan memahami serta menggunakan media sosial

karena kepopulerannya. Sebagian besar pengguna media sosial

berasal dari kalangan remaja usia sekolah.24

Bahaya facebook yang paling membahayakan bagi

pengguna adalah menjadikan pengguna tersebut kecanduan.

Fenomena ini juga menyerang anak muda yang masih duduk di

bangku sekolah dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi, tidak

memandang ada jenis kelamin, hampir sebagian besar mempunyai

akun facebook. Keasyikan mereka dalam menggunakan facebook

sering sekali menjadikan mereka malas bahkan lupa terhadap

tugas dan tanggung jawabnya sebagai peserta didik yaitu belajar.

Tidak hanya malas dan meninggalkan kewajibannya sebagai

peserta didik yakni belajar, di dalam kelas saat pelajaran

berlangsung tidak jarang peserta didik mengoperasikan

1
2

handphone-nya untuk bermain facebook yang tertangkap oleh

guru-gurunya. Bahkan ada yang rela membolos hanya ingin update

status, atau bermain facebook. Terbukti tempat-tempat internet

atau yang sering disebut warnet pada jam sekolah banyak peserta

didik yang mengisi warnet tersebut dengan bermain facebook.24

Jumlah pengguna internet diseluruh dunia meningkat drastis.

Menurut data terbaru yang dirilis We Are Social per agustus 2017,

jumlah pengguna internet global kini menyentuh angka 3,8 miliar

dengan penetrasi 51 % dari total populasi di dunia. Peningkatan ini

juga di klaim naik 0,2 % sejak april 2017. Tingginya akses internet

ternyata juga tak luput dari akses pengguna facebook. Diketahui,

jumlah pengguna aktif media sosial yang identik dengan warna biru

itu kini mencapai lebih dari 2 miliar, dimana 87 % mengakses dari

perangkat mobile.

Facebook menilai Indonesia merupakan pasar penting

baginya. Pasalnya jumlah penggunanya di Indonesia cukup

banyak. Country Director Facebook Sri Widowati mengatakan saat

ini ada 2 miliar pengguna aktif di dunia. Dari jumlah tersebut

Indonesia menyumbang lebih dari 100 juta pengguna. Facebook

mencatat pengguna aktif di tanah air terus mengalami

pertumbuhan. Dalam setahun terakhir peningkatannya mencapai

40 %. Jumlah pengguna facebook pada maret 2016 hanya 82 juta

pengguna perbulannya, dan meningkat menjadi 115 juta

perbulannya per agustus 2017.


3

Indonesia memiliki penetrasi pengguna facebook melalui

mobile phone tertinggi di dunia, yakni mencapai 88,1% dari total

pengguna facebook di Indonesia pada tahun 2014 (Tech in Asia,

2015). Kementerian Kominfo mengungkapkan pada tahun 2014, 80

% dari jumlah pengguna internet di Indonesia, didominasi oleh para

remaja berusia 15-19 tahun, dan 69% dari pemuda di Indonesia

lebih memilih tidak menonton TV dari pada melepaskan mobile

phone. Fakta tersebut menunjukkan bahwa, remaja Indonesia

memiliki kecenderungan untuk aktif menggunakan internet

khususnya situs jejaring sosial melalui mobile phone.

Lembaga penelitian Pew Research (2015) menyatakan

bahwa, setidaknya 71% remaja dengan rentang usia 13 hingga 17

tahun menggunakan situs jejaring sosial facebook, bahkan 41% di

antaranya mengaku bahwa, facebook adalah situs yang paling

sering dikunjungi. Jumlah remaja pengguna facebook lebih banyak

dari pada jumlah remaja pengguna twitter yang hanya mencapai

angka 33%. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa facebook

masih menjadi situs jejaring sosial yang paling populer dan yang

paling sering digunakan di kalangan remaja pada tahun 2015.

Di awal tahun 2010, masyarakat dikejutkan oleh

pemberitaan miring seputar penyimpangan sejumlah remaja yang

disebabkan oleh facebook. Seorang remaja putri di Jawa Timur

nekat lari ke Jakarta, meninggalkan orangtuanya. Penyebabnya

adalah remaja tersebut berkenalan dengan teman baru dari


4

Tangerang melalui facebook. Kasus yang sama menimpa remaja A

di Jawa Tengah. Setelah sering menggunakan seluler untuk

facebook-an, remaja itu menghilang entah kemana. Di Lampung, 4

pelajar remaja diberhentikan dari sekolahnya, karena dinilai telah

menghina guru mereka melalui facebook. Kejadian serupa juga

terjadi di SMA Negeri 2 Maumere, seorang remaja putri bersama

beberapa teman kelompoknya dilaporkan ke pihak berwajib atas

tuduhan pencemaran nama baik yang dilakukannya melalui

facebook.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Nurdjana Alamri pada

tahun 2015 dengan judul “Layanan Bimbingan Kelompok Dengan

Teknik Self Management Untuk Mengurangi Perilaku Terlambat

Masuk Sekolah Pada Siswa Kelas X SMA N 1 Gebog ” bahwa

bimbingan manajemen diri efektif dalam mengurangi perilaku

terlambat masuk sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Tri

Handayani pada tahun 2016 dengan judul ”Efektifitas Layanan

Konseling Kelompok Dengan Teknik Self Management Untuk

Mengurangi Kecanduan Game Online Pada Peserta Didik Kelas

VIII SMP Negeri 11 Bandar Lampung” bahwa konseling kelompok

efektif dalam menangani peserta didik yang mengalami kecanduan

game online.
5

Pada penelitian ini yang dipilih adalah peserta didik Sekolah

Menengah Atas (SMA) atau sederajat, yang mana sedang dalam

perkembangan masa remaja. Hasil pengamatan dari fenomena-

fenomena yang terjadi, remaja saat ini sangat ketergantungan atau

kecanduan terhadap media sosial facebook. Berdasarkan hasil

survey pra penelitian di SMA Negeri 2 Maumere kelas XI Bahasa 2

pada tanggal 17 April 2018 dari 30 peserta didik menghasilkan 12

peserta didik yang mengalami kecanduan sedang dan kecanduan

berat.

Berdasarkan latar belakang masalah timbul permasalahan

tentang kecanduan facebook pada remaja, maka alasan utama

penelitian ini adalah untuk mengurangi gangguan kecanduan

facebook pada remaja dengan memberikan konseling kelompok

teknik manajemen diri.

Dalam menggunakan strategi manajemen diri, disamping

peserta didik dapat mencapai perubahan perilaku sasaran yang

diinginkan juga dapat berkembang kemampuan manajemen dirinya.

Berdasarkan observasi disekolah SMA Negeri 2 Maumere dan

melihat bahwasannya banyak peserta didik yang memang gemar

sekali dengan facebook atau bisa diibaratkan kecanduan facebook.

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menguji “Pengaruh Layanan

Konseling Kelompok Dengan Teknik Manajemen Diri Untuk

Mengurangi Kecanduan Facebook Pada Siswa Kelas XI Bahasa 2

SMA Negeri 2 Maumere”.


6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh

konseling kelompok dengan teknik manajemen diri dalam

mengurangi kecanduan facebook peserta didik kelas XI Bahasa 2

di SMA Negeri 2 Maumere ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah diketahui pengaruh konseling

kelompok dengan teknik manajemen diri dalam mengurangi

kecanduan facebook peserta didik Kelas XI Bahasa 2 di SMA

Negeri 2 Maumere.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan sumbangan

ilmu dalam bidang pendidikan khususnya bimbingan dan

konseling yaitu membantu peserta didik dalam mengurangi

kecanduan facebook.

2. Secara Aplikatif

a. Bagi Peserta Didik

Diharapkan dapat membantu mengurangi kecanduan

facebook pada peserta didik melalui layanan konseling


7

kelompok dan dapat lebih aktif mengikuti serangkaian

kegiatan layanan konseling kelompok.

b. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan

positif bagi sekolah, khususnya dalam mengurangi

kecanduan facebook peserta didik melalui layanan konseling

kelompok.

c. Bagi Guru Bimbingan Konseling

Dapat menambah pengetahuan guru bimbingan konseling

dalam melaksanakan layanan konseling kelompok di sekolah

terkait dengan gangguan kecanduan facebook pada peserta

didik, serta dapat dijadikan sebagai bahan masukan guru

pembimbing dalam memberikan layanan konseling yang

tepat terhadap peserta didik yang mengalami gangguan

kecanduan facebook.

d. Bagi Peneliti

Penelitian nantinya dapat memberikan informasi bagi peneliti

tentang seberapa besar konseling kelompok yang dilakukan

dapat memberikan pengaruh terhadap penanganan

gangguan kecanduan facebook pada peserta didik, serta

bermanfaat untuk profesi keperawatan dalam

memperhatikan tumbuh kembang anak.


8

E. Hipotesa Penelitian

Ada pengaruh layanan konseling kelompok dengan teknik

manajemen diri untuk mengurangi kecanduan facebook pada

peserta didik kelas XI bahasa 2 SMA N 2 Maumere.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecanduan Facebook

1. Kecanduan

a. Pengertian

Menurut Chaplin kecanduan adalah keadaan

bergantung secara fisik pada suatu obat bius. Pada

umumnya, kecanduan tersebut menambah toleransi

terhadap suatu obat bius. Ketergantungan fisik dan

psikologis, dan menambah pula gejala-gejala pengasingan

diri dari masyarakat, apabila pemberian obat bius tidak

dihentikan.3

Kecanduan sebagai kondisi yang dihasilkan dengan

mengkonsumsi zat alami atau zat sintesis yang berulang

sehingga orang menjadi tergantung secara fisik atau secara

psikologis. Ketergantungan psikologis berkembang melalui

proses belajar dengan penggunaan yang berulang-ulang.

Ketergantungan secara psikologis adalah keadaan individu

yang merasa terdorong menggunakan sesuatu untuk

mendapatkan efek menyenangkan yang dihasilkannya. 7

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan

bahwa kecanduan adalah keadaan bergantung terhadap

sesuatu untuk mendapatkan efek menyenangkan yang

dihasilkannya dan dilakukan secara terus menerus atau


10

berulang-ulang.1

b. Kriteria Perilaku Kecanduan

Seseorang untuk disebut kecanduan pada internet,

haruslah menunjukkan perilaku-perilaku tertentu. Young

dalam Sari19 menyebutkan beberapa kriterium-kriterium

kecanduan berjudi (pathological gambling), yang digunakan

untuk membedakan orang yang kecanduan pada internet

dan yang tidak sampai kecanduan. Kriteria tersebut adalah :

1) Merasa keasyikan dengan internet;

2) Perlu waktu tambahan dalam mencapai

kepuasan sewaktu menggunakan internet;

3) Tidak mampu mengontrol, mengurangi, atau

menghentikan penggunaan internet;

4) Merasa gelisah, murung, depresi, atau lekas marah

ketika berusaha mengurangi atau menghentikan

penggunaan internet;

5) Mengakses internet lebih lama dari yang diharapkan;

6) Kehilangan orang-orang terdekat, pekerjaan,

kesempatan pendidikan, atau karier gara-gara

penggunaan internet;

7) Membohongi keluarga, terapis, atau orang-orang

terdekat untuk menyembunyikan keterlibatan lebih

jauh dengan internet;


11

8) Menggunakan internet sebagai jalan keluar mengatasi

masalah atau menghilangkan perasaan seperti

keadaan tidak berdaya, rasa bersalah, kegelisahan

atau depresi.

c. Jenis-jenis Perilaku Kecanduan

Menurut Santoso,T. seseorang dikatakan kecanduan

apabila memenuhi minimal tiga dari enam jenis yang

diungkapkan oleh Brown, jenis-jenis perilaku tersebut

adalah:

1) Salience adalah menunjukkan dominasi aktivitas

bermain internet pada level pikiran.

a) Behavioral salience adaah dominasi aktivitas

bermain internet pada level tingkah laku;

b) Euphoria adalah mendapatkan kesenangan dalam

aktivitas bermain internet.

