Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Belakangan ini, di Indonesia, angka kejadian bencana yang merenggut banyak nyawa
semakin meningkat. Kondisi ini tercermin dari pemberitaan media massa yang seringkali
memuat berita mengenai kejadian bencana, seperti aksi teror bom, kecelakaan transportasi,
gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, puting beliung, dan lain-lain.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah memiliki data sebaran kejadian bencana di
Indonesia mulai dari tahun 1815 – 2012, dan angka kejadian bencana cenderung meningkat
dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir .

Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap kejadian yang
menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya
derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari
luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Sedangkan menurut Departemen Kesehatan RI,
bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi,
kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang
bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. Undang-undang Nomor 24
tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Secara singkat, bencana adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang dapat menimbulkan
korban luka atau meninggal dengan jumlah cukup banyak .

Berbagai literatur memiliki patokan yang berbeda mengenai jumlah korban yang dapat
dikatakan massal. Dari sudut pandang medis, 25 orang, menurut Popzacharieva dan Rao, 10
orang Silver dan Souviron menyatakan patokan ini tentunya akan berbeda-beda tergantung dari
lokasi bencana, terkait dengan sumber daya dan fasilitas yang tersedia. Sebagai contoh, jumlah
lemari pendingin yang tersedia untuk menyimpan jenazah akan bervariasi dari 4 hingga 400 unit
antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya. Dengan demikian, menurut Hadjiiski, suatu
bencana digolongkan sebagai bencana massal apabila jumlah korban melebihi 10% dari
kapasitas tempat yang tersedia di masing-masing rumah sakit .

Bencana itu sendiri ada yang merupakan bencana alam, seperti banjir, gempa, longsor,
gunung meletus, tsunami, serta angin topan. Ada pula bencana yang diakibatkan oleh ulah
manusia, misalnya ledakan bom dan kecelakaan transportasi seperti pesawat jatuh, atau kapal
tenggelam.

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan amanat


kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang
tidak dikenal . Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar dapat
dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa
hidup. Ada dampak hukum dengan meninggalnya seseorang seperti waris, asuransi, serta pada
kasus kriminal maka akan dapat dihentikan apabila pelaku telah meninggal dunia

DVI ( Disaster Victim Identification ) adalah suatu definisi yang diberikan sebagai
sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang
dapat dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku Interpol. Adapun proses DVI
meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang
terdiri dari ‘The Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante Mortem Information Retrieval’, ‘Reconciliation’
and ‘Debriefing’ .

Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik


identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan Primary Indentifiers
yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri
dari Medical, Property dan Photography . Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem , semakin banyak yang cocok maka akan
semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan
Secondary Identifiers.
I. DASAR DISASTER VICTIM IDENTIFICATION
Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah atau definisi yang diberikan
sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana massal yang
dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada standar
baku Interpol DVI Guideline.Tim DVI terdiri dari dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli
antropologi (ilmu yang mempelajari tulang), kepolisian, fotografi, dan ahli DNA.12,13,14
DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari proses
penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang kepentingan hukum (asuransi,
warisan, status perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan. Prosedur DVI diterapkan jika
terjadi bencana yang menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung
yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme.Dapat diterapkan terhadap
bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban.Prinsip dari proses identifikasi ini adalah
dengan membandingkan data ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok maka
akan semakin baik. 13
Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya identifikasi
korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan Oktober 2002 dimana terdapat
korban meninggal sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi yang berjalan kurang lebih 3
bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir 99% yang teridentifikasi secara positif
melalui metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. 13
Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri
Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No.Pol Kep/40/IX/2004 Pedoman
Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal.15
Rujukan Hukum :16
a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
b. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri
c. UU No.23 tentang kesehatan
d. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
e.Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim
Identification
f. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004
g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003
II. PROSES DISASTER VICTIM IDENTIFICATION
Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan operasinya dapat
bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan fungsi. Ketua tim dan
koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih mementingkan aspek
penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man madedisaster, ketua tim DVI lebih
mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang
lebih mengedepankan aspek kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat
melibatkan beberapa tim dari berbagai institusi.15
Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan keahlian/kompetensi
dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja dalam masing‐masing fase mempunyai
tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang berbeda yang menjadi pertimbangan bagi
seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan
mempunyai pengalaman di TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi
forensik yang lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah.15
Struktur tim DVI dapat dijabarkan seperti di bawah ini, hal ini ditentukan tergantung dari
besarnya suatu bencana.
a. Tim Spesialis
Patologis forensik, odontologis forensik, ahli sidik jari, biologis/genetik forensik, dan
antropologis forensik.
b. Tim ahli lainnya yang dapat turut serta dalam proses DVI:
Fotografer, radiologis, tim interview, manajer properti, perekam scene dan post-mortem,
tim pengontrol informasi dan data, tim pengumpul dan manajemen barang bukti,
pengelola kamar mayat, penyidik, petugas logistik, petugas penghubung, petugas orang
hilang, dan ahli teknologi dan informasi.
Gambar 1. Struktur Tim Disaster Victim Identification17

