Anda di halaman 1dari 21

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Saat ini isu penting dan global dalam Pelayanan Kesehatan adalah Keselamatan
Pasien (Patient Safety). Isu ini praktis mulai dibicarakan kembali pada tahun 2000-an, sejak
laporan dan Institute of Medicine (IOM) yang menerbitkan laporan: to err is human,
building a safer health system. Laporan itu mengemukakan penelitian di rumah sakit di
Utah dan Colorado serta New York. Di Utah dan Colorado ditemukan KTD (Adverse Event)
sebesar 2.9%, dimana 6.6% diantaranya meninggal. Sedangkan di New York KTD adalah
sebesar 3.7% dengan angka kematian 13.6%. Angka kematian akibat KTD pada pasien
rawat inap diseluruh Amerika yang berjumlah 33.6 juta pertahun sberkisar 44.000 – 98.000
per tahun. Publikasi WHO pada tahun 2004, mengumpulkan angka-angka penelitian rumah
sakit di berbagai Negara : Amerika, Inggis, Denmark dan AuStandardalia, ditemukan KTD
dengan rentan 3.2 – 16.6%. dengan data tersebut, berbagai Negara segera melakukan
penelitian dan mengembangan Sistem Keselamatan Pasien.Keselamatan pasien adalah suatu
disiplin baru dalam pelayanan kesehatan yang mengutamakan pelaporan, analisis, dan
pencegahan medical error yang sering menimbulkan Kejadian Tak Diharapkan (KTD)
dalam pelayanan kesehatan. Frekuensi dan besarnya KTD tak diketahui secara pasti sampai
era 1990-an, ketika berbagai Negara melaporkan dalam jumlah yang mengejutkan pasien
cedera dan meninggal dunia akibat medical error. Menyadari akan dampak error pelayanan
kesehatan terhadap 1 dari 10 pasien di seluruh dunia maka World Health Organization
(WHO) menyatakan bahwa perhatian terhadap Keselamatan Pasien sebagai suatu endemis.
Organisasi kesehatan dunia WHO juga telah menegaskan pentingnya keselamatan dalam
pelayanan kepada pasien: “Safety is a fundamental principle of patient care and a critical
component of quality management.” (World Alliance for Patient Safety, Forward
Programme WHO, 2004), sehubungan dengan data KTD di Rumah Sakit di berbagai negara
menunjukan angka 3 – 16% yang tidak kecil.
BAB II KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT

I. Keselamatan pasien dan manajemen risiko klinis

Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal
yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar
dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya
risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(Kemenkes RI, 2011). Risiko adalah “peristiwa atau keadaan yang mungkin terjadi yang
dapat berpengaruh negatif terhadap perusahaan.”. Pengaruhnya dapat berdampak terhadap
kondisi :
 Sumber Daya (human and capital)
 Produk dan jasa , atau
 Pelanggan,
 Dapat juga berdampak eksternal terhadap masyarakat,pasar atau lingkungan.
Risiko adalah “fungsi dari probabilitas (chance, likelihood) dari suatu kejadian yang tidak
diinginkan, dan tingkat keparahan atau besarnya dampak dari kejadian tersebut.

Risk = Probability (of the event) X Consequence

Risiko di Rumah Sakit:


1) Risiko klinis adalah semua isu yang dapat berdampak terhadap pencapaian
pelayanan pasien yang bermutu tinggi, aman dan efektif.
2) Risiko non klinis/corporate risk adalah semua issu yang dapat berdampak terhadap
tercapainya tugas pokok dan kewajiban hukum dari rumah sakit sebagai korporasi.
Kategori risiko di rumah sakit (Categories of Risk) :
1) Patient care-related risks
2) Medical staff-related risks
3) Employee-related risks
4) Property-related risks
5) Financial risks
6) Other risks