2) Conflict adalah pertentangan yang muncul antara

orang yang kecanduan dengan orang-orang yang ada

disekitarnya (external conflict) dan juga dengan

dirinya sendiri (internal conflict ) tentang tingkat dari

tingkah laku yang berlebihan.

a) Intrapersonal conflict (eksternal) : konflik yang

terjadi dengan orang-orang yang ada disekitarnya;

b) Interpersonal conflik (internal) : konflik yang terjadi

dalam dirinya sendiri;


12

c) Tolerance adalah aktivitas bermain internet

mengalami peningkatan secara progresif selama

rentang periode untuk mendapatkan efek

kepuasan;

d) Withdrawal adalah perasaan tidak menyenangkan

ketika tidak melakukan aktivitas bermain internet;

e) Relapse and reinstatement adalah kecenderungan

untuk melakukan pengulangan terhadap pola-pola

awal tingkah laku kecanduan atau bahkan lebih

parah walaupun setelah bertahun-tahun hilang

dan dikontrol. Hal ini menunjukkan kecenderungan

ketidakmampuan untuk berhenti secara utuh dari

aktivitas bermain internet.18

2. Facebook

a. Kelebihan dan Kekurangan Facebook

Kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh

facebook dapat diperoleh dengan membandingkannya

dengan situs pertemanan lainnya. Beberapa situs

pertemanan lainnya adalah friendster, myspace, dan twitter.

Dalam artikel yang berjudul “Facebook”, feature yang dimiliki

facebook, yang membuatnya berbeda dengan jaringan sosial

lainnya, adalah kemampuan untuk menambah aplikasi

kedalam profil. Aplikasi facebook adalah program kecil yang

dikembangkan secara spesifik untuk profil facebook.


13

Kurniali menjabarkan beberapa kelebihan dan

kekurangan yang dimiliki facebook sebagaimana berikut :

Beberapa kelebihannya :

1) Facebook memiliki jumlah pengguna yang besar dan

beragam dengan segmen terbesar dari orang muda

sehingga tepat digunakan untuk mencari dan berbagi

dengan teman-teman.

2) Facebook memiliki aplikasi yang unik dan beragam,

mulai dari permainan, simulasi saham, hewan

peliharaan virtual dan lainnya.

3) Individu dapat mengetahui apabila ada teman-

temannya yang sedang online, sehingga

mempermudah untuk melakukan chating.

4) Penggunanya lebih banyak yang menggunakan nama

asli mereka sehingga mempermudah dalam pencarian

teman.

5) Individu dapat beriklan di facebook dengan segmen

target yang anda temukan sendiri.

6) Individu dapat membangun komunitas tertentu dengan

sebuah page gratis beserta aplikasi dan fiturnya.

7) Dapat melakukan jual beli atau mengiklankan sesuatu

pada anggota dalam suatu grup.


14

Beberapa kekurangannya :

1) Facebook adalah situs jejaring sosial dengan waktu

loading terlama.

2) Gangguan yang terjadi saat individu ingin menambah

teman yaitu facebook selalu meminta individu untuk

memverifikasi account-nya.13

b. Dampak Negatif Facebook

Facebook memiliki manfaat sebagai sarana

komunikasi dan interaksi, selain itu jejaring sosial facebook

memberikan fasilitas kenyamanan bagi pengguna untuk

mengakses informasi yang ada di dunia dalam jangka waktu

yang cepat atau dalam hitungan detik, namun facebook juga

memberikan dampak negatif bagi pengguna. Dampak negatif

facebook yang berkembang pesat memunculkan perubahan

nilai dan perilaku menyimpang dalam kehidupan. Pengaruh

yang timbul menjadikan pengguna menyalahgunakan

facebook dalam hal negatif.

Menurut Winda dampak negatif penggunaan facebook

adalah:

1) Berkurangnya sosialisasi di dunia nyata.

Banyak fasilitas yang ditawarkan dalam facebook

menjadikan seseorang merasa tidak perlu bertemu

langsung, sehingga sosialisasi di dunia nyata

cenderung berkurang karena dengan lebih suka


15

menghabiskan waktunya di facebook dari pada

bertemu secara langsung di dunia nyata. Kurangnya

sosialisasi dapat mengkhawatirkan perkembangan

sosial di dunia nyata karena lebih banyak

menghabiskan waktu di dunia maya dari pada belajar

sosialisasi dengan lingkungan.

2) Berkurangnya kinerja pekerja dan pelajar.

Banyak pekerja dan pelajar terlalu asyik bermain

facebook, curi-curi waktu bermain facebook saat

bekerja yang mengakibatkan seseorang tidak bisa

membagi waktunya dengan baik. Selain itu bagi pelajar

dapat menjadikan malas belajar, mengerjakan

tugas,sulit konsentrasi dan memperlambat menerima

informasi yang diberikan oleh guru. Pekerjaan yang

seharusnya dikerjakan secara tidak langsung

mengakibatkan tidak dapat terselesaikan tepat waktu

yang akan memberi pengaruh keberhasilan belajar

menurun.

3) Peredaran akun palsu atau penipuan.

Banyak orang menyalahgunakan facebook untuk

membuat akun palsu dengan tujuan tertentu untuk

menipu, hal ini dilakukan karena mudahnya dalam

membuat akun facebook yang menjadikan orang

melakuan penipuan bahkan menjatuhkan pihak lain.26


16

3. Kecanduan Facebook

Facebook telah menjadi jalan yang sangat diperlukan

untuk menemukan teman lama (old friends), jadwal kegiatan-

kegiatan, bermain games atau sekedar memberikan hadiah

virtual (virtual gifts). Tetapi, banyak murid-murid sekarang

yang melihat facebook lebih seperti sesuatu yang dicandui

dari pada hanya sekedar suatu alat jaringan.15

Menurut Ichsan yang membuat anggota facebook

begitu kecanduan untuk terus mengakses facebook adalah

karena mereka bisa terus memonitor status, update, atau

berita terakhir dari teman-temannya yang bergabung

jaringan pertemanan.11

Pope menjelaskan beberapa tanda-tanda seseorang

mengalami kecanduan facebook (Facebook Addiction)

sebagaimana berikut :

a. Terus / sering memikirkan facebook walaupun sedang

dalam kondisi offline.

b. Menggunakan facebook untuk lari dari masalah atau

menyelesaikan tugas.

c. Bermain facebook lebih lama dari yang ditentukan

d. Mencoba untuk menyembunyikan penggunaan

facebook.15

Beberapa point di atas dijadikan sebagai batas

seseorang memasuki garis kecanduan. Menurutnya,


17

pemberitahuan (notification), pesan (message) dan

undangan (invite) menjadi reward bagi pemakai karena telah

memberikan sesuatu yang tidak diperkirakan, sama halnya

seperti judi. Reward (hadiah) yang diberikan setiap kali

seseorang menggunakan facebook akan memunculkan

harapan untuk terus memperolehnya. Harapan ini yang akan

menyebabkan seseorang mengalami kecanduan terhadap

facebook.15

Selain itu, satu artikel berjudul “Efek Psikologis

Facebook Bagi Kesehatan Mental” disebutkan beberapa

tanda seseorang mengalami kecanduan facebook yaitu:

a. Mengubah status di facebook lebih dari dua kali sehari.

b. Tekun mengomentari status teman-teman di

facebook,dan

c. Rajin membaca profil teman walaupun tidak

mempunyai keperluan tertentu.4

Artikel lain yang berjudul “Tanda Kecanduan

Facebook” juga berusaha menjabarkan beberapa point yang

berisi tanda-tanda kecanduan facebook, beberapa tanda

tersebut adalah :

a. Facebook telah menjadi hompage internet di komputer

atau laptop.

b. Mengubah status lebih dari dua kali sehari atau rajin

mengomentari perubahan status teman.


18

c. Daftar teman sudah melebihi angka 500 orang dan

hampir setengah dari jumlah yang ada tidak dikenal.

d. Menggunakan media lain selain computer (ex.

Blackberry, handphone) untuk mengecek facebook.

e. Suka membaca profil teman lebih dari dua kali sehari

walaupun tidak memiliki kepentingan.

f. Sering mengubah profil foto

g. Membersihkan “wall” agar terlihat sudah lama tidak

menggunakan facebook.

h. Menjadi anggota dari berbagai grup dan merespon

setiap undangan walaupun sebenarnya tidak berminat.

i. Mengubah status untuk meningkatkan popularitas di

facebook.4

Young27 menjelaskan symptom kecanduan internet

yang telah di adaptasikan dalam kecanduan internet

(facebook) dan minimal mengalami 3 karakter didalamnya:

a. Tolerance, kebutuhan untuk online selama mungkin

untuk kepuasan sendiri.

b. Timbul gejala penarikan diri yang mengakibatkan cacat

dalam memenuhi fungsi sosial, personal, atau

pekerjaan. Ini termasuk kecemasan, gelisah, mudah

tersinggung, bergetar,menggigil, gerakan mengetik

tanpa sadar, obsesif, hingga berkhayal atau mimpi

mengenai internet (facebook).


19

c. Membutuhkan waktu yang banyak untuk online dan

menyediakan waktu khusus untuk menggunakan

internet (facebook).

d. Internet (facebook) digunakan untuk melarikan diri dari

perasaan bersalah, tak berdaya, kecemasan, atau

depresi.

e. Mengurangi kegiatan penting, baik dalam pekerjaan,

sosial, atau rekreasional, demi menggunakan internet

(facebook).

f. Merasa gelisah, murung, cepat marah ketika harus

menghentikan penggunaan internet (facebook).

g. Kesulitan untuk berhenti dan berbohong kepada

orangtua dan teman serta pengabaian pengeluaran

ongkos untuk internet (facebook).

Faktor-faktor penyebab perilaku kecanduan facebook

menurut Sofiana :

a. Kurang perhatian dari orang-orang terdekat. Beberapa

orang berpikir bahwa mereka dianggap ada jika mereka

mampu menguasai keadaan. Mereka merasa bahagia

jika mendapatkan perhatian dari orang-orang

terdekatnya, terutama ayah dan ibu. Dalam rangka

mendapatkan perhatian, seseorang akan berperilaku

yang tidak menyenangkan hati orang tuanya. Karena

dengan berbuat demikian, maka orang tua akan


20

memperingatkan dan mengawasinya;

b. Stres atau depresi. Beberapa orang menggunakan

media untuk mengilangkan rasa stressnya, diantaranya

dengan bermain facebook. Dan dengan rasa nikmat

yang ditawarkan facebook, maka lama-kelamaan akan

menjadi kecanduan;

c. Kurang kontrol. Orang tua yang memanjakan anak

dengan fasilitas, efek kecanduan sangat mungkin

terjadi. Anak yang tidak terkontrol biasanya akan

berperilaku over;

d. Kurang kegiatan. Menganggur adalah kegiatan yang

tidak menyenangkan. Dengan tidak adanya kegiatan

maka bermain facebook sering dijadikan pelarian yang

dicari.

e. Lingkungan. Perilaku seseorang tidak hanya terbentuk

dari dalam keluarga. Saat di sekolah, bermain dengan

teman-teman itu juga dapat membentuk perilaku

seseorang. Artinya meskipun seseorang tidak

dikenalkan terhadap facebook di rumah, maka

seseorang akan kenal dengan facebook karena

pergaulannya;

f. Pola asuh. Pola asuh orang tua juga sangat penting

bagi perilaku seseorang. Maka, sejak dini orang tua

harus berhati-hati dalam mengasuh anaknya. Karena


21

kekeliruan dalam pola asuh maka suatu saat anak akan

meniru perilaku orang tuanya.21

Akibat yang ditimbulkan karena seseorang kecanduan

facebook menurut Aulia :

a. Peserta didik malas belajar.

