Anda di halaman 1dari 64

MAKALAH SEMINAR DEPARTEMEN KEPERAWATAN MATERNITAS

PADA NY. S USIA KEHAMILAN 37 MINGGU G2 P1 Ab0 DENGAN SLE


DI POLI KLINIK OBGYN RS dr. SAIFUL ANWAR MALANG

DISUSUN OLEH :
Kelompok 13
Dadang Susilo (1930014)
Melati Budiarti (1930027)
Nita Febrilia Robi (1930034)
Solihatul Hasanah (1930046)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Seminar Keperawatan departemen Maternitas di Poli Klinik Obgyn RS dr. Saiful


Anwar Malang yang dilakukan oleh :
Mahasiswa Program Studi Profesi Kelompok 13
Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Profesi Ners Departemen
Keperawatan Maternitas yang dilaksanakan pada semester ganjil, yang telah
disetujui dan disahkan pada:

Hari :
Tanggal :

Malang, Januari 2020

Mengetahui,

Pembimbing Institusi I Pembimbing Institusi II

(................................) (................................)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit radang multisistem


yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin
akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi. SLE merupakan
prototipe dari penyakit autoimun sistemik dimana autoantibodi dibentuk
melawan sel tubuhnya sendiri. Karakteristik primer peyakit ini berupa
kelemahan, nyeri sendi, dan traum berulang pada pembuluh darah. SLE
melibatkan hampir semua organ, namun paling sering mengenai kulit, sendi,
darah, membran serosa, jantung dan ginjal.
Di Amerika Serikat hingga bulan Maret tahun 2000 terdapat 500.000 pasien
telah didiagnosa sebagai SLE. Prevalensi SLE di Amerika Serikat yaitu
antara14,6/100.000-50,8/100.000. Insiden bervariasi antara 1,8-1,6/100.000
per tahun. Insiden SLE bervariasi di seluruh dunia. Eropa Utara telah
melaporkan adanya SLE sebesar 40/100.000.
Ras Afrika-Amerika tiga hingga empat kali lebih rentan terhadap SLE
dibandingkan wanita kulit putih. Ras Amerika latin dan Asia juga rentan
terhadap penyakit ini. Pada anak-anak prevalensi SLE antara 0/100.000 pada
wanita kulit putih di bawah usia 15 tahun sampai 31/100.000 pada wanita Asia
usia 10-20 tahun. Insiden SLE pada usia 10-20 tahun bervariasi yaitu
4,4/100.000 pada wanita kulit putih, 31/100.000 pada wanita Asia,
19,86/100.000 pada kulit hitam dan 13/100.000 pada Amerika latin.
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari 3 penelitian yang
berbeda di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta yaitu antara tahun 1969-1970
ditemukan 5 kasus, tahun 1972-1976 ditemukan 1 kasus, dan tahun 1988-1990
insiden rata-rata ialah 37,7/10.000 perawatan. Penelitian oleh Purwanto dkk di
Yokyakarta tahun 1983-1986 melaporkan insiden sebesar 10,1/10.000
perawatan. Penelitian di Medan oleh Tagiran antara tahun 1984-1986
mendapatkan insiden sebesar 1,4/10.000 perawatan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan gangguan multisistem
autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dan
berbagai manifestasi klinis Krishnamurthy (2011).
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES)
adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga
karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003).
Systemic lupus erytematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada
jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa system imun menyerang jaringan tubuh
sendiri. Pada SLE ini, system imun terutama menyerang inti sel ( Matt,2003).
2.2 Etiologi
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada beberapa factor
yang terlibat seperti factor genetic,obat-obatan,hormonal dan lingkungan ikut
berperan pada patofisiologi SLE. System imun tubuh kehilangan kemampuan
untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan
dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan antibody secara terus menerus.
Antibody ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan
penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam
fatogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance
bersama aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa factor :
a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
b. Hiperaktivitas sel T helper
c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor

Factor penyebab yang terlibat dalam timbulnya penyakit SLE


a. Faktor genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak
kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE,
sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%.
Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan
penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility
Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2),
telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur
komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang
dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q
homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan
bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko
lebih tinggi menderita SLE. Diketahui peneliti dari Australian National
University (ANU) di Canberra berhasil mengidentifikasikan untuk pertama
kalinya penyebab genetik dari penyakit lupus. Dengan pendekatan yang
digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil
mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang
diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu
yang disebut interferon-alpha.
b. Faktor Imunologi
1. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan
pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal
tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
2. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B
akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki
reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan
sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan
produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
3. Kelainan antibody
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen
dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan
kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
c. Factor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi
dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan
tersebut terdiri dari:
1. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
2. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga
terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
3. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon
imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres
sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem
autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
d. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa
studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat
estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme
estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko
terjadinya SLE.
e. Factor farmakologi
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
Musai (2010)
2.3 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, stress, infeksi ).
Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa
turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat
fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks
imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini
menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh, yaitu :
b. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
c. Pembentukan sitokin yang berlebihan
d. Hilangnya regulasi control pada system imun yaitu :
1. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun
maupun sitokin dalam tubuh
2. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
3. Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekuler

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody di dalam


tubuh yang disebut sebagai autoantibody. Selanjutnya antibody-antibodi yang
tersebut membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada
jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.
2.4 Pathway
Genetic Lingkungan ( cahaya matahari,infeksi stress) Hormonal Obat-obatan

System regulasi kekebalan terganggu

Mengaktivasi sel T dan B

Fungsi sel T supresor abnormal

Peningkatan produksi auto antibodi

Penumpukan kompleks imun Kerusakan jaringan

Muskuloskeletal Integumen Kardiovaskuler Respirasi Vaskuler Darah

Pembengkakan sendi Lesi akut pd Perikarditis Penumpukan Pembekuan


Inflamasi
Resiko kulit cairan pd darah dalam
pd arterior
infeksi pleura vena
terminalis
Nyeri tekan, Penumpukan
rasa nyeri Pasien merasa cairan efusi
ketika bergerak malu dg pada
Efusi Stroke dan
kondisinyaa perikardium Lesi
pleura emboli paru
popular
diujung
kaki,tumit
Nyeri akut Gangguan Penebalan Ekspansi dan siku Jumlah
citra tubuh perikardium dada tidak trombosit
adekuat berkurang

