Anda di halaman 1dari 2

2.

Learner-centered design

Sebagai reaksi sekaligus penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan subject centered design
berkembang learner centered design. Desain ini berbeda dengan subject centered, yang bertolak
dari cita-cita untuk melestarikan dan mewariskan budaya, dan karena itu mereka mengutamakan
peranan isi dari kurikulum.

Learner centered, memberi tempat utama kepada peserta didik. Guru atau pendidik hanya berperan
menciptakan situasi belajar-mengajar, mendorong dan memberikan bimbingan sesuai dengan
kebutuhan peserta didik.

Ada dua ciri utama yang membedakan desain model learner centred dengan subject centered.
Pertama, learner centered design mengembangkan kurikulum dengan bertolak dari peserta didik dan
bukan dari isi. Kedua, learner centered bersifat not-preplanned (kurikulum tidak diorganisasikan
sebelumnya) tetapi dikembangkan bersama antara guru dengan siswa dalam penyelesaian tugas-
tugas pendidikan.

Ada beberapa variasi model ini yaitu the activity atau experience design, humanistic design, the
open, free design, dan lain-lain. Pada tulisan ini akan dikemukakan sebagian saja.

a. The Activity atau Experience Design Model desain ini berawal pada abad 18, atas hasil karya
dari Rousseau dan Pestalozzi, yang berkembang pesat pada tahun 1920/1930-an pada masa
kejayaan Pendidikan Progresif.

Berikut beberapa ciri utama activity atau experience design. Pertama, struktur kurikulum
ditentukan oleh kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam mengimplementasikan ciri ini guru
hendaknya: a) Menemukan minat dan kebutuhan peserta didik, b) Membantu para siswa
memilih mana yang paling penting dan urgen. Hal ini cukup sulit, sebab harus dapat dibedakan
mana minat dan kebutuhan yang sesungguhnya dan mana yang hanya angan-angan. Untuk itu
guru perlu menguasai benar perkembangan dan karakteristik peserta didik.

Kedua, karena struktur kurikulum didasarkan atas minat dan kebutuhan peserta didik, maka
kurikulum tidak dapat disusun jadi sebelumnya, tetapi disusun bersama oleh guru dengan para
siswa. Demikian juga tujuan yang akan dicapai, sumber-sumber belajar, kegiatan belajar dan
prosedur evaluasi, dirumuskan bersama siswa. Stanley and Shores (1977: 274-1725)
mengemukakan bahwa tugas guru adalah:

... discovering students interest, guiding students in selection of interest, helping groups and
individuals to plan and carryout learning activi ties, and assisting learners to appraise their
experience. In short, the teacher must prepare in advance to help learners decide what to to do,
how to do it, and how to evaluate the results.

Ketiga, desain kurikulum tersebut menekankan prosedur pemecahan masalah. Di dalam proses
menemukan minatnya peserta didik menghadapi hambatan atau kesulitan-kesulitan tertentu
yang harus diatasi. Dalam menghadapi dan mengatasi masalah-masalah tersebut, peserta didik
melakukan proses belajar yang nyata, sungguh-sungguh bermakna, hidup dan relevan dengan
kehidupannya. Berbeda dengan subject design yang menekankan isi, activity design lebih
mengutamakan proses (keterampilan memecahkan masalah).

Ada beberapa kelebihan dari desain kurikulum ini.


1. karena kegiatan pendidikan didasarkan atas kebutuhan dan minat peserta didik, maka
motivasi belajar bersifat intrinsik dan tidak perlu dirangsang dari luar.
2. Kedua, pengajaran memperhatikan perbedaan individual. Mereka turut dalam kegiatan
belajar kelompok karena membutuhkannya, demikian juga kalau mereka melakukan kegiatan
individual.
3. Ketiga, kegiatan-kegiatan pemecahan masalah memberikan bekal kecakapan dan
pengetahuan untuk menghadapi kehidupan di luar sekolah.

Beberapa kritik yang menunjukkan kelemahan dilontarkan terhadap model desain kurikulum

1. penekanan pada minat dan kebutuhan peserta didik belum tentu cocok dan memadai untuk
menghadapi kenyataan dalam kehidupan.
2. kalau kurikulum hanya menekankan minat dan kebutuhan peserta didik, dasar apa yang
digunakan untuk menyusun struktur kurikulum. Kurikulum tidak mempunyai pola dan
struktur.
3. activity design curriculum sangat lemah dalam kontinuitas dan sekuens bahan.
Beberapa usaha telah dilakukan untuk mengatasi kelemahan ketiga ini:
- usaha untuk menemukan sekuens perkembangan kemampuan mental peserta didik,
seperti perkembangan kemampuan kognitif dari Piaget
- penelitian tentang pusat-pusat minat pada berbagai tingkat usia. Penemuan tentang
pusat-pusat minat yang lebih terinci dijadikan dasar penyusunan sekuens kurikulum.
4. Keempat, kritik terhadap model desain kurikulum ini dikatakan tidak dapat dilakukan oleh
guru biasa. Model desain ini sulit menemukan buku-buku sumber, karena buku yang ada
disusun berdasarkan subject atau discipline design. Kesulitan lain adalah apabila peserta
didik akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sebab di perguruan tinggi digunakan
model subject atau discipline design.

Anda mungkin juga menyukai