Anak dan remaja menjadi malas belajar karena

keasyikan bermain facebook. Banyak waktu dihabiskan

untuk sekedar mengecek notification, ganti profil,

mengubah status, dan berkirim pesan. Banyak

kesenangan yang ditawarkan facebook membuat

remaja lebih banyak menghabiskan waktunya bermain

facebook dari pada belajar.

b. Prestasi belajar menurun.

Bagi para remaja dan pelajar, menggunakan facebook

merupakan keasyikan tersendiri sehingga mereka tidak

sadar bahwa semakin banyak menggunakan facebook

secara berlebihan maka semakin banyak pula waktu

mereka yang terbuang sia-sia. Sehingga tidak sedikit

para pelajar yang menggunakan facebook tidak sesuai

pada waktunya yang semestinya mereka gunakan

untuk belajar. Hal ini menyebabkan prestasi belajar

mereka di sekolah menjadi menurun.

c. Tidak fokus ketika pelajaran sedang berlangsung.

Kesenangan yang diciptakan dengan bermain facebook


22

menjadikan siswa kecanduan, hal ini membuat

konsentrasi siswa di kelas menjadi menurun ketika

pelajaran sedang berlangsung.

d. Lupa waktu.

Remaja menjadi tidak sadar dengan banyaknya waktu

yang terbuang untuk bermain facebook. Semakin

banyak dan sesering mungkin menggunakan facebook

membuat remaja lupa waktu untuk belajar, untuk

keluarga, bahkan menjadi jarang untuk berkomunikasi

dengan lingkungan sekitarnya. Interaksi sosial menjadi

terhambat.

e. Membolos ,dll.

Akibat kecanduan bermain facebook, sebagian siswa

bahkan nekat membolos saat jam sekolah

berlangsung.2
23

B. Layanan Konseling Kelompok

Konseling merupakan suatu proses dimana konselor

membantu konseling membuat interpretasi-interpretasi tentang

fakta-fakta yang berhubungan dengan pilihan, rencana, atau

penyesuaian-penyesuaian yang perlu dibuatnya. Bimbingan

konseling adalah proses bantuan yang diberikan kepada individu

maupun kelompok yang dilakukan secara tatap muka. Dalam hal ini

konseli dibantu untuk memahami diri sendiri.23

Sedangkan kelompok secara umum, sering diartikan sebagai

kumpulan beberapa orang yang memili norma dan tujuan tertentu,

memiliki ikatan batin antara satu dengan yang lainnya, serta mesti

bukan resmi, tapi memiliki unsur kepemimpinan di dalamnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konseling

kelompok merupakan proses pemberian bantuan yang bersifat

kelompok dengan tujuan membantu individu atau peserta didik

mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi oleh peserta

didik.12

1. Pengertian Konseling

Menurut Pauline Harrison dalam Kurnanto12 konseling

kelompok adalah konseling yang terdiri dari dari 4-8 konseli

yang bertemu dengan 1-2 konselor. Dalam prosesnya,

konseling kelompok dapat membicarakan beberapa masalah,

seperti kemampuan dalam membangun hubungan dan

komunikasi, pengembangan harga diri, dan keterampilan-


24

keterampilan dalam mengatasi masalah.

Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Juntika

Nurihsan dalam Kurnanto12 yang mengatakan bahwa konseling

kelompok adalah suatu bantuan kepada individu dalam situasi

kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan, serta

diarahkan pada pemberian kemudahan dalam perkembangan

dan pertumbuhannya.

Menurut Gazda dalam Kurnanto12 menjelaskan

“Konseling kelompok merupakan suatu proses interpersonal

yang dinamis yang memusatkan pada usaha dalam berpikir dan

tingkahlaku-tingkahlaku, serta berorientasi pada kenyataan-

kenyataan, membersihkan jiwa, saling percaya-mempercayai,

pemeliharaan, pengertian, penerimaan dan bantuan.

Konseling kelompok bersifat memberikan kemudahan

dalam pertumbuhan dan perkembangan individu, dalam arti

bahwa konseling kelompok memberikan dorongan dan motivasi

kepada individu untuk membuat perubahan-perubahan dengan

memanfaatkan potensi secara maksimal sehingga dapat

mewujudkan diri.12

Dengan memperhatikan beberapa pendapat diatas dapat

disimpulkan bahwa konseling kelompok adalah proses

konseling yang dilakukan dalam situasi kelompok, dimana

konselor berinteraksi dengan konseli dalam bentuk kelompok

yang dinamis untuk memfasilitasi perkembangan individu dan


25

atau membantu individu dalam mengatasi masalah yang

dihadapinya secara bersama-sama.12

2. Fungsi Konseling Kelompok

Dengan memperhatikan definisi konseling kelompok

sebagaimana telah disebutkan diatas, maka kita dapat

mengatakan bahwa konseling kelompok mempunyai dua fungsi,

yaitu fungsi layanan kuratif; yaitu layanan yang diarahakan

untuk mengatasi persoalan yang dihadapi individu, serta fungsi

layanan preventif; yaitu layanan konseling yang diarahkan

untuk mencegah terjadinya persoalan pada diri individu.12

Jundika Nurihsan dalam Kurnanto12 mengatakan bahwa

konseling kelompok bersifat pencegahan dan penyembuhan.

Konseling kelompok bersifat pencegahan, dalam arti bahwa

individu yang dibantu mempunyai kemampuan normal atau

berfungsi secara wajar di masyarakat, tetapi memiliki beberapa

kelemahan didalam kehidupannya sehingga mengganggu

kelancaran berkomunikasi dengan orang lain. Sedangkan,

konseling kelompok bersifat penyembuhan dalam pengertian

membantu individu untuk dapat keluar dari persoalan yang

dialaminya dengan cara memberikan kesempatan, dorongan,

juga pengarahan kepada individu untuk mengubah sifat dan

perilakunya agar selaras dengan lingkungannya. Ini artinya,

bahwa penyembuhan yang dimaksud disini adalah

penyembuhan bukan persepsi pada individu yang sakit, karena


26

pada prinsipnya, objek konseling adalah individu yang normal,

bukan individu yang sakit secara psikologis.

3. Tujuan Konseling Kelompok

Tujuan mengacuh pada mengapa kelompok mengadakan

pertemuan dan apa tujuan serta sasaran yang hendak dicapai.

Brown (2009) mengatakan bahwa ketika pemimpin sepenuhnya

memahami tujuan dari kelompok, lebih mudah baginya untuk

memutuskan hal-hal seperti ukuran, keanggotaan, panjang sesi,

dan jumlah sesi dalam kelompok. Sementara itu bagi Hulse-

Killacky, Killacky & Donigian (2001), tujuan dari kelompok

berfungsi sebagai peta bagi pemimpin. Anggota dan pimpinan

harus jelas tentang kedua tujuan umum dan tujuan spesifik

setiap sesi kelompok. Kadang-kadang tujuannya adalah jelas,

seperti menurunkan berat badan, berhenti merokok, mengatasi

fobia, atau belajar keterampilan belajar.12

Dikatakan oleh Jacob, at all.(2002: 57) dalam Kurnanto12

bahwa ketika seorang pemimpin kelompok belum jelas tentang

tujuan kelompok yang dipimpinnya, maka ada kecenderungan

kelompok tersebut akan sering membingungkan,

membosankan, atau tidak produktif atau pemimpin tidak

mengikuti tujuan yang dinyatakan. Selain itu, tujuan kelompok

dapat berubah sebagaimana perkembangan yang terjadi pada

kelompok. Jika konselor menguasai proses klarifikasi tujuan,

berikutnya yang penting dari aspek kepemimpinan kelompok


27

yang efektif adalah perencanaan.

Sementara itu Winkel (1997 : 544) dalam Kurnanto12

konseling kelompok dilakukan dengan beberapa tujuan, yaitu :

a. Masing-masing anggota kelompok memahami dirinya

dengan baik dan menemukan dirinya sendiri. Berdasarkan

pemahaman diri itu dia lebih rela menerima dirinya sendiri

dan lebih terbuka terhadap aspek-aspek positif dalam

kepribadiannya.

b. Para anggota kelompok mengembangkan kemampuan

berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka dapat saling

memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas

perkembangan yang khas pada fase perkembangan mereka.

c. Para anggota kelompok memperoleh kemampuan mengatur

dirinya sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri, mula-

mula dalam kontra antar pribadi di dalam kelompok dan

kemudian juga dalam kehidupan sehari-hari di luar

kehidupan kelompoknya.

d. Para anggota kelompok menjadi lebih peka terhadap

kebutuhan orang lain dan lebih mampu menghayati

perasaan orang lain. Kepekaan dan penghayatan ini akan

lebih membuat mereka lebih sensitive juga terhadap

kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-perasaan sendiri.


28

e. Masing-masing anggota kelompok menetapkan suatu

sasaran yang ingin mereka capai, yang diwujudkan dalam

sikap dan perilaku yang lebih konstruktif.

f. Para anggota kelompok lebih berani melangkah maju dan

menerima resiko yang wajar dalam bertindak, dari pada

tinggal diam dan tidak berbuat apa-apa.

g. Para anggota kelompok lebih menyadari dan menghayati

makna dan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama,

yang mengandung tuntutan menerima orang lain dan

harapan akan diterima orang lain.

h. Masing-masing anggota kelompok semakin menyadari

bahwa hal-hal yang memprihatinkan bagi dirinya sendiri

kerap juga menimbulkan rasa prihatin dalam hati orang lain.

Dengan demikian dia tidak merasa terisolir, atau seolah-olah

hanya dialah yang mengalami ini dan itu.

i. Para anggota kelompok belajar berkomunikasi dengan

anggota-anggota yang lain secara terbuka, dengan saling

menghargai dan menaruh perhatian. Pengalaman bahwa

komunikasi demikian dimungkinkan akan membawa dampak

positif dalam kehidupan dengan orang-orang yang dekat di

kemudian hari.

Bagi konseli, konseling kelompok dapat bermanfaat

sekali karena melalui interaksi dengan anggota-anggota

kelompok, mereka akan mengembangkan berbagai


29

keterampilan yang pada intinya meningkatkan kepercayaan diri

(self confidence) dan kepercayaan terhadap orang lain. Dalam

suasana kelompok mereka merasa lebih mudah membicarakan

persoalan-persoalan yang mereka hadapi dari pada ketika

mereka mengikuti sesi konseling individual.12

Dalam suasana kelompok mereka juga lebih rela

menerima sumbangan pikiran dari seorang rekan anggota atau

dari konselor yang memimpin kelompok itu dari pada bila

mereka berbicara dengan seorang konselor dalam konseling

individual. Dalam konseling kelompok konseli juga dapat berlatih

untuk dapat menerima diri sendiri dan orang lain dengan apa

adanya serta meningkatkan kepercayaan diri dan kepercayaan

pada orang lain serta meningkatkan pikirannya.12

Tujuan pelaksanaan konseling kelompok ini adalah untuk

meningkatkan kepercayaan diri konseli. Kepercayaan diri dapat

ditinjau dalam kepercayaan diri lahir dan batin yang

diimplementasikan kedalam tujuh ciri yaitu, cinta diri dengan

gaya hidup dan perilaku untuk memelihara diri, sadar akan

potensi dan kekurangan yang dimiliki, memiliki tujuan hidup

yang jelas, berfikir positif dengan apa yang akan dikerjakan dan

bagaimana hasilnya, dapat berkomunikasi dengan orang lain,

memiliki ketegasan, penampilan diri yang baik, dan memiliki

pengendalian perasaan.12
30

4. Asas-asas Konseling Kelompok

Menurut Prayitno dan Amti (1999), dalam Hartono10

konseling kelompok, asas yang dipakai:

a. Asas Kerahasian

Asas kerahasiaan atau disebut confidential

merupakan perilaku konselor untuk menjaga rahasia segala

data atau informasi tentang diri konseli dan lingkungan

konseli berkenaan dengan pelayanan konseling. Jika

konselor benar-benar melaksanakan, maka

penyelenggaraan konseling akan mendapat kepercayaan

dari semua pihak, terutama konseli sebagai individu yang

mendapat pelayanan konseling. Namun sebaliknya, jika

konselor tidak menjalankan asas ini, maka pelayanan

konseling tidak akan mendapatkan kepercayaan dari konseli

atau pihak-pihak yang memanfaatkan pelayanan konseling.

b. Asas Kesukarelaan

Kesukarelaan artinya tidak ada paksaan. Dalam

pelayanan konseling, seorang konseli secara suka rela

tanpa ragu-ragu meminta konseling pada konselor. Konseli

adalah individu yang membutuhkan pelayanan konseling,

karena masalahnya atau kerisauannya, ia dengan suka dan

rela membutuhkan konseling tanpa ada paksaan dari pihak

lain. Di pihak konselor, ia adalah seorang ahli konseling

yang memiliki nilai, sikap, pengetahuan, keterampilan,


31

kepribadian, dan pengalaman yang memadai, dengan sadar,

suka dan rela memberikan pelayanan konseling kepada

konseli. Dengan kata lain, konselor memberikan bantuan

dengan ikhlas tanpa ada yang memaksa.

c. Asas Keterbukaan

Dalam proses konseling diperlukan berbagai data

atau informasi dari pihak konseli, dan informasi ini hanya

bisa digali bila konseli dengan terbuka mau

menyampaikannya kepada konselor. Keterbukaan artinya

adanya perilaku yang terus terang, jujur tanpa ada keraguan

untuk membuka diri baik pihak konseli maupun konselor.

Asas keterbukaan hanya bisa diwujudkan jika konselor dapat

melaksanakan asas kerahasiaan, dan konseli percaya

bahwa konseling bersifat rahasia.

Dalam kaitan ini, Prayitno dan Amti (1999)

menyatakan keterbukaan dalam konseling hendaknya dilihat

dari dua arah, yaitu dari pihak konseli dan pihak konselor.

Dari pihak konseli diharapkan pertama-tama mau membuka

diri sehingga apa yang ada pada dirinya dapat diketahui oleh

konselor. Dari pihak konselor keterbukaan terwujud dengan

kesediaan konselor menjawab pertanyaan-pertanyaan

konseli dan mengungkapkan diri konselor sendiri jika hal ini

memang dikehendaki oleh konseli. Jadi proses konseling

membutuhkan keterbukaan dari pihak konseli dan konselor,


32

masing-masing harus transparan (terbuka) terhadap pihak

lainnya.

d. Asas Kekinian

Masalah konseli yang dibahas dalam konseling

adalah masalah saat ini yang sedang dialami oleh konseli,

bukan masalah lampau atau masalah yang mungkin dialami

di masa yang akan datang. Meskipun salah satu fungsi

konseling adalah pencegahan (preventive) tidak berarti

bahwa fungsi ini bertentangan dengan asas kekinian, karena

fungsi pencegahan mengandung pengertian bahwa konseli

belum menghadapi masalah, sehingga fokus konseling

mencegah timbulnya masalah di masa yang akan datang.

Bila konselor menggali kondisi atau kesulitan-kesulitan

konseli di masa lampau hal ini terbatas pada kajian latar

belakang masalah, bukan berarti pelayanan konseling

dimaksudkan untuk mengkaji masalah konseli di masa

lampau.

Pada dasarnya masalah adalah akumulasi

(kumpulan) dari kesulitan-kesulitan konseli dalam kurun

waktu tertentu yang belum bisa ditangani oleh konseli itu

sendiri. Bisa terjadi bahwa masalah konseli saat ini

berhubungan dengan masalah konseli di masa lampau yang

belum bisa diselesaikan, namum hal ini tidak berarti

mengaburkan pengertian asas kekinian.


33

e. Asas Kemandirian

Pelayanan konseling bertujuan menjadikan konseli

memiliki kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan

masalahnya sendiri, sehingga ia dapat mandiri, tidak

tergantung pada orang lain atau konselor. Konseli dapat

mandiri bila memiliki ciri-ciri pokok, yaitu mampu:

1) Mengenal dirinya dan lingkungan di mana ia berada.

2) Menerima dirinya dan lingkungan secara positif dan

dinamis.

3) Mengambil keputusan atas dirinya sendiri.

4) Mengarahkan dirinya sesuai dengan keputusan yang

diambil.

5) Mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan

potensinya.

Kemandirian konseli sebagai hasil konseling menjadi

fokus dari pelayanan konseling yang harus disadari baik oleh

konselor maupun konseli, dengan demikian pelayanan

konseling dapat memberikan kontribusi nyata dalam

kehidupan konseli di masyarakat. Di satu pihak keberhasilan

ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap

konseling, dan di pihak lain kepercayaan masyarakat yang

tinggi, semakin memperkukuh eksistensi profesi konseling.


34

f. Asas Kegiatan

Pelayanan konseling tidak akan menghasilkan

perubahan perilaku yang diinginkan bila konseli tidak

melakukan sendiri kegiatan dalam mencapai tujuan

konseling. Hasil pelayanan konseling tidak akan tercapai

dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan dengan

kerja keras, semangat yang tinggi, dan pantang menyerah.

Konselor hendaknya mampu membangkitkan semangat dan

motivasi konseli, sehingga ia mau dan mampu

melaksanakan kegiatan yang diperlukan dalam proses

konseling. Kegiatan yang dimaksud adalah seperangkat

aktivitas yang harus dilakukan konseli untuk mencapai

tujuan konseling. Aktivitas itu dibangun konseli bersama

konselor dalam proses konseling, dengan demikian pada diri

konseli dapat mengalami kemajuan-kemajuan yang berarti

sesuai dengan harapannya.

g. Asas Kedinamisan

Dinamis artinya berubah, mengalami perubahan.

Usaha pelayanan konseling menghendaki terjadinya

perubahan pada diri konseli, yaitu perubahan perilaku

kearah yang lebih baik. Perubahan perilaku itu bersifat maju

(progressive) bukan perubahan mundur (regressive), dengan

demikian konseli mengalami kemajuan kearah

perkembangan pribadi yang dikehendaki.


35

h. Asas Keterpaduan

Pelayanan konseling berusaha memadukan aspek

kepribadian konseli, agar ia mampu melakukan perubahan

ke arah lebih maju (progressive). Keterpaduan antara minat,

bakat, intelegensi, emosi, dan aspek kepribadian lainnya

akan dapat melahirkan suatu kekuatan (potensi) pada diri

konseli. Kekuatan itu bila dikembangkan secara

berkelanjutan dengan mendayagunakan lingkungan secara

optimal akan menghasilkan prestasi (achievement) yang

sangat berharga dalam kehidupan.

Untuk terselenggaranya asas keterpaduan, konselor

perlu memiliki wawasan yang luas tentang perkembangan

konseli dan aspek lingkungan konseli sebagai sumber yang

dapat diaktifkan untuk menangani masalah konseli.

Kesemuanya itu dipadukan dalam keadaan serasi,

seimbang, dan selaras untuk menunjang proses konseling.

i. Asas Kenormatifan

Pelayanan konseling tidak boleh bertentangan

dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, baik

ditinjau dari norma agama, norma adat, norma hukum,

norma ilmu, maupun kebiasaan sehari-hari. Asas

kenormatifan ini diterapkan ke dalam proses pelayanan

konseling dan hasil konseling.


36

Proses konseling mencakup prosedur dan berbagai

teknik yang digunakan yang terintegrasi ke dalam aktivitas-

aktivitas atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan konseli

maupun konselor, harus serasi dengan norma-norma yang

berlaku. Adapun hasil konseling yang mencakup berbagai

perubahan perilaku yang lebih maju pada diri konseli juga

tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang

berlaku.

j. Asas Keahlian

Seperti yang telah diuraikan di muka bahwa konseling

merupakan profesi bantuan (helping profession) yang

diberikan konselor kepada konseli, yang bertujuan agar

konseli dapat mengalami perubahan perilaku ke arah yang

lebih maju. Konselor adalah seorang pendidik psikologis

yang memiliki keahlian dalam bidang konseling. Sebagai

tenaga ahli, ia memiliki kompetensi yang ditentukan.

Menurut Buku Standar Kompetensi Konselor

Indonesia (2005), kompetensi yang harus dikuasai oleh

konselor adalah: (a) menguasai konsep dan praksis

pendidikan; (b) memiliki keasadaran dan komitmen etika

profesional; (c) menguasai konsep perilaku dan

perkembangan individu; (d) menguasai konsep dan praksis

assessment; (e) menguasai konsep dan praksis bimbingan

dan konseling; (f) memiliki kemampuan mengelola program


37

bimbingan dan konseling; dan (g) menguasai konsep dan

praksis riset dalam bimbingan dan konseling. Selanjutnya

menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27

tahun 2008 tentang standar kualifikasi akademik dan

kompetensi konselor, kompetensi akademik konselor

mencakup: (a) memahami secara mendalam tentang konseli

yang dilayani; (b) menguasai landasan dan kerangka teoritis

bimbingan dan konseling; (c) menyelenggarakan pelayanan

bimbingan dan konseling yang memandirikan konseli; dan

(d) mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor

secara berkelanjutan.

Jadi jelas bahwa pelayanan konseling sebagai

pelayanan keahlian, yang hanya dapat diberikan oleh

seorang yang ahli dalam bidang konseling yang disebut

konselor.

k. Asas Alih Tangan

Tidak semua masalah yang dialami konseli menjadi

wewenang konselor. Artinya konselor memiliki keterbatasan

kewenangan berdasarkan kode etik profesi konseling. Bila

konseli mengalami masalah emosi yang berat, seperti stress

berat, gangguan kepribadian yang serius serta sakit jiwa,

maka kasus yang demikian ini diluar kewenangan konselor,

maka harus direferal atau dialihtangankan kepada pihak lain

yang memiliki kewenangan tersebut. Contoh kasus


38

gangguan kepribadian berat menjadi wewenang psikiater,

kasus gangguan fisik (medis) menjadi wewenang dokter,

dan sebagainya.

l. Asas Tut Wuri Handayani

Asas ini memberikan makna bahwa pelayanan

konseling merupakan bentuk intervensi konselor kepada

konseli dalam arti positif, konselor mempengaruhi konseli

untuk dapat memahami dirinya, lingkungannya, serta

menggunakan lingkungan sebagai aspek yang dapat

berperan aktif dalam upaya mencapai tingkat perkembangan

optimal.

Konseling hendaknya berperan sebagai bentuk

pelayanan professional yang mampu mempengaruhi konseli

kepada upaya pengembangan dirinya. Penerapan asas tut

wuri handayani pada setting pendidikan seyogianya

dilengkapi dengan ing ngarsa sung tuladha, ing madya

mangun karsa yang artinya di depan konselor harus dapat

berperan sebagai panutan (keteladanan), dan di tengah

konselor juga harus mampu membangun kehendak konseli

dan mengembangkan motivasi konseli dalam menjalankan

aktivitas yang bersifat memajukan diri (progressive).