Kerusakan
Kontraksi integritas
jantung Pola kulit Perdarahan
nafas
tidak
efektif
Penurunan Anemia
curah
jantung
Ketidakefektif
an perfusi
jaringan
perifer
2.5 Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat berfariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai system tubuh.
Dapat juga menahun dengan gejala pada satu system yang lambat laun diikuti
oleh gejala terkenanya system imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya
mungkin berlangsunhg=langsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat
spontan atau didahului oleh factor presipitasi seperti kontak dengan sinar
matahari, infeksi virus atau bakteri dan obat. Setiap serangana biasanya disertai
gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan,
berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam,
kadang-kadang disertai menggigil.
a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala musculoskeletal berupa
arthritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal
proksimal, peradangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan
kaki, selain pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi.
Arthritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, konfraktur atau
ankilosis. Adakala terdapat nodul rheumatoid. Nekrosis vaskuler dapat
terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan
pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena
ialah kaput femoris.
b. Gejala integument
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE.
Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut,
subakut, discoid dan livido retikulkaris. Ruam kulit yang dianggap khas dan
banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE ilah ruam kulit
berbentuk kupu-kupu ( butterfly rash ) berupa eritema yang sedikit edematus
pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini
dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yabg terkena sinar matahari
dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas . lesi ini
termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular .
Lesi discoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hyperkeratosis,
dan atrofil. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,
tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah
berlangsung lama akan berbentuk sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.
Livido retikularis, suatu bentuk vaskutitis ringan , sangat sering ditemui
pada SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla ( dapat menjadi
mehoragik), ekimosis, petekie dan purpura. Kadang-kadang terdapat
urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan antihistamin.
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit
tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika
penyakit mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada
palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau
penyakit mengalami remisi. Fenomen raynaud pada sebagian pasien tidak
mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit, sedangkan pada sebagian
lagi akan membaik jika penyakit mereda.
c. Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat ( efusi
kerikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa ( libman sacks)
d. Paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada yang bilateral.
Mungkin ditemukan sel LE ( lamp dalam cairan pleura ) biasanya efusi
menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis
penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi
virus, jamur, tuberculosis dan sebagainya telah disingkirkan.
e. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
f. Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk
bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke
dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk
antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan
perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau
leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit
aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio
albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil
pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria,
hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular
atau sel darah merah pada urin
b. Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan
spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan
pada penderita dengan penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik,
infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun
dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran
penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ
pada penyakit SLE yang tenang.
Antibodi anti-DNA merupakan subtype dari antibody antinukleus (ANA).
Ada dua tipe dari antibody anti DNA yaitu yang menyerang double stranded
DNA ( anti ds-DNA ) dan yang menyerang single stranded DNA ( anti ss-
DNA ). Anti ss-DNA kurang sensitive dan spesifik untuk SLE tapi positif
untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibody-antigen pada
penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks
tersebut akan menginduksi system komplemen yang dapat menyebabkan
terjadinya inflamasi baik local maupun sistemik ( Pagana and Pagana,2002 )
c. Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain.
ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti dari
suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang
positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE
saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan
penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif
sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil test negativ, maka
pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus dipertimbangkan
juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil test positif maka
sebaiknya dilakukan test serologi yang lain untuk menunjang diagnose
bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith
( anti-Sm ), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti –SSA (Ro) atau
anti-SSB (La) ( Pagana and Pagana,2002 )
2.7 Penatalaksanaan
a. Prenatal care
Penderita SLE dengan kehamilan sebaiknya harus kontrol
kehamilannya setiap dua minggu pada trimeester pertama dan kedua dan
sekali seminggu pada trimester ketiga. Pada setiap kunjungan harus selalu
ditanyakan tentang tanda dan gejala aktifnya SLE. Darah dan urin sebaiknya
diperiksa juga.
b. Obat-obat antirematik dengan kehamilan
Meskipun belum ada penelitian acak yang membandingkan
pemberian prednison pada wanita hamil namun glukokortioid biasanya
digunakan pada pengobatan SLE pada kehamilan. Pada umumnya dosis
yang digunakan kurang lebih sama dengan penderita yang tidak hamil.
Meskipun telah ditemukan meningkatnya kejadian celah palatum pada
binatang percobaan, tetapi efek teratogeniknya pada manusia sangat rendah.
Demikian juga efek supresi pada ginjal neonatus sangatlah rendah. Salah
satu alasan yang menyebabkan pemberian prednison cukup aman adalah
didapatkannya 11--oldehidrogenase pada plasenta. Enzim ini akan
mengubah prednison menjadi 11- ketoform yang tidak aktif, dan hanya 10 %
yang aktif dan dapat mencapai janin. Efek glukokortikoid pada ibu
diantaranya adalah penambahan berat badan, striae, acne, hirsutism, supresi
imun, osteonekrosis, dan ulkus saluran pencernaan. Kemudian pemberian
glukokortikoid pada kehamilan juga dapat menyebabkan intoleransi
glukosa. Dengan demikian pasien yang diberikan glukokortikoid harus
dilakukan skrining untuk mencegah diabetes gestasional. Glukokotikoid
juga menyebabkan retensi air dan natruim yang mungkin menyebabkan
hipertensi yang secara tidak langsung dapat menyebabkan pertumbuhan
janin terganggu. Penelitian terbaru mengatakan pemberian glukokortikoid
hanya diberikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh SLE.
Pemberian beberapa obat imunosupresi yang lain seperti azathiopirine,
methotrexate dan cyclophospamide sebaiknya tidak diberikan pada
kehamilan dengan SLE, dikarenakan efek teratogeniknya pada manusia.
Kecuali pada keadaan tertentu pada SLE yang sangat berat misalkan pada
Progressive proliferative glomerulonefritis.
Pemberian obat anti malaria pada Kehamilan dengan SLE seperte kloroquin
dan hydroxychloroquin dapat menimbulkan kelainan kongenital yang cukup
berat, dikarenakan ototoksisitasnya. Akan tetapi banyak bayi yang
dilahirkan dari ibu-ibu yang minum obat anti malaria ternyata normal. 12
NSAID adalah analgesik yang biasa diberikan pada penderita
kehamilan dengan SLE tetapi, malangnya obat ini dapat menyebabkan
kelainan yang cukup serius. Yaitu dapat menyebabkan kelainan faktor
pembekuan darah pada fetoneonatal. Pemberian aspirin dua minggu
sebelum partus dapat menyebabkan perdarahan intrakranial pada bayi-bayi
prematur. Indometasin dilaporkan berhubungan dengan kontriksi pada
duktus arteriosus. Yang mana bisa menyebabkan trombosis arteri
pulmonalis, hipertrofi pembuluh-pembuluh darah pulmo, gangguan
oksigenasi dan gagal jantung. NSAID juga berhubungan dengan
menurunnya produksi uruin dan oligohidramnion dan insufisiensi ginjal.
Asetaminophen dan codein bisa dipakai sebagai analgesi pada wanita hamil
dengan SLE. 12
c. Penanganan obstetrik.
Tujuan utama dari kunjungan antenatal pada kehamilan dengan SLE
terutama setelah umur kehamilan > 20 minggu adalah deteksi hipertensi dan
proteinuria. Karena risiko terjadinya insufisiensi uteroplasenter . Dilakukan
pemeriksaan USG setiap 4 – 6 minggu mulai usia kehamilan 18 -20
minggu. Dilakukan NST mulai umur kehamilan 32 minggu setiap minggu
dan pengukuran cairan amnion. Juga ibunya disuruh menghitung gerakan
janin setiap hari. USG dan pemeriksaan kesejahteraan janin harus dilakukan
lebih sering bila didapatkan SLE yang aktif, hipertensi, proteinurin,
gangguan pertumbuhan janin, dan bila didapatkan sindroma antifosfolipid.
SLE dapat eksaserbasi pada persalinan dan mungkin membutuhkan
pemberian steroid sesegera mungkin. Sebaiknya pemberian glukokortikoid
dosis tinggi yaitu hidrokortison 110 mg/IV tiap 8 jam diberikan pada waktu
persalinan dan seksio sesarea pada semua pasien yang mendapatkan
pemberian steroid yang menahun.Hal ini untuk menghinadarkan terjadinya
insufisiensi adreanal yang berat. Diberikan hidrokortison secara intravena
100 mg tiap 8 jam. Kemudian penanganan neonatus yang adekuat
diperlukan setelah persalinan berkaitan dengan neonatal heart block dan
manifestasi SLE lainnya.
Disarankan agar ibu yang dirawat dengan SLE untuk menyusui
bayinya jika memungkinkan karena keuntungan bagi ibu dan janin jauh
lebih besar dari kerugiannya. Jika janin lahir dengan berat badan rendah
(BBRL) dan ibu mendapatkan terapi kortikosteroid dalam dosis yang besar,
secara teoritis jumlah kortikosteroid per kgBB yang mungkin diterima janin
melalui ASI patut dikhawatirkan, namun jumlah prednisolon yang
disekresikan melalui ASI sangat kecil sehingga kami rasa kekhawatiran
tersebut hanya bersifat teoritis
2.8 Komplikasi SLE pada Kehamilan
Semua kehamilan dengan lupus diperlakukan sebagai resiko tinggi.
Sekitar 75% kehamilan mencapai masa kelahiran, walaupun 25% diantaranya
prematur, 25% sisanya mengalami keguguran. Resiko keguguran lebih tinggi
pada wanita dengan antibodi antifosfolipid, penyakit ginjal aktif atau
hipertensi, atau kombinasi lainnya. Selama kehamilan antibodi antifosfolipid
dapat melintasi plasenta dan menyebabkan trombositopenia pada janin, namun
biasanya bayi tetap dapat lahir dengan aman. Risiko bayi dengan lupus
neonatus yang lain, sekitar 3% kehamilan SLE, dan biasanya membaik dalam
6 bulan. Jarang terjadi kelainan jantung, namun hal ini dapat diobati.
Pada suatu penelitian sekitar 6-15% wanita mengalami flare selama
kehamilan. Sebagian besar terjadi pada trimester pertama dan kedua, dan dua
bulan setelah persalinan. Wanita yang telah mengalami remisi selama 6 bulan
beresiko rendah untuk mengalami flare. Terdapat peningkatan resiko
perdarahan setelah persalinan, yang diakibatkan baik oleh obat anti-SLE
maupun oleh SLE itu sendiri. Preeklampsia terjadi pada 20% wanita hamil
dengan SLE.
Kehamilan dapat menyebabkan eksaserbasi SLE. Tinjauan pustaka
terhadap aktivitas penyakit dan mortalitas morbiditas wanita hamil dengan SLE
menyimpulkan bahwa terdapat eksaserbasi aktivitas penyakit pada 50%
kehamilan, yang terjadi selama kehamilan atau pospartum.
Pasien dengan lupus nefritis yang ingin hamil, haruslah
dipertimbangkan. Disamping keadaan janin, perlu pula dipertimbangkan
terjadinya eksaserbasi dengan (mungkin permanen) gejala ikutan berupa
kerusakan organ (yang mungkin akan mempengaruhi keselamatan maternal).
Penelitian terbaru menyebutkan bahwa wanita hamil dengan lupus nefritis
berhubungan dengan meningkatnya kematian maternal dan nefritis eksaserbasi
pospartum.
Hipertensi, proteinuria, dan insufisiensi ginjal yang baru terjadi pada
wanita hamil dengan lupus dapat menggambarkan terjadinya lupus nefritis
aktif atau pembentukan preeklampsia. Membedakan antara permulaan SLE
dan preeklampsia adalah sulit. Penelitian Buyon dkk menemukan bahwa kadar
C4 lebih rendah pada kehamilan dengan preeklampsia dibandingkan kehamilan
normal, dan pada ibu dengan SLE mempunyai kadar C3 dan C4 yang lebih
rendah secara nyata dibandingkan kehamilan normal. Menurunnya kadar C3
dan C4 pada kehamilan dengan SLE menggambarkan terjadinya flare penyakit
tersebut. Satu pasien dengan SLE yang mengalami preeklampsia tidak
memiliki perubahan pada kadar komplemennya. Penemuan ini menyebutkan
bahwa pengujian terhadap kadar komplemen mungkin berguna untuk
membedakan kejadian preeklampsia dengan flare penyakit pada pasien SLE.
Insiden preeklampsia meningkat pada pasien SLE.
Terdapat hubungan yang jelas antara lupus antikoagulan dengan
antibodi antikardiolipin dengan vaskulopathy desidua, infark plasenta,
pertumbuhan janin terhambat, preeklampsia dini, dan kematian janin berulang.
Pada wanita tersebut, seperti halnya penderita lupus, juga memiliki insiden
tinggi terhadap trombosis arteri dan vena, serta hipertensi paru. (Khamashta
dkk, 1997; Silver dkk, 1994).
Penelitian secara histologi dan imunofluoresens terhadap 10 plasenta
SLE oleh Ambrousky menemukan adanya nekrosis desidua vaskulopathy pada
5 dari 10 plasenta yang diteliti. Hanly dkk, meneliti 11 pasien SLE, dan
menemukan bahwa plasenta tersebut lebih kecil dan lebih ringan
dibandingkan plasenta normal dan dengan ibu diabetes. Kurangnya berat
plasenta berhubungan dengan SLE aktif, lupus antikoagulan, trombositopenia
dan hipokomplemenemia, tapi tidak berhubungan dengan berkurangnya berat
lahir. Infark plasenta, seperti yang ditemukan pada pasien dengan sindrom
antibodi fosfolipid, sangat jelas berhubungan dengan pertumbuhan janin
mungkin menyebabkan kematian janin, tapi prematuritas dan bayi kecil masa
kehamilan (KMK) secara umum sering terjadi pada ibu SLE.
Menurut Chamley (1997), trombosit dapat dirusak langsung oleh
antibodi antifosfolipid, atau secara tidak langsung melalui ikatannya dengan
2-glikoprotein I, yang menyebabkan trombosit mudah beragregasi. Menurut
Rand dkk (1997a, 1997b, 1998) fosfolipid pada sel endotel atau membran
sinsitiotrofoblas mungkin dirusak secara langsung oleh antibodi antifosfolipid
atau secara tidak langsung melalui ikatannya dengan 2-glikoprotein I atau
annexin V. Hal ini mencegah sel membran untuk melindungi sinsitiotrofoblas
dan endotel sehingga membran basal terbuka. Telah diketahui bahwa
kerusakan trombosit mengikuti terbukanya membran basal endotel dan
sinsitiotrofoblas sehingga terjadi pembentukan trombus. Terdapat mekanisme
lain yang diajukan oleh Piero dkk (1999) yang melaporkan bahwa antibodi
antifosfolipid menurunkan produksi vasodilator prostaglandin E2 oleh desidua.
Telah digambarkan pula terjadinya penurunan aktivitas fibrinolitik akibat
penghambatan prekalikrein oleh lupus antikoagulan (Sanfelippo dan Dryna,
1981). Terdapat pula laporan lain mengenai penurunan aktivitas protein C atau
S disertai sedikit peningkatan aktivitas prothrombin (Ogunyemi dkk, 2001;
Zangari dkk, 1997). Amengual dkk (1998) memberikan bukti bahwa trombosis
dengan sindrom antifosfolopid disebabkan oleh aktivasi jalur faktor jaringan.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
a. Nyeri
b. Gatal-gatal
2. Riwayat kesehatan dahulu
a. Riwayat terekspos sinar radiasi UV yang parah
b. Riwayat pemakaian obat-obatan hidralazin, prokainamid,isoniazid,
kontrasepsi oral dll
c. Riwayat terinfeksi virus
d. Terekspos bahan kimia
3. Riwayat kesehatan keluarga
a. Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
b. Riwayat keluarga dengan infeksi berulang
4. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan:
a. nyeri sendi karena gerakan
b. kekakuan pada sendi
c. kesemutan pada tangan dan kaki
d. sakit kepala
e. Demam
f. merasa letih, lemah
g. limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu
senggang,pekerjaan
h. keputusasaan dan ketidakberdayaan
i. kesulitan untuk makan
j. nausea, vomitus
k. sesak nafas
l. nyeri dada
m. ancaman pada konsep diri, citra diri
b. Pemeriksaan Fisik
1 Aktivitas dan latihan
a. Keterbatasan rentang gerak
b. Deformitas
c. Kontraktur
2. Nyeri dan kenyamanan
a. Pembengkakan sendi
b. Nyeri tekan
c. Perubahan gaya berjalan/pincang
d. Gerak otot melindungi yang sakit
3. Kardiovaskuler
a. Fenomena raynoud
b. Hipertensi
c. Edeme
d. Pericardial friction rub
e. Aritmia
f. Murmur
g. Nutrisi dan metabolic
h. Lesi pada mulut
i. Penurunan berat badan
4. Pola eliminasi
a. Peningkatan pengeluaran urin
b. Konstipasi /diare
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernapasan
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubngan dengan gangguan aliran
arteri atau vena
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas jantung
d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit
f. Kerusakkan integritas kulit berhubungan dengan imunodefisiensi
g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit
3. Perencanaan Keperawatan
a. Ketidakefektifan Pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan
1. Tujuan : pola nafas kembali efektif
2. Kriteria Hasil : Frekuensi, irama, kedalaman pernapasan dalam
batas normal, Tidak menggunakan otot-otot bantu pernapasan, Tanda
Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan) (TD
120-90/90-60 mmHg, nadi 80-100 x/menit, RR : 18-24 x/menit, suhu 36,5
– 37,5 C)
3. Intervensi
Intervensi rasional
Monitor kecepatan, ritme, Untuk mengetahui
kedalaman,dan usaha pasien saat keadekuatan pernapasan
bernafas
Monitor suara nafas seperti snoring Mengetahui adanya sumbatan
pada jalan nafas
Posisikan pasien semi fowler Untuk memaksimalkan
potensial ventilasi
Berikan HE tentang pengobatan : Informasi ini dapat membantu
indikasi , dosis, frekuensi , dan pasien dalam mengonsumsi
kemungkinan efek samping. obat dengan aman dan benar
Kolaborasi dalam pemberian terapi Meningkatkan ventilasi dan
oksigen asupan oksigen

