Anda di halaman 1dari 57

KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA PERBEDAAN JENIS MUSIM DENGAN


ANGKA KEJADIAN KONJUNGTIVITIS DI RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG : SEBUAH STUDI
RETROSPEKTIF

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung

Disusun oleh:

ANDIKA WIMA PRATAMA (20184010100)

ANNISA NUR RAHMAWATI (20184010079)

ELFA ARSALINA CHOLIFATUN NISA’ (20184010051)

Pembimbing:

dr. TRI NURANI INDRANINGSIH, Sp. M

1
PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2019

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. 1


DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 2
ABSTRAK ................................................................................................................................. 4
BAB I ..................................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN ................................................................................................................. 5
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 5
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian........................................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................................ 8
BAB II.................................................................................................................................... 9
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 9
A. Anatomi Konjungtiva .................................................................................................... 9
B. Histologi Konjungtiva ................................................................................................. 11
C. Konjungtivitis .............................................................................................................. 12
D. Jenis Musim ................................................................................................................ 28
BAB III ................................................................................................................................ 33
METODE PENELITIAN..................................................................................................... 33

2
A. Jenis dan Desain Penelitian ......................................................................................... 33
B. Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................................................... 33
C. Populasi dan Sampel ................................................................................................... 33
D. Variabel dan Definisi Operasional .............................................................................. 35
E. Instrumen Penelitian .................................................................................................... 36
F. Cara Pengumpulan Data .............................................................................................. 37
G. Analisis Data ............................................................................................................... 37
BAB IV .................................................................................................................................... 39
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................................................... 39
A. Hasil Penelitian ........................................................................................................... 39
B. Pembahasan ................................................................................................................. 42
BAB V ..................................................................................................................................... 46
KESIMPULAN DAN SARAN PENELITIAN ................................................................... 46
A. Kesimpulan Penelitian ................................................................................................ 46
B. Saran ............................................................................................................................ 46
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 49
LAMPIRAN ............................................................................................................................. 52

3
ABSTRAK

Latar Belakang : Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia, jenis
kelamin, dan strata sosial. Di Indonesia konjungtivitis termasuk dalam 10 besar penyakit rawat
jalan terbanyak, tetapi belum ada data statistik mengenai jenis konjungtivitis yang paling
banyak yang akurat. Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis dengan musim kemarau
dan penghujan. Diketahui pada musim panas banyak terjadi masalah pada mata seperti
kekeringan, mata berair, mata merah dan terkena alergi mata. Walaupun demikian, pada musim
penghujan pun juga didapatkan lebih banyak pasien konjungtivitis, terutama yang disebabkan
oleh virus . Belum dilaporkan hubungan mengenai jenis musim terhadap kejadian
konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten (RSUD) Temanggung.
Tujuan : Untuk menentukan apakah ada hubungan antara perbedaan jenis musim dengan
angka kejadian konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung.
Metode : Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah studi retrospektif dengan memakai
teknik cross sectional. Subjek penelitian adalah pasien konjungtivitis yang mengunjungi poli
mata Rumah Sakit Umum Daerah Temanggung sejak April 2018 sampai April 2019
Hasil : Berdasarkan data hasil waktu kunjungan selama 1 tahun, peneliti mengklasifikasikan
musim yang terjadi selama 1 tahun tersebut yaitu musim kemarau pada bulan April sampai
September 2018 dan musim penghujan pada bulan Oktober 2018 sampai Maret 2019. Hasil
data karakteristik pasien dengan konjungtivitis berdasarkan jenis musim didapatkan bahwa
saat musim kemarau terdapat 63 kunjungan dan pada saat musim penghujan terdapat 72
kunjungan Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
perbedaan jenis musim dengan kejadian konjungtivitis (Nilai p = 0,001) di Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Temanggung, karena nilai p<0,05.
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang signifikan antara perbedaan jenis musim dengan
kejadian konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung (Nilai p 0,001,
p<0,05).
Kata kunci : konjungtivitis, musim, retrospektif

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Karena lokasinya,

konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor faktor lingkungan lain yang

mengganggu. Peradangan pada konjungtiva disebut konjungtivitis (Vaughan,2010).

Konjungtivitis umumnya disebabkan oleh reaksi alergi, infeksi bakteri dan virus, serta

dapat bersifat akut atau menahun (Ilyas, 2009).

Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia, jenis

kelamin, dan strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat mengenai insidensi

konjungtivitis, penyakit ini diestimasi sebagai salah satu penyakit mata yang paling umum

(American Academy of Opthalmology, 2010). Di Indonesia konjungtivitis termasuk dalam

10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada tahun 2009, tetapi belum ada data statistik

mengenai jenis konjungtivitis yang paling banyak yang akurat (Ditjen Yanmed, Kemkes

RI, 2010).

Ada beberapa keluhan utama pasien datang ke dokter dan memerlukan

pemeriksaan serta perawatan mata khusus terutama pada mata merah. Mata merah atau

konjungtivitis merupakan jenis infeksi yang umum terjadi dan sangat menular. Hal ini bisa

disebabkan oleh bakteri atau virus dan kadang-kadang disebabkan oleh alergen. Penyakit

5
ini mudah ditularkan melalui udara, kain atau tangan yang kotor (Tarigan, 2010). Pada

konjungtivis bakteri, patogen yang umum adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus

influinzae, Staphylococcus aureus, dan Neisseria meningitidis (Marlin, 2009). Patogen

umum pada konjungtivitis virus adalah virus herpes simplek tipe 1 dan 2, Varicella zoster,

virus pox dan Human Immunodeficiency Virus (Vaughan, 2010). Konjungtivitis alergi

biasanya disertai dengan riwayat alergi, dan terjadi pada waktu-waktu tertentu. Walaupun

prevalensi konjungtivitis alergi tinggi, hanya ada sedikit data mengenai epidemiologinya.

Hal ini disebabkan kurangnya kriteria klasifikasi, dan penyakit mata yang disebabkan oleh

alergi umumnya tercatat di departemen penyakit alergi (Majmudar, 2010). Pada musim

panas, banyak terjadi masalah pada mata seperti kekeringan, mata berair, mata merah dan

terkena alergi mata. Selain musim panas ada faktor lain yang dapat menyebabkan

peningkatan iritasi pada mata yaitu polusi. Hal ini menyebabkan peningkatan prevalensi

konjungtivitis pada musim panas (Anonim, 2014). Walaupun demikian, pada musim

penghujan pun juga didapatkan lebih banyak pasien konjungtivitis, terutama yang

disebabkan oleh virus (Chansaenroj, 2015.).

Berdasarkan uraian diatas, jenis musim akan meningkatkan terjadinya

konjungtivitis maka perlu dibuktikan lebih lanjut untuk diteliti, dan untuk dibandingkan

dengan musim kemarau dan penghujan terhadap jumlah pasien konjungtivitis di Rumah

Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara perbedaan jenis musim dengan kejadian konjungtivitis di

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung?

6
C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Untuk menentukan apakah ada hubungan antara perbedaan jenis musim dengan angka

kejadian konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung.

7
2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui angka kejadian konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Daerah

Kabupaten Temanggung pada musim kemarau.

b. Untuk mengetahui angka kejadian konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Daerah

Kabupaten Temanggung pada musim penghujan.

c. Untuk menganalisis hubungan antara perbedaan jenis musim dengan angka kejadian

konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan memberikan data tentang

hubungan perbedaan jenis musim dengan angka kejadian konjungtivitis.

2. Manfaat Aplikatif

a. Bagi mahasiswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan bagi mahasiswa

mengenai hubungan antara perbedaan jenis musim dengan angka kejadian

konjungtivitis.

b. Bagi dokter / tenaga kesehatan

8
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi pengetahuan bagi dokter dan tenaga

kesehatan sehingga dapat digunakan untuk mengedukasi pasien terhadap faktor

risiko terjadinya konjungtivitis.

c. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi masyarakat sebagai

bentuk pencegahan terjadinya konjungtivitis dengan menghindari faktor risiko yang

dapat terjadi di masyarakat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Konjungtiva

Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis

yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan

permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebralis melapisi

permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior

tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada fornik superior dan inferior) dan

membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris

melekat longgar ke septum orbital di fornik dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-

lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva

sekretorik (Vaughan, 2010).

9
Gambar 2.1 Anatomi konjungtiva (Vaughan, 2010)

Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis.

Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan – bersama dengan banyak vena konjungtiva

yang umumnya mengikuti pola arterinya – membentuk jaring jaring vaskuler konjungtiva

yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan

lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga membentuk

pleksus limfatikus yang banyak.

Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus

trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.

Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan kebutuhan

oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi, dengan mekanisme

pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas lakrimasi, dan menyuplai

darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel

10
mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk

IgA.

Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua grup

besar yaitu :

1. Penghasil musin.

 Sel goblet, terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah

inferonasal.

 Crypts of Henle, terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis

superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.

 Kelenjar Manz, mengelilingi daerah limbus.

2. Kelenjar asesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Krause dan

kelenjar Wolfring. Kedua kelenjar ini terletak dalam dibawah substansi propria.

Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena

suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah

menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan

merupakan medium yang baik.

B. Histologi Konjungtiva

Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel

epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal (Junqueira, 2007). Sel-sel epitel superfisial

mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus yang diperlukan untuk

dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial

dan dapat mengandung pigmen (Vaughan, 2010). Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu

11
lapisan adenoid (superfisialis) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid

mengandung jaringan limfoid dan tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau

3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng

tarsus dan tersusun longgar pada mata (Vaughan, 2010).

C. Konjungtivitis

Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah

penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh

banyak mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu (Vaughan,

2010). Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai

konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental. Jumlah agen-agen yang patogen

dan dapat menyebabkan infeksi pada mata semakin banyak, disebabkan oleh

meningkatnya penggunaan obat-obatan topikal dan agen imunosupresif sistemik, serta

meningkatnya jumlah pasien dengan infeksi HIV dan pasien yang menjalani transplantasi

organ dan menjalani terapi imunosupresif (Therese, 2002).

12
Berdasarkan penyebabnya konjungtivitis di klasifikasikan menjadi

1. Konjungtivitis Bakteri

a. Definisi

Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh

bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata merah,

sekret pada mata dan iritasi mata (James, 2005).

b. Etiologi dan Faktor Resiko

Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut, akut,

subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N

gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya

disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab

yang paling sering pada bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan

Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada konjungtivitis

sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis (Jatla, 2009).

Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai mata yang

sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi

pada orang yang terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis dan keadaan

imunodefisiensi (Marlin, 2009).

c. Patofisiologi

Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti

streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme

13
pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut dapat menyebabkan

infeksi klinis. Perubahan pada flora normal dapat terjadi karena adanya kontaminasi

eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun melalui aliran darah (Rapuano, 2008).

Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan salah satu penyebab

perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi terhadap antibiotik

(Visscher, 2009). Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel

yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah

sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang

terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip.

Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan

infeksi pada konjungtiva (Amadi, 2009).

d. Gejala Klinis

Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai injeksi

konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu sekret pada kongjungtivitis

bakteri biasanya lebih purulen daripada konjungtivitis jenis lain, dan pada kasus yang

ringan sering dijumpai edema pada kelopak mata. Ketajaman penglihatan biasanya

tidak mengalami gangguan pada konjungtivitis bakteri namun mungkin sedikit kabur

karena adanya sekret dan debris pada lapisan air mata, sedangkan reaksi pupil masih

normal. Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang saling melekat pada pagi

hari sewaktu bangun tidur (James, 2005).

e. Laboratorium

14
Pada kebanyakan kasus konjungtivitis bakterial, organisme dapat diketahui dari

pemeriksaan mikroskopik terhadap kerokan konjungtiva yang dipulas dengan Gram

atau Giemsa dan dapat ditemukan neutrofil polimorfonuklear. Kerokan konjungtiva

disarankan pada semua kasus dan diharuskan pada penyakit yang purulen, bermembran,

atau pseudomembran. Uji sensitivitas antibiotik juga baik, namun sebaiknya harus

dimulai terapi antibiotik empirik.

15
f. Komplikasi

Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali pada

pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva paling

sering terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan

duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini dapat mengurangi komponen akueosa dalam film air

mata prakornea secara drastis dan juga komponen mukosa karena kehilangan sebagian

sel goblet. Luka parut juga dapat mengubah bentuk palpebra superior dan menyebabkan

trikiasis dan entropion sehingga bulu mata dapat menggesek kornea dan menyebabkan

ulserasi, infeksi dan parut pada kornea (Vaughan, 2010).

g. Penatalaksanaan

Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen

mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum luas.

Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan oleh diplokokus gram-

negatif harus segera dimulai terapi topikal dan sistemik. Pada konjungtivitis purulen

dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline untuk

menghilangkan sekret konjungtiva (Ilyas, 2008).

2. Konjungtivitis Virus

a. Definisi

Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh

berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan cacat

16
hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung lebih lama

daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan, 2010).

17
b. Etiologi dan Faktor Resiko

Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi adenovirus

adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan herpes simplex virus

yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan oleh virus

Varicella zoster, picornavirus (enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human

immunodeficiency virus (Scott, 2010).

Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan penderita dan

dapat menular melalu di droplet pernafasan, kontak dengan benda-benda yang

menyebarkan virus dan berada di kolam renang yang terkontaminasi (Ilyas, 2008).

c. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap jenis

konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya (Hurwitz, 2009).

Mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada etiologi.

d. Gejala Klinis

Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan etiologinya.

Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus biasanya

dijumpai demam dan mata seperti kelilipan, mata berair berat dan kadang dijumpai

pseudomembran. Selain itu dijumpai infiltrat subepitel kornea atau keratitis setelah

terjadi konjungtivitis dan bertahan selama lebih dari 2 bulan (Vaughan, 2010). Pada

konjungtivitis ini biasanya pasien juga mengeluhkan gejala pada saluran pernafasan

atas dan gejala infeksi umum lainnya seperti sakit kepala dan demam (Senaratne &

Gilbert, 2005).

18
Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes simplek (HSV)

yang biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi unilateral, iritasi, sekret mukoid,

nyeri, fotofobia ringan dan sering disertai keratitis herpes. Konjungtivitis hemoragika

akut yang biasanya disebabkan oleh enterovirus dan coxsackie virus memiliki gejala

klinis nyeri, fotofobia, sensasi benda asing, hipersekresi airmata, kemerahan, edema

palpebra dan perdarahan subkonjungtiva dan kadang-kadang dapat terjadi kimosis

(Scott, 2010).

e. Laboratorium

Tidak ditemukan bakteri didalam kerokan atau dalam biakan. Jika

konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama monokuler. Namun jika

pseudomembran reaksinya terutama polimorfonuklear akibat kemotaksis dari tempat

nekrosis. Virus mudah diisolasi dengan mengusapkan sebuah aplikator berujung kain

kering diatas konjungtiva dan memindahkan sel-sel terinfeksi ke jaringan biakan.

f. Komplikasi

Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti

blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran, dan

timbul parut linear halus atau parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul vesikel

pada kulit (Vaughan, 2010).

g. Penatalaksanaan

Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang

dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi, namun

antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea

19
(Scott, 2010). Pasien konjungtivitis juga diberikan instruksi hygiene untuk

meminimalkan penyebaran infeksi (James, 2005).

20
3. Konjungtivitis Alergi

a. Definisi

Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paling sering dan

disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem imun

(Cuvillo et al, 2009). Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada alergi di

konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Majmudar, 2010).

b. Etiologi dan Faktor Resiko

Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis

alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya

dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis

atopik dan konjungtivitis papilar raksasa (Vaughan, 2010).

Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan

subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan tumbuh-tumbuhan

biasanya disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu hewan, dan disertai dengan

rinitis alergi serta timbul pada waktu-waktu tertentu. Vernal konjungtivitis sering

disertai dengan riwayat asma, eksema dan rinitis alergi musiman.

c. Gejala Klinis

Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan subkategorinya.

Pada konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-tumbuhan keluhan utama adalah

gatal, kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva, dan sering ditemukan kemosis

berat. Pasien dengan keratokonjungtivitis vernal sering mengeluhkan mata sangat gatal

21
dengan kotoran mata yang berserat, konjungtiva tampak putih susu dan ditemukan giant

papil di konjungtiva palpebra inferior. Dapat ditemukan gambaran seperti renda pada

limbus (Horner trantas dots). Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan

fotofobia merupakan keluhan yang paling sering pada keratokonjungtivitis atopik.

Ditemukan juga tepian palpebra yang eritematosa dan konjungtiva tampak putih susu.

Pada kasus yang berat ketajaman penglihatan menurun, sedangkan pada konjungtivitis

papilar raksasa dijumpai tanda dan gejala yang mirip konjungtivitis vernal (Vaughan,

2010).

Horner Trantas Dots Giant’s Papilae

Gambar 2.2 Konjungtivitis Vernal (Vaughan, 2010).

d. Laboratorium

Pada kerokan konjungtiva di daerah tarsus atau limbus didapatkan sel-sel

eosinofil dan basofil.

e. Komplikasi

22
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea dan

infeksi sekunder (Jatla, 2009).

f. Penatalaksanaan

Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin topikal

dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka pendek

untuk meredakan gejala lainnya (Vaughan, 2010).

23
4. Konjungtivitis Klamidia (Trachoma)

a. Definisi

Keradangan konjungtiva yang akut, subakut atau kronik disebabkan oleh

Chlamydia trachomatis.

b. Etiologi dan Faktor Resiko

Iklim yang kering dan berdebu memiliki prevalensi yang lebih tinggi dalam

menyebabkan trachoma. Usia bayi dan anak lebih rentan terkena infeksi. Namun yang

paling banyak terjadi adalah dikarenakan kondisi higienis, kebersihan air, peralatan

yang bersih dan memadai dan edukasi tentang penyakit ini. Di indonesia yang

mayoritas islam biasanya dikarenakan cara berwudhlu dalam air yang tidak mengalir

sehingga menularkan Chlamydia trachomatis.

c. Gejala Klinis

Trachoma mulanya adalah konjungtivitis folikuler menahun pada masa kanak-

kanak yang berkembang sampai pembentukan parut konjungtiva. Pada kasus berat,

pembalikan kelopak mata kedalam (entropion) dan bulu mata kedalam (trikiasis) terjadi

pada masa dewasa muda sebagai akibat parut konjungtiva berat. Abrasi terus-menerus

oleh bulu mata yang membalik itu dan gangguan film air mata berakibat parut pada

kornea yang disertai neovaskularisasi (pannus), umumnya setelah berusia 50 tahun.

Masa inkubasi rata-rata 7 hari namun bervariasi dari 5-14 hari. Pada bayi atau anak

biasanya diam-diam, dan penyakit ini dapat sembuh dengan sedikit atau tanpa

komplikasi pada orang dewasa sering akut dan subakut dan kompliksai cepat

berkembang. Sering mirip konjungtivitis bakterial, gejalanya mata berair, fotofobia,

24
sakit, eksudasi, edema palpebra, kemosis konjungtiva bulbi, hiperemia, hipertropi

papiler, folikel tarsal dan limbal, nyeri tekan, pembentukan panus. Semua tanda

trakoma lebih berat pada konjungtiva dan kornea bagian atas daripada bagian bawah.

Untuk memastikan trakoma endemik dikeluarga atau masyarakat, harus ada sekurang-

kurangnya 2 tanda berikut: lima atau lebih folikel pada konjungtiva tarsal rata pada

palpebra superior mata, parut konjungtiva khas dikonjungtiva tarsal superior, folikel

limbus dan sekuelenya, perluasan pembuluh darah keatas kornea paling jelas di limbus

atas.

Folikel Trachoma Entropion-Trikias

Gambar 2.3 Konjungtivitis Klamidia (Vaughan, 2010)

d. Laboratorium

Inklusi klamidia dapat ditemukan pada kerokan konjungtiva yang dipulas

dengan giemsa tampak masa sitoplasma biru atau ungu gelap halus menutupi inti dari

sel epitel, namun tidak selalu ada. Pulasan antibodi fluorescein dan tes imuno-assay

enzim tersedia di pasaran dan banyak dipakai di laboratorium klinik, yang terbaru adalah

isolasi agen klamidia dalam biakan sel.

25
e. Komplikasi

Panus totalis dikonjungtiva adalah komplikasi yang sering terjadi pada trakoma

dan dapat merusak duktuli kelenjar lakrimal dan menutupi muara kelenjar lakrimal. Hal

ini akan mengurangi komponen air dalam film air mata pre-kornea, dan mungkin

hilangnya sebagian sel goblet. Luka parut akan menyebabkan trikiasis atau entropion,

sehingga bulu mata terus menerus menggesek kornea menyebabkan ulserasi kornea,

infeksi, dan parut kornea.

f. Penatalaksanaan

Perbaikan klinik mencolok umumnya dicapai dengan tetracyclin 1-1.5

g/hari/oral dalam empat dosis selama 3-4 minggu. Doxycyclin 100 mg per os 2 kali

sehari selama 3 minggu, eritromycin 1 g/hari per os dibagi 4 dosis selama 3-4 minggu.

Tetracyclin sistemik jangan diberikan pada anak dibawah 7 tahun atau wanita hamil.

Karena tetracyklin mengikat kalsium pada gigi yang berkembang dan tulang yang

tumbuh sehingga gigi menjadi kuning dan kelainan rangka. Salep atau tetes topikal

termasuk sulfonamid, tetracyclin, eritromycin, rifampisin empat kali sehari selama 6

minggu sama efektifnya.

5. Konjungtivitis Jamur

Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan

merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak putih

dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem imun yang

terganggu. Selain Candida sp, penyakit ini juga dapat disebabkan oleh Sporothrix

26
schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioidesimmitis walaupun jarang (Vaughan,

2010).

6. Konjungtivitis Parasit

Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia californiensis, Loa

loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis, Schistosomahaematobium, Taenia solium

dan Pthirus pubis walaupun jarang (Vaughan, 2010).

27
7. Konjungtivitis kimia atau iritatif

Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh pemajanan

substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansisubstansi iritan yang masuk

ke sakus konjungtivalis dan dapat menyebabkan konjungtivitis, seperti asam, alkali, asap

dan angin, dapat menimbulkan gejala gejala berupa nyeri, pelebaran pembuluh darah,

fotofobia, dan blefarospasme. Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian

obat topikal jangka panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain

dengan bahan pengawet yang toksik atau menimbulkan iritasi. Konjungtivitis ini dapat

diatasi dengan penghentian substansi penyebab dan pemakaian tetesan ringan (Vaughan,

2010).

8. Konjungtivitis lain

Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit, konjungtivitis juga

dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit autoimun seperti penyakit tiroid,

gout dan karsinoid. Terapi pada konjungtivitis yang disebabkan oleh penyakit sistemik

tersebut diarahkan pada pengendalian penyakit utama atau penyebabnya (Vaughan, 2010).

Konjungtivitis juga bisa terjadi sebagai komplikasi dari acne rosacea dan dermatitis

herpetiformis ataupun masalah kulit lainnya pada daerah wajah.

D. Jenis Musim

Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah tropis, diantara

Benua Asia dan Australia, diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta dilalui

garis katulistiwa, terdiri dari pulau dan kepulauan yang membujur dari barat ke timur,

28
terdapat banyak selat dan teluk, menyebabkan wilayah Indonesia rentan terhadap

perubahan iklim/cuaca.

29
Fenomena yang mempengaruhi iklim di Indonesia :

1. El Nino dan La Nina

2. Dipole Mode

3. Sirkulasi Monsun Asia - Australia

4. Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis (Inter Tropical Convergence Zone/ITCZ)

5. Suhu Permukaan Laut di Wilayah Indonesia

Keragaman iklim Indonesia dipengaruhi fenomena global seperti El Nino Southern

Oscillation (ENSO) yang bersumber dari wilayah Ekuator Pasifik Tengah dan Indian

Ocean Dipole (IOD) yang bersumber dari wilayah Samudera Hindia barat Sumatera hingga

timur Afrika, keragaman iklim juga dipengaruhi oleh fenomena regional, seperti sirkulasi

angin monsun Asia-Australia, Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis atau Inter Tropical

Convergence Zone (ITCZ) yang merupakan daerah pertumbuhan awan, serta kondisi suhu

permukaan laut sekitar wilayah Indonesia (BMKG, 2019).

Sementara kondisi topografi wilayah Indonesia yang memiliki daerah pegunungan,

berlembah, banyak pantai, merupakan topografi lokal yang menambah beragamnya kondisi

iklim di wilayah Indonesia, baik menurut ruang (wilayah) maupun waktu. Berdasarkan

hasil analisis data rata-rata 30 tahun terakhir (1981-2010), secara klimatologis wilayah

Indonesia memiliki 407 pola iklim, dimana 342 pola merupakan Zona Musim (ZOM)

terdapat perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau, sedangkan

65 pola lainnya adalah Non Zona Musim (Non ZOM). Daerah Non ZOM pada umumnya

30
memiliki 2 kali maksimum curah hujan dalam setahun (pola Ekuatorial) atau daerah dimana

sepanjang tahun curah hujannya selalu tinggi atau rendah.

Menurut BMKG 2019, prakiraan musim hujan 2018/2019 secara umum dapat

disimpulkan bahwa awal musim hujan 2018/2019 di 342 Zona Musim (ZOM) diprakirakan

umumnya mulai bulan Oktober 2018 sebanyak 78 ZOM (22.8%), November 2018

sebanyak 147 ZOM (43.0%), dan Desember 2018 sebanyak 85 ZOM (24.9%). Sedangkan

beberapa daerah lainnya awal Musim Hujan terjadi pada Agustus 2018 sebanyak 12 ZOM

(3.5%), September 2018 sebanyak 10 ZOM (2.9%), Maret 2019 sebanyak 5 ZOM (1.5%),

April 2019 sebanyak 4 ZOM (1.2%) dan Mei 2019 1 ZOM (0.3%).

Prakiraan musim kemarau 2018 secara umum dapat disimpulkan bahwa awal

musim kemarau 2018 di 342 Zona Musim (ZOM) diprakirakan umumnya mulai bulan Mei

2018 sebanyak 121 ZOM (35.4%) dan Juni 2018 sebanyak 99 ZOM (28.9%). Sedangkan

beberapa daerah lainnya awal musim kemarau terjadi pada Januari 2018 sebanyak 5 ZOM

(1.4%), Februari 2018 sebanyak 4 ZOM (1.2%), Maret 2018 sebanyak 10 ZOM (2.9%),

April 2018 sebanyak 59 ZOM (17.3%), Juli 2018 sebanyak 29 ZOM (8.5%), Agustus 2018

sebanyak 12 ZOM (3.5%), September 2018 sebanyak 1 ZOM (0.3%) dan Oktober 2018

sebanyak 2 ZOM (0.6%).

Sedangkan prakiraan musim kemarau 2019 secara umum dapat disimpulkan

bahwa awal musim kemarau 2019 di 342 Zona Musim (ZOM) diprakirakan umumnya

mulai bulan April 2019 sebanyak 79 ZOM (23.1%), Mei 2019 sebanyak 99 ZOM (28.1%),

dan Juni 2019 sebanyak 96 ZOM (28.1%). Sedangkan beberapa daerah lainnya awal

musim kemarau terjadi pada Januari 2019 sebanyak 1 ZOM (0.3%), Februari 2019

31
sebanyak 3 ZOM (0.9%), Maret 2019 sebanyak 22 ZOM (6.4%), Juli 2019 sebanyak 25

ZOM (7.3%), Agustus 2019 sebanyak 14 ZOM (4.1%), September 2019 sebanyak 2 ZOM

(0.6%), dan Oktober 2019 1 ZOM (0.3%).

32
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah studi retrospektif dengan

memakai teknik cross sectional. Pemilihan metode cross sectional pada penelitian ini

karena secara teknis lebih mudah, lebih menghemat tenaga, waktu dan biaya, serta tidak

dilakukan perlakuan yang membutuhkan waktu untuk follow up. Penelitian retrospektif

yaitu penelitian berupa pengamatan terhadap peristiwa yang telah terjadi yang

bertujuan untuk mencari faktor yang berhubungan dengan penyebab. Penelitian ini

dilakukan dengan pengukuran sesaat untuk mencari faktor penyebab kejadian

konjungtivitis berupa perbedaan jenis musim yang terjadi sejak April 2018 sampai

dengan April 2019.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten

Temanggung dan waktu pelaksanaan sejak tanggal 12 Oktober 2019 sampai dengan 26

Oktober 2019.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

33
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien penderita konjungtivitis

yang menjalani rawat jalan di poli mata Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten

Temanggung sejak April 2018 sampai April 2019.

34
2. Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah penderita konjungtivitis yang menjalani

rawat jalan di poli mata Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung sejak

April 2018 sampai April 2019 dengan kriteria inklusi dan eksklusi berikut:

a. Kriteria Inklusi

1) Pasien yang telah terdiagnosis konjungtivitis oleh dokter spesialis mata.

2) Diagnosis konjungtivitis pada pasien merupakan kasus baru.

3) Pasien yang memiliki data tanggal pemeriksaan yang jelas pada rekam medis.

b. Kriteria Eksklusi

1) Pasien dengan multidiagnosis

D. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel

a. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang apabila berubah maka akan

mengakibatkan perubahan pada variabel yang lain. Variabel bebas pada

penelitian ini adalah jenis musim yang terjadi selama bulan April 2018 sampai

dengan April 2019, yaitu musim kemarau dan musim penghujan.

b. Variabel Terikat

Variabel terikat adalah variabel yang berubah akibat adanya perubahan

dari variabel lain. Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian

konjungtivitis.

35
2. Definisi Operasional

a. Konjungtivitis

Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva yang dapat

disebabkan oleh mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, klamidia), alergi dan

iritasi bahan-bahan kimia. Penderita konjungtivitis pada penelitian ini adalah

pasien yang telah terdiagnosis konjungtivitis oleh dokter spesialis mata

berdasarkan klinis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan. Data tersebut diambil

dari rekam medis pasien.

b. Jenis Musim

Jenis musim pada penelitian ini dibedakan menjadi musim kemarau

yang terjadi pada bulan April sampai dengan September 2019, dan musim

penghujan pada bulan Oktober 2018 sampai dengan Maret 2019 sesuai dengan

pernyataan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Data

tersebut diambil dari waktu kunjungan pemeriksaan di poli mata Rumah Sakit

Umum Daerah Kabupaten Temanggung pada rekam medis pasien. Skala

pengukuran yang digunakan adalah nominal yang meliputi musim kemarau dan

musim penghujan.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medis pasien

rawat jalan di poli mata Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung sejak

April 2018 sampai April 2019 dengan diagnosis konjungtivitis yang memiliki

kelengkapan data meliputi identitas pasien, jenis kelamin, usia, dan waktu kunjungan

36
pemeriksaan. Data yang dikumpulkan akan dianalisis menggunakan komputer dengan

software SPSS.

F. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini dengan melihat data

rekam medis pasien rawat jalan di poli mata Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten

Temanggung yang telah terdiagnosis konjungtivitis sejak April 2018 sampai April

2019. Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yang

didapatkan dengan melihat rekam medis dari pasien konjungtivitis berdasarkan

kelengkapan data identitas pasien, jenis kelamin, usia, dan waktu kunjungan

pemeriksaan. Pengumpulan data dilakukan dalam kurun waktu sejak tanggal 12 sampai

26 Oktober 2019.

G. Analisis Data

Analisis yang digunakan setelah penulis memperoleh data yang dibutuhkan

adalah dengan menggunakan program SPSS di komputer.

Analisis yang digunakan pada program tersebut adalah:

1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi dengan melihat presentase

masing-masing variabel.

2. Analisis Bivariat

Ananlisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel. Penelitian ini

menggunakan analisis chi square untuk mengetahui hubungan antara kejadian

37
konjungtivitis dengan perbedaan jenis musim di Rumah Sakit Umum Daerah

Kabupaten Temanggung.

38
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian dilaksanakan sejak tanggal 12 sampai 26 Oktober 2019 di Rumah

Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung. Subjek penelitian adalah pasien rawat

jalan di poliklinik mata Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung yang

terdiagnosis konjungtivitis oleh dokter spesialis mata yang sudah memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi peneliti dengan jumlah sampel sebanyak 135 orang.

Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)


Laki-Laki 59 43,7%
Perempuan 76 56,3%

Tabel jenis kelamin menunjukkan sampel penderita dengan jenis kelamin

perempuan lebih banyak daripada penderita dengan jenis kelamin laki-laki, yaitu

perempuan berjumlah 76 orang (56,3%) sedangkan laki-laki berjumlah 59 orang

(43,7%).

Tabel 4.2 Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi Persentase (%)


0-10 tahun 37 27,4 %
11-20 tahun 34 25,2 %
21-30 tahun 14 10,4 %
31-40 tahun 15 11,1 %
41-50 tahun 18 13,3 %

39
51-60 tahun 12 8,9 %
61-70 tahun 5 3,7 %

Tabel karakteristik sampel berdasarkan usia menunjukkan bahwa penderita

konjungtivitis pada usia rentang 0-10 tahun memiliki jumlah yang paling banyak yaitu

37 orang (27,4%), sedangkan rentang umur 61-70 tahun memiliki jumlah paling sedikit

yaitu 5 orang (3,7%). Pasien konjungtivitis pada rentang usia 11-20 tahun berjumlah 34

orang (25,2%), usia 21-30 tahun berjumlah 14 orang (10,4%), usia 31-40 tahun

berjumlah 15 orang (11,1%), usia 41-50 orang berjumlah 18 orang (13,3%), dan usia

51-60 tahun berjumlah 12 orang (8,9%).

25

20
20

15 14 14
FREKUENSI

13
12
10
10 9
8 8
7 7 7
6

WAKTU KUNJUNGAN

Gambar 4.1 Karakteristik Sampel Berdasarkan Waktu Kunjungan

40
Hasil dari gambar menurut sampel berdasarkan waktu kunjungan didapatkan

kunjungan pasien dengan konjungtivitis dengan kasus baru pada bulan Oktober 2018

merupakan kunjungan terbanyak yaitu 20 orang, sedangkan pada bulan April 2019

merupakan kunjungan paling sedikit yaitu sebanyak 6 orang. Kunjungan pasien pada

bulan April 2018 diketahui sebanyak 7 orang, kemudian terjadi kenaikan pada bulan

berikutnya 13 orang, pada bulan Juni 2018 kembali sebanyak 7 orang kunjungan, lalu

meningkat kembali di bulan Juli 2018 sebanyak 14 orang. Kunjungan mengalami

penurunan kembali pada bulan Agustus 2018 dan September 2018 yaitu sebanyak 7

orang dan 9 orang, lalu terjadi kenaikan yang pesat pada bulan Oktober 2018. pada

bulan November 2018 tercatat terdapat 10 orang kunjungan, bulan Desember terdapat

12 kunjungan, kemudian pada bulan Januari dan Februari jumlah kunjungan stabil

yaitu sebanyak 8 orang. Pada bulan Maret terdapat peningkatan sebanyak 14 orang,

namun terjadi penurunan pesat di bulan selanjutnya yaitu sebanyak 6 orang

kunjungan.

Tabel 4.3 Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Musim

Jenis Musim Frekuensi Persentase (%)


Kemarau 63 46,7%
Hujan 72 53,3%

Berdasarkan data hasil waktu kunjungan selama 1 tahun, peneliti

mengklasifikasikan musim yang terjadi selama 1 tahun tersebut yaitu musim kemarau

pada bulan April sampai September 2018 dan musim penghujan pada bulan Oktober

2018 sampai Maret 2019. Hasil data karakteristik pasien dengan konjungtivitis

41
berdasarkan jenis musim didapatkan bahwa pada saat musim penghujan lebih banyak

penderita konjuntivitis yaitu sebanyak 72 orang (53,3%) daripada saat musim kemarau

yaitu 63 orang (46,7%).

Pada penelitian ini dilakukan uji analisis dengan chi square karena variabel yang

digunakan adalah nominal. Uji analisis ini digunakan untuk mendapatkan hasil apakah

terdapat hubungan antara perbedaan musim dengan kejadian konjungtivitis di Rumah

Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung, sehingga didapatkan hasil sebagai

berikut:

Tabel 4.4 Hasil Analisis Data

Data Frekuensi Nilai p

Musim Kemarau 63 0,001


Musim Penghujan 72

Hasil dari tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara perbedaan jenis musim dengan kejadian konjungtivitis (Nilai p = 0,001) di

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung, karena nilai p<0,05.

B. Pembahasan

Pada penelitian ini metode yang digunakan dalam penelitian adalah studi

retrospektif dengan memakai teknik cross sectional. Pemilihan metode cross sectional

pada penelitian ini karena secara teknis lebih mudah, lebih menghemat tenaga, waktu

dan biaya, serta tidak dilakukan perlakuan yang membutuhkan waktu untuk follow up.

Pengukuran variabel bebas dan tergantung pada penelitian ini dilakukan dalam satu kali

kesempatan. Pengumpulan data dilakukan dengan melihat rekam medis pasien dan

42
jadwal kedatangan pasien konjungtivitis dalam waktu rentang 1 tahun yang nantinya

akan dibagi ke 2 kelompok besar yaitu pasien konjungtivitis yang datang di musim

panas dan musim hujan.

Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah

penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh

banyak mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu seperti

perbedaan iklim (Vaughan, 2010). Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan

dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental.

Jumlah agen-agen yang patogen dan dapat menyebabkan infeksi pada mata semakin

banyak, disebabkan oleh meningkatnya penggunaan obat-obatan topical dan agen

imunosupresif sistemik, serta meningkatnya jumlah pasien dengan infeksi HIV dan

pasien yang menjalani transplantasi organ dan menjalani terapi imunosupresif (Therese,

2002).

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa pasien konjungtivitis terjadi paling

banyak pada usia 0-10 tahun dan 10-20 tahun. Hal ini sesuai dengan epidemiologi

konjungtivitis bahwa prevalensi tertinggi yaitu pada usia muda (usia anak – anak).

Sebagian besar penderita konjungtivitis adalah anak-anak. Umumnya mereka tertular

dari teman di sekolah, tempat bermain, atau bimbingan belajar (Hapsari et al, 2014).

Penularan infeksi mata merah (konjungtivitis) memerlukan media perantara seperti

tangan dan benda yang digunakan. Konjungtivitis bakteri dan virus adalah jenis

konjungtivitis yang paling mudah menular melalui hand to eye contact. Cairan mata

yang infeksius dan tangan yang terkontaminasi bakteri/virus adalah media yang paling

43
efektif untuk penyebarannya. Penularan dapat terjadi melalui benda yang dipegang oleh

penderita konjungtivitis kepada orang lain dengan cara adanya kontak langsung antara

seseorang dengan benda yang telah dipegang dari tangan kemudian ke mata bukan

penderita konjungtivitis (Hapsari et al, 2014). Konjungtivitis lebih sering terjadi pada

usia 1-25 tahun, anak-anak prasekolah dan anak usia sekolah, penyebab paling sering

dikarenakan kurangnya hygiene dan jarang mencuci tangan. Pada penelitian yang telah

dilakukan di Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri Lombok Barat, didapatkan angka

kejadian konjungtivitis pada siswi MTs pondok pesantren tersebut masih tinggi. Dari

344 siswi yang diperiksa didapatkan 192 (55,8%) siswa mengalami konjungtivitis. Dan

prevalensi konjungtivitis dengan keluhan mata merah sebanyak 60 kasus dan tanpa

mata merah sebanyak 132 siswi (Andari et al, 2015).

Pada penelitian ini, peneliti ingin megetahui ada tidaknya hubungan antara

perbedaan musim dengan kejadian konjungtivitis pada pasien di Rumah Sakit Umum

Daerah Kabupaten Temanggung. Pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa pasien

konjungtivitis yang datang saat musim kemarau sebanyak 63 pasien. Sementara, pasien

konjungtivitis yang datang saat musim penghujan berjumlah 72 pasien. Hasil dari tabel

di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perbedaan jenis

musim dengan kejadian konjungtivitis (Nilai p = 0,001) di Rumah Sakit Umum Daerah

Kabupaten Temanggung, karena nilai p<0,05.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chansaenroj dkk. pada

tahun 2015 bahwa konjungtivitis lebih sering terjadi pada musim hujan terutama

konjungtivitis virus. Pada musim hujan terjadi kenaikan curah hujan dan kecepatan

angin sehingga penularan konjungtivitis virus terjadi semakin sering karena pada kasus

44
konjungtivitis virus, sebagian besar penularan melalui media droplet udara ataupun air.

Penelitian serupa juga membuktikan bahwa konjungtivitis bakteri juga ditemukan lebih

banyak pada rentang bulan Desember hingga April (Rietveld, 2005).

45
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN PENELITIAN

A. Kesimpulan Penelitian

Hasil penelitian tentang hubungan antara perbedaan jenis musim dengan

kejadian konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung

didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat 63 kejadian konjungtivitis (46,7%) pada pasien rawat jalan poli mata

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung pada musim kemarau (April-

September 2018).

2. Terdapat 72 kejadian konjungtivitis (53,3%) pada pasien rawat jalan poli mata

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung pada musim penghujan (Oktober

2018-Maret 2019).

3. Terdapat hubungan yang signifikan antara perbedaan jenis musim dengan kejadian

konjungtivitis di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Temanggung (Nilai p 0,001,

p<0,05).

B. Saran

Hasil penelitian ini menghasilkan beberapa saran yang dapat dijadikan acuan

bagi instansi, masyarakat, dan penelitian selanjutnya, sebagai berikut:

1. Bagi Dokter dan Rumah Sakit

46
Penelitian ini diharapkan menjadi pengetahuan bagi dokter dan tenaga kesehatan

sehingga dapat digunakan untuk mengedukasi pasien terhadap faktor risiko

terjadinya konjungtivitis.

47
2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi masyarakat sebagai bentuk

pencegahan terjadinya konjungtivitis dengan menghindari faktor risiko yang dapat

terjadi di masyarakat.

3. Bagi Peneliti

a. Penelitian selanjutnya diharap dapat menyajikan variabel mengenai faktor risiko

lain yang dapat berhubungan dengan kejadian konjungtivitis.

b. Penelitian ini memiliki kekurangan dalam sampling penelitian yaitu tidak

memberikan fokus diagnosis pada salah satu jenis konjungtivitis agar hasil faktor

risiko yang terkait lebih spesifik. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat

menyajikan data yang lebih lengkap dan spesifik.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Opthalmology. 2010. Conjunctiva. San Fransisco: FDA.

2. Anonim. 2006. Conjunctivitis: Differentiating Allergic, Bacterial and Viral

Conjunctivitis. New York: Healio.

3. BMKG. 2019. Ikhtisar Prakiraan Musim Hujan 2018/2019 di Indonesia.

https://www.bmkg.go.id/iklim/prakiraan-musim.bmkg?p=prakiraan musim-hujan-

tahun-2018/2019-di-indonesia&tag=prakiraan-musim&lang=ID diunduh tanggal 21

Oktober 2019

4. BMKG. 2019. Ikhtisar Prakiraan Musim Kemarau 2018/2019 di Indonesia

https://www.bmkg.go.id/iklim/prakiraan-musim.bmkg?p=prakiraan musim-kemarau-

tahun-2019-di-indonesia&tag=prakiraan-musim&lang=ID diunduh tanggal 21 Oktober

2019

5. Cuvillo, A., Sastre, J., Montoro, J., Jáuregui, I., Dávila, I., Ferre, M., Bartra, J., Mullol,

J., Valero, A. 2009. Allergic Conjunctivitis and H1 Antihistamines. J investing Allergol

Clin Immunol 2009; Vol. 19. Suppl. 1: 11-18.

6. Hapsari, A. 2014. Pengetahuan Konjungtivitis pada Guru Kelas dan Pemberian

Pendidikan Kesehatan Mencuci Tangan pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Kesehatan

Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8. Mei 2014.

7. Hurwitz, S.A. 2009. Antibiotics Versus Placebo for Acute Bacterial Conjunctivitis. The

Cochrane Collaboration. Available at: http://www.thecochranelibrary.

com/userfiles/ccoch/file//CD001211.pdf.

49
8. Ilyas, S., 2008. Mata Merah. Dalam: Ilyas, S. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. 3rd Ed.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 64-77.

9. James, B., Chew, C., Bron, A., 2005. Konjungtiva, Kornea, dan Sklera. Dalam: Bruce, J.

(eds). Lecture Notes Oftalmologi. 9th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga, 6-66.

10. Jatla, K.K., 2009. Neonatal Conjunctivitis. University of Colorado Denver Health

Science Center. Available at: http://emedicine.medscape.com/ article/1192190-

overview.

11. Junqueira L.C., J.Carneiro, R.O. Kelley. 2007. Histologi Dasar. 5th Ed. Tambayang J.,

penerjemah. Terjemahan dari Basic Histology. Jakarta: EGC.

12. Majmudar, P.A., 2010. Allergic Conjunctivitis. Rush-Presbyterian-St Luke’s Medical

Center. Available from: http://emedicine.medscape.com/ article/1191467-overview.

13. Majmudar. 2010. Conjunctivitis, Alergic, Departement of Ophthalmology: Rush.

Presbytarian-St. Luke’s Medical Center. Diakses 09 April 2014, dari:

hhtp://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview.

14. Marlin, D.,S. 2005. Bacterial Conjunctivitis. Penn State College of Medicine. Diakses

dari : http://emedicine.com/article/1191370-overview.

15. Marlin, D.S., 2009. Bacterial Conjunctivitis. Penn State College of Medicine. Available

from: http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview.

16. Rapuano, C.J., Turaka, K., Panne, R.B. 2008. Conjunctivitis. American Academy of

Ophthalmology. Available from: http://one.aao.org/asset.axd.

50
17. Rietveld, R.P., Wert, H.C.M.P., Ter, R.G., Bindels P.J.E. 2003. Diagnostic impact of

signs and symptoms in acute infectious conjunctivitis: systematic literature search. Br

Med J 327: 789.

18. Scott, I.U., 2010. Viral Conjunctivitis. Departement of Opthalmology and Public Health

Sciences: Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview.

19. Senaratne, T., Gilbert, C., 2005. Conjunctivitis Primary Eye Care. Community. Eye

Health Journal. Available

from: http://www.cehjournal.org/download/ ceh_18_53_073.pdf.

20. Tarigan, Ikarowina. 2010. Kain dan Tangan Penyebab Mata Merah. Media Indonesia.

21. Therese, L.K., 2002. Microbiological Procedures for Diagnosis of Ocular Infection.

Available from: http://www.ijmm.org/documents/ocular.pdf.

22. Vaughan, D.G. 2010. Oftalmologi Umum. Jakarta: Widya Medika.

23. Visscher, K.L. 2009. Evidence-based Treatment of Acute Infective Conjunctivitis.

Canadian Family Physician. Available

from: http://171.66.125.180/content/55/11/1071.short.

51
LAMPIRAN

Data hasil karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin

Statistics

JENIS KELAMIN

N Valid 135

Missing 0

JENIS KELAMIN

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid LAKI-LAKI 59 43.7 43.7 43.7

PEREMPUAN 76 56.3 56.3 100.0

Total 135 100.0 100.0

Data hasil karakteristik sampel berdasarkan usia

Statistics

USIA

N Valid 135

Missing 0

USIA

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 0-10 TAHUN 37 27.4 27.4 27.4

11-20 TAHUN 34 25.2 25.2 52.6

52
21-30 TAHUN 14 10.4 10.4 63.0

31-40 TAHUN 15 11.1 11.1 74.1

41-50 TAHUN 18 13.3 13.3 87.4

51-60 TAHUN 12 8.9 8.9 96.3

61-70 TAHUN 5 3.7 3.7 100.0

Total 135 100.0 100.0

53
Data hasil karakteristik sampel berdasarkan waktu kunjungan

Statistics

WAKTU KUNJUNGAN

N Valid 135

Missing 0

WAKTU KUNJUNGAN

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid APRIL 2018 7 5.2 5.2 5.2

MEI 2018 13 9.6 9.6 14.8

JUNI 2018 7 5.2 5.2 20.0

JULI 2018 14 10.4 10.4 30.4

AGUSTUS 2018 7 5.2 5.2 35.6

SEPTEMBER 2018 9 6.7 6.7 42.2

OKTOBER 2018 20 14.8 14.8 57.0

NOVEMBER 2018 10 7.4 7.4 64.4

DESEMBER 2018 12 8.9 8.9 73.3

JANUARI 2019 8 5.9 5.9 79.3

FEBRUARI 2019 8 5.9 5.9 85.2

MARET 2019 14 10.4 10.4 95.6

APRIL 2019 6 4.4 4.4 100.0

Total 135 100.0 100.0

54
Data hasil karakteristik sampel berdasarkan jenis musim

Statistics

JENIS MUSIM

N Valid 135

Missing 0

JENIS MUSIM

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid MUSIM KEMARAU 63 46.7 46.7 46.7

MUSIM PENGHUJAN 72 53.3 53.3 100.0

Total 135 100.0 100.0

55
Data hasil analisis Chi Square

Crosstabs
Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

WAKTU KUNJUNGAN * 135 100.0% 0 0.0% 135 100.0%


JENIS MUSIM

WAKTU KUNJUNGAN * JENIS MUSIM Crosstabulation

Count

JENIS MUSIM

MUSIM MUSIM
KEMARAU PENGHUJAN Total

WAKTU KUNJUNGAN APRIL 2018 7 0 7

MEI 2018 13 0 13

JUNI 2018 7 0 7

JULI 2018 14 0 14

AGUSTUS 2018 7 0 7

SEPTEMBER 2018 9 0 9

OKTOBER 2018 0 20 20

NOVEMBER 2018 0 10 10

DESEMBER 2018 0 12 12

JANUARI 2019 0 8 8

FEBRUARI 2019 0 8 8

MARET 2019 0 14 14

56
APRIL 2019 6 0 6

Total 63 72 135

Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2-
Value df sided)

Pearson Chi-Square 135.000a 12 .000

Likelihood Ratio 186.549 12 .000

Linear-by-Linear Association 62.556 1 .000

N of Valid Cases 135

a. 15 cells (57.7%) have expected count less than 5. The minimum


expected count is 2.80.

57

Anda mungkin juga menyukai