39

5. Tahap-tahap Layanan Konseling Kelompok

Menurut Hartono sebagaimana layanan bimbingan

kelompok, layanan konseling kelompok juga menempuh

tahap-tahap sebagai berikut:

a. Tahap Pembentukan

Merupakan tahap pengenalan dan tahap perlibatan

awal dalam kelompok. Tahap ini sangat perlu sebagai dasar

pembentukan dinamika kelompok. Dalam tahapan ini

pemimpin kelompok harus menjelaskan pengertian layanan

konseling kelompok, tujuan, tata cara, dan asas-asas

konseling kelompok. Selain itu pengenalan antar sesama

anggota kelompok maupun pengenalan anggota kelompok

dengan pemimpin kelompok juga dilakukan pada tahap ini.

b. Tahap peralihan

Pada tahap ini pemimpin kelompok perlu kembali

mengalihkan perhatian anggota kelompok tentang kegiatan

apa yang akan dilakukan selanjutnya, menjelaskan jenis

kelompok kelompok bebas atau tugas menawarkan dan

mengamati apakah para anggota sudah siap menjalani

kegiatan pada tahap selanjutnya.

c. Tahap kegiatan

Tahap kegiatan merupakan tahap inti kegiatan

layanan konseling kelompok, dalam tahap ketiga ini

hubungan antar anggota kelompok tumbuh dengan baik,


40

saling tukar pengalaman dalam bidang suasana perasaan

yang terjadi, pengaturan, penyajian dan pembukaan diri

berlangsung dengan bebas.

d. Tahap pengakhiran

Pada tahap ini pemimpin kelompok atau konselor

mengemukakan bahwa kegiatan akan segera diakhiri,

meminta kepada para anggota kelompok untuk

mengemukakan perasaan tentang kegiatan yang telah

dijalani, serta membahas kegiatan lanjutan. Dalam tahapan

ini pemimpin kelompok tetap mengusahakan suasana

hangat, bebas dan terbuka, memberikan pernyataan dan

mengucapkan terimakasih atas keikutsertaan anggota,

memberikan semangat untuk kegiatan lebih lanjut dan penuh

rasa persahabatan.10

Sedangkan tahapan konseling kelompok menurut Tohirin

sebagai berikut:

Pertama, perencanaan yang mencakup kegiatan:

a. Membentuk kelompok. Ketentuan kelompok sama dengan

bimbingan kelompok. Jumlah anggota kelompok dalam

konseling kelompok antara 8-10 orang (tidak boleh melebihi

10 orang).

b. Mengidentifikasi dan meyakinkan klien (peserta didik)

tentang perlunya masalah dibawa ke dalam layanan

konseling kelompok.
41

c. Menempatkan klien dalam kelompok.

d. Menyusun jadwal kegiatan.

e. Menetapkan prosedur layanan.

f. Menetapkan fasilitas layanan.

g. Menyiapkan kelengkapan administrasi.

Kedua, pelaksanaan yang mencakup kegiatan:

a. Mengkomunikasikan rencana layanan konseling kelompok.

b. Mengorganisasikan kegiatan layanan konseling kelompok.

c. Menyelenggarakan layanan konseling kelompok melalui

tahap-tahap 1) pembentukan, 2) peralihan, 3) kegiatan, dan

4) pengakhiran.

Ketiga, evaluasi yang mencakup kegiatan:

a. Menetapkan materi evaluasi.

b. Menetapkan prosedur evaluasi.

c. Menyusun instrumen evaluasi.

d. Mengoptimalisasikan instrumen evaluasi.

e. Mengolah hasil aplikasi instrumen.

Keempat, analisis hasil evaluasi yang mencakup kegiatan:

a. Menetapkan norma atau standar analisis.

b. Melakukan analisis.

c. Menafsirkan hasil analisis.

Kelima, tidak lanjut yang mencakup kegiatan:

a. Menetapkan jenis dan arah tindak lanjut.

b. Mengkomunikasikan rencana tindak lanjut kepada pihak-


42

pihak lain yang terkait.

c. Mengomunikasikan laporan layanan.25

C. Manajemen Diri

1. Konsep Dasar Manajemen Diri

Gantina8 mengemukakan bahwa manajemen diri

merupakan suatu prosedur dimana peserta didik mengatur

perilakunya sendiri. Gagasan pokok dari penilaian manajemen

diri adalah bahwa perubahan bisa dihadirkan dengan mengajar

orang dalam menggunakan keterampilan menangani situasi

bermasalah. Dalam program manajemen diri ini peserta didik

mengambil keputusan tentang hal-hal yang berhubungan

dengan perilaku khusus yang ingin dikendalikan atau diubah.

Corey5 menyatakan bahwa seringkali peserta didik menemukan

bahwa alasan utama dari ketidakberhasilannya mencapai

sasaran adalah tidak dimilikinya keterampilan. Dalam kawasan

seperti itu pendekatan pengarahan diri sendiri bisa memberikan

garis besar bagaimana bisa didapat perubahan dan sebuah

rencana yang akan membawa ke perubahan.

Dalam menggunakan strategi manajemen diri untuk

mengubah perilaku, maka peserta didik berusaha mengarahkan

perubahan perilakunya dengan cara memodifikasi aspek-aspek

lingkungan atau mengadministrasikan konsekuensi-

konsekuensi. Dengan demikian melalui strategi ini disamping

peserta didik dapat mencapai perubahan perilaku sasaran yang


43

diinginkan juga dapat mengembangkan kemampuan dalam

mengelolah diri.8

2. Teknik Konseling Manajemen Diri

Konseling merupakan proses komunikasi bantuan yang

amat penting, diperlukan model yang dapat menunjukkan kapan

dan bagaimana guru BK melakukan intervensi kepada peserta

didik. Dengan kata lain, konseling memerlukan keterampilan

(skill) pada pelaksanaannya. Singgih20 menyatakan bahwa self

management meliputi pemantauan diri (self monitoring),

reinforcement yang positif (self reward), kontrak atau perjanjian

dengan diri sendiri (self contracting) dan penguasaan terhadap

rangsangan (stimulus control).

a. Pemantauan Diri (self monitoring)

Merupakan suatu proses peserta didik mengamati

dan mencatat segala sesuatu tentang dirinya sendiri dalam

interaksinya dengan lingkungan. Dalam pemantauan diri ini

biasanya peserta didik mengamati dan mencatat perilaku

masalah, mengendalikan penyebab terjadinya masalah

(antecedent) dan menghasilkan konsekuensi.

b. Reinforcemen yang positif (self reward)

Digunakan untuk membantu peserta didik mengatur

dan memperkuat perilakunya melalui konsekuensi yang

dihasilkan sendiri. Ganjaran diri ini digunakan untuk

menguatkan atau meningkatkan perilaku yang diinginkan.


44

Asumsi dasar teknik ini adalah bahwa dalam pelaksanaanya

ganjaran diri parallel dengan ganjaran yang

diadministrasikan dari luar. Dengan kata lain, ganjaran yang

dihadirkan sendiri sama dengan ganjaran yang di

administrasikan dari luar. Didefinisikan oleh fungsi yang

mendesak perilaku sasaran.

c. Kontrak atau perjanjian dengan diri sendiri (self contracting)

Ada beberapa langkah dalam self contracting ini yaitu :

1) Peserta didik membuat perencanaan untuk mengubah

pikiran, perilaku, dan perasaan yang diinginkannya;

2) Peserta didik meyakini semua yang ingin diubahnya;

3) peserta didik bekerjasama dengan teman/keluarga

program self managementnya;

4) Peserta didik akan menanggung resiko dengan program

self management yang dilakukannya;

5) Pada dasarnya semua yang peserta didik harapkan

mengenai perubahan pikiran, perilaku dan perasaan

adalah untuk peserta didik itu sendiri;

6) Peserta didik menuliskan peraturan untuk dirinya sendiri

selama menjalani proses self management;

d. Penguasaan terhadap rangsangan (self control)

Teknik ini menekankan pada penataan kembali atau

modifikasi lingkungan sebagai isyarat khusus atau

antecedent atau respon tertentu.


45

3. Tujuan Teknik Manajemen Diri

Tujuan dari teknik manajemen diri yaitu agar peserta

didik secara teliti dapat menempatkan diri dalam situasi-situasi

yang menghambat tingkah laku yang mereka tidak kehendaki.

Dalam arti peserta didik dapat mengelolah pikiran, perasaan

dan perbuatan mereka sehingga mendorong pada pengindraan

terhadap hal-hal yang tidak baik dan peningkatan hal-hal yang

baik dan benar.

4. Tahap-tahap Teknik Manajemen Diri

Menurut Gantina pengelolaan diri biasanya dilakukan

dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Tahap monitor diri atau observasi diri

Pada tahap ini peserta didik dengan sengaja

mengamati tingkah lakunya sendiri serta mencatatnya

dengan teliti. Catatan ini dapat menggunakan daftar cek atau

catatan observasi kualitatif. Hal-hal yang perlu diperhatikan

oleh peserta didik dalam mencatat tingkah laku adalah

frekuensi, intensitas, dan durasi tingkah laku. Dalam

penelitian ini peserta didik mengobservasi apakah dirinya

sudah bertanggung jawab terhadap belajar atau belum.

Peserta didik mecatat berapa kali dia belajar dalam sehari,

seberapa sering dia belajar, dan seberapa lama dia

melakukan aktivitas dalam belajarnya.


46

b. Tahap Evaluasi Diri

Pada tahap ini peserta didik membandingkan hasil

catatan tingkah laku dengan target tingkah laku yang telah

dibuat oleh peserta didik, perbandingan ini bertujuan untuk

mengevaluasi efektivitas dan efisien pogram. Bila program

tersebut tidak berhasil, maka perlu ditinjau kembali program

tersebut, apakah target tingkah laku yang ditetapkan

memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi, perilaku yang

ditargetkan tidak cocok, atau penguatan yang diberikan tidak

sesuai.

c. Tahap Pemberian Penguatan, Penghapusan, dan Hukuman

Pada tahap ini peserta didik mengatur dirinya sendiri,

memberikan penguatan, menghapus, dan memberi hukuman

pada diri sendiri. Tahap ini merupakan tahap yang paling

sulit karena membutuhkan kemauan yang kuat dari peserta

didik untuk melaksanakan program yang telah dibuat secara

kontinyu.8

Sedangkan menurut Comier dalam Nursalim14 terdapat

tiga strategi self-management, yaitu:

a. Self Monitoring

Self monitoring adalah proses yang mana peserta

didik mengobservasi dan mencatat sesuatu tentang dirinya

sendiri dan interaksinya dengan situasi lingkungan. Monitor

diri digunakan sementara untuk menilai masalah, sebab data


47

pengamatan dapat menjelaskan kebenaran atau perubahan

laporan verbal peserta didik tentang tingkah laku

bermasalah. Pada tahapan ini konseli mengidentifikasi

masalah yakni penyadaran akan masalah, dan penetapan

tujuan dari target yang diinginkan yaitu mengurangi

kecanduan facebook. Disini peserta didik belajar untuk

mengamati diri sendiri dan mencatat sendiri tingkah laku

tertentu tentang dirinya (mencatat data tentang perilaku yang

hendak diubah, penyebab perilaku, konsekuensi perilaku,

dan seberapa sering perilaku itu terjadi.

Berikut penjelasan tahap-tahap self monitoring:

1) Peserta didik menyeleksi perilaku yang ingin diubah.

2) Peserta didik menyusun tujuan-tujuan untuk target yang

diharapkan dan menghindari hambatan-hambatannya.

3) Peserta didik menargetkan reaksi-reaksi yang akan

dipantau.

4) Peserta didik mengawasi akibat dari setiap reaksi yang

dialami.

5) Konseli mengevaluasi pemantauan dirinya untuk melihat

keberhasilan manajemen dirinya.

b. Stimulus control

Stimulus control adalah penyusunan/perencanaan

kondisi-kondisi lingkungan yang telah ditentukan

sebelumnya, yang membuat terlaksanakannya/dilakukannya


48

tingkah laku tertentu. Kondisi lingkungan berfungsi sebagai

tanda dari suatu respon tertentu. Dengan kata lain tanda

merupakan suatu stimulus untuk suatu respon tertentu. Pada

tahapan ini konseli menata kembali atau memodifikasi

kondisi lingkungan yang tepat dan berperan sebagai isyarat

atau antecedents pada respon tertentu yang membuat

perilaku tersebut tidak terulang kembali.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam

kendali stimulus ini adalah sebagai berikut :

1) Peserta didik memilih perilaku yang ingin diubah atau

ditingkatkan.