Resiko klinis yang didapat oleh pasien dirumah sakit dapat bersumber dari kondisi
penyakit pasien itu sendiri (Resiko Medis) atau dapat juga bersumber dari kondisi diluar
dari kondisi penyakit yang diderita pasien selama dirawat di Rumah Sakit (Resiko Non
Medis). Resiko Medis adalah resiko yang timbul akibat intervensi ataupun akibat tidak
melakukan intervensi yang seharusnya dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan sehingga
menimbulkan keadaan kejadian yang tak diharapkan, kejadian nyaris cedera, kecacatan, atau
kematian. Resiko Non Medis adalah resiko yang diakibatkan kondisi sarana dan prasarana
rumah sakit yang dapat membahayakan pasien seperti tempat tidur yang tidak punya
pelindung untuk pasien anak, dan pasien tidak sadarkan diri, atau akibat dari lantai yang
licin dsb.
Manajemen risiko adalah pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi, menilai dan
menyusun prioritas risiko, dengan tujuan untuk menghilangkan atau meminimalkan
dampaknya. Manajemen risiko rumah sakit adalah kegiatan berupa identifikasi dan evaluasi
untuk mengurangi risiko cedera dan kerugian pada pasien, karyawan rumah sakit,
pengunjung dan organisasinya sendiri (The Joint Commission on Accreditation of
Healthcare Organizations/JCAHO). Manajemen Risiko Terintegrasi adalah proses
identifikasi, penilaian, analisis dan pengelolaan semua risiko yang potensial dan kejadian
keselamatan pasien. Manajemen risiko terintegrasi diterapkan terhadap semua jenis
pelayanan dirumah sakit pada setiap level. Jika risiko sudah dinilai dengan tepat, maka
proses ini akan membantu rumah sakit, pemilik dan para praktisi untuk menentukan
prioritas dan perbaikan dalam pengambilan keputusan untuk mencapai keseimbangan
optimal antara risiko, keuntungan dan biaya.
Dalam praktek, manajemen risiko terintegrasi berarti:
1) Menjamin bahwa rumah sakit menerapkan sistem yang sama untuk mengelola
semua fungsi-fungsi manajemen risikonya, seperti patient safety, kesehatan dan
keselamatan kerja, keluhan, tuntutan (litigasi) klinik, litigasi karyawan, serta risiko
keuangan dan lingkungan.
2) Jika dipertimbangkan untuk melakukan perbaikan, modernisasi dan clinical
governance, manajemen risiko menjadi komponen kunci untuk setiap desain proyek
tersebut.
3) Menyatukan semua sumber informasi yang berkaitan dengan risiko dan keselamatan,
contoh: “data reaktif” seperti insiden patient safety, tuntutan litigasi klinis, keluhan,
dan insiden kesehatan dan keselamatan kerja, “data proaktif” seperti hasil dari
penilaian risiko; menggunakan pendekatan yang konsisten untuk pelatihan,
manajemen, analisis dan investigasi dari semua risiko yang potensial dan kejadian
aktual.
4) Menggunakan pendekatan yang konsisten dan menyatukan semua penilaian risiko
dari semua jenis risiko di rumah sakit pada setiap level.
5) Memadukan semua risiko ke dalam program penilaian risiko dan risk register
6) Menggunakan informasi yang diperoleh melalui penilaian risiko dan insiden untuk
menyusun kegiatan mendatang dan perencanaan Standardategik.
II. Identifikasi risiko

Identifikasi risiko adalah usaha mengidentifikasi situasi yang dapat menyebabkan


cedera, tuntutan atau kerugian secara finansial. Identifikasi akan membantu langkah-
langkah yang akan diambil manajemen terhadap risiko tersebut.

InStandardument:
1. Laporan Kejadian-Kejadian(KTD+KNC+Kejadian Sentinel+dan lain-lain)
2. Review Rekam Medik (Penyaringan Kejadian untuk memeriksa dan mencari
penyimpangan-penyimpangan pada praktik dan prosedur)
3. Pengaduan (Complaint) pelanggan
4. Survey/Self Assesment, dan lain-lain

Pendekatan terhadap identifikasi risiko meliputi:


 Brainstorming
 Mapping out proses dan prosedur perawatan atau jalan keliling dan menanyakan
kepada petugas tentang identifikasi risiko pada setiap lokasi.
 Membuat checklist risiko dan menanyakan kembali sebagai umpan balik
Penilaian Resiko (Risk Assesment) merupakan proses untuk membantu organisasi menilai
tentang luasnya risiko yang dihadapi, kemampuan mengontrol frekuensi dan dampak risiko.
Rumah Sakit harus mempunyai Standard yang berisi Program Risk Assessment tahunan,
yakni Risk Register:
1. Risiko yang teridentifikasi dalam 1 tahun
2. Informasi Insiden Keselamatan Pasien, klaim litigasi dan komplain, investigasi
eksternal & internal, external assessments dan Akreditasi
3. Informasi potensial risiko maupun risiko aktual (menggunakan RCA&FMEA)
Penilaian risiko Harus dilakukan oleh seluruh staf dan semua pihak yang terlibat termasuk
Pasien dan Publik dapat terlibat bila memungkinkan. Area yang dinilai:
1. Operasional
2. Finansial
3. Sumber daya manusia
4. Standardategik
5. Hukum/Regulasi
6. Teknologi