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan


aliran arteri atau vena
1. Tujuan : perfusi jaringan perifer efektif
2. KH : Waktu pengisian kapiler < 3 detik, Tekanan sistol dan diastol dalam
rentang yang diharapkan, Tingkat kesadaran membaik
3. Intervensi
Intervensi rasional
Kaji secara komprehensif Sirkulasi perifer dapat menunjukkan
sirkulasi perifer tingkat keparahan penyakit
Monitor laboratorium ( Hb, Milai laboratorium dapat menunjukkan
hmt ) komposisi darah

evaluasi nadi perifer dan edema Pulsasi yang lemah menimbulkan


penurunan kardiak output
Ubah posisi pasien setiap 2 jam Mencegah komplikasi dekubitus
Dorong latihan ROM sebelum Menggerakkan otot dan sendi agar
bedrest tidak kaku
Kolaborasi pemberian anti Meminimalkan adanya bekuan
platelet atau anti perdarahan dalam darah

c. Penurunan curah jantung berhubungan kontraktilitas jantung


1. Tujuan : curah jantung mengalami peningkatan
2. KH : Menunjukkan curah jantung yang memuaskan dibuktikan
oleh efektifitas pompa jantung, status sirkulasi, perfusi jaringan, dan status
TTV, Tidak ada edema paru, perifer, dan asites.
3. Intervensi
intervensi Rasional
Kaji suara nafas dan suara Data dasar dalam menentukan
jantung intervensi lebih lanjut
Ukur CVP pasien Mengetahui kelebihan atau
kekurangan cairan tubuh
Monitor aktivitas pasien Mengurangi kebutuhan oksigen
Monitor saturasi oksigen Mengetahui manifestasi penurunan
curah jantung
Kolaborasi pemberian laksatif Mengejan dapat memperparah
penurunan curah jantung

d. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.


1. Tujuan : Nyeri dapat berkurang
2. KH : Ekspresi wajah klien tidak menunjukkan ketegangan, klien
tidak gelisah,klien dapat beristirahat, klien tidak mengalami kesulitan
dalam berkonsentrasi.
3. Intervensi
Intervensi Rasional
Lakukan pengkajian nyeri Untuk mengetahui tingkat
komprehensif yang meliputi nyeri pasien
lokasi,karakteristik,onset atau
durasi,frekuensi,kualitas,intensitas
atau beratnya nyeri dan factor
pencetus.
Observasi reaksi ketidaknyamanan Untuk mengetahui tingkat
secara nonverbal ketidak nyamanan yang
diirasakan oleh pasien
Ajarkan cara penggunaan terapi non Agar klien mampu
farmakologi ( distraksi, relaksasi) menggunakan teknik
nonfarmakologi dalam
memanajemen nyeri yang
dirasakan
Berikan informasi tentang nyeri Pemberian HE dapat
termasuk penyebab nyeri,berapa lama mengurangi tingkat
nyeri akan hilang, antisipasi terhadap kecemasan dan membantu
ketidaknyamanan dari prosedur klien dalam membentuk
mekanisme koping terhadap
rasa nyeri
Kolaborasi pemberian analgetik Pemberian analgetik dapat
mengurangi rasa nyeri pasien

e. Resiko infeksi berhubungan dengan integritas kulit


1. Tujuan : pasien dapat terhindar dari resiko infeksi
2. KH : integritas kulit klien normal, temperature kulit klien
normal, tidak ada lesi pada kulit
3. Intervensi
Intervensi Rasional
Monitor karakteristik, warna, Untuk mengetahui keadaan luka
ukuran, cairan, dan bau luka dan perkembangannya
Bersihkan luka dengan normal Normal salin merupakan cairan
salin isotonis yang sesuai dengan cairan
dalam tubuh
Ajarkan klien dan keluarga Memandirikan keluarga dan
untuk melakukan perawatan luka pasien
Rawat luka dengan konssep Agar tidak terjadi infeksi dan
steril terpapar oleh kuman atau bakteri
Gunakan sabun anti mikroba Mengurangi mikroba bakteri yang
untuk cuci tangan dapat menyebabkan infeksi
Berikan penjelasan kepada klien Agar keluarga pasien mengetahui
dan keluarga mengenai tanda dan tanda dan gejala dari infeksi
gejala dari infeksi
Kolaborasi pemberian antibiotic Pemberian antibiotic untuk
mencegah timbulnya infeksi
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imunodefisiensi
1. Tujuan : Mencegah terjadinya kerusakan pada kulit dan jaringan
didalamnya
2. KH : Tidak terdapat tekanan, tidak menunjukkan adanya kelainan pada
persendian
3. Intervensi
Intervensi rasional
Monitor kulit yang memerah dan Dengan memonitoring area kulit
terjadi kerusakan yang merah dan terjadi kerusakan
untuk mengurangi resiko
dekubitus
Mobilisasi klien setiap 2 jam Dengan memobilisasi klien dapat
mengurangi penekanan
Lakukan perawatan kulit secara Untuk meningkatkan proses
aseptic 2 kali sehari penyembuhan lesi kulit serta
mencegah terjadinys infeksi
sekunder
Berikan pendidikan kesehatan Meningkatkan pengetahuan
kepada klien dan keluarganya pasien dan keluarganya mengenai
tentang pentingnya menjaga pentingnya menjaga kebersihan
kebersihan kulit sekitar luka guna kulit serta supaya pasien lebih
mempercepat penyembuhan dan kooperatif
ajarkan teknik perawatannya
Kolaborasi pemberian NSAID Mempercepat penyembuhan
dan kortikosteroid.

g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh


(kehamilan),perubahan persepsi diri
1. Tujuan : gangguan citra tubuh klien teratasi
2. KH : Citra tubuh positif, Mendeskripisikan secara faktual
perubahan fungsi tubuh. Mempertahankan interaksi sosial
3. Intervensi
Intervensi Rasional
Monitor frekuensi kalimat yang Untuk mengetahui seberapa
mengkritik diri sendiri besar klien mampu
menerima keadaan dirinya
Bantu klien untuk mengenali tindakan Untuk meningkatkan
yang akan meningkatkan percaya diri klien
penampilannya
Anjurkan kontak mata dalam Agar klien lebih percaya diri
berkomunikasi dengan orang lain
Gunakan gambaran mengenai Mekanisme evaluasi dari
gambaran diri persepsi citra diri
BAB IV ANAMNESIS
Autoanamnesis
1. Identifikasi
Nama : Ny. S
Med.Rek : 11393627
Umur : 27 tahun
Suku bangsa : Jawa
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jl. Puntadewa Rt 1/1 Sidorahayu Wagir Malang
MRS : - (rawat jalan)
2. Riwayat Perkawinan
Menikah 1x lamanya 7 tahun
3. Riwayat Reproduksi
Menarche 14 tahun, siklus teratur, 28 hari, lama 7 hari, HPHT: 22 April
2019
4. Riwayat Persalinan
1. 2012, laki-laki, 3100 g, lahir spontan, bidan, sehat
2. Hamil ini
5. Riwayat penyakit dahulu
Pasien di diagnose SLE sejak 2 tahun yang lalu, awalnya mengeluhkan
muka kemerahan. Pasien rutin menggunakan obat methylprednisolone 1x4
mg perhari. Pasien rutin control di poli penyakit dalam RS. Dr. Saiful Anwar
Malang.
6. Riwayat Gizi/Sosial Ekonomi
Sedang
7. Anamnesis Khusus
Keluhan utama : Hamil muda dengan nyeri pinggang dan kaki lemas
P : kehamilan dengan SLE
Q : nyeri seperti tertimpa benda berat
R : pinggang
S : 6 (nyeri sedang)
T : Hilang timbul
Keluhan tambahan : tidak ada
Riwayat perjalanan penyakit :
Pasien dikonsulkan dari Departemen Penyakit Dalam ke Departemen Obgin
dengan keluhan nyeri pinggang dan kaki lemas. Riwayat perut mulas yang
menjalar ke punggung hilang timbul makin lama makin sering dan kuat (-),
riwayat keluar air-air (-), riwayat keluar darah lendir (-), riwayat minum
jamu-jamuan (-), riwayat minum obat-obatan sebelumnya (+) yaitu
methylprednisolon 2x4 mg, dan omeprazole 1x20 mg, riwayat trauma (-).
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
a. Pemeriksaan umum Antopometri :
Keadaan umum : Sakit sedang TB : 132 cm
Kesadaran : E4M6V5 BB : 49.5 kg
Tipe badan : Normal LILA : 23.5 cm
Berat badan : 50 kg TFU : 26 cm
Tinggi badan : 155 cm DJJ : 145 X/menit
Tekanan darah : 120/800 mmHg
Nadi : 98 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5 0C
Leopold
L. 1 : TFU 1 pertengahan PX-Pusat (26 cm)
L. 2 : Pada kanan perut ibu teraba datar, panjang seperti ada
tahanan, pada kiri perut ibu teraba bagian kecil-kecil
janin
L. 3 : Pada bagian terendah perut ibu teraba bulat keras dan
tidak melenting
L. 4 : Convergen
b. Keadaan khusus
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), sklera tidak ikterik, malar
rash (+), discoid rash (+), butterfly rush (+/-), SLE
aktif/remintend (+/-)
Leher : Tekanan vena jugularis (-), KGB tidak teraba
Thoraks : Jantung : Murmur tidak ada, Gallop tidak ada.
Paru-paru : vesikuler normal (+), ronchi (-),wheezing
(-)
Ekstremitas : Edema pretibial -/-
2. Pemeriksaan Obstetri
- Pemeriksaan luar:
Tinggi fundus uteri 26 cm, ballottement externa (+), massa (-), nyeri
tekan (-), TCB (-), his (-)
- Pemeriksaan dalam:
Portio lunak, posterior, pendaratan 0 %, pembukaan (-), ketuban dan
0142penunjuk belum dapat dinilai
3. Pola Aktifitas

Kebutuhan Dasar Saat dirumah

Makan : 3x sehari, 1 Porsi kadang –


1. Cairan & kadang
Makanan
Minum : 8 Gelas / Hari Air putih

BAB : 1 X Sehari
2. Eliminasi
BAK : 7 – 8 X / Hari

Tidur malam : 7 – 8 jam


3. Istirahat &
Tidur
Tidur Siang : 1 – 2 jam

Mandi : 2x Sehari
4. Personal
Keramas : 2 – 3 kali / Minggu
hygiene
Gosok Gigi : 2 x sehari