2) Konseli diarahkan untuk menemukan rangsangan atau

stimulus yang mempertinggi reaksi dan yang

menghambatnya.

3) Peserta didik menyusun kembali rangsangan atau

stimulus disekitarnya yang ingin diubah.

c. Self Reward

Self reward digunakan untuk memperkuat atau untuk

meningkatkan respon yang diharapkan atau yang menjadi

tujuan. Self reward berfungsi untuk mempercepat target

tingkah laku. Menurut Soekadji dalam Nursalim14

berpendapat bahwa agar penerapan self reward yang

efektif, perlu dipertimbangkan syarat-syarat seperti:


49

1) Menyajikan pengukuh seketika;

2) Memilih pengukuh yang tepat;

3) Memilih kualitas pengukuh;

4) Mengatur kondisi situasional;

5) Menentukan kuantitas pengukuh; dan

6) Mengatur jadwal pengukuh.

Pada tahapan ini peserta didik belajar untuk

memberikan ganjaran atau hadiah atas apa yang sudah

dilakukannya. Tujuannya adalah untuk membantu konseli

dalam mengatur dan memperkuat perilaku yang baru, dalam

hal ini adalah perilaku atau target yang ingin diubah. Disini

peserta didik mengenali dan menyeleksi jenis-jenis reward,

memberikan reward pada dirinya sendiri, menjadwalkan

pemberian reward kepada dirinya setelah melakukan tingkah

laku yang dapat meningkatkan perilaku sasaran, dan peserta

didik belajar untuk memelihara perilaku baru itu yang dapat

meningkatkan perilaku sasaran itu dengan cara mencari

reward dari luar atau orang lain.

Self reward dibedakan dalam dua bentuk, yaitu :

penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif

dengan pemberian sesuatu yang menyenangkan,

sedangkan penguatan negatif yaitu diberikan untuk

mengurangi atau mengambil sesuatu yang tidak

menyenangkan.
50

Self-reward mempunyai empat komponen, yaitu :

1) Memilih penghargaan (ganjaran) yang tepat.

2) Memberikan penghargaan diri.

3) Pengaturan waktu penghargaan diri.

4) Perencanaan untuk memelihara pengubahan diri.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam

penghargaan diri (ganjar diri) meliputi :

1) Peserta didik memilih perilaku yang ingin ditingkatkan

atau dikurangi. Untuk masing-masing pilihan, peserta

didik mendefinikasikannya secara khusus dengan hadiah

yang memadai.

2) Apabila semakin tinggi perubahannya, konseli berhak

memperoleh reward yang semakin tinggi pula.

3) Konseli tidak melakukan perubahan perilaku yang besar

dalam jangka waktu yang pendek.

Manajemen diri merupakan salah satu model dalam

cognitif behavior therapy. Salah satu tujuan pendekatan ini yaitu

membantu konseli membuang respon-respon yang lama yang

merusak diri atau maladaptif dalam mempelajari respon-respon

yang baru yang lebih sehat dan sesuai.

Dalam menggunakan strategi manajemen diri, di samping

siswa dapat mencapai perilaku yang diinginkan juga dapat

berkembang kemampuan manajemen dirinya. Teknik self

management sangat tepat digunakan dalam menangani


51

permasalahan kecanduan facebook. Hal ini sesuai dengan

pendapat yang dikemukakan cormier & cormier (1985:519)

dalam Handayani9 bahwa prosedur teknik self management

dapat meningkatkan kemampuan individu untuk mengendalikan

perilakunya. Lebih lanjut dengan menggunakan teknik self

management diharapkan mampu mengurangi kecanduan

facebook di lingkungan sekolah.

D. Pengaruh Layanan Konseling Kelompok Dengan Teknik

Manajemen Diri Untuk Mengurangi Kecanduan Facebook.

1. Penelitian yang dilakukan oleh Nurdjana Alamri dengan judul

Layanan Bimbingan Kelompok Dengan Teknik Self

Management Untuk Mengurangi Perilaku Terlambat Masuk

Sekolah Pada Siswa Kelas X SMA N 1 Gebog Tahun

2014/2015. Ada 8 siswa sebagai subjek penelitian yang dipilih

berdasarkan frekuensi keterlambatan masuk sekolah. Hasil

penelitian menunjukan bahwa pada prasiklus skor rata-rata

adalah 41 menurun pada siklus 1 menjadi 28,63 dengan

kategori cukup, dan pada siklus 2 menjadi 13,13 atau sangat

rendah dengan kategori sangat baik. Ada penurunan dari siklus

pertama ke siklus kedua yaitu sebesar 15,5 atau secara

keseluruhan 27,88.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Marina Sari dengan judul

Efektifitas Konseling Kognitif Perilaku Dalam Menangani

Gangguan Kecanduan Media Sosial Pada Peserta Didik Kelas


52

VII MTs N 1 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2016/2017. Subjek

penelitian kelas VII MTs N 1 Bandar Lampung sebanyak 15

peserta didik. Hasil penelitian menunjukan bahwa skor rata-rata

sebelum diberikan konseling adalah 76,73 turun menjadi 65,60

setelah diberikan layanan konseling kognitif.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Tri Handayani dengan judul

Efektifitas Layanan Konseling Kelompok Dengan Teknik

Manajemen Diri Untuk Mengurangi Kecanduan Game Online

Peserta Didik Kelas VIII Smp Negeri 11 Bandar Lampung Tahun

Pelajaran 2016/2017. Sampel pada penelitian ini 31 peserta

didik dengan teknik total sampling. Hasil penelitian menunjukan

perhitungan rata mean skor kecanduan game online sebelum

diberikan treatment adalah 77,60714 dan mean setelah

diberikan treatment 51,89286. Dari hasil tersebut menunjukan

bahwa teknik manajemen diri efektif untuk mengurangi

kecanduan game online peserta didik.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Imam Safjrudin dengan judul

Layanan Konseling Kelompok Behavior Dengan Teknik Asertif

Untuk Mengurangi Kecanduan Facebook Pada Remaja SMP N

10 Kelas VIII Salatiga Tahun Ajaran 2014/2015. Ada 10 siswa

menjadi subjek dalam penelitian ini. Hasil perhitungan pretest

pada 5 siswa kelompok perlakuan sebelum ikut layanan adalah

6,00 dan hasil posttest adalah 3,60 menunjukan adanya

penurunan yang signifikan. Sedangkan hasil perhitungan pada 5


53

siswa kelompok kontrol yang tidak mengikuti layanan adalah

5,00 menjadi 7,40.

E. Kerangka Teori

Facebook merupakan jejaring sosial yang sifatnya terbuka yang


digunakan sebagai alat atau media komuikasi bagi para
pengguna untuk saling bertukar informasi , interaksi, dan
sarana bertemu kembali dengan teman lama.( Ichsan, 2009)

Faktor Penyebab : Dampak Yang Ditimbulkan :

1.Kurang perhatian 1.Peserta didik malas belajar

2.Stress/depresi 2.Prestasi belajar menurun

3.Kurang kontrol 3.Tidak fokus ketika pelajaran


sedang berlangsung
4.Kurang kegiatan

5.Lingkungan 4.Lupa waktu

6.Pola asuh 5.Membolos,dll

Layanan Konseling Manajemen


Diri

Berkurangnya
Kecanduan Facebook

Gambar 2.1 Kerangka Teori


54

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Konseptual

Konseling
Mengurangi
Manajemen Diri
kecanduan
facebook

Keterangan :

:variabel independen

:variabel dependen

:Garis penghubung

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

54
55

B. Alur Penelitian

Populasi Siswa kelas XI Bahasa 2

Pre-Test

Sampel Purposive sampling

Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol

(Diberi konseling ) (Tidak diberi konseling )

Post-Test

Data

Pengolahan data

Hasil

Analisa data

Kesimpulan

Gambar 3.2 Alur Penelitian


56

C. Defenisi Operasional

Definisi operasional variabel merupakan uraian yang

berisikan sejumlah indikator yang dapat diamati dan diukur untuk

mengidentifikasi variabel atau konsep yang digunakan. Definisi

operasional dibuat untuk memudahkan pemahaman dan

pengukuran setiap variabel yang ada dalam penelitian.

Tabel 3.1
Definisi Operasional
N variabel Definisi operasional Kriteria Skala
o obyektif ukur
1 Variabel Konseling kelompok adalah
independen proses pemberian bantuan
(x) yang bersifat kelompok
konseling dengan tujuan membantu
kelompok mengurangi peserta didik
yang mengalami kecanduan
facebook.

2 Variabel Kecanduan facebook adalah Kecanduan Ordinal


dependen suatu keadaan dimana Ringan jika
(y) responden mengalami kondisi skor 37-73
kecanduan ketagihan untuk
facebook menggunakan facebook. Kecanduan
Sedang jika
skor 74-110

Kecanduan
Berat jika
skor 111-
148.
57

D. Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan jenis penelitian quasy

eksperiment (penelitian eksperimen semu) dengan pendekatan

Non equivalent (pretest and posttest) with control group designe ,

yaitu pada kelompok eksperimen diberi perlakuan sedangkan pada

kelompok kontrol tidak diberi perlakuan.22

Desain penelitian dapat dilihat sebagai berikut:

Kelompok Pretest Perlakuan Posttest

Eksperimen (E) 01 X 02

Kontrol (K) 03 04

Tabel 3.2 Non equivalent With Control Group Designe

Keterangan:

01: Pretest pada kelompok eksperimen.

X : Perlakuan pada kelompok eksperimen.

02: Posttest pada kelompok eksperimen.

03: Pretest pada kelompok kontrol.

04: Posttest pada kelompok kontrol.

Desain penelitian quasi eksperimental dengan

bentuk non equivalent (pretest and posttest) with control group,

rancangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tahapan Pre-test

Tujuan dari pre-test dalam penelitian ini adalah untuk

mengetahui peserta didik kelas XI Bahasa 2 SMA Negeri 2

Maumere yang mempunyai tingkat kecanduan facebook


58

sebelum diberikan perlakuan (treatment).

2. Pemberian Treatment

Rencana pemberian treatment dalam penelitian diberikan

kepada beberapa konseli atau peserta didik yang telah dipilih.

Selanjutnya dengan menggunakan layanan konseling kelompok

dengan teknik manajemen diri untuk mengurangi kecanduan

facebook peserta didik kelas XI Bahasa 2 SMA Negeri 2

Maumere. Rencana pemberian treatment akan dilakukan 3-4

kali pertemuan dengan waktu 20-35 menit untuk dapat

memaksimalkan ketercapaian tujuan kegiatan.

3. Post-test

Dalam kegiatan ini peneliti memberikan angket kepada peserta

didik setelah pemberian treatment. Setelah itu membandingkan

presentase hasil dari angket dengan indikator dalam

mengurangi tingkat kecanduan facebook, antara sebelum dan

sesudah pemberian treatment.

E. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di SMA Negeri 2 Maumere.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juli 2018.


59

F. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas

obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulannya22. Populasi dalam penelitian ini

adalah peserta didik kelas XI Bahasa 2 SMA Negeri 2 Maumere

yang berjumlah 30 orang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi tersebut22. Teknik pengambilan sampel

berdasarkan purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel

dengan pertimbangan tertentu. Sampel dalam penelitian ini

sebanyak 12 responden yang memiliki perilaku kecanduan

facebook sedang dan berat. Dari 12 peserta didik ini akan dibagi

menjadi 2 kelompok yaitu 6 responden dalam kelompok kontrol

dan 6 lainnya akan menjadi kelompok eksperimen yang akan

diberikan perlakuan.

G. Pengumpulan Data

Menurut Sugiyono22 teknik pengumpulan data adalah cara-

cara yang digunakan untuk memperoleh data atau informasi yang

diperlukan, guna mencapai objektivitas yang tinggi. Untuk

mengumpulkan data dalam penelitian ini teknik yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


60

1. Observasi

Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri

yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain. Pada

penelitian ini observasi yang dilakukan adalah pada saat survei

awal. Observasi digunakan untuk mengukur perubahan perilaku

individu sebelum diberikan perlakuan dan sesudah diberikan

perlakuan sehingga dapat diperoleh data yang relevan dari hasil

pemberian perlakuan.

2. Wawancara (interview)

Untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam tentang

responden, maka peneliti dapat juga menggunakan wawancara.

Pewawancara perlu memahami situasi dan kondisi sehingga

dapat memilih waktu yang tepat kapan dan dimana harus

melakukan.

3. Angket (kuesioner)

Angket atau kuesioner merupakan teknik pengumpulan data

yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan

atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.

Dalam penelitian ini skala yang digunakan adalah skala likert,

format yang digunakan dalam instrumen penelitian ini terdiri dari

4 pilihan jawaban dari pernyataan yang ada. Penilaian dalam

penelitian ini menggunakan rentang skor dari 1- 4 dengan

banyaknya item 37. Penelitian ini bertujuan untuk

mengkategorikan peserta didik menjadi 3 kategori yaitu


61

kecanduan ringan, kecanduan sedang, dan kecanduan berat.

Untuk menentukan kriteria kategori sebagai berikut :

Penentuan Kriteria Obyektif

a. Jumlah pilihan :4

b. Jumlah pertanyaan :37

c. Skor terendah :1

d. Skor tertinggi :4

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ = 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ 𝑥 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛

= 1 𝑥 37 = 37

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 = 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑥 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛

= 4 𝑥 37 = 148

jumlah skor tertinggi − jumlah skor terendah


𝑘𝑟𝑖𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎 𝑜𝑏𝑦𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 =
kategori

148 − 37
= = 37
3

𝑘𝑒𝑐𝑎𝑛𝑑𝑢𝑎𝑛 𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑠𝑘𝑜𝑟 37 − 73

𝑘𝑒𝑐𝑎𝑛𝑑𝑢𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑠𝑘𝑜𝑟 74 − 110

𝑘𝑒𝑐𝑎𝑛𝑑𝑢𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑠𝑘𝑜𝑟 111 − 148


62

H. Pengolahan Data

Ada beberapa cara untuk melakukan pengolahan data,

sebagai berikut:

1. Editing

Setelah data terkumpul maka akan dilakukan editing atau

penyuntingan untuk memeriksa setiap lembar kuesioner yang

telah diisi lalu memeriksa kesinambungan dan keseragaman

data.

2. Coding

Dilakukan untuk memudahkan pengolahan data dengan

melakukan pengkodean atau simbol-simbol pada daftar yang

telah disiapkan untuk setiap jawaban responden.

3. Tabulasi

Setelah dilakukan pengkodean baru dilakukan pengelompokan

data dalam bentuk tabel untuk memudahkan dalam pengolahan

data, memuat sifat-sifat yang dimiliki sesuai dengan tujuan

penelitian.

I. Teknik Analisa Data

Pada tahap ini, peneliti melakukan analisa data dengan

menggunakan SPSS 22.

1. Analisa Univariat

Analisis univariat merupakan analisa data yang menganalisis

satu variabel. Disebut analisa univariat karena proses

pengumpulan data awal masih acak dan abstrak, kemudian data


63

diolah menjadi informasi yang informatif. Analisa ini seringkali

digunakan untuk statistik deskriptif, yang dilaporkan dalam

bentuk distribusi frekuensi dan prosentase Notoadmodjo ( 2005)

dalam Donsu.6

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk

mengetahui pengaruh variabel terikat. Data yang diperoleh

melalui kuesioner di analisa dengan uji-t berpasangan dengan

tingkat signifikan 0.05 yang dilakukan dengan menggunakan

program SPSS versi 22.

J. Pengujian Instrumen Penelitian

Instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan, yaitu

valid dan reliabel. Validitas dan reabilitas merupakan alat ukur atau

alat uji suatu instrumen penelitian yang memegang peran penting

dalam suatu penelitian ilmiah, karena kedua hal tersebut

merupakan karakter utama yang menunjukan apakah suatu alat

ukur itu baik atau tidak. Sebab keberhasilan suatu penelitian

ditentukan oleh baik tidaknya instrumen yang digunakan. Maka

untuk menguji suatu instrumen digunakan uji validitas dan uji

reabilitas agar dapat dibuktikan baik atau tidaknya hasil yang

didapatkan dari penelitian yang telah dilakukan.


64

1. Uji Validitas

Validitas menurut Suharsimi Arikunto (2000) dalam Donsu6

merupakan keadaan yang menggambarkan tingkat instrument

bersangkutan yang mampu mengukur apa yang akan diukur.

Data yang valid memiliki tingkat kesalahan lebih kecil. Hasil dari

validitas mendekati keadaan sebenarnya. Validitas memiliki

ketepatan tergantung dari kemampuan alat ukur mencapai

tujuan. Pengujian validitas dapat dimulai dari hasil pengumpulan

data yang sudah ada. Uji validitas instrumen dalam penelitian ini

menggunakan bantuan SPSS versi 22.0 dan hasilnya sebagai

berikut :

Tabel 3.3
Hasil Uji Validitas Gangguan Kecanduan Facebook
Item-Total Statistics

Corrected Item- Cronbach's Ket


Scale Mean if Scale Variance Total Alpha if Item
Item Deleted if Item Deleted Correlation Deleted

skor jwb 1 122.97 512.240 .595 .930 Valid


skor jwb 2 123.80 507.338 .665 .930 Valid
skor jwb 3 123.13 516.051 .416 .931 valid
skor jwb 4 123.87 510.671 .568 .930 valid
skor jwb 7 123.43 510.185 .509 .931 Valid
skor jwb 8 124.17 501.523 .618 .930 Valid
skor jwb 9 123.43 510.599 .444 .931 Valid
skor jwb 10 122.87 513.016 .666 .930 Valid
skor jwb 11 123.90 513.197 .383 .931 Valid
skor jwb 12 123.63 510.447 .498 .931 Valid
skor jwb 13 123.73 511.030 .471 .931 Valid
skor jwb 14 123.53 506.120 .578 .930 Valid
skor jwb 15 123.60 512.386 .457 .931 Valid
skor jwb 16 123.83 512.764 .425 .931 valid
65

skor jwb 19 123.63 505.413 .535 .930 Valid


skor jwb 20 124.73 513.651 .410 .931 Valid
skor jwb 21 124.00 502.552 .693 .929 Valid
skor jwb 23 124.03 502.516 .622 .930 Valid
skor jwb 25 124.03 503.689 .576 .930 Valid
skor jwb 26 123.57 509.909 .503 .931 Valid
skor jwb 27 124.20 500.648 .716 .929 Valid
skor jwb 29 123.87 504.878 .564 .930 Valid
skor jwb 30 123.50 498.259 .674 .929 Valid
skor jwb 31 123.20 503.683 .701 .929 Valid
skor jwb 33 124.37 499.137 .722 .929 Valid
skor jwb 34 123.67 504.092 .598 .930 Valid
skor jwb 35 123.80 502.924 .684 .929 Valid
skor jwb 36 124.23 504.185 .668 .929 Valid
skor jwb 37 124.13 507.361 .507 .930 Valid
skor jwb 40 123.70 510.217 .540 .930 Valid
skor jwb 44 124.00 514.690 .416 .931 Valid
skor jwb 45 124.47 504.671 .585 .930 Valid
skor jwb 46 123.43 516.944 .402 .931 Valid
skor jwb 47 123.67 488.437 .800 .928 Valid
skor jwb 48 123.80 496.648 .777 .928 Valid
skor jwb 49 124.07 497.857 .705 .929 Valid
skor jwb 50 124.80 512.166 .459 .931 Valid

Berdasarkan tabel di atas, perhitungan uji instrumen validitas

angket kecanduan facebook sebanyak 50 butir pernyataan

dengan responden 30 peserta didik dimana r tabel=0,374 maka

didapat 37 item soal valid dan 13 item soal yang tidak valid.
66

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas merupakan upaya untuk menstabilkan dan melihat

adakah konsistensi responden dalam menjawab pertanyaan,

yang berkaitan dengan konstruksi dimensi variabel. Reliabilitas

menurut Masri Singarimbun dalam Donsu6 merupakan indeks

yang menunjukan sejauh mana alat ukur dapat diandalkan.

Menurut Santjaka16 reability digunakan untuk konsistensi

instrument yang ada, jika nilai Cronbach’s alpha melebihi nilai

0,5 maka konsistensi instrument termasuk kuat dan reliabel.

Untuk mengetahui reabilitas kuesioner adalah dengan

membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hasil. Dalam uji

reabilitas sebagai nilai r hasil adalah nilai alpha (Cronbach’s

Alpha) dengan ketentuan bila nilai r alpha> r tabel, maka

pertanyaan tersebut reliabel.17 Proses pengujian reliabilitas

dilakukan menggunakan bantuan SPSS versi 22.0 didapat :

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

.932 50
67

K. Etika Penelitian

1. Informed consent (persetujuan)

Lembar persetujuan diberikan kepada subyek yang akan diteliti,

peneliti menjelaskan maksud dan tujuan riset yang dilakukan,

jika responden bersedia diteliti maka mereka harus

menandatangani lembar persetujuan tersebut, tetapi jika

responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan

memaksa dan menghormati hak-hak responden.

2. Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak

mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data, cukup

memberi kode pada masing-masing lembar tersebut.

3. Confidentially (kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya

kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan

sebagai hasil riset.


68

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian dengan judul “Pengaruh Layanan Konseling

Kelompok Dengan Teknik Manajemen Diri Untuk Mengurangi

Kecanduan Facebook Pada Siswa Kelas XI Bahasa 2 SMA N 2

Maumere” telah dilaksanakan pada tanggal 09-13 juli tahun 2018.

Pelaksanaan penelitian ini bertujuan untuk mengurangi gangguan

kecanduan facebook peserta didik kelas XI Bahasa 2 SMA N 2

Maumere. Peneliti dalam menangani permasalahan yang terjadi

dengan memberikan layanan konseling kelompok.

1. Analisis Univariat

a. Kelompok Responden

Tabel 4.1

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok

Pada Peserta Didik Kelas XI Bahasa 2 SMA N 2

Maumere

Presentase
Kelompok Frekuensi (n) (%)
Eksperimen 6 50
Kontrol 6 50
Total 12 100

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukan bahwa, dari 12

responden masing-masing 6 responden (50%) diberikan

perlakuan (eksperimen) dan 6 responden (50%) tidak diberikan

perlakuan (kontrol).
69

b. Jenis Kelamin

Tabel 4.2

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Pada Peserta Didik Kelas XI Bahasa 2 SMA N 2 Maumere

Presentase
Jenis Kelamin Frekuensi (n) (%)
Laki-laki 3 25
Perempuan 9 75
Total 12 100

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukan bahwa, dari 12

responden masing-masing 3 responden laki-laki (25%) dan 9

responden perempuan (75%).

c. Umur

Tabel 4.3

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Pada

Peserta Didik Kelas XI Bahasa 2 SMA N 2 Maumere

Umur Frekuensi Presentase


(tahun) (n) (%)
15-16 5 41,67
17-18 7 58,33
Total 12 100

Berdasarkan tabel 4.3 menunjukan bahwa, dari 12

responden masing-masing 5 responden kelompok umur 15-16

tahun (41,67%) dan 7 responden kelompok umur 17-18 tahun

(58,33).
70

d. Kriteria Kecanduan facebook Pretest Posttest Kelompok

Kontrol dan Kelompok Eksperimen

Tabel 4.4

Distribusi Frekuensi Pretest Posttest Pada Kelompok

Eksperimen Dan Kelompok Kontrol Pada Peserta Didik

Kelas XI Bahasa 2 SMA N 2 Maumere

Pretest Posttest
Kelompok
Frekuensi (n) (%) Frekuensi (n) (%)
Eksperimen
Kecanduan
Ringan 0 0 4 66,67
Kecanduan
Sedang 0 0 2 33,33
Kecanduan Berat 6 100 0 0
Total 6 100 6 100

Kontrol
Kecanduan
Ringan 0 0 0 0
Kecanduan
Sedang 6 100 5 83,33
Kecanduan Berat 0 0 1 16,67
Total 6 100 6 100

Berdasarkan tabel 4.4 menunjukan bahwa pada

kelompok eksperimen didapatkan hasil pretest dari 6

responden,tidak ada yang mengalami kecanduan ringan dan

kecanduan sedang, kecanduan berat berjumlah 6 responden

(100%). Hasil posttest responden pada kelompok eksperimen

setelah diberi perlakuan yaitu yang mengalami kecanduan

ringan 4 responden (66,67%), kecanduan sedang 2 responden

(33,33%), dan tidak ada yang mengalami kecanduan berat.