Manfaat manajemen risiko terintegrasi untuk rumah sakit


1. Informasi yang lebih baik sekitar risiko sehingga tingkat dan sifat risiko terhadap pasien
dapat dinilai dengan tepat.
2. Pembelajaran dari area risiko yang satu, dapat disebarkan di area risiko yang lain.
3. Pendekatan yang konsisten untuk identifikasi, analisis dan investigasi untuk semua
risiko, yaitu menggunakan RCA.
4. Membantu rumah sakit dalam memenuhi Standard-Standard terkait, serta kebutuhan
clinical governance.
5. Membantu perencanaan Rumah Sakit menghadapi ketidakpastian, penanganan dampak
dari kejadian yang tidak diharapkan, dan meningkatkan keyakinan pasien dan
masyarakat.

Risk Assessment Tools


 Risk Matrix Grading
 Root Cause Analysis
 Failure Mode and Effect Analysis

Mengacu kepada Standard keselamatan pasien, maka rumah sakit harus mendisain
(merancang) proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitoring dan
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif Kejadian
Tidak Diharapkan (KTD), dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta
keselamatan pasien. Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi dan tujuan
rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktek
bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi resiko bagi pasien dengan “Tujuh
Langkah Keselamatan Pasien Rumah Sakit”

2.1. Manajemen Risiko


2.1.1. Pengertian Manajemen Risiko

Manajemen risiko K3 adalah suatu upaya mengelola risiko K3 untuk

mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan secara komprehensif,

terencana dan terstruktur dalam suatu kesisteman yang baik. Manajemen risiko K3

berkaitan dengan bahaya dan risiko yang ada di tempat kerja yang dapat

menimbulkan kerugian bagi peusahaan (Ramli, 2010).

Tujuan dari manajemen risiko adalah minimisasi kerugian dan

meningkatkan kesempatan ataupun peluang. Bila dilihat terjadinya kerugian

dengan teori accident model dari ILCI, maka manajemen risiko dapat memotong

mata rantai kejadian kerugian tersebut, sehingga efek dominonya tidak akan
terjadi. Pada dasarnya manajemen risiko bersifat pencegahan terhadap terjadinya

kerugian maupun „accident’.

Menurut AS/NZS 4360 Risk Management Standard, manajemen risiko

adalah “the culture, process, and structures that are directed towards the effective

management of potential opportunities and adserve effects”. Menurut standar

AS/NZS 4360 tentang standar manajemen risiko ( Ramli, 2010)

Menurut Smith (1990 dikutip dalam Anonim 2009) Manajemen Resiko

didefinisikan sebagai proses identifikasi, pengukuran,dan kontrol keuangan dari

sebuah resiko yang mengancam aset dan penghasilan dari sebuah perusahaan atau

proyek yang dapat menimbulkan kerusakan atau kerugian pada perusahaan

tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Clough and Sears (1994 dikutip dalam Anonim 2009),

Manajemen risiko didefinisikan sebagai suatu pendekatan yang komprehensif

untuk menangani semua kejadian yang menimbulkan kerugian.

Menurut William, et.al (1995 dikutip dalam Anonim 2009) Manajemen

risiko juga merupakan suatu aplikasi dari manajemen umum yang mencoba untuk

mengidentifikasi, mengukur, dan menangani sebab dan akibat dari ketidakpastian

pada sebuah organisasi.

Dorfman (1998 dikutip dalam Anonim 2009) Manajemen risiko dikatakan

sebagai suatu proses logis dalam usahanya untuk memahami eksposur terhadap

suatu kerugian.

Pelaksanaan manajemen risiko haruslah menjadi bagian integral dari

pelaksanaan sistem manajemen perusahaan/ organisasi. Proses manajemen risiko

Ini merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk terciptanya
perbaikan berkelanjutan (continuous improvement). Proses manajemen risiko juga

sering dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi.

Manajemen risiko adalah metode yang tersusun secara logis dan sistematis

dari suatu rangkaian kegiatan: penetapan konteks, identifikasi, analisa, evaluasi,

pengendalian serta komunikasi risiko.

Proses ini dapat diterapkan di semua tingkatan kegiatan, jabatan, proyek,

produk ataupun asset. Manajemen risiko dapat memberikan manfaat optimal jika

diterapkan sejak awal kegiatan. Walaupun demikian manajemen risiko seringkali

dilakukan pada tahap pelaksanaan ataupun operasional kegiatan.