5. Aktivitas Melakukan pekerjaan rumah

6. PolaSexualitas ± 3x / Minggu
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM (11/12/2019)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 10.20 g/dl 11.4-15.1 g/dL
Eritrosit 3054 4.00-5.70 x 106/m3
Hematokrit 4.60 38-42%
Leukosit 2100 5000-10000/mm3
Trombosit 83000 189000-436000
Diff count 0/9/78/16/5
Fungsi Hati
SGOT 42 0-32 u/L
SGPT 16 0-31 u/L
Albumin 2.1 3.5-5.5 mg/dL
Fungsi Ginjal
Ureum 10,9 15-40 mg/dL
Kreatinin 0,39 0.5-1.5 mg/dL
Elektrolit
Kalsium 7,0 8.4-10.8 mg/dL
Natrium 137 135-155 mEq/L
Kalium 2,7 3.5-5.5 mEq/L
D. Diagnosis kerja
G2P1A0 hamil 37 minggu dengan SLE
E. Terapi
- Methylprednisolon 2x4 mg
- Omeprazole 1x40 mg IV
- Asam folat 3x1 gr
- Callos 2x 500 gr
F. Kesimpulan
G2 P1000 Ab0000 diagnosa penyakit yang menyertai SLE
ANALISA DATA
No Tanggal / Jam Analisa Data Masalah Etiologi
09 / 01 / 2020 DS : pasien mengatakan sedang hamil hormonal Nyeri Akut
1. dengan nyeri pinggang
P : kehamilan dengan SLE system regulasi
Q : seperti tertekan benda berat kekebalan
R : pinggang terganggu
S : Skala 6 (Nyeri sedang)
T : hilang timbul kerusakan
jaringan
DO : Grimace (+) Gelisah (+)
Tekanan darah : 120/80 mmHg musculoskeletal
Nadi : 98 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit Nyeri Akut
Suhu : 36,5 0C

2. 09/01/2020 DS : pasien mengatakan sedang hamil Kerusakan Intoleransi


dengan kaki lemas jaringan Aktifitas
1. D0 : pasien datang dg kursi roda
k/u lemah Peningkatan
Kesadaran : Compos mentis Rangsangan
TD : 140 / 80 MmHg nociceptor
N : 79 x / Menit
Kekuatan Otot Nyeri
5 5
Ketakutan
3 3 bergerak atau
malaise

Keterbatasan
rentan gerak

Intoleransi
Aktifitas

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d pembengkakan sendi
2. Intoleransi aktivitas b.d malaise
INTERVENSI KEPERAWATAN

N TANGGAL/J KRITERIA HASIL INTERVENSI


O AM
1. 09/01/2020 NOC :Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
tindakan keperawatan 1) Lakukan pengkajian nyeri
selama 1x4 jam, pasien komprehensip yang meliputi
mampu mengontrol nyeri lokasi, karakteristik,
dibuktikan dengan
onset/durasi, frekuensi,
kriteriahasil:
Mengontrol Nyeri kualitas, intensitas atau
1) Mengenali kapan nyeri beratnya nyeri dan faktor
terjadi pencetus
2) Menggambarkan faktor 2) Observasi adanya pentunjuk
penyebab nyeri non verbal mengenai
3) Menggunakan tindakan ketidaknyamanan terutama
pencegahan nyeri pada mereka yang tidak dapat
4) Menggunakan tindakan berkomunikasi secara efektif
pengurangan 3) Pastikan perawatan
nyeri(nyeri) analgesik bagi pasien
tanpa analgesik dilakukan dengan
5) Menggunakan pemantauan yang ketat
analgesik yang 4) Gunakan strategi
direkomendasikan komunikasi terapeutik
6) Melaporkan perubahan untuk mengetahui
terhadap gejala nyeri pengalaman nyeri dan
pada profesional sampaikan penerimaan
kesehatan pasien terhadap nyeri
7) Melaporkan gejala 5) Gali pengetahuan dan
yang tidak terkontrol kepercayaan pasien
pada profesional mengenai nyeri
kesehatan 6) Pertimbangkan pengaruh
8) Menggunakan sumber budaya terhada prespon
daya yang tersedia nyeri
untuk menangani nyeri 7) Tentukan akibat dari
pengalaman nyeri terhadap
9) Mengenali apa yang kualitas hidup pasien
terkait dengan gejala (misalnya, tidur, nafsu
nyeri makan, pengertian, perasaan,
10) Melaporkan nyeri yang performa kerja dan tanggung
terkontrol jawab peran)
8) Gali bersama pasien faktor-
faktor yang dapat
menurunkan atau
memperberat nyeri
9) Evaluasi pengalaman nyeri
dimasa lalu yang meliputi
riwayat nyeri kronik individu
atau keluarga atau nyeri
yang menyebabkan
disability/ ketidak
mampuan / kecatatan, dengan
tepat
10) Evaluasi bersama pasien
dan tim kesehatan lainnya,
mengenai efektifitas,
pengontrolan nyeriyang
pernah digunakan
sebelumnya
11) Bantu keluarga dalam
mencari dan menyediakan
dukungan
12) Gunakan metode penelitian
yang sesuai dengan tahapan
perkembangan yang
memungkinkan untuk
memonitor perubahan nyeri
dana kan dapat membantu
mengidentifikasi faktor
pencetus aktual dan
potensial (misalnya, catatan
perkembangan, catatan
harian)

2. 09.01/2020 NOC : NIC :


 Self Care : ADLs 1. Observasi adanya pembatasan
 Toleransi aktivitas klien dalam melakukan
 Konservasi eneergi aktivitas
Setelah dilakukan tindakan 2. Kaji adanya faktor yang
keperawatan selama 1x4 jam menyebabkan kelelahan
Pasien bertoleransi terhadap 3. Monitor nutrisi dan sumber
aktivitas dengan
energi yang adekuat
Kriteria Hasil :
 Berpartisipasi dalam 4. Monitor pasien akan adanya
aktivitas fisik tanpa kelelahan fisik dan emosi
secara berlebihan
disertai peningkatan 5. Monitor respon
tekanan darah, nadi dan kardivaskuler terhadap
RR aktivitas (takikardi, disritmia,
 Mampu melakukan sesak nafas, diaporesis, pucat,
aktivitas sehari hari perubahan hemodinamik)
(ADLs) secara mandiri 6. Monitor pola tidur dan
 Keseimbangan aktivitas lamanya tidur/istirahat pasien
dan istirahat 7. Kolaborasikan dengan Tenaga
Rehabilitasi Medik dalam
merencanakan progran terapi
yang tepat.
8. Bantu klien untuk
mengidentifikasi aktivitas
yang mampu dilakukan
9. Bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi
dan sosial
10. Bantu untuk mengidentifikasi
dan mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas
yang diinginkan
11. Bantu untuk mendpatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi
roda, krek
12. Bantu untuk mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
13. Bantu klien untuk membuat
jadwal latihan diwaktu luang
14. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
15. Sediakan penguatan positif
bagi yang aktif beraktivitas
16. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri
dan penguatan
17. Monitor respon fisik, emosi,
sosial dan spiritual.
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

NO TANGGAL/ IMPLEMENTASI EVALUASI


JAM
1 09/01/2020 1. Melaporkan nyeri di S : pasien mengatakan
bagian pinggang, seperti mengerti cara mengatasi
tertekan benda berat, nyeri seperti yang telah
hilang timbul dijelaskan petugas
2. Mengukur skala nyeri : 6
nyeri sedang O : pasien mengerti apa
3. Melaporkan factor yang yang telah dijelaskan
memperberat dan petugas.
memperingan nyeri Pasien dapat mengulangi
4. Melaporkan penyebab penjelasan tentang cara
yaitu inflamasi di sendi, mengatasi nyeri yaitu
periode dan pemicu nyeri dengan tekhnik relaksasi
5. Mengajarkan tekhnik dan distraksi dan
distraksi relaksasi dan penggunaan kompres
penggunaan kompres hangat, dan mengetahui
hangat untuk mengurangi waktu untuk minum obat.
nyeri k/ cukup
6. Mengatur jadwal minum kes. Compos mentis
obat analgesic 2 kali TD : 120/80 mmHg
sehari jam 7 dan jam 18 N : 98x/menit
(methylprednisolone RR : 20x/menit
2x4mg)
A : Masalah teratasi
sebagian

P : Lanjutkan intervensi
pada minggu selanjutnya

2. 09/01/2020 1. Melaporkan aktifitas S : pasien mengatakan


yang mampu dilakukan mengerti apa yang sudah
dan tidak mampu dijelaskan oleh petugas
dilakukan
2. Melaporkan bahwa O : pasien mengerti apa
mampu melakukan yang telah dijelaskan
kegiatan seperti makan, petugas.
mandi, berjalan Pasien dapat menjelaskan
kembali 5 aktifitas yang
menggunakan alat bantu dapat dilakukan seperti :
jalan makan, mandi, berjalan
3. Memberikan pujian atas pelan atau menggunakan
partisipasi dalam alat bantu, peregangan otot,
aktivitas terapi beribadah dan 5 aktifitas
4. Memberikan batasan yang tidak dapat dilakukan
aktivitas seperti memasak,
5. Memberikan contoh menyapu, mengepel,
terhadap aktifitas fisik berlari, dll
yang diperbolehkan k/ cukup
6. Menganjurkan kes. Compos mentis
melakukan aktifitas fisik, TD : 120/80 mmHg
social, spiritual dan N : 98x/menit
kognitif dalam menjaga RR : 20x/menit
fungsi kesehatan
A : Masalah teratasi
sebagian

P : Lanjutkan intervensi
pada minggu selanjutnya

PERMASALAHAN
1. Bagaimana penegakkan diagnosis pada pasien ini?
2. Bagaimana pengaruh SLE terhadap kehamilan dan sebaliknya?
3. Bagaimana penatalaksanaan dan manajemen pada kasus ini?
BAB V ANALISIS KASUS

A. Bagaimana penegakkan diagnosis pada pasien ini?


American Rheumatism Association (ARA) mengumumkan kriteria untuk
klasifikasi SLE yang mengandung 14 item. Namun, karena sensitivitasnya sangat
bervariasi (57,2-98%), maka dilakukan revisi ulang pada tahun 1982, dengan
kriteria revisi ini didapatkan sensitivitas sebesar 96 % dan spesifisitasnya antara 78-
87%. Kemudian the American College of Rheumatology (ACR) melakukan revisi
lagi tahun 1997.1
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini
tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai
penyakit lain misalnya arthritis rheumatoid, glomerulonefritis, anemia, dermatitis
dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi
penting.3,4,5
Tabel 1. Kriteria Diagnosis SLE3,4,5
No. Kriteria Definisi
1. Ruam Malar Ruam berupa erithema terbatas, rata atau
meninggi, letaknya di daerah makular, biasanya
tidak mengenai lipat nasolabialis.
2. Ruam Diskoid Lesi ini berupa bercak eritematosa yang
meninggi dengan sisik keratin yang melekat
disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang
lama mungkin terbentuk sikatriks.
3. Fotosensitifitas Terjadi lesi kulit sebagai akibat reaksi abnormal
terhadap cahaya matahari. Hal ini diketahui
melalui anamnesis atau melalui pengamatan
dokter.
4. Ulkus mulut Ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak
nyeri, diketahui melalui pemeriksaan dokter.
5. Arthritis Arthritis non erosif yang mengenai 2 sendi
perifer ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi.
6. Serositis a. Pleuritis: adanya riwayat nyeri pleural atau
terdengarnya bunyi gesekan pleura oleh dokter
atau adanya efusi pleura.
b. Perikarditis: diperoleh dari gambaran EKG
atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau
adanya efusi perikard.
7. Gangguan Renal a. Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau
>3+atau
b. Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
8. Gangguan Neurologi a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya
obat-obat yang dapat menyebabkan atau
kelainan metabolik seperti uremia, ketoasidosis,
dan gangguan keseimbangan elektrolit atau
b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya
obat-obatan yang dapat menyebabkan kelainan
metabolik seperti uremia, ketoasidosis dan
gangguan keseimbangan elektrolit.
9. Gangguan Hematologi a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau
b. Leukopenia, kurang dari 4000/mm3 pada 2x
pemeriksaan atau lebih atau
c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2x
pemeriksaan atau lebih atau
d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3
tanpa adanya obat yang mungkin
menyebabkannya.
10. Gangguan Imunologi a. Adanya sel LE atau
b. Anti DNA : antibodi terhadap native DNA
dengan titer abnormal atau
c. Anti Sm : adanya antibodi terhadap antigen inti
atau otot polos atau
d. Uji serologis untuk sifilis yang positif semu
selama paling sedikit 6 bulan dan diperkuat oleh
uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji
fluoresensi absorbs antibodi treponema.
11. Antibodi antinuklear Titer abnormal antinuklear antibodi yang diukur
positif (ANA) dengan cara imuno fluoresensi atau cara lain
yang setara pada waktu yang sama dan dengan
tidak adanya obat-obat yang berkaitan dengan
sindroma lupus karena obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85%
dan spesifisitas 95%, sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya
tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan
observasi jangka panjang diperlukan.3-8
Pemeriksaan penunjang minimal lain, yang diperlukan untuk diagnosis dan
monitoring:4
1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED).
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid).
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3, C4)
6. Foto polos thoraks:
 Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
 Setiap 3-6 bulan bila stabil
 Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu
pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.4
Pada kasus ini, pasien telah didiagnosis SLE sekitar 2 tahun yang lalu dan rutin
mengonsumsi methylprednisolon rutin 1x4 mg, dari anamnesis didapatkan keluhan
pasien berupa wajah menjadi kemerahan saat terkena sinar matahari, nyeri sendi, ,
badan lemas. Pasien juga mengatakan bahwa saat ini pasien sedang hamil. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, malar rash, discoid rash,
stomatitis, mukosa mulut kering, tidak didapatkan kelainan pada paru dan jantung,
serta pemeriksaan obstetri didapatkan tinggi fundus uteri 26 cm, tanpa adanya
massa, tidak nyeri tekan, tidak terdapat tanda cairan bebas, didapatkan DJJ namun
tidak didapatkan his pada pemeriksaan luar. Pada pemeriksaan dalam didapatkan
portio kenyal, posterior, pendataran 0 %, pembukaan 1 cm, ketuban dan penunjuk
belum dapat dinilai. Pemeriksaan penunjang berupa hasil laboratorium didapatkan
pasien mengalami anemia sedang, leukopenia, trombositopenia, hipoalbuminemia,
hipokalemia, dan hipokalsemia.
Pasien telah memenuhi kriteria ACR untuk diagnosis SLE, sehingga pasien
didiagnosis dengan G2P1A0 hamil 37 minggu dengan SLE.

B. Bagaimana pengaruh SLE terhadap kehamilan dan sebaliknya?

Pengaruh Kehamilan terhadap SLE


SLE merupakan penyakit autoimun yang melibatkan berbagai sistem organ. Flare
SLE dapat terjadi kapan pun, termasuk saat hamil dan pasca persalinan tanpa pola
yang pasti. Perubahan hormonal dan fisiologis dapat terjadi selama kehamilan dan
mempengaruhi aktivitas lupus. Beberapa penelitian melaporkan kekambuhan lupus
selama kehamilan, namun umumnya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat
nefritis masih aktif maka 50-60% pasien mengalami eksaserbasi, sementara jika
nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang
mengalami kekambuhan. Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan
eklampsia juga meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan faktor
predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS). Peningkatan
respon inflamasi selama lupus flare dapat menyebabkan komplikasi yang signifikan
selama kehamilan.1,9
Membedakan preeklampsia dengan lupus nepritis sulit karena keduanya
mengalami hipertensi, proteinuria, edema dan perburukan fungsi ginjal. Pada renal
flare terjadi penurunan kadar C3/C4, peningkatan kadar anti-dsDNA dan membaik
dengan pemberian steroid. Sedangkan pada preeklampsia, kadar C3/C4 membaik,
tidak ada perubahan pada kadar anti-dsDNA, dan memburuk dengan pemberian
steroid.9
Gejala dan tanda kehamilan fisiologis yang dapat menyerupai aktivitas lupus
selama kehamilan:6,9
1. Lemas
Keluhan lemas dapat terjadi pada kehamilan fisiologis maupun pada pasien
lupus.
2. Eritema Palmaris dan facial blush
Pada kehamilan fisiologis peningkatan estrogen dapat mengakibatkan blushing
pada kulit, namun lupus flare juga memiliki tanda tersebut.
3. Artralgia dan efusi sendi
Kehamilan juga bisa disertai dengan nyeri kepala dan nyeri punggung bawah
akibat hormon relaksin, peningkatan level estrogen, dan retensi cairan.
4. Sesak napas
Pada kehamilan hal ini terjadi akibat pendesakan diafragma.
5. Rambut rontok
Dapat terjadi kerontokan rambut selama puerpurium dan paska persalinan pada
kehamilan normal
6. Penurunan hemoglobin dan platelet
Selama kehamilan terjadi peningkatan volume darah sebesar 50% dan berakibat
pada hemodilusi. Akan tetapi hemolitik anemia dan jumlah platelet kurang dari
100.000/mm3 biasa muncul pada aktivitas lupus selama kehamilan ataupun
bagian dari HELLP syndrome.
7. Peningkatan volume dan laju filtrasi glomerular mengakibatkan penurunan
kreatinin serum dan peningkatan proteinuria biasa terjadi pada kehamilan
normal. Level kreatinin serum yang stabil selama masa kehamilan merupakan
petunjuk adanya insufisiensi renal yang biasa terjadi pada nefritis lupus.
Peningkatan proteinuria lebih dari 2 kali proteinuria basal merupakan hal
abnormal, dimana pada kehamilan normal biasa mencapai hingga 300 mg/24
jam. Level kreatinin serum >140 μmol/L berkaitan dengan 50% pregnancy loss
yang dapat meningkat hingga 80% saat level kreatinin serum >400 μmol/L.
Bertahannya alograf janin in utero pada kehamilan normal diduga terjadi akibat
terbentuknya toleransi maternal terhadap alograf janin yang merupakan hasil
interaksi dari berbagai faktor seperti peranan plasenta, aktifitas sistem imunitas
janin, imunitas seluler dan humoral maternal, blocking faktor maternal dan janin
dalam kehamilan.3,9,10,11
Plasenta merupakan sawar selektif terhadap pelintasan sel imunokompeten dan
faktor humoral antara ibu dan janin. Diduga plasenta merupakan suatu organ
penyerap imunologik, yang terutama berperanan dalam melakukan pembersihan
antibodi maternal yang dapat menyebabkan pembentukan dan pengendapan
kompleks imun atau antibodi sitotoksik terhadap antigen janin. Plasenta juga
mengikat dan menginaktivasi antibodi maternal terhadap berbagai antigen paternal
seperti antigen kompleks selaras jaringan utama (MHC antigen) paternal yang
melintasi plasenta. Dengan demikian semua antigen maternal, kompleks imun dan
agregat IgG yang melintasi lapisan trofoblas plasenta akan dieliminasi oleh
makrofag janin.9,10,11

Gambar 1. Patogenesis kehamilan dengan SLE9

Perubahan imunitas humoral maternal pada kehamilan normal juga berperanan


dalam mencegah terjadinya penolakan alograf janin. IgG calon ibu dalam
kehamilan normal dapat menghambat sifat limfositotoksis maternal terhadap sel
trofoblast janin. Peningkatan kadar hormon progesteron, estrogen dan kortisol,
human chorionik gonadotropin (hCG) dan somatotropin dapat menghambat
imunitas seluler pada pertemuan (interface) antara janin dan ibunya. Hormon
estrogen dan progesterone kehamilan diduga bersifat imunosupresif secara lokal
pada situs plasenta, sedangkan hCG dapat menghambat proliferasi limfosit.9,10,11
Terbentuknya faktor penghambat dalam kehamilan serum pregnancy blocking
factors (SPBF) merupakan salah satu dari beberapa mekanisme yang telah
diketahui berpengaruh dalam melindungi fetus dalam penolakan sistem imunitas
maternal.23 Sistem imunitas janin juga berperanan dalam menghambat pengaruh
antibodi maternal. Mekanisme ini diduga terjadi karena terdapatnya suatu soluble
suppressor factor yang disekresi oleh sel T penekan janin yang melintasi plasenta
dan masuk ke dalam sirkulasi ibu untuk menekan antibodi maternal. Selain itu α
feto protein (AFP) juga diduga memiliki sifat imunosupresif dan dapat
mengaktivasi sel T penekan janin.9,10,11
Perubahan yang terjadi selama kehamilan dapat mempengaruhi keparahan lupus
yang melibatkan hormon ibu dan plasenta, peningkatan sirkulasi, peningkatan
volume cairan, peningkatan laju metabolik, hemodilusi, sel fetal dalam sirkulasi,
serta faktor-faktor lainnya yang terjadi selama kehamilan. Lupus flare biasa terjadi
selama kehamilan dengan risiko sebesar 0,06-0,136 selama bulan kehamilan.9,10,11
Lupus Activity Index in Pregnancy merupakan salah satu alat bantu untuk
mengenali gejala dan tanda aktivitas lupus selama kehamilan yang memiliki
sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Aktivitas lupus saat kehamilan dapat berupa
flare yang sangat parah. Terjadi peningkatan risiko aktivitas lupus selama
kehamilan sebesar 2-3 kali, dibandingkan pasien wanita yang tidak hamil, dimana
sebagian besar mengalami flare ringan, 1/3 kasus mengalami flare sedang hingga
berat. Sebagian besar aktivitas lupus selama kehamilan dapat melibatkan kulit,
persendian, dan gejala konstitusional. Hal tersebut juga nampak pada kehamilan
biasa, sehingga seringkali tidak terdiagnosis sebagai aktivitas lupus.3,9
Penilaian aktivitas penyakit SLE (lupus flare) dapat menggunakan kriteria MEX
SLEDAI, yang meliputi:3,9
a. Gangguan neurologi (bobot 8)
1) CVA (Cerebrovascular accident): sindrom baru, eksklusi
arteriosklerosis.
2) Kejang: onset baru, eksklusi metabolik, infeksi, atau pemakaian obat.
3) Sindrom otak organik: eksklusi penyebab metabolik, infeksi atau
penggunaan obat.
4) Mononeuritis
5) Mielitis: eksklusi penyebab lainnya.
b. Gangguan ginjal (bobot 6)
1) Cast, heme granular atau sel darah merah.
2) Hematuria: >5/lpb, eksklusi penyebab lainnya (batu atau infeksi)
3) Proteinuria: onset baru > 0,5 g/l pada random spesimen.
4) Peningkatan kreatinin (>5 mg/dl)
c. Vaskulitis (bobot 4): ulserasi, ganggren, nodul pada jari yang lunak, infark
periungual, splinter haemorrhages.
d. Hemolisis (bobot 3): Hb<12,0 g/dl dan koreksi retikulosit > 3%,
trombositopenia < 100.000 bukan disebabkan oleh obat.
e. Miositis (bobot 3)
f. Artritis(bobot 2)
g. Gangguan mukokutaneous(bobot 2):
1) Ruam malar: onset baru atau malar eritema yang menonjol
2) Mucous ulcers
3) Abnormal alopecia
h. Serositis(bobot 2): pleuritis, pericarditis, peritonitis
i. Demam(bobot 1)
j. Lekopenia(bobot 1): sel darah putih < 4000/mm3, bukan akibat obat.
Masukkan bobot MEX SLEDAI bila terdapat gambaran deskripsi pada saat
pemeriksaan atau dalam 10 hari terakhir. Interpretasinya:3
a. ≥ 12: flare berat, diperlukan pulse dose metilprednisolon 500-1000 mg
perhari selama 3 hari.
b. 9-11: flare moderat,
c. 4-8: flare ringan,
d. < 4: bukan flare.
Untuk flare ringan-moderate, bila sudah mendapat terapi steroid, dilanjutkan
pemberian steroid dengan imunosupresan.
Walaupun demikian terjadinya eksaserbasi SLE selama kehamilan,
menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas ibu, terutama pada masa
peripartum. Pada suatu penelitian retrospektif, telah dibuktikan bahwa eksaserbasi
SLE dalam kehamilan 3 kali lebih besar pada 20 minggu kehamilan dan 8 kali lebih
besar pada 8 minggu post partum. Beberapa ahli menganggap bahwa kehamilan
mempresipitasi timbulnya SLE, di mana kematian yang terkait dengan penyakit
tersebut secara bermakna lebih tinggi. Hal ini merupakan alasan sebagian ahli
bahwa penderita SLE tidak diperbolehkan untuk hamil.6,9
Pada suatu penelitian lain telah membuktikan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna flare score antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Peneliti yang
sama mengikuti kehamilan 80 wanita dengan SLE, disimpulkan bahwa kejadian
eksaserbasi SLE dengan kehamilan kurang dari 25% dan sebagian besar dengan
klinis yang ringan. Jika hanya menggunakan gejala dan tanda spesifik untuk SLE,
maka kejadiannya hanya 13%. Abortus merupakan suatu tindakan yang sangat tidak
dianjurkan pada penderita SLE, karena dapat menyebabkan timbulnya eksaserbasi
klinis pasca abortus. Bila abortus harus dilakukan maka tindakan tersebut harus
dilakukan sedini mungkin. Pasien pasca abortus harus dilindungi dengan pemberian
kortikosteroid oral dosis tinggi selama 6 bulan.9

Pengaruh SLE terhadap Kehamilan


Pada penderita SLE, gangguan imunoregulasi seluler seperti peningkatan aktivitas
sel T penolong dan inhibisi sel T penekan akan menyebabkan peningkatan
proliferasi dan aktifitas sel B sehingga menimbulkan hiperaktifitas respon imunitas
humoral.9,10,11
Peningkatan aktifitas respon imunitas humoral akan menyebabkan terjadinya
produksi autoantibodi poliklonal yang berlebihan terhadap antigen tubuh sendiri
seperti antibodi terhadap komponen inti sel, struktur sitoplasma, sel mononuklear
(MN), polimorfonuklear (PMN), trombosit, eritrosit dan berbagai bentuk molekul
antigenik tubuh lainnya seperti imunoglobulin tertentu dan fosfolipid.9,10,11
Autoantibodi yang berikatan dengan antigennya akan menyebabkan
terbentuknya komplek imun.8,25 Kompleks imun selanjutnya akan mengaktifasi
sistem komplemen untuk melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil
untuk membebaskan amin vasoaktif seperti histamin yang menyebabkan terjadinya
peningkatan permeabilitas vaskuler terutama pada arteri kecil dan arteriole.
Peningkatan permeabilitas vaskuler ini akan menyebabkan terjadinya pengendapan
kompleks imun pada sel endotel arteri dan arteriol jaringan, yang selanjutnya akan
menginduksi terjadinya agregasi trombosit, membentuk mikrotrombus pada
jaringan kolagen membran basalis sel endotel. Sel radang seperti PMN, MN,
basofil, dan sel mast, yang tertarik ke arah lesi oleh peptide kemotaktik komplemen,
tidak mampu untuk melakukan fagositosis terhadap seluruh endapan kompleks
imun ini dan akan membebaskan enzim lisosomal yang merupakan mediator
inflamasi yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan vaskuler yang lebih jauh.
Pada SLE aktif dapat dijumpai infiltrasi perivaskuler oleh sel MN.9,10,11
Selanjutnya sistem komplemen akan membentuk membrane attack complex
yang akan menyebabkan terjadinya lisis selaput sel sehingga akan memperberat
kerusakan jaringan yang telah terjadi. Pada plasenta proses ini akan menyebabkan
terjadinya vaskulitis desidual. Selain gangguan respon imunitas seluler dan humoral
pada ibu penderita SLE, terbentuk pula antibodi maternal seperti antibodi terhadap
membran fosfolipid sel yang bermuatan negatif yang lebih dikenal sebagai antibody
antifosfolipid (APL). Terdapat dua jenis APL yang berperan penting pada SLE yaitu
lupus anti coagulant (LAC) dan antibodi anti kardiolipin (ACL). Kedua jenis
antibodi ini telah diketahui berhubungan dengan kejadian abortus habitualis pada
wanita hamil tanpa kelainan ginekologis atau gangguan fertilitas yang jelas.9,10,11
Dengan demikian secara ringkas dapat disimpulkan bahwa terjadinya abortus
spontan atau kematian janin sangat mungkin disebabkan oleh vaskulitis desidual
plasenta, diathesis trombotik akibat pengaruh LAC dan ACL, trombositopenia serta
hipokomplementemia pada calon ibu penderita SLE. Kelainan di atas akan
menyebabkan berkurangnya ukuran berat plasenta, dan penebalan membran basalis
trofoblast yang akan mengganggu aliran darah ke arah plasenta sehingga
menyebabkan terjadinya deprivasi janin sampai abortus atau kematian janin.9,10,11
Wanita penderita SLE juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk melahirkan
bayi dengan sindroma lupus neonatal (SLN), bahkan lama sebelum mereka sadari.
SLN berhubungan dengan terjadinya perlintasan transplasental dari antibodi IgM
terhadap protein ribonuklear janin seperti Anti-Ro (SS-A), Anti-La (SSB) dan Anti-
RNP. Gejala klinik yang paling sering dijumpai pada SLN adalah lesi kutaneus
lupus subakut yang bersifat fotosensitif, sedangkan blok jantung kongenital relatif
jarang dijumpai. Namun demikian, pada beberapa kasus dapat dijumpai pula
manifestasi kelainan tersebut secara bersamaan.9,10,11
Kehamilan pada SLE berhubungan dengan risiko komplikasi yang lebih tinggi
dibandingkan wanita normal. Sebuah studi berbasis data nasional dari 16,7 juta
persalinan dilaporkan peningkatan berkali lipat dari risiko kematian ibu,
preeklamsia, persalinan prematur, trombosis, infeksi, dan komplikasi hematologi
selama kehamilan pada SLE. Namun, hasil ini harus ditafsirkan dengan hati-hati.
Pasien SLE yang tidak hamil juga berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi
medis dan peningkatan mortalitas. Selain itu, wanita dengan SLE dalam penelitian
ini lebih tua dan memiliki tingkat komorbiditas yang lebih tinggi secara
signifikan.7,12,13,14
Masalah terbesar adalah risiko 3-5 kali lebih tinggi dari pre-eklampsia, menjadi
penyulit bagi 16-30% kehamilan dengan SLE. Faktor predisposisi untuk
preeklampsia termasuk ibu lanjut usia, riwayat penyakit dahulu atau keluarga
sebelumnya mengalami preeklampsia, hipertensi yang sudah ada sebelumnya atau
diabetes melitus, dan obesitas. Dalam SLE, faktor risiko spesifik tambahan
termasuk penyakit yang aktif, riwayat lupus nephritis, adanya antibodi anti-
fosfolipid, penurunan komplemen, dan trombositopenia.7,11-14
Masalah obstetrik utama pada kehamilan dengan SLE adalah angka kematian
janin yang lebih tinggi terkait abortus spontan, abortus berulang, kelahiran
prematur, intra-uterine growth restriction (IUGR), kelainan pernapasan,
kardiovaskular, darah, kulit, hingga gangguan pada otak, dan sindrom lupus
neonatal. Hal ini disebabkan oleh vaskulopati desidual yang berhubungan dengan
infark plasenta. Antibodi anti-RO/SSA dan anti-LA/SSB dapat pula merusak jantung
dan sistem regulasi sehingga menyebabkan kematian bayi.7 Namun, tingkat kematian
janin telah menurun dan tingkat kelahiran hidup mencapai 80-90% dari laporan
terbaru. Penyakit aktif dan lupus nephritis meningkatkan risiko kematian janin dan
efek samping lainnya. Proteinuria, hipertensi, trombositopenia, dan adanya antibodi
anti-fosfolipid adalah prediktor negatif lainnya untuk kelangsungan hidup
janin.7,12,13,14
Kelahiran prematur dan morbiditas terkait adalah masalah yang paling sering
terjadi pada kehamilan dengan SLE. Penyakit tiroid juga dikaitkan dengan risiko
kelahiran prematur yang lebih tinggi pada kehamilan SLE. Sekitar 10-30%
kehamilan dengan SLE mengalami IUGR dan bayi kecil untuk usia kehamilan.
7,12,13,14

Wanita penderita SLE umumnya tidak mengalami gangguan dalam fungsi


reproduksinya dan dapat mengalami kehamilan kecuali jika penyakit yang
dideritanya telah sangat berat dan aktif. Gangguan fertilitas pada wanita penderita
SLE lebih berhubungan dengan keterlibatan organ vital terutama ginjal.7
Kelainan organ vital merupakan kontraindikasi bagi wanita penderita SLE untuk
hamil. Kontraindikasi relatif dari kehamilan antara lain, flare lupus parah dalam 6
bulan terakhir, stroke dalam 6 bulan terakhir, hipertensi pulmonal, gagal jantung
moderat hingga parah, valvulopati parah, penyakit paru restriktif parah, CKD stage
4-5, hipertensi tidak terkontrol, dan riwayat preeklamsia atau sindrom HELLP onset
awal (<28 minggu) meskipun telah diterapi dengan aspirin dan heparin.11,15
Dengan berkembangnya penatalaksanaan SLE seperti yang umum digunakan
sekarang, prognosis penderita SLE saat ini jauh lebih baik dibandingkan masa lalu.
Saat ini kemungkinan untuk hamil dan melahirkan normal meningkat. Walaupun
pada eksaserbasi SLE selama kehamilan menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas ibu terutama pada masa peripartum.1
Prognosis ibu pada penderita SLE lebih banyak ditentukan pada saat konsepsi.
Bila konsepsi pada masa tenang, prognosisnya lebih baik. Hal ini bisa dicapai
dengan manipulasi terapeutik selama beberapa bulan sebelum konsepsi. Selama ini
dilakukan evaluasi klinis dan laboratorium secara ketat. Pada penderita SLE yang
ingin hamil, kehamilan ditunda selama minimal 6 bulan dalam kondisi terkontrol,
sebelum konsepsi dilakukan.1
C. Bagaimana penatalaksanaan dan manajemen pada kasus ini?
Baik untuk SLE ringan, sedang atau berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan
atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan
secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai.
Tujuan khusus pengobatan SLE adalah:7
a. Mendapatkan masa remisi yang panjang
b. Menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin
c. Mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup
keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal
Pilar pengobatan SLE antara lain edukasi dan konseling, program rehabilitasi,
dan pengobatan medikamentosa (OAINS, antimalaria, steroid, imunosupresan/
Sitotoksik, serta terapi lain).4,5,6,8
Edukasi pasien mengenai penghindaran pemicu yang diketahui dan modifikasi
gaya hidup adalah komponen kunci dalam pencegahan dan pengobatan flare dan
mengurangi morbiditas terkait. Pasien yang fotosensitif harus membatasi paparan
sinar UV dengan menghindari sinar matahari dan mengaplikasikan tabir surya.
Membatasi stres harian telah terbukti mengurangi flare dan pengobatan dengan
steroid. Gaya hidup seimbang yang terdiri istirahat dan olahraga meningkatkan
massa otot, mengurangi risiko kardiovaskular dan osteoporosis. Pasien yang
merokok harus diberi konseling untuk berhenti merokok. Selain meningkatkan
risiko berbagai keganasan, rokok dikaitkan dengan penyakit yang lebih aktif dan
respon jelek terhadap pengobatan dengan antimalarial pada pasien dengan penyakit
kulit. Pasien SLE berisiko kekurangan vitamin D dan harus dipantau secara ketat
dengan pemeriksaan laboratorium dan diberikan suplementasi. Hal ini sebagian
disebabkan karena paparan sinar matahari yang berkurang, tetapi kegagalan ginjal
dan penggunaan steroid kronis juga meningkatkan kebutuhan akan pengawasan
osteoporosis dan pengobatan yang sesuai dengan kalsium, vitamin D, dan
bifosfonat. SLE dikaitkan dengan peningkatan risiko limfoma (terutama non-
Limfoma hodgkin), paru-paru, dan keganasan serviks. Pasien harus menjalani
skrining kanker serviks tahunan selain skrining kanker sesuai usia yang
direkomendasikan untuk populasi umum. vaksinasi influenza dan pneumokokus
juga merupakan langkah-langkah pencegahan penting akibat peningkatan risiko
infeksi sekunder akibat disfungsi sistem kekebalan tubuh dan penggunaan obat
imunosupresif.4
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya.

Tabel 2. Jenis dan Dosis Obat untuk SLE6


Pengobatan SLE berdasarkan aktivitas penyakitnya:4,5,6,8
a. Pengobatan SLE Ringan
Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di
atas tercapai yaitu:
1. Obat-obatan:
a) Penghilang nyeri seperti parasetamol 3x 500 mg, bila diperlukan.
b) Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.
c) Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
potensi ringan).
d) Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kgBB/hari (150-300 mg/ hari) ( 1 tablet
klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa). Catatan: periksa
mata pada saat awal pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan. Sementara
hidroksiklorokuin dosis 5-6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan
periksa mata setiap 6-12 bulan.
e) Kortikosteroid dosis rendah seperti prednisone < 10 mg/ hari atau
yangsetara.
2. Tabir surya: gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor
sekurang-kurangnya 15 (SPF 15).
b. Pengobatan SLE Sedang
Pilar pengobatan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa regimen obat-obatan tertentu
serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serositis yang
refrakter: 20 mg/ hari prednisone atau yang setara.
c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
sebagaimana tercantum di bawah ini.
1) Glukokortikoid dosis tinggi
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40-60 mg/ hari (1mg/kgBB)
prednisone atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan
secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intravena 500
mg sampai 1 gram/hari selama berturut-turut.

2) Obat Imunosupresan atau Sitotoksik


Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan atau sitotoksik yang biasa
digunakan pada SLE yaitu: azatioprin, siklofosfamid, metotreksat,
siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis,
lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan
gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena
memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.
Algoritma penatalaksanaan SLE

Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan SLE.1


Keterangan: TR:tidak respon, RS: respon, RP: respon penuh, KS: kortikosteroid setara prednisone,
MP:metilprednisolon, AZA: azatioprin, OAINS: obat anti inflamasi non steroid, CYC: siklofosfamid, NPSLE:
neuropsikiatri SLE.

d. Terapi lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:
1) Intravena immunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/ kgBB/ hari selama
5 hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia
hemolitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau
demam yang refrakter dengan terapi konvensional.
2) Plasmaparesis pada pasien SLE dengan sitopenia, krioglobulinemia dan
lupus serebritis.
3) Thalidomide 25-50 mg/ hari pada lupus discoid.
4) Danazol pada trombositopenia refrakter.
5) Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid sparring
effect pada SLE ringan.
6) Dapson dan derivate retinoid pada SLE dengan menifestasi kulit yang
refrakter dengan obat lainnya.
7) Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE
yang berat.
8) Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas
stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE (saat ini
belum tersedia di Indonesia).
9) Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
10) Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.

Penatalaksanaan SLE pada Kehamilan


Kehamilan dengan SLE adalah kehamilan dengan risiko tinggi. Penatalaksanaan
lupus pada wanita secara ideal dimulai sebelum terjadinya kehamilan. Konseling
prakehamilan dibutuhkan dalam mengestimasi risiko pasien dan meninjau kembali
pengobatan lupus. Peninjauan terhadap pengobatan diperlukan untuk mencegah
efek teratogenik, penghentian obat-obat tertentu dan memulai pengobatan baru
untuk melindungi ibu dan janin dari efek samping pengobatan tersebut.9,12
Penatalaksanaan ini memerlukan pengawasan dan evaluasi terhadap ibu setidaknya
6 bulan sebelum kehamilan agar tercapai luaran kehamilan yang baik.7,16
Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan SLE dengan
kehamilan yaitu kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit SLE dan
plasenta dan fetus dapat menjadi target dari autoantibodi maternal sehingga dapat
berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya SLE.4,9-11
Sehingga penatalaksanaan LES pada kehamilan memerlukan pendekatan
mutidisiplin dan koordinasi yang baik serta follow-up yang meliputi bidang
rematologi dan obstetri yang berpengalaman terkait kehamilan risiko tinggi serta
nefrologis terkait gangguan ginjal. Saat kehamilan sudah dipastikan, pemantuan
serta evaluasi basal terkait aktivitas penyakit, keparahan, dan keterlibatan sistem
organ sebaiknya segera dilaksanakan.9
Dalam perencanaaan kehamilan dengan SLE perlu dilakukan konseling dengan
tahap sebagai berikut:
1. Penilaian Risiko: umur pasien, kehamilan sebelumnya, keterlibatan organ
dan kerusakan ireversibel, skor SLEDAI
2. Identifikasi kemungkinan adanya APS, anti-Ro/anti-La
3. Penyesuaian terapi yang sudah didapat
4. Pertimbangkan kontraindikasi kehamilan pada penyakit yang aktif
(SLEDAI >8)
5. Obat-obatan yang merupakan kontraindikasi pada kehamilan harus diganti
dengan yang lebih aman, dan pertahankan 2-3 bulan dengan obat yang baru
hingga benar terjadi remisi
6. Tatalaksana penyakit aktif
7. Pertimbangkan aspirin dosis rendah dari trimester pertama sampai
melahirkan untuk mengurangi risiko preeklamsia terutama pada pasien
dengan lupus nefritis.6,9,17
Kunjungan prenatal dilakukan setiap 4 minggu hingga usia kehamilan 20
minggu, setiap 2 minggu hingga usia kehamilan 28 minggu, dan setiap minggu
hingga persalinan tercapai. Pasien SLE yang hamil bisa mencapai luaran kehamilan
yang baik dengan penanganan dan pengobatan lupus yang tepat sebelum maupun
selama kehamilan. Pasien SLE yang hamil yang memperoleh pengobatan
imunosupresif memerlukan profilaksis terhadap risiko infeksi serta imunisasi
influenza dan vaksin pneumokokus.6,9,17

Pilihan Medikamentosa pada Kehamilan dengan SLE


Modalitas utama dalam pengobatan SLE adalah penggunaan kortikosteroid, obat
antiinflamasi non steroid (OAINS), aspirin, antimalaria, dan imunosupresan. Akan
tetapi untuk pengobatan LES dalam kehamilan terdapat kecenderungan untuk tidak
memberikan pengobatan secara polifarmaka dan pemberian obat harus dimulai
pada dosis serendah mungkin yang masih bermanfaat untuk penekanan aktifitas
SLE. Pengobatan SLE yang aman selama prakonsepsi maupun selama konsepsi
diperlukan termasuk meminimalisir risiko efek samping terhadap kesejahteraan
janin.9,11,15,17 Klasifikasi pengobatan yang aman pada kehamilan ditunjukkan oleh
klasifikasi FDA sesuai tabel 3.
Tabel 3. United State FDA pharmaceautical pregnancy categories1
Tabel 4. Obat-obatan SLE pada kehamilan dan menyusui32

1. OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid)


Efek OAINS (obat antiinflamasi nonsteroid) pada janin bergantung pada usia
kehamilan itu sendiri. Berbagai studi kohort terkait penggunaan OAINS selama
trimester pertama dan kedua tidak menunjukkan adanya peningkatan risiko
terkait efek teratogenik. Akan tetapi, efek OAINS yang menghambat sintesis
prostaglandin dikaitkan dengan efek konstriksi duktus arteriosus, hipertensi
pulmoner yang persisten, disfungsi renal pada neonatus, peningkatan perdarahan
ibu, dan pemanjangan masa kehamilan serta persalinan. Prostaglandin
meningkatkan kontraksi uterus, agregasi platelet, dan aliran darah renal janin.
OAINS dapat berefek pada penurunan produksi urine janin. Namun, terdapat
hubungan antara NSAID yang digunakan pada awal trimester dengan cacat lahir.
Terdapat peningkatan risiko gangguan fungsi ginjal janin dengan penggunaan
steroid setelah usia kehamilan 20 minggu. Karenanya, harus berhati-hati saat
menggunakan NSAID selama awal kehamilan.12 Jika OAINS memang
diperlukan selama trimester pertama dan kedua, sebaiknya dipilih dari golongan
ibuprofen.1,9,11,15,17

2. Obat Antimalaria
Hidrocloroquine (HCQ) merupakan obat antimalaria yang paling sering
digunakan pada SLE. Pada ibu hamil, obat ini juga digunakan sebagai profilaksis
malaria tanpa efek teratogenik. Mekanisme kerja HCQ melibatkan inhibisi
proses antigen dan pelepasan sitokin inflamasi. Obat ini sangat efektif pada
discoid lupus erythematosus (DLE) yang melibatkan lesi kulit. HCQ mengurangi
efek fotosensitif berupa lesi kulit dan mencegah lupus flare. HCQ juga mencegah
lupus renal dan cerebral lupus. Sehingga HCQ memiliki peranan sebagai agen
profilaksis terkait morbiditas mayor pada SLE dan efek dari pengobatan SLE,
terutama hiperlipidemia, diabetes mellitus, dan thrombosis. Waktu paruh HCQ
dalam darah berkisar 8 minggu dan berakumulasi dalam jaringan tubuh, di mana
penghentian HCQ yang segera dilakukan setelah konsepsi tidak mencegah
paparan janin terhadap obat ini. HCQ sering digunakan untuk menangani
hiperaktivitas lupus dan dapat menurunkan aktivitas lupus selama
kehamilan.9,11,15,17
3. Kortikosteroid
Pemakaian kortikosteroid cukup aman selama kehamilan, namun diperlukan
pemantauan terkait hipertensi pada ibu hamil, diabetes mellitus gestasional,
infeksi, peningkatan berat badan, akne, dan kelemahan otot proksimal.
Pencapaian dosis terapeutik terendah disertai penambahan suplemen vitamin D
dan kalsium diperlukan mengontrol flare penyakit.1,12
Kortikosteroid dimetabolisme oleh plasenta II-betahydroxy steroid
dehydrogenase (II-beta HSD) yang mengkonversi kortison aktif menjadi inaktif,
sehingga konsentrasi kortikosteroid dalam darah janin sebesar 10% dari
konsentrasi kortikosteroid dalam darah ibu. Hal ini memerlukan pertimbangan
evaluasi adanya insufisiensi adrenal pada janin. Pemakaian kortikosteroid pada
ibu hamil dengan lupus sebaiknya memilih golongan deksametason atau
betametason, yang menjadi inaktif oleh placental II-beta hydorxysteroid
dehydrogenase, sehingga risiko terjadinya kematian janin dan sindrom distress
napas pada bayi preterm dapat menurun. Pemberian dosis tunggal kortikosteroid
pada ibu hamil direkomendasikan untuk meningkatkan pematangan paru-paru.
Sedangkan pemberian dosis berulang setiap minggu selama kehamilan
sebaiknya dihindari pada ibu hamil dengan risiko persalinan preterm. Pasien
yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid jangka panjang selama kehamilan
sebaiknya mendapatkan hidrokortison stress dose yang diindikasikan pada
pemanjangan waktu persalinan, seksio sesaria, ataupun operasi emergensi.1
Pemberian dosis stress kortikosteroid direkomendasikan pada keadaan stress,
infeksi dan pada tindakan perioperatif, termasuk persalinan dan seksio sesaria.1
a) Pemberian dosis stress kortikosteroid adalah dua kali atau sampai 15 mg
prednisone atau setaranya.
b) Pada tindakan operasi besar dapat diberikan 100 mg hidrokortison intravena
pada hari pertama operasi, diikuti dengan 25 sampai 50 mg hidrokortison
setiap 8 jam untuk 2 atau 3 hari, atau dengan melanjutkan dosis
kortikosteroid oral atau setara secara parenteral pada hari pembedahan
dilanjutkan dengan 25-50 mg hidrokortison setiap 8 jam selama 2 atau 3
hari.
c) Pada bedah minor, cukup dengan meningkatkan sebesar dua kali dosis oral
atau meningkatkan dosis kortikosteroid sampai 15 mg prednisone atau
setara selama 1 sampai 3 hari.
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Dosis yang digunakan bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari
pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.1
Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah:1
a) Dosis rendah: ≤ 7,5 mg prednisone atau setara perhari
b) Dosis sedang: > 7,5 mg, tetapi ≤ 30 mg prednisone atau setara perhari
c) Dosis tinggi: > 30 mg, tetapi ≤ 100 mg prednisone atau setara perhari
d) Dosis sangat tinggi: > 100 mg prednisone atau setara perhari
e) Terapi pulse: ≥ 250 mg prednisone atau setara perhari untuk 1 hari atau
beberapa hari.
Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis
sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi
pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis
lupus, lupus cerebral.1,12
Tabel 5. Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid pada Reumatologi1

