Seminar Kelompok 13
Seminar Kelompok 13
DISUSUN OLEH :
Kelompok 13
Dadang Susilo (1930014)
Melati Budiarti (1930027)
Nita Febrilia Robi (1930034)
Solihatul Hasanah (1930046)
Hari :
Tanggal :
Mengetahui,
(................................) (................................)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerusakan
Kontraksi integritas
jantung Pola kulit Perdarahan
nafas
tidak
efektif
Penurunan Anemia
curah
jantung
Ketidakefektif
an perfusi
jaringan
perifer
2.5 Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat berfariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai system tubuh.
Dapat juga menahun dengan gejala pada satu system yang lambat laun diikuti
oleh gejala terkenanya system imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya
mungkin berlangsunhg=langsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat
spontan atau didahului oleh factor presipitasi seperti kontak dengan sinar
matahari, infeksi virus atau bakteri dan obat. Setiap serangana biasanya disertai
gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan,
berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam,
kadang-kadang disertai menggigil.
a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala musculoskeletal berupa
arthritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal
proksimal, peradangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan
kaki, selain pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi.
Arthritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, konfraktur atau
ankilosis. Adakala terdapat nodul rheumatoid. Nekrosis vaskuler dapat
terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan
pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena
ialah kaput femoris.
b. Gejala integument
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE.
Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut,
subakut, discoid dan livido retikulkaris. Ruam kulit yang dianggap khas dan
banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE ilah ruam kulit
berbentuk kupu-kupu ( butterfly rash ) berupa eritema yang sedikit edematus
pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini
dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yabg terkena sinar matahari
dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas . lesi ini
termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular .
Lesi discoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hyperkeratosis,
dan atrofil. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,
tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah
berlangsung lama akan berbentuk sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.
Livido retikularis, suatu bentuk vaskutitis ringan , sangat sering ditemui
pada SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla ( dapat menjadi
mehoragik), ekimosis, petekie dan purpura. Kadang-kadang terdapat
urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan antihistamin.
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit
tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika
penyakit mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada
palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau
penyakit mengalami remisi. Fenomen raynaud pada sebagian pasien tidak
mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit, sedangkan pada sebagian
lagi akan membaik jika penyakit mereda.
c. Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat ( efusi
kerikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa ( libman sacks)
d. Paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada yang bilateral.
Mungkin ditemukan sel LE ( lamp dalam cairan pleura ) biasanya efusi
menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis
penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi
virus, jamur, tuberculosis dan sebagainya telah disingkirkan.
e. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
f. Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk
bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke
dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk
antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan
perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.
BAB : 1 X Sehari
2. Eliminasi
BAK : 7 – 8 X / Hari
Mandi : 2x Sehari
4. Personal
Keramas : 2 – 3 kali / Minggu
hygiene
Gosok Gigi : 2 x sehari
6. PolaSexualitas ± 3x / Minggu
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM (11/12/2019)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 10.20 g/dl 11.4-15.1 g/dL
Eritrosit 3054 4.00-5.70 x 106/m3
Hematokrit 4.60 38-42%
Leukosit 2100 5000-10000/mm3
Trombosit 83000 189000-436000
Diff count 0/9/78/16/5
Fungsi Hati
SGOT 42 0-32 u/L
SGPT 16 0-31 u/L
Albumin 2.1 3.5-5.5 mg/dL
Fungsi Ginjal
Ureum 10,9 15-40 mg/dL
Kreatinin 0,39 0.5-1.5 mg/dL
Elektrolit
Kalsium 7,0 8.4-10.8 mg/dL
Natrium 137 135-155 mEq/L
Kalium 2,7 3.5-5.5 mEq/L
D. Diagnosis kerja
G2P1A0 hamil 37 minggu dengan SLE
E. Terapi
- Methylprednisolon 2x4 mg
- Omeprazole 1x40 mg IV
- Asam folat 3x1 gr
- Callos 2x 500 gr
F. Kesimpulan
G2 P1000 Ab0000 diagnosa penyakit yang menyertai SLE
ANALISA DATA
No Tanggal / Jam Analisa Data Masalah Etiologi
09 / 01 / 2020 DS : pasien mengatakan sedang hamil hormonal Nyeri Akut
1. dengan nyeri pinggang
P : kehamilan dengan SLE system regulasi
Q : seperti tertekan benda berat kekebalan
R : pinggang terganggu
S : Skala 6 (Nyeri sedang)
T : hilang timbul kerusakan
jaringan
DO : Grimace (+) Gelisah (+)