Proses DVI meliputi 4 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan
yang lainnya, yang terdiri dari :17

Gambar 2. ProsesDisaster Victim Identification17

Fase 1: Fase TKP/The Scene


Dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai berikut: 15,16,18
a. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat dipindahkan dari lokasi,
sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI;
b. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada setiap tubuh korban
atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah kemungkinan tercampur atau hilang;
c. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh dipisahkan;
d. Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh korban yang
ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat;
e. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni masuk dalam fase
kedua dan seterusnya.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga
langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua
adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau
pelabelan.18
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil
langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah – langkah tersebut
antara lain adalah :18
1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan (penonton yang
penasaran, wakil – wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki
akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area bencana
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan
korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin
dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.18
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban kemudian
memberikan nomor dan label pada korban.Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka
korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian
dievakuasi.18
Gambar 3. Kontainer dan perbendaharaan pemeriksaan badan korban post mortem.19

II.1.1. Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut: 15
1) membuat sektor‐sektor atau zona pada TKP;
2) memberikan tanda pada setiap sektor;
3) memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan jenazah, label
diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah;
4) memberikan label hijau (property label) pada barang‐barang pemilik yang tercecer.
5) membuat sketsa dan foto setiap sektor;
6) foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya;
7) isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM dengan keterangan sebagai berikut :
a. pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur, tanggal dan tempat
tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto pada lokasi dengan referensi koordinat
dan sektor TKP;
b. selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat dikenali atau tidak, atau
hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;
c. diskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah, dekomposisi/membusuk, menulang,
hilang atau terlepas;
d. keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol DVI PM
8) masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di dalam karung
plastik dan diberi label sesuai jenazah;
9) formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah dengan sebelumnya
masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek;
10) masukkan barang‐barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung plastik dan
diberi label sesuai nomor properti;
11) evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan penyimpanan jenazah
kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif.

Fase 2 : Fase pengumpulan data jenazah Post Mortem/ The Mortuary


Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh
post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada
fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan
mencatat data selengkap–lengkapnya mengenai korban.15,16,18
Kegiatan pada fase 2 sebagai berikut :15
a. Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP;
b. Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah
dan barang‐barang;
c. membuat foto jenazah;
d. mengambil sidik jari korban dan golongan darah;
e. melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia;
f. melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat;
g. Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh,
tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.
h. Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap orang ;
tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda
i. membuat rontgen foto jika perlu;
j. mengambil sampel DNA;
k. menyimpan jenasah yang sudah diperiksa;
l. melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat di mayat yang
ditemukan di TKP;
m. mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.
Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan
data sekunder sebagai berikut :18
1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)
2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi, medis)
Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi DVI
Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu menentukan
identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI Indonesia adalah
didukung minimal salah satu primaryidentifiers positif atau didukung dengan minimal dua
secondary identifiers positif. Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga
sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan paska kematian pada
jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat
pembusukan.18,20
Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan dari berbagai
keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi,
DNA dan ahli antropologi forensik.15,17
Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan tehnik
identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan,
Primary Indentifiers yang terdiri dari :
1) Fingerprints
2) Dental Records
3) DNA
sertaSecondary Indentifiers yang terdiri dari :
1) Medical
2) Property
3) Photography
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante Mortem dan
Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers
mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers.12,18,20

Fase 3: Fase pengumpulan data jenazah Ante Mortem/Ante Mortem Information Retrieval
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini
biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah.15,18
Kegiatan :15
a. menerima keluarga korban;
b. mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya yang
dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota keluarganya dalam bencana
tersebut;
c. mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja, RS/Puskesmas/Klinik,
dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan
sipil, dll;
d. data‐data Ante Mortem gigi‐geligi;
 data‐data Ante Mortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau gambaran dalam kartu
perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang yang terdekat;
 sumber data‐data Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari klinik gigi RS
Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; lembaga‐lembaga pendidikan
Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; praktek pribadi dokter gigi.
e. mengambil sampel DNA pembanding;
f. apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Data‐data Ante Mortem dapat
diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan perwakilan Negara asing
(kedutaan/konsulat);
g. memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;
h. mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.