Paparan steroid harus dibatasi seminimal mungkin selama kehamilan. Dosis


tinggi selama kehamilan dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes, hipertensi,
pre-eklampsia dan ketuban pecah dini. Namun, dalam kasus flare penyakit, dosis
tinggi singkat dan atau pulse metilprednisolon intravena dapat digunakan. Pasien
dengan terapi steroid jangka panjang juga harus menerima dosis stres pada saat
persalinan. Penggunaan senyawa terfluorinasi, seperti dexamethasone dan
betametason harus dibatasi dalam penggunaannya untuk kematangan paru janin
dalam kasus persalinan prematur. Penggunaan berulang terkait dengan gangguan
perkembangan neuro-psikologis anak di kemudian hari dan harus dihindari.12
4. Aspirin
Pengobatan dengan aspirin dosis rendah selama kehamilan diindikasikan pada
ibu hamil dengan SLE, hipertensi, riwayat preeklampsia, dan penyakit ginjal.
Aspirin dapat melewati plasenta dan menyebabkan kelainan kongenital namun
hal ini sangat jarang terjadi pada manusia. Wanita hamil yang menggunakan
aspirin dosis rendah mengalami penurunan risiko terhadap persalinan preterm
dibandingkan kelompok placebo. Aspirin sendiri memiliki efek antifosfolipid
dan sebaiknya dihentikan penggunaannya 8 minggu menjelang persalinan untuk
mencegah kehamilan postterm dan pemanjangan waktu persalinan, serta risiko
perdarahan selama persalinan dan komplikasi perdarahan pada janin.9,11,15,17
5. Obat Antihipertensi
Hipertensi selama kehamilan merupakan salah satu penyebab kematian ibu
terbesar. Tekanan darah (TD) selama kehamilan cenderung meningkat pada
trimester pertama dan kedua. Batasan tekanan darah serta target tekanan darah
selama pengobatan antihipertensif pada kehamilan masih kontroversial. Wanita
dengan hipertensi berat (TD sistolik ≥160 mmHg dan atau TD diastolic ≥110
mmHg) diperlukan pengobatan antihipertensi untuk menurunkan risiko ibu
terkait komplikasi sistem saraf pusat. Target TD pada kehamilan adalah <140/90
mmHg.Pengobatan terbaik meliputi metildopa dan labetalol. Metildopa
merupakan satu-satunya obat antihipertensi yang diteliti terkait efek jangka
panjang pada janin. ACE inhibitor dan ARB sebaiknya dihindari penggunaannya
terkait efek samping pada konsepsi dan gangguan pada fetus.9,11,15,17
6. Agen Imunosupresif
a. Siklofosfamid
Pemberian siklofosfamid selama kehamilan dikaitkan dengan risiko
terjadinya fetal loss. Pasien yang menjalani pengobatan dengan siklofosfamid
sebaiknya menunda kehamilan setidaknya hingga 3 bulan setelah penghentian
pengobatan. Obat ini berefek teratogenik, sehingga sebaiknya digunakan
setelah melewati trimester pertama pada penyakit lupus yang sangat parah
dan mengancam jiwa.9,11,15,17
b. Azathiopurine (AZA)
AZA merupakan analog purin yang berperan dalam sintesis asam nukleat.
AZA mampu melewati plasenta, namun konsentrasi yang mencapai aliran
darah janin relatif sangat minimal.32 Azathioprine adalah agen imunosupresif
yang paling aman digunakan pada kehamilan dengan SLE. Dosis harus
dibatasi maksimal 2mg / kg / hari untuk menghindari risiko sitopenia pada
janin dan imunosupresi.12,15
c. Methotrexate (MTX)
MTX merupakan golongan obat FDA kategori risiko X, sehingga sangat
kontraindikasi pada kehamilan.Perencanaan kehamilan sebaiknya dilakukan
setelah 3 bulan penghentian MTX karena metabolit aktifnya masih beredar
dalam darah selama 2 bulan setelah penghentian. MTX bekerja sebagai
antagonis folat dan mengakibatkan deplesi folat selama kehamilan.
Pemberian suplemen folat direkomendasikan selama masa kehamilan untuk
mengatasi hal tersebut.9,11,15,17
d. Mycophenolate mofetil (MMF)
Obat ini digunakan pada lupus renal dan direkomendasikan penggantian atau
switching regimen ke AZA sebelum terjadinya konsepsi. MMF digunakan
sebagai terapi pemeliharaaan terhadap lupus nefritis, lupus kulit yang
resisten, aktivitas penyakit lupus dan manifestasi hematologis.Wanita dengan
lupus yang ingin hamil dan menjalani pengobatan dengan MMF sebaiknya
menghentikan pengobatan tersebut setidaknya selama 6 bulan.9,11,15,17
e. Siklosforin (CSA)
CSA merupakan agen imunosupresan yang tidak memilki efek teratogenik,
namun pemberiannya selama kehamilan dikaitkan dengan risiko prematur.
7. Agen Biologis
a. Anti TNF-α
Konsentrasi immunoglobulin maternal dalam darah janin meningkat sejak
awal trimester kedua melalui mekanisme aliran plasenta. Antibodi maternal
ini diperlukan selama trimester ketiga. Penghambat TNF-α (infliximab,
etanercept, adalimumab) dapat melewati sawar plasenta selama trimester
pertama dan kemampuannya dalam menembus sawar plasenta meningkat
selama trimester kedua dan ketiga. Pemakaian anti-TNF-α menurunkan
aktivitas inflamasi pada LES. FDA mengakategorikan anti TNFα sebagai
obat ketagori B. Pasien yang diobati dengan anti TNF-α sebelum maupun
setelah terjadinya konsepsi tidak diindikasikan untuk menjalani terminasi
kehamilan kecuali pada kasus gawat janin.9,11,15,17
b. Rituximab
Obat ini merupakan chimeric dari antibody anti CD-20 β cell depleting
monoclonal. Penggunaannya selama kehamilan berkaitan dengan sitopenia
termasuk deplesi sel beta pada janin yang bersifat reversibel.Sehingga,
penjadwalan kehamilan sebaiknya dilakukan setidaknya 12 bulan setelah
penghentian pengobatan dengan rituximab.9,11,15,17
8. Terapi lainnya
a. Intravenous immunoglobulin (IVIG)
Penggunaan IVIG selama kehamilan tidak menimbulkan abnormalitas pada
janin. IVIG selama kehamilan dapat mengontrol aktivitas lupus berat.9,11,15,17
b. Plasma Pharesis
Plasma Paresis (PP) digunakan pada keadaan resistensi siklofosfamid dan
penyakit lupus yang melibatkan ancaman multiorgan.Indikasi absolut
pemberian PP meliputi hiperviskositas dan perdarahan pulmonal.PP cukup
aman dan memerlukan pemantuan intensif selama pemberiannya. Apheresis
dapat ditoleransi pada ibu hamil dan digunakan untuk membersihkan antibodi
antifosfolipid dan anti-Ro (SSA).9,11,15,17
BAB VI PENUTUP
Kesimpulan :
1. SLE adalah penyakit inflamasi autoimun kronis akibat pengendapan
kompleks imun yang tidak spesifik pada berbagai organ yang
penyebabnya belum diketahui secara jelas
2. Kehamilan pada ibu dengan penyakit SLE sangat berhubungan dengan
tingkat kesakitan dan kematian ibu dan janin.
3. Untuk memenuhi kriteria diagnosis SLE pasien harus memenuhi
setidaknya 4 dari 11 kriteria ACR.
4. Penanganan pasien ini sudah cukup tepat sehingga menghasilkan
keluaran yang cukup baik.
Daftar Pustaka
1. Negara IKS. Kehamilan dengan lupus eritematosus sistemik. Bagian/Smf Obstetri
Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rsup Sanglah
Denpasar. 2014
2. Gaya LL, Sayuti M. Sistemik lupus eritematosus pada Kehamilan. Majority.
2017;6(3):115
3. Cervera R, Espinosa G, D’Cruz D. systemic lupus erythematosus: pathogenesis,
clinical manifestations and diagnosis. Eular On-line Course on Rheumatic Diseases
– module n°17. 2007-2009.
4. Kim SJ, McMahon M. diagnosis and treatment of systemic lupus erythematosus.
JCOM. 2013;20(2):85-93.
5. Cunha Js, Gilek-Seibert K. systemic lupus erythematosus: a review of the clinical
approach to diagnosis and update on current targeted therapies. Rhode Island
Medical Journal. 2016:22-27.
6. Cauldwel M, Nelson-Piercy C. maternal and fetal complications of systemic lupus
Erythematosus. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. 2012; 14: 167–
174.
7. Karimi FZ, Saeidi M, Mirteimouri M, Maleki-Saghooni N. maternal, fetal and
neonatal outcomes in pregnant women with systemic lupus erythematosus: A
Comprehensive Review Study. Int J Pediatr. 2017;5(11): 6151-71.
8. Kuhn A, Bonsmann G, Anders HJ, Herzer P, Tenbrock K, Schneider M. The
diagnosis and treatment of systemic lupus erythematosus. Dtsch Arztebl Int. 2015;
112: 423–32.
9. Jesus GRd, Mendoza-Pinto C, Jesus NRd, Santos FCd, Klumb EM, Carrasco MG,
et al. Understanding and managing pregnancy in patients with lupus. Autoimmune
Diseases. 2015:1-18.
10. Ostensen M, Clowse M. Pathogenesis of pregnancy complications in systemic lupus
erythematosus. Curr Opin Rheumatol 2013; 25: 591–596.
11. Knight CL, Nelson-Piercy C. Management of systemic lupus erythematosus during
pregnancy: Challenges and Solutions. Open Access Rheumatology: Research and
Reviews. 2017; 9: 37–53.
12. Lateefa A, Petri M. Managing lupus patients during pregnancy. Best Pract Res Clin
Rheumatol. 2013 June;27(3):1-20.
13. Frye E. The effects of maternal systemic lupus erythematosus on the developing
fetus. North Carolina Agricultural and Technical State University. 2013.
14. Kroese SJ, Abheiden CNH, Blomjous BS, van Laar JM, Derksen RWHM, Bultink
IEM, et al. Maternal and perinatal outcome in women with systemic lupus
erythematosus: A Retrospective Bicenter Cohort Study. Journal of Immunology
Research. 2017:1-9.
15. Saigal R, Goyal L, Tank ML, Saigal S. Management of pregnancy in lupus patients.
Journal of The Association of Physicians of India. 2016; 64: 62-65.
16. Chen S, Sun X, Wu B, Lian X. Pregnancy in women with systemic lupus
erythematosus: A Retrospective Study of 83 Pregnancies at a Single Centre. Int. J.
Environ. Res. Public Health. 2015;12: 9876-9888.
17. Sammaritano LR. Management of systemic lupus erythematosus during pregnancy.
A,nnu. Rev. Med. 2017. 68:13.1–13.15.

Anda mungkin juga menyukai