Tekanan darah : 120/80 mmHg musculoskeletal
Nadi : 98 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit Nyeri Akut
Suhu : 36,5 0C
Keterbatasan
rentan gerak
Intoleransi
Aktifitas
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d pembengkakan sendi
2. Intoleransi aktivitas b.d malaise
INTERVENSI KEPERAWATAN
P : Lanjutkan intervensi
pada minggu selanjutnya
P : Lanjutkan intervensi
pada minggu selanjutnya
PERMASALAHAN
1. Bagaimana penegakkan diagnosis pada pasien ini?
2. Bagaimana pengaruh SLE terhadap kehamilan dan sebaliknya?
3. Bagaimana penatalaksanaan dan manajemen pada kasus ini?
BAB V ANALISIS KASUS
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85%
dan spesifisitas 95%, sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya
tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan
observasi jangka panjang diperlukan.3-8
Pemeriksaan penunjang minimal lain, yang diperlukan untuk diagnosis dan
monitoring:4
1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED).
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid).
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3, C4)
6. Foto polos thoraks:
Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
Setiap 3-6 bulan bila stabil
Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu
pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.4
Pada kasus ini, pasien telah didiagnosis SLE sekitar 2 tahun yang lalu dan rutin
mengonsumsi methylprednisolon rutin 1x4 mg, dari anamnesis didapatkan keluhan
pasien berupa wajah menjadi kemerahan saat terkena sinar matahari, nyeri sendi, ,
badan lemas. Pasien juga mengatakan bahwa saat ini pasien sedang hamil. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, malar rash, discoid rash,
stomatitis, mukosa mulut kering, tidak didapatkan kelainan pada paru dan jantung,
serta pemeriksaan obstetri didapatkan tinggi fundus uteri 26 cm, tanpa adanya
massa, tidak nyeri tekan, tidak terdapat tanda cairan bebas, didapatkan DJJ namun
tidak didapatkan his pada pemeriksaan luar. Pada pemeriksaan dalam didapatkan
portio kenyal, posterior, pendataran 0 %, pembukaan 1 cm, ketuban dan penunjuk
belum dapat dinilai. Pemeriksaan penunjang berupa hasil laboratorium didapatkan
pasien mengalami anemia sedang, leukopenia, trombositopenia, hipoalbuminemia,
hipokalemia, dan hipokalsemia.
Pasien telah memenuhi kriteria ACR untuk diagnosis SLE, sehingga pasien
didiagnosis dengan G2P1A0 hamil 37 minggu dengan SLE.
d. Terapi lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:
1) Intravena immunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/ kgBB/ hari selama
5 hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia
hemolitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau
demam yang refrakter dengan terapi konvensional.
2) Plasmaparesis pada pasien SLE dengan sitopenia, krioglobulinemia dan
lupus serebritis.
3) Thalidomide 25-50 mg/ hari pada lupus discoid.
4) Danazol pada trombositopenia refrakter.
5) Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid sparring
effect pada SLE ringan.
6) Dapson dan derivate retinoid pada SLE dengan menifestasi kulit yang
refrakter dengan obat lainnya.
7) Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE
yang berat.
8) Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas
stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE (saat ini
belum tersedia di Indonesia).
9) Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
10) Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
2. Obat Antimalaria
Hidrocloroquine (HCQ) merupakan obat antimalaria yang paling sering
digunakan pada SLE. Pada ibu hamil, obat ini juga digunakan sebagai profilaksis
malaria tanpa efek teratogenik. Mekanisme kerja HCQ melibatkan inhibisi
proses antigen dan pelepasan sitokin inflamasi. Obat ini sangat efektif pada
discoid lupus erythematosus (DLE) yang melibatkan lesi kulit. HCQ mengurangi
efek fotosensitif berupa lesi kulit dan mencegah lupus flare. HCQ juga mencegah
lupus renal dan cerebral lupus. Sehingga HCQ memiliki peranan sebagai agen
profilaksis terkait morbiditas mayor pada SLE dan efek dari pengobatan SLE,
terutama hiperlipidemia, diabetes mellitus, dan thrombosis. Waktu paruh HCQ
dalam darah berkisar 8 minggu dan berakumulasi dalam jaringan tubuh, di mana
penghentian HCQ yang segera dilakukan setelah konsepsi tidak mencegah
paparan janin terhadap obat ini. HCQ sering digunakan untuk menangani
hiperaktivitas lupus dan dapat menurunkan aktivitas lupus selama
kehamilan.9,11,15,17
3. Kortikosteroid
Pemakaian kortikosteroid cukup aman selama kehamilan, namun diperlukan
pemantauan terkait hipertensi pada ibu hamil, diabetes mellitus gestasional,
infeksi, peningkatan berat badan, akne, dan kelemahan otot proksimal.
Pencapaian dosis terapeutik terendah disertai penambahan suplemen vitamin D
dan kalsium diperlukan mengontrol flare penyakit.1,12
Kortikosteroid dimetabolisme oleh plasenta II-betahydroxy steroid
dehydrogenase (II-beta HSD) yang mengkonversi kortison aktif menjadi inaktif,
sehingga konsentrasi kortikosteroid dalam darah janin sebesar 10% dari
konsentrasi kortikosteroid dalam darah ibu. Hal ini memerlukan pertimbangan
evaluasi adanya insufisiensi adrenal pada janin. Pemakaian kortikosteroid pada
ibu hamil dengan lupus sebaiknya memilih golongan deksametason atau
betametason, yang menjadi inaktif oleh placental II-beta hydorxysteroid
dehydrogenase, sehingga risiko terjadinya kematian janin dan sindrom distress
napas pada bayi preterm dapat menurun. Pemberian dosis tunggal kortikosteroid
pada ibu hamil direkomendasikan untuk meningkatkan pematangan paru-paru.
Sedangkan pemberian dosis berulang setiap minggu selama kehamilan
sebaiknya dihindari pada ibu hamil dengan risiko persalinan preterm. Pasien
yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid jangka panjang selama kehamilan
sebaiknya mendapatkan hidrokortison stress dose yang diindikasikan pada
pemanjangan waktu persalinan, seksio sesaria, ataupun operasi emergensi.1
Pemberian dosis stress kortikosteroid direkomendasikan pada keadaan stress,
infeksi dan pada tindakan perioperatif, termasuk persalinan dan seksio sesaria.1
a) Pemberian dosis stress kortikosteroid adalah dua kali atau sampai 15 mg
prednisone atau setaranya.
b) Pada tindakan operasi besar dapat diberikan 100 mg hidrokortison intravena
pada hari pertama operasi, diikuti dengan 25 sampai 50 mg hidrokortison
setiap 8 jam untuk 2 atau 3 hari, atau dengan melanjutkan dosis
kortikosteroid oral atau setara secara parenteral pada hari pembedahan
dilanjutkan dengan 25-50 mg hidrokortison setiap 8 jam selama 2 atau 3
hari.
c) Pada bedah minor, cukup dengan meningkatkan sebesar dua kali dosis oral
atau meningkatkan dosis kortikosteroid sampai 15 mg prednisone atau
setara selama 1 sampai 3 hari.
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Dosis yang digunakan bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari
pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.1
Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah:1
a) Dosis rendah: ≤ 7,5 mg prednisone atau setara perhari
b) Dosis sedang: > 7,5 mg, tetapi ≤ 30 mg prednisone atau setara perhari
c) Dosis tinggi: > 30 mg, tetapi ≤ 100 mg prednisone atau setara perhari
d) Dosis sangat tinggi: > 100 mg prednisone atau setara perhari
e) Terapi pulse: ≥ 250 mg prednisone atau setara perhari untuk 1 hari atau
beberapa hari.
Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis
sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi
pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis
lupus, lupus cerebral.1,12
Tabel 5. Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid pada Reumatologi1