Sesuai persyaratan OHSAS 18001, organisai harus menetapkan prosedur

mengenai identifikasi bahaya (Hazards identification), penilaian risiko (Risk

Universitas Sumatera Utara

Assessment), dan menentukan pengendaliannya (Risk Control) atau disingkat

HIRARC.

2.1.2. Manfaat manajemen risiko

a. Menjamin kelangsungan usaha dengan mengurangi risiko dari setiap

kegiatan yang mengandung bahaya

b. Menekan biaya untuk penanggulangan kejadian yang tidak diinginkan

c. Menimbulkan rasa aman dikalangan pemegang saham mengenai

kelangsungan dan keamanan investasinya

d. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran mengenai risiko operasi bagi

setiap unsur dalam organisasi/ perusahaan

e. Memenuhi persyaratan perundangan yang berlaku (Ramli, Soehatman,

2010).

2.2. Kecelakaan Kerja


2.2.1. Pengertian Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang jelas tidak dikehendaki dan

sering kali tidak terduga semula yang dapat menimbulkan kerugian baik waktu,

harta benda atau properti maupun korban jiwa yang terjadi di dalam suatu proses

kerja industri atau yang berkaitan dengannya. (Tarwaka, 2008).

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : 03 /MEN/1998

tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan bahwa yang dimaksud

dengan kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak

diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda.

Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak

diinginkan yang merugikan terhadap manusia, merusak harta benda atau kerugian

terhadap proses. Kecelakaan kerja juga dapat didefinisikan suatu kejadian yang

Universitas Sumatera Utara

tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban

manusia dan atau harta benda (Suma‟mur, 2009).

Secara umum kecelakaan selalu diartikan sebagai “kejadian yang

tidakdapat diduga”. Sebenarnya setiap kecelakaan kerja itu dapat diramalkan

ataudiduga dari semula jika perbuatan dan kondisi tidak memenuhi persyaratan.

Olehkarena itu, kewajiban berbuat secara selamat dan mengatur peralatan

sertaperlengkapan produksi sesuai dengan standar kewajiban oleh UU ini

(Bennet,Silalahi N.B 1984).

Menurut Silalahi (1991) kecelakaan kerja dapat didefinisikan sebagai

setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat yang dapat mengakibatkan

kecelakaan. Foressman (1973) mendefinisikan bahwa kecelakaan kerja adalah

terjadinya suatu kejadian akibat kontak antara ernegi yang berlebihan (agent)

secara akut dengan tubuh yang menyebabkan kerusakan jaringan/organ atau

fungsi faali.
Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan yang berhubungan dengan

hubungan kerja pada perusahaan. Hubungan kerja di sini dapat berarti bahwa

kecelakaan terjadi disebabkan oleh pekerjaan atau pada waktu melaksanakan

pekerjaan. Maka dalam hal ini, terdapat dua permasalahan penting, yaitu :

a. Kecelakaan adalah akibat langsung pekerjaan, atau

b. Kecelakaan terjadi pada saat pekerjaan sedang dilakukan

Word Health Organization (WHO) mendefinisikan kecelakaan kerja

sebagai suatu kejadian yang tidak dapat dipersiapkan penanggulangan

sebelumnya, sehingga menghasilkan cidera yang riil.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Penyebab Kecelakaan Kerja

Menurut Ramli (2010) kecelakaan kerja merupakan salah satu masalah

yang besar di perusahaan dan banyak menimbulkan kerugian. Menurut statistik

85% penyebab kecelakaan adalah tindakan yang berbahaya (unsafe act) dan 15%

disebabkan oleh kondisi yang berbahaya (unsafe condition). Secara garis besar

sebab-sebab kecelakaan adalah :

Kondisi yang berbahaya (unsafe condition) yaitu faktor-faktor lingkungan

fisik yang dapat menimbulkan kecelakaan seperti mesin tanpa pengaman,

penerangan yang kurang baik, Alat Pelindung Diri (APD) tidak efektif, lantai

yang berminyak, dan lain-lain.

Tindakan yang berbahaya (unsafe act) yaitu perilaku atau kesalahan-

kesalahan yang dapat menimbulkan kecelakaan seperti cerobah, tidak memakai

alat pelindung diri, dan lain-lain, hal ini disebabkan oleh gangguan kesehatan,
gangguan penglihatan, penyakit, cemas serta kurangnya pengetahuan dalam

proses kerja, cara kerja, dan lain-lain.

Banyak faktor yang dapat menjadi penyebab kecelakaan kerja. Ada faktor

yang merupakan unsur tersendiri dan beberapa diantaranya adalah faktor yang

menjadi unsur penyebab bersama-sama.

2.2.3. Teori Penyebab Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja merupakan suatu hal yang sering terjadi dalam dunia

kerja, terjadinya kecelakaan kerja ini dapat kita pelajari dan

diupayakan pencegahannya. Adapun beberapa teori mengenai penyebab

kecelakaan kerja, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1. Teori Heinrich ( Teori Domino)

Teori ini mengatakan bahwa suatu kecelakaan terjadi dari suatu rangkaian

kejadian . Ada lima faktor yang terkait dalam rangkaian kejadian tersebut yaitu

: lingkungan, kesalahan manusia, perbuatan atau kondisi yang tidak aman,

kecelakaan, dan cedera atau kerugian ( Ridley, 2004).

2. Teori Domino terbaru

Setelah tahun 1969 sampai sekarang, telah berkembang suatu teori yang

mengatakan bahwa penyebab dasar terjadinya kecelakaan kerja adalah

ketimpangan manajemen. Widnerdan Bird dan Loftus mengembangkan teori

Domino Heinrich untuk memperlihatkan pengaruh manajemen dalam

mengakibatkan terjadinya kecelakaan.

3. Teori Frank E. Bird Petersen


Penelusuran sumber yang mengakibatkan kecelakaan. Bird mengadakan

modifikasi dengan teori domino Heinrich dengan menggunakan teori manajemen,

yang intinya sebagai berikut:

a. Manajemen kurang kontrol

b. Sumber penyebab utama

c. Gejala penyebab langsung (praktek di bawah standar)

d. Kontak peristiwa (kondisi di bawah standar)

e. Kerugian gangguan (tubuh maupun harta benda)

Usaha pencegahan kecelakaan kerja hanya berhasil apabila dimulai dari

mmperbaiki manajemen tentang keselamatan dan kesehatan kerja. Kemudian,

praktek dan kondisi di bawah standar merupakan penyebab terjadinya

Universitas Sumatera Utara

suatukecelakaan dan merupakan gejala penyebab utama akibat kesalahan

manajemen (Soekidjo, 2010).

2.2.4. Klasifikasi Kecelakaan Kerja

Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Tahun 1989,

kecelakaan akibat kerja ini diklasifikasikan berdasarkan 4 macam penggolongan,

yakni:

1. Klasifikasi menurut jenis kecelakaan :

a. Terjatuh

b. Tertimpa benda

c. Tertumbuk atau terkena benda-benda

d. Terjepit oleh benda


e. Gerakan-gerakan melebihi kemampuan

f. Pengaruh suhu tinggi

g. Terkena arus listrik

h. Kontak bahan-bahan berbahaya atau radiasi

2. Klasifikasi menurut penyebab :

a. Mesin, misalnya mesin pembangkit tenaga listrik

b. Alat angkut: alat angkut darat, udara, dan air

c. Peralatan lain misalnya dapur pembakar dan pemanas, instalasi pendingin,

alat-alat listrik, dan sebagainya

d. Bahan-bahan,zat-zat dan radiasi, misalnya bahan peledak,gas, zat-zat

kimia, dan sebagainya

e. Lingkungan kerja ( diluar bangunan, di dalam bangunan dan di bawah

tanah )

Universitas Sumatera Utara

f. Penyebab lain yang belum masuk tersebut di atas

3. Klasifikasi menurut sifat luka atau kelainan :

a. Patah tulang

b. Dislokasi ( keseleo )

c. Regang otot (urat)

d. Memar dan luka dalam yang lain

e. Amputasi

f. Luka di permukaan

g. Geger dan remuk

h. Luka bakar
i. Keracunan-keracunan mendadak

j. Pengaruh radiasi

k. Lain-lain

4. Klasifikasi menurut letak kelainan atau luka di tubuh :

a. Kepala

b. Leher

c. Badan

d. Anggota atas

e. Anggota bawah

f. Banyak tempat

g. Letak lain yang tidak termasuk dalam klasifikasi tersebut.

2.2.5. Dampak Kecelakaan Kerja

Berikut ini merupakan penggolongan dampak dari kecelakaan kerja :

1. Meninggal dunia

Universitas Sumatera Utara

Dalam hal ini termasuk kecelakaan yang paling fatal yang menyebabkan

penderita meninggal dunia walaupun telah mendapatkan pertolongan dan

perawatan sebelumnya.