Fase 4 : Fase Analisa/Reconciliation


Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli
forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan
post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai
jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau
telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap
negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang
sesuai dengan temuan post mortem jenazah.15,16,18
Kegiatan :15
1) mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan identitas korban mati antara Unit TKP, Unit Post
Mortem dan Unit Ante Mortem;
2) mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat Rekonsiliasi;
3) mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante
Mortem untuk korban yang belum dikenal;
4) membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem;
5) check and Recheck hasil Unit Pembanding Data;
6) mengumpulkan hasil identifikasi korban;
7) membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban yang dikenal dan
surat‐surat lainnya yang diperlukan;
8) publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat membantunmasyarakat untuk
mendapatkan informasi yang terbaru dan akurat.

IV. METODE IDENTIFIKASI

Identifikasi forensik adalah suatu upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu
penyidik dalam menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan suatu
masalah dalam kasus pidana dalam penyidikan karena adanya kekeliruan yang dapat berakibat
fatal dalam proses peradilan.19
Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk
mengenali korban dan membangun identitas setiap korban dengan membandingkan dan
mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem. Permasalahan yang dapat terjadi adalah
tantangan untuk mendapatkan informasi ante mortem dan post mortem sebagai perbandingan.
Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan, serta
akhirnya menyerahkan kepada keluarganya. Proses identifikasi sangat penting bukan hanya
untuk menganalisis penyebab bencana tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga
dengan adanya kepastian identitas korban.18
Identifikasi yang akurat dapat dicapai dengan mencocokkan data ante mortem dan post mortem
yang didapat dari :17
- Bukti sirkumtansial : kepemilikan seperti baju, perhiasan, dan isi kantung.
- Bukti fisik yang didukung oleh pemeriksaan luar (contohnya gambaran umum dan gambaran
spesifik) dan pemeriksaan dalam (contohnya bukti rekam medis, bukti pemeriksaan gigi, dan
pemeriksaan laboratorium).
Untuk mengidentifikasi korban bencana diperlukan dua macam data:18
a) Data orang hilang (contohnya orang yang berada di tempat kejadian namun terdaftar sebagai
korban selamat).
b) Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian
Dalam mengidentifikasi korban, DVI Interpol membentuk beberapa tim atau unit, yaitu :
1. Bagian Korban Hilang (Missing Branch)
o Unit pengumpulan data ante mortem (Ante-mortem record unit)
o Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)
o Daftar korban (Victim list)

2. Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery)


o Koordinator tim pemulihan (Recovery coordinator)
o Tim pencari (Search team)
o Tim dokumentasi (Photography team)
o Tim pemulihan jenazah (Body recovery team)
o Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property recovery team)
o Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah (Morgue station)
3. Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch)
o Unit keamanan (Security unit)
o Unit transportasi jenazah (Body movement unit)
o Unit pengumpul data post mortem (Post-mortem record unit)
o Unit pemeriksa jenazah (Body examination unit)
4. Pusat Identifikasi (Identification Centre)
o Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification center file section)
o Bagian khusus pusat identifikasi (Identification center specialized section), terdiri
atas :
a. Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section)
b. Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print section)’’
c. Bagian penyelidikan barang-barang pribadi (Property section)
d. Bagian penyelidikan medis (Medical section)
e. Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)
f. Bagian analisis DNA (DNA analysis section)
g. Badan identifikasi (Identification board)
h. Bagian pelepasan jenazah (Body release section)

Terdapat dua metode pokok dalam proses identifikasi, yaitu :


a. Metode sederhana yaitu berupa gambaran visual, kepemilikan (perhiasan
dan pakaian), dan dokumentasi.
b. Metode ilmiah yaitu berupa sidik jari, serologi, odontology, antropologi,
dan biologi molekuler.
Khusus pada korban bencana massal, berdasarkan standar Interpol untuk proses identifikasi pada
DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu :
a. Metode identifikasi primer (sidik jari, gigi geligi, DNA)
b. Metode identifikasi sekunder (data medis, kepemilikan, fotografