PENDAHULUAN
Belakangan ini, di Indonesia, angka kejadian bencana yang merenggut banyak nyawa
semakin meningkat. Kondisi ini tercermin dari pemberitaan media massa yang seringkali
memuat berita mengenai kejadian bencana, seperti aksi teror bom, kecelakaan transportasi,
gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, puting beliung, dan lain-lain.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah memiliki data sebaran kejadian bencana di
Indonesia mulai dari tahun 1815 – 2012, dan angka kejadian bencana cenderung meningkat
dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir .
Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap kejadian yang
menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya
derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari
luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan RI,
bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi,
kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang
bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. Undang-undang Nomor 24
tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Secara singkat, bencana adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang dapat menimbulkan
korban luka atau meninggal dengan jumlah cukup banyak .
Berbagai literatur memiliki patokan yang berbeda mengenai jumlah korban yang dapat
dikatakan massal. Dari sudut pandang medis, 25 orang, menurut Popzacharieva dan Rao, 10
orang Silver dan Souviron menyatakan patokan ini tentunya akan berbeda-beda tergantung dari
lokasi bencana, terkait dengan sumber daya dan fasilitas yang tersedia. Sebagai contoh, jumlah
lemari pendingin yang tersedia untuk menyimpan jenazah akan bervariasi dari 4 hingga 400 unit
antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya. Dengan demikian, menurut Hadjiiski, suatu
bencana digolongkan sebagai bencana massal apabila jumlah korban melebihi 10% dari
kapasitas tempat yang tersedia di masing-masing rumah sakit .
Bencana itu sendiri ada yang merupakan bencana alam, seperti banjir, gempa, longsor,
gunung meletus, tsunami, serta angin topan. Ada pula bencana yang diakibatkan oleh ulah
manusia, misalnya ledakan bom dan kecelakaan transportasi seperti pesawat jatuh, atau kapal
tenggelam.
DVI ( Disaster Victim Identification ) adalah suatu definisi yang diberikan sebagai
sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang
dapat dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku Interpol. Adapun proses DVI
meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang
terdiri dari ‘The Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante Mortem Information Retrieval’, ‘Reconciliation’
and ‘Debriefing’ .
Proses DVI meliputi 4 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan
yang lainnya, yang terdiri dari :17
II.1.1. Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut: 15
1) membuat sektor‐sektor atau zona pada TKP;
2) memberikan tanda pada setiap sektor;
3) memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan jenazah, label
diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah;
4) memberikan label hijau (property label) pada barang‐barang pemilik yang tercecer.
5) membuat sketsa dan foto setiap sektor;
6) foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya;
7) isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM dengan keterangan sebagai berikut :
a. pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur, tanggal dan tempat
tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto pada lokasi dengan referensi koordinat
dan sektor TKP;
b. selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat dikenali atau tidak, atau
hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;
c. diskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah, dekomposisi/membusuk, menulang,
hilang atau terlepas;
d. keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol DVI PM
8) masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di dalam karung
plastik dan diberi label sesuai jenazah;
9) formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah dengan sebelumnya
masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek;
10) masukkan barang‐barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung plastik dan
diberi label sesuai nomor properti;
11) evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan penyimpanan jenazah
kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif.
Fase 3: Fase pengumpulan data jenazah Ante Mortem/Ante Mortem Information Retrieval
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini
biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah.15,18
Kegiatan :15
a. menerima keluarga korban;
b. mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya yang
dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota keluarganya dalam bencana
tersebut;
c. mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja, RS/Puskesmas/Klinik,
dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan
sipil, dll;
d. data‐data Ante Mortem gigi‐geligi;
data‐data Ante Mortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau gambaran dalam kartu
perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang yang terdekat;
sumber data‐data Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari klinik gigi RS
Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; lembaga‐lembaga pendidikan
Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; praktek pribadi dokter gigi.
e. mengambil sampel DNA pembanding;
f. apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Data‐data Ante Mortem dapat
diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan perwakilan Negara asing
(kedutaan/konsulat);
g. memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;
h. mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.
Identifikasi forensik adalah suatu upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu
penyidik dalam menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan suatu
masalah dalam kasus pidana dalam penyidikan karena adanya kekeliruan yang dapat berakibat
fatal dalam proses peradilan.19
Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk
mengenali korban dan membangun identitas setiap korban dengan membandingkan dan
mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem. Permasalahan yang dapat terjadi adalah
tantangan untuk mendapatkan informasi ante mortem dan post mortem sebagai perbandingan.
Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan, serta
akhirnya menyerahkan kepada keluarganya. Proses identifikasi sangat penting bukan hanya
untuk menganalisis penyebab bencana tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga
dengan adanya kepastian identitas korban.18
Identifikasi yang akurat dapat dicapai dengan mencocokkan data ante mortem dan post mortem
yang didapat dari :17
- Bukti sirkumtansial : kepemilikan seperti baju, perhiasan, dan isi kantung.
- Bukti fisik yang didukung oleh pemeriksaan luar (contohnya gambaran umum dan gambaran
spesifik) dan pemeriksaan dalam (contohnya bukti rekam medis, bukti pemeriksaan gigi, dan
pemeriksaan laboratorium).
Untuk mengidentifikasi korban bencana diperlukan dua macam data:18
a) Data orang hilang (contohnya orang yang berada di tempat kejadian namun terdaftar sebagai
korban selamat).
b) Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian
Dalam mengidentifikasi korban, DVI Interpol membentuk beberapa tim atau unit, yaitu :
1. Bagian Korban Hilang (Missing Branch)
o Unit pengumpulan data ante mortem (Ante-mortem record unit)
o Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)
o Daftar korban (Victim list)
1. Riwayat medis
Deskripsi personal yang berisi data umum (umur, jenis kelamin, tinggi badan, etnis) dan
gambaran penbeda spesifik. Penemuan medis seperti bekas luka, bukti penyakit sama halnya
dengan pengangkatan organ dapat memberikan informasi krusial mengenai riwayat medis
seseorang. Operasi umum yang dapat membedakan karakteristik individu (misal
appendicectomy) dapat diperhitungkan dalam konteks ini. Nomor unik yang ditemukan pada alat
pacu jantung dan alat prostetik lainnya dapat digunakan untuk identifikasi. Tato, tahi lalat, dan
kerusakan dapat menjadi indikator pada identitas.17
2. Kepemilikan/Property
Kategori ini termasuk semua hal yang ditemukan pada jenazah (contoh perhiasan, baju, dan
dokumen identitas personal). Termasuk metode identifikasi yang baik walaupun tubuh korban
telah rusak atau hangus. Initial yang terdapat pada cincin dapat memberikan informasi siapa si
pemberi cincin tersebut, dengan demikian dapat diketahui pula identitas korban. Sedangkan dari
pakaian, dapat diperoleh model pakaian, bahan yang dipakai, merek penjahit, label binatu yang
dapat merupakan petunjuk siapa pemilik pakaian tersebut dan tentunya identitas korban.
Dokumentasi seperti KTP, SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya merupakan
sarana yang dapat dipakai untuk menentukan identitas. 17
Gambar 4. Bukti dokumen
1. Sidik Jari
Ada tiga alas an mengapa sidik jari menjadi indikator yang dapat dipakai dalam penentuan
identitas :18
a) Sidik jari unik; kongruensi absolut antara jembatan papilar pada jari-jari berbeda tiap
individu atau pada jari yang berbeda pada orang yang sama tidak ada.
b) Sidik jari tidak berubah; jembatan papilar terbentuk pada usia gestasi empat bulan dan tidak
berubah sampai mati. Mereka akan tumbuh kembai pada pola yang sama saar luka kecil.
Beberapa luka berat dapat menyebabkan bekas luka permanen.
c) Sidik jari dapat diklasifikasikan; karena itu mereka bisa diidentifikasi dan diregistrasi secara
sistematis dan dapat diakses secara muda untuk kepentingan perbandingan.
Gambar 5. Sidik jari
2. Odontologi
Odontologi forensik adalah cabang kedokteran gigi yang terlibat dengan hukum.
Keahlian dalam bidang ini diperlukan dalam mengenal pasti bagian tubuh yang masih ada
pada post-mortem dengan memeriksa gigi korban, mengenal pasti pelaku dalam kasus jenayah
berdasarkan kesan gigitan pada korban dan memperkirakan usia korban berdasarkan radiograf
gigi. Gigi adalah bagian tubuh yang paling keras dan yang paling tahan terhadap trauma,
pembusukan, air, dan api. Penentuan identifikasi forensik berdasarkanpemeriksaan primer
masih dapat dilakukan denganpemeriksaan gigi geligi yaitu pada jenazah terbakarkarena gigi
merupakan medium yang tidak mudahrusak seperti sidik jari dan memiliki dayatahan terhadap
dekomposisi dan panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat dipercaya,
khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih
tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam
keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. 15, 21
Gambar 6. Pada suhu yang tinggi, walaupun tubuh telah rusak tetapi gigi masih dapat
diidentifikasi.22
Adapun dalammelaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2 (dua)
kemungkinan:12
a). Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan
identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai: umur, jenis kelamin, ras,
golongan darah,dan bentuk wajah. Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas
umur korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang
berada di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.
b). Mencari ciri‐ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut. Disini dicatat ciri‐ciri
yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secaralebih akurat dari pada sekedar mencari
informasi tentang umur atau jeniskelamin. Ciri‐ciri demikian antara lain : misalnya adanya
gigi yang dibungkuslogam, gigi yang ompongatau patah, lubang pada bagian depan biasanya
dapatlebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban.12
Forensik odontologis akan melakukan pemeriksaan terhadap gigi, gusi, bagian lain dari
kavitas oral, rahang/maxilla, dan komponen dari hidung pada wajah. Pemeriksaan ini meliputi
pencatatan data gigi (odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan manual, sinar X dan pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data
tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi, dan sebagainya. 12, 23
Gambar 7. Pemeriksaan Primer Gigi Tidak AkuratAkibat Avulsi Gigi Postmortem dan
HilangnyaJaringan Lunak.20
Gambar 8. memperlihatkan gambaran panoramic X ray pada anak-anak (a) gambaran yang
menunjukkan suatu pola pertumbuhan gigi dan perkembangan pada usia 9 tahun (pada usia 6
tahun terjadi erupsi dari akar gigi molar atau gigi 6 tapi belum tumbuh secara utuh).
Dibandingkan dengan diagram yang diambil dari Schour dan Massler (b) menunjukkan
pertumbuhan gigi pada anak usia 9 tahun.25
3. DNA
DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan. Di dalam
sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam mitokondria. Konsep dari
identifikasi DNA pertama kali diperkenalkan oleh Alex Jeffreys pada tahun 1985 yang dimana ia
menemukan bahwa beberapa regio dari DNA sangatlah bervariasi antara individu. Analisa dari
regio yang polimorfik dari DNA ini akan menghasilkan “DNA fingerprint” yang dimana
sekarang lebih dikenal dengan sebutan “DNA profile.”DNA ini sendiri biasanya disamakan
sebagai suatu cetak biru sebuah kehidupan dan membawa informasi herediter yang dibutuhkan
organiseme terebut untuk melakukan fungsinya.Molekul yang membawa informasi pengaturan
biologis yang fundamental ini sebenarnya sederhana secara relatif. Yang dimana struktur dasar
yang membangun DNA ini yaitu nukleotida yang tersusun atas tiga grup kimiawi yang berbeda:
sebuah gula (deoxyribosa), grup fosfat dan sebuah basa nitrogen. Ada 4 tipe yang berbeda dari
basa nitrogen DNA, yaitu adenine, guanine, thymine dan cytosine.27
Gambar 1 komponen dari moekul DNA. Molekul DNA terbentuk dari deoxynucleotida (a): gula
deoxyribosa (b) memiliki lima atom karbon (dari C1 hingga C5); satu dari empat tipe yang berbeda dari
basa nitrogen (c) melekat pada atom karbon C1, grup hidroksil melekat pada atom karbon nomor 3, dan
grup fosfat melekat pada atom karbon C5.27
Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti buccal swab (usapan
mulut pada pipi sebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya, walaupun lebih dipilih
penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai sumber DNA. Tes DNA dilakukan
dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi dan hukum antara lain; tunjangan anak,
perwalian anak, adopsi, imigrasi, warisan dan masalah forensik (dalam identifikasi korban
bencana).25
V. PENUTUP
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap bencana.
Beberapa bencana yang sering terjadi di Indonesia antara lain banjir, gempa bumi, gunung
meletus, tsunami, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan.1 Bencana yang terjadi selalu
menimbulkan kondisi gawat darurat.5 Kondisi ini dapat berakhir pada terjadinya krisis kesehatan
di masyarakat yang terkena bencana. Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi
oleh tim medis, para medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah
mati yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula.11,12Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan amanat kepada pemerintah dan
masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi
korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga
dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup.11
Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah yang diberikan sebagai sebuah
prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana massal yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada standar baku
Interpol DVI Guideline.Tim DVI terdiri dari dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli
antropologi (ilmu yang mempelajari tulang), kepolisian, fotografi, dan ahli DNA.12,13,14 Prosedur
DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus
dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme.Dapat
diterapkan terhadap bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban.Prinsip dari proses
identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-mortem dan post-mortem, semakin
banyak yang cocok maka akan semakin baik. 13
Pelaksanaan DVI mencakup beberapa fase yaitu: fase TKP, fase post mortem, fase anter
mortem, fase rekonsiliasi, dan fase evaluasi. Berdasarkan standar baku dari Interpol proses
identifikasi mencakup dua metode yaitu identifikasi primer dan sekunder. Identifikasi primer
meliputi sidik jari, gigi geligi, dan DNA. Identifikasi sekunder mencakup datas medis,
kepemilikan, dan visual/fotografi. Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif,
Badan Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat,
yaitu menentukan identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI
Indonesia adalah didukung minimal salah satu primaryidentifiers positif atau didukung dengan
minimal dua secondary identifiers positif.15,18,20
DAFTAR PUSTAKA
4. Hadihardaja IK, Kuntoro AA, Farid M. Flood Resilience for Risk Management: Case
Study of River Basin in Indonesia. Taiwan: APEC Research Center for Typhoon and
Society; 2013 Dec p. 16–9.
5. Integrated Regional Information Network. Disaster reduction and the human cost of
disaster [Internet]. IRINnews. 2014 [Cited on 2017 May 10]. Available from:
http://www.irinnews.org/IndepthMain.aspx?reportid=62447&indepthid=14.
7. Negara Republik Indonesia. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. 2007.
8. What is a disaster? - IFRC [Internet]. [Cited on 2017 May 10]. Available from:
http://www.ifrc.org/en/what-we-do/disaster-management/about-disasters/what-is-a-
disaster/.
9. Kristi L. Koenig, Carl H. Schultz. Disaster Medicine: Comprehensive Principles and
Practices. University of Cambridge; 2010.
10. BPBD Jakarta – 2002-2014,Bencana Alam di Indonesia Capai 1.093 [Internet]. [cited
2017 May 10]. Available from: http://bpbd.jakarta.go.id/2002-2014bencana-alam-di-
indonesia-capai-1- 093/.
11. Henky, Safitry O. Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI Antara Teori dan
Kenyataan. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2012; 2(1): 5-7.
12. Singh, S. Disaster Victim Identificationdalam Majalah Kedokteran Nusantara Vol.41 (4).
Medan: SMF Kedokteran Forensik FK-USU; 2008; p 254-8.
14. Jennet K. Disaster Victim Identification- Learning from the Victoria Bush Fires Tragedy
: A Winston Churchill Travel Fellowship. Merseyside Police; 2011.
16. Anonym. DVI Indonesia. [Online] 2011. [Cited on 2017 May 10]. Available from :
http://www.dvi-indonesia.com/index.php?id=7.
21. Acharya AB. Role of forensic odontology in disaster victim identification in the Indian
context. J Dent Specialities, 2015;3(1):89-91.
22. Dix J. Color Atlas Of Forensic Pathology. New York: CRC Press; 2000.
24. Stimson P, Mertz C. Forensic Dentistry. New York: CRC Press; 1997.
25. Eckert, W. Introduction To Forensic Sciences : Second Edition. New York: CRC
Press;1997.
26. Beauthier J, Valck E, et all. Mass Disaster Victim Identification: The Tsunami
Experience in The Open Forensic Science Journal 2. Belgium:2009; p.54-62
27. Pertiwi KR. Penerapan Teknologi DNA dalam Identifikasi Forensik. 2014. Yogyakarta:
UNY.