2. Cacat permanen total

Merupakan cacat yang mengakibatkan penderita secara permanen tidak

mampu lagi sepenuhnya melakukan pekerjaan produktif karena kehilangan

atau tidak berfungsinya lagi bagian-bagian tubuh seperti: kedua mata, satu

mata adan satu tangan atau satu lengan atau satu kaki. Dua bagian tubuh

yang tidak terletak pada satu ruas tubuh.

3. Cacat permanen sebagian


Cacat yang mengakibatkan satu bagian tubuh hilang atau terpaksa

dipotong atau sama sekali tidak berfungsi.

4. Tidak mampu bekerja sementara

Kondisi sementara ini dimaksudkan baik ketika dalam masa pengobatan

maupun karena harus beristirahat menunggu kesembuhan, sehingga ada

hari-hari kerja hilang dalam arti yang bersangkutan tidak melakukan kerja

produktif.

2.2.6. Pencegahan Kecelakaan Kerja

Kecelakaan-kecelakaan akibat kerja dapat dicegah dengan :

1. Perundang-undangan, yaitu ketentuan-ketentuan yang diwajibkan

mengenai kondisi-kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, konstruksi,

perawatan dan pemeliharaan, pengawasan, pengujian dan cara kerja

peralatan industri, tugas-tugas pengusaha dan buruh, latihan, supervisi

medis dan pemeriksaan kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

2. Standarisasi, yaitu penetapan standar-standar resmi, setengah resmi atau

tidak resmi mengenai misalnya konstruksi yang memenuhi syarat-syarat

keselamatan jenis-jenis peralatan industri tertentu, praktek-praktek

keselamatan dan higiene umum atau alat-alat perlindungan diri.

3. Pengawasan, yaitu pengawasan tentang dipatuhinya ketentuan-ketentuan

perundang-undangan yang diwajibkan.

4. Penelitian bersifat teknik, yang meliputi sifat dan ciri-ciri, bahan-bahan

yang berbahaya, penyelidikan tentang pagar pengaman, pengujian alat-alat

perlindungan diri, penelitian tentang pencegahan peledakan gas dan debu


atau penelaahan tentang bahan-bahan dan desain paling tepat untuk

tambang-tambang pengangkatan dan peralatan pengangkat lainnya.

5. Riset medis, yang meliputi terutama penelitian tentang efek-efek fisiologis

dan patologis faktor-faktor lingkungan dan teknologis, dan keadaan-

keadaan fisik yang mengakibatkan kecelakaan.

6. Penelitian psikologis, yaitu penyelidikan tentang pola-pola kejiwaan yang

menyebabkan terjadinya kecelakaan.

7. Penelitian secara statistik, untuk menetapkan jenis-jenis kecelakaan yang

terjadi, banyaknya, mengenai siapa saja, dalam pekerjaan apa dan apa

sebab-sebabnya.

8. Pendidikan, yang menyangkut pendidikan keselamatan dalam kurikulum

teknik, sekolah-sekolah perniagaan atau kursus-kursus pertukangan.

9. Latihan-latihan, yaitu latihan praktek bagi tenaga kerja, khususnya tenaga

kerja yang baru dalam keselamatan kerja.

Universitas Sumatera Utara

10. Penggairahan, yaitu penggunaan aneka cara penyuluhan atau pendekatan

lain untuk menimbulkan sikap untuk selamat.

11. Asuransi, yaitu insentif finansial untuk meningkatkan pencegahan

kecelakaan misalnya dalam bentuk pengurangan premi yang dibayar oleh

perusahaan, jika tindakan-tindakan keselamatan sangat baik.

2.3. Proses Manajemen Risiko

Mengelola risiko harus dilakukan secara komprehensif melalui pendekatan

manajemen risiko sebagaimana terlihat dalam Risk Management Standard

AS/NZS 4360, yang meliputi:


a. Penentuan konteks kegiatan yang akan dikelola risikonya

b. Identifikasi risiko,

c. Analisis risiko,

d. Evaluasi risiko,

e. Pengendalian risiko,

f. Pemantauan dan telaah ulang,

g. Koordinasi dan komunikasi.