71

Sedangkan pada kelompok kontrol didapat hasil pretest

dari 6 responden yaitu tidak ada yang mengalami kecanduan

ringan dan kecanduan berat,kecanduan sedang 6 responden

(100%). Hasil posttest 6 responden pada kelompok kontrol

tanpa diberi perlakuan yaitu yang mengalami kecanduan ringan

tidak ada,kecanduan sedang 5 responden (83,33%), kecanduan

berat 1 responden (16,67%).

2. Analisis Bivariat

a. Rata-rata Kecanduan Facebook

Tabel 4.5

Distribusi Rata-rata Kecanduan Facebook Sebelum Dan

Sesudah Diberi Perlakuan Pada Kelompok Eksperimen Dan

Kelompok Kontrol

Standar
Kecanduan Facebook Mean Deviation
Pretest :Kontrol 101.3333 5.75036
Eksperimen 124.1667 9.70395
Posttest:Kontrol 102.3333 5.64506
Eksperimen 69 17.66352

Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan data hasil rata-rata

kecanduan facebook sebelum diberikan perlakuan pada

kelompok kontrol adalah 101.3333 (5.75036), dan pada

kelompok eksperimen adalah 124,1667 (9.70395). sedangkan

rata-rata kecanduan facebook sesudah diberikan perlakuan

pada kelompok kontrol adalah 102.3333 (5.64506), dan pada

kelompok eksperimen 69.0000 (17.66352).


72

b. Perbedaan Hasil Kecanduan Facebook

Tabel 4.6

Distribusi Perbedaan Hasil Kecanduan Facebook Sebelum

Dan Setelah Diberi Perlakuan Pada Kelompok Eksperimen

Dan Kelompok Kontrol

Kecanduan
Kelompok facebook Mean ρ value
Kontrol Pretest 101.333 . 041
Posttest 102.333
Eksperimen Pretest 124.167 .00
Posttest 69

Berdasarkan tabel 4.6 menunjukan bahwa ada

perbedaan hasil test kecanduan facebook pada kedua

kelompok. Berdasarkan uji paired samples t test didapatkan

nilai p=0,000 dalam hal ini nilai p<0,05 pada kelompok

eksperimen dan nilai p=0,041 pada kelompok kontrol. Hal ini

berarti bahwa ada perbedaan bermakna antara nilai pada

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum dan

setelah diberikan perlakuan.

B. PEMBAHASAN

Alternatif bantuan yang dapat diberikan untuk membantu

kecanduan facebook pada siswa adalah dengan cara melakukan

konseling. Konseling merupakan suatu layanan yang bersifat

pencegahan dan penyembuhan menurut Juntika Nurihsan dalam

Kurnanto (2014). Dalam proses interaksi yang dilakukan antar

individu, akan terciptalah kelompok atau komunitas tertentu. Ada


73

kebiasaan bahwa orang berkumpul dalam suatu kelompok karena

mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama. Melalui kelompok,

individu mencapai tujuannya dan berhubungan dengan yang

lainnya dengan cara yang inovatif dan produktif menurut Kurnanto

(2014).

Menurut Ward (2006) dalam Kurnanto (2014) prosedur

kelompok dalam konseling dan psikoedukasi telah lama

dipertimbangkan dan digunakan oleh konselor sebagai metode

yang dipandang lebih bijaksana dalam membantu konseli.

Penelitian menunjukan bahwa penggunaan kelompok untuk

berbagai fungsi pendidikan dan konseling memberikan keuntungan

yang bermanfaat. Pendapat Ward (2006) sesuai dengan yang

dilakukan peneliti terlihat pada tabel 4.1 yang menunjukan bahwa,

dari 12 responden peneliti membagi kedalam dua kelompok yaitu

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol guna melihat

perbedaan hasil pretest posttest pada kedua kelompok.

Teknik self management sangat tepat digunakan dalam

menangani permasalahan kecanduan facebook. Hal ini sesuai

dengan pendapat yang dikemukakan Cormier & Cormier (1985)

dalam Hartono (2013) bahwa prosedur teknik self management

dapat meningkatkan kemampuan individu untuk mengendalikan

perilakunya, sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Trihandayani (2016) yang menunjukan bahwa layanan konseling

dengan teknik self management efektif digunakan untuk


74

mengurangi kecanduan game online pada peserta didik di

lampung.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Nurdjana Alamri bahwa bimbingan kelompok dengan teknik self

management dapat mengurangi perilaku terlambat masuk sekolah

pada siswa kelas x SMA N 1 Gebog tahun 2014/2015. Hasil

penelitian menunjukan bahwa pada prasiklus skor rata-rata adalah

41 menurun pada siklus 1 menjadi 28,63 dengan kategori cukup,

dan pada siklus 2 menjadi 13,13 atau sangat rendah dengan

kategori sangat baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Marina Sari dengan judul

Efektifitas efektifitas konseling kognitif perilaku dalam menangani

gangguan kecanduan media sosial pada peserta didik kelas VI MTs

N 1 Bandar Lampung tahun ajaran 2016/2017, hasilpenelitian

menunjukan bahwa skor rata-rata sebelum diberikan konseling

adalah 76,73 turun menjadi 65,60 setelah diberikan konseling.

Dari beberapa teori dan hasil penelitian di atas menunjukan

bahwa layanan konseling adalah efektif untuk digunakan dalam

menangani masalah karena layanan konseling bersifat pencegahan

dan penyembuhan, menurut Juntika Nurihsan dalam Kurnanto

(2014). Berdasarkan hasil penelitian dan hasil uji paired samples t

test didapatkan nilai ρ = 0,000 lebih kecil dari nilai α = 0,05 pada

kelompok eksperimen dan ρ = 0,041 pada kelompok kontrol. Dari


75

analisis tersebut dapat diartikan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima.

Hal itu berarti ada pengaruh pemberian layanan konseling

kelompok dengan teknik manajemen diri untuk mengurangi

kecanduan facebook pada peserta didik kelas XI Bahasa 2 SMA N

2 Maumere.
76

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan,

peneliti menyimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian layanan

konseling kelompok dengan teknik manajemen diri pada peserta

didik kelas XI Bahasa 2 SMA N 2 Maumere yang kecanduan

facebook dengan nilai ρ = 0,000.

B. Saran

1. Secara Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

sumbangan ilmu dalam bidang pendidikan khususnya

bimbingan dan konseling yaitu membantu peserta didik dalam

mengurangi kecanduan facebook.

2. Secara Aplikatif

a. Bagi Peserta Didik

Diharapkan dapat membantu mengurangi kecanduan

facebook pada peserta didik melalui layanan konseling

kelompok dan dapat lebih aktif mengikuti serangkaian

kegiatan layanan konseling kelompok.

b. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan


77

positif bagi sekolah, khususnya dalam mengurangi

kecanduan facebook peserta didik melalui layanan konseling

kelompok.

c. Bagi Guru Bimbingan Konseling

Dapat menambah pengetahuan guru bimbingan konseling

dalam melaksanakan layanan konseling kelompok di

sekolah terkait dengan gangguan kecanduan facebook pada

peserta didik, serta dapat dijadikan sebagai bahan masukan

guru pembimbing dalam memberikan layanan konseling

yang tepat terhadap peserta didik yang mengalami

gangguan kecanduan facebook.


78

DAFTAR PUSTAKA

1. Adeomalia. (2002). Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Kecanduan


Internet. Semarang.
2. Aulia, M. (2010). Hubungan Antara Kebutuhan Afiliasi Dengan
Kecanduan Facebook (Skripsi). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas
Islam Negeri.
3. Chaplin, J. . (2002). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada.
4. Compas, A. (2009). Efek Psikologis Facebook Bagi Kesehatan Mental.
tesedia di http:www.ubb.ac.id
5. Corey, G. (1995). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.
(Mulyarto, Ed.). Semarang: Semarang Press.
6. Donsu, J. D. T. (2016). Metodologi Penelitian Keperawatan.
Yogyakarta: Pustaka Baru.
7. E.Sarafino. (2006). Health Psychology:Biopsychosocial Interaction. (J.
Wiley, Ed.). New York.
8. Gantina, K. (2011). Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: Indek.
9. Handayani, T. (2016). Efektifitas Layanan Konseling Dengan Teknik
Self Manajemen Untuk Mengurangi Kecanduan Game Online Peserta
Didik Kelas VIII SMP N 11 (Skripsi). Lampung: Fakultas Tarbiyah Dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Raden Intan.
10. Hartono. (2012). Psikologi Konseling (Edisi Revi). Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
11. Ichsan, A. (2009). Facebook dan 10 situs gaul terpopuler. Jakarta:
PT.Kriya Pustaka.
12. Kurnanto, E. (2014). Konseling Kelompok. Bandung: CV.Alfabeta.
13. Kurniali, S. (2009). Step By Step Facebook. Jakarta: PT.Gramedia.
14. Nursalim, M. (2013). Strategi dan Intervensi Konseling. Jakarta:
Akademia Permata.
15. Pope, D. (2008). Potential Facebook Addiction. tersedia di
http:www.addictioninfo.org/articles.
16. Santjaka, A. (2015). Aplikasi SPSS Untuk Analisis Data Penelitian
Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
17. Santoso, I. (2013). Manajemen Data Untuk Analisis Data Penelitian
Kesehatan. Yogyakarta: Gosyen Publising.
18. Santoso, T. (2013). Perilaku Kecanduan Permainan Internet & Faktor
Penyebabnya Pada Siswa Kelas VIII Di SMP Negeri 1 Jatisrono.
Wonogiri: http://lib.unnes.ac.id.
19. Sari, M. (2017). Efektifitas Konseling Kognitif Perilaku Dalam
Menangani Gangguan Kecanduan Media Sosial Para Peserta Didik
(Skripsi). Lampung: Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Raden Intan.
20. Singgih, G. (1995). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Jakarta: BPK.Gunung Mulia.
79

21. Sofiana, A. (2016). Peranan Guru Aqidah Akhlak Dalam


Menanggulangi Dampak Negatif Facebook Terhadap Akhlak Siswa Di
Man Salatiga (Skripsi). Salatiga: Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu-Ilmu
Keguruan Institute Agama Islam Negeri.
22. Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:
CV.Alfabeta.
23. Sukardi. (2008). Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta:
Rineke Cipta.
24. Syukur, Y. (2009). Facebook:Sebelah Surga Sebelah Neraka.
Jogyakarta: Diva Press.
25. Tohirin. (2007). Bimbingan dan konseling di sekolah dan madrasah.
Jakarta: PT.Grafindo Persada.
26. Winda, J. (2012). Be a smart & good facebookers. Jakarta:
PT.Elekmedia Komputindo.
27. Young, K. (1998). What is Internet Addiction? tersedia di
http://www.netaddiction.com.

Anda mungkin juga menyukai