a. Menentukan Konteks

Dalam menentukan konteks dilakukan dengan cara melihat visi misi

perusahaan, ruang lingkup bisnis perusahaan mulai dari proses kerja awal sampai

akhir. Hal ini dilakukan karena konteks risiko disetiap perusahaan berbeda-beda

sesuai dengan kegiatan bisnis yang dilakukan. Kemudian langkah selanjutnya

adalah menetapkan kriteria risiko yang berlaku untuk perusahaan berdasarkan

aspek nilai kerugian yang dapat ditanggulangi oleh perusahaan. Kriteria risiko

didapat dari kombinasi kriteria tingkat kemungkinan dan keparahan

Universitas Sumatera Utara

b. Identifikasi Risiko

Identifikasi bahaya adalah salah satu tahapan dari manajemen risiko k3

yang bertujuan untuk mengetahui semua potensi bahaya yang ada pada suatu

kegiatan kerja/ proses kerja tertentu. Identifikasi bahaya memberikan berbagai

manfaat antara lain :

a.Mengurangi peluang kecelakaan karena dengan melakukan identifikasi dapat

diketahui faktor penyebab terjadinya keceakaan,

b.Untuk memberikan pemahaman bagi semua pihak mengenai potensi bahaya

yang ada dari setiap aktivitas perusahaan, sehingga dapat meningkatkan


pengetahuan karyawan untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran akan

safety saat bekerja,

c.Sebagai landasan sekaligus masukan untuk menentukan strategi pencegahan dan

penanganan yang tepat, selain itu perusahaan dapat memprioritaskan tindakan

pengendalian berdasarkan potensi bahaya tertinggi.

d.Memberikan informasi yang terdokumentasi mengenai sumber bahaya dalam

perusahaan.

Cara melakukan identifikasi bahaya adalah :

1. Tentukan pekerjaan yang akan diidentifikasi

2. Urutkan langkah kerja mulai dari tahapan awal sampai pada tahap akhir

pekerjaan.

3. Kemudian tentukan jenis bahaya apa saja yang terkandung pada setiap

tahapan tersebut, dilihat dari bahaya fisik, kimia, mekanik, biologi, ergonomic,

psikologi, listrik dan kebakaran.

Universitas Sumatera Utara

4. Setelah potensi bahaya diketahui, maka tentukan dampak/kerugian yang dapat

ditimbulkan dari potensi bahaya tersebut. Dapat menggunakan metode What-If.

5. Kemudian catat dalam tabel, semua keterangan yang didapat.

Salah satu metoda yang dapat digunakan dalam melakukan identifikasi bahaya

adalah dengan membuat Job Safety Analysis/Job Hazard Analysis. Selain JSA,

ada beberapa teknik yang dapat dipakai seperti (Fault Tree Analysis) FTA, (Event

Tree Analysis) ETA, (Failure Mode and Effect Analysis) FMEA, (Hazards and

Operability Study) Hazop, (Preliminary Hazards Analysis) PHA, dll.

c. Analisis Risiko
Setelah semua risiko dapat diidentifikasi, dilakukan penilaian risiko

melalui analisa risiko dan evaluasi risiko. Analisa risiko dimaksudkan untuk

menentukan besarnya suatu risiko dengan mempertimbangkan kemungkinan

terjadinya dan besarnya akibat yang ditimbulkan. Berdasarkan hasil analisa dapat

ditentukan peringkat risiko sehingga dapat dilakukan pemilahan risiko yang

memiliki dampak besar terhadap perusahaan dan risiko ringan atau dapat

diabaikan.

d. Evaluasi Risiko

Membandingkan tingkat risiko yang ada dengan kriteria standar. Setelah

itu tingkatan risiko yang ada untuk beberapa hazards dibuat tingkatan prioritas

manajemennya. Jika tingkat risiko ditetapkan rendah, maka risiko tersebut masuk

ke dalam kategori yang dapat diterima dan mungkin hanya memerlukan

pemantauan saja tanpa harus melakukan pengendalian.

Universitas Sumatera Utara

e. Pengendalian Risiko

Melakukan penurunan derajat probabilitas dan konsekuensi yang ada

dengan menggunakan berbagai alternatif metode, bisa dengan transfer risiko, dan

lain-lain.

f. Pemantauan dan telaah ulang

Pemantauan dan telaah ulang terhadap hasil sistem manajemen risiko yang

dilakukan serta mengidentifikasi perubahan-perubahan yang perlu dilakukan.

g. Koordinasi dan komunikasi


Koordinasi dan komunikasi dengan pengambil keputusan internal dan
eksternal untuk tindak lanjut dari hasil manajemen risiko yang dilakukan.
2.4. Penilaian Risiko

Setelah semua tahapan kerja diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah

melakukan penilaian risiko untuk menentukan besarnya tingkatan risiko yang ada.

Penilaian risiko bertujuan untuk memberikan makna terhadap suatu

bahaya yang terindentifikasi untuk memberikan gambaran seberapa besar risiko

tersebut. Sehingga dapat diambil tindakan lanjutan terhadap bahaya yang

teridentifikasi, apakah bahaya itu dapat diterima atau tidak.

Dalam menilai suatu risiko berbagai standart dapat kita gunakan sebagai

acuan, salah satu diantaranya adalah standart AS/NZS 4360 yang membuat matrik

atau peringkat risiko sebagai berikut :

1. E : Extreme Risk ( kegiatan tidak boleh dilaksanakan atau dilanjutkan dan

pengendalian )

2. H : High Risk ( kegiatan tidak boleh dilaksanakan atau dilanjutkan dan

pengendalian )

3. M : Moderat Risk ( perlu tindakan untuk mengurangi risiko)

Universitas Sumatera Utara


4. L : Low Risk ( risiko masih dapat ditoleransi oleh
perusahaan ).

Matrik atau peringkat risiko sebaiknya dikembangkan sendiri

oleh perusahaan sesuai dengan kondisi masing-masing. Hal ini

dikarenakan setiap perusahaan memiliki berbagai potensi bahaya dan

risiko kecelakaan kerja yang sangat beragam (Ramli, 2010).

Analisa ini dilakukan berdasarkan konteks yang telah

ditentukan oleh perusahaan, seperti nilai tingkat kemungkinan, nilai

tingkat keparahan, dan nilai tingkat risiko . Cara melakukan analisa

adalah :

1. Lakukan analisa dari setiap langkah kerja yang telah

diidentifikasi pada tahapan identifikasi bahaya.

2. Mengukur tingkat kemungkinan terjadinya incident dari

setiap tahapan kegiatan yang dilakukan berdasarkan acuan konteks

yang telah ditentukan pada tabel 1.

3. Mengukur tingkat keparahan yang dapat ditimbulkan dari

setiap potensi bahaya pada setiap tahapan kerja yang telah

diidentifikasi. Ukuran tingkat keparahan ditentukan berdasarkan

acuan konteks yang telah dibuat pada tabel 2.

4. Setelah tingkatan kemungkinan dan keparahan diketahui,

lakukan perhitungan menggunakan rumus berikut untuk mengetahui

nilai risikonya :

5. Membuat
matriks risiko.

19
20
21

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. 2008, Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit


(Patient Safety), 2 edn, Bakti Husada, Jakarta.

2. _____. 2008, Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP)


(Patient Safety Incident Report), 2 edn, Bakti Husada, Jakarta.

3. IOM, 2000. To Err Is Human: Building a Safer Health System


http://www.nap.edu/catalog/9728.html

4. ___, 2004. Patient Safety: Achieving a New Standardd for Care


http://www.nap.edu/catalog/10863.html

5. Kemkes RI. 2010. Pedoman Teknis Fasilitas Rumah Sakit Kelas B. Pusat
Sarana, Prasarana dan Peralatan Kesehatan, Sekretariat Jenderal,
KEMKES-RI

6. Manojlovich, M, et al 2007, ‘Healthy Work Environment, Nurse-Phycisian


Communication, and Patient’s Outcomes’, American Journal of Critical
Care vol. 16, pp. 536-43.

7. Millar, J, et al 2004, ‘Selecting Indicators for Patient Safety at the Health


Systems Level in OECD Countries’. DELSA/ELSA/WD/HTP, Paris,
OECD Health Technical Paper.

8. Pallas, LOB, et al 2005, Nurse-Physician Relationship Solutions and


Recomendation for Change, Nursing Health Services Research Unit,
Ontario. database.

9. Parwijanto, H 2008, ‘Kajian Komunikasi Dalam Organisasi’, in Perilaku


Organisasi. uns.ac.id, Jakarta, 10 Desember 2009.

10. Robbins, SP 2003, Perilaku Organisasi, 10 edn, PT. Indeks Gramedia,


Jakarta.

11. Vazirani, S, et al 2005, ‘Effect of A Multidicpinary Intervention on


Communication and Collaboratoriumoration’, American Journal of
Critical Care, Proquest Science Journal, vol. 14, p. 71.

12. Wakefield, JG & Jorm, CM 2009, ‘Patient Safety – a balanced


measurements framework’, AuStandardalian Health Review, vol. 33, no. 3.

13. Yahya, A. 2009 Integrasikan Kegiatan Manajemen Risiko. Workshop


Keselamatan Pasien & Manajemen Risiko Klinis. PERSI: KKP-RS

Anda mungkin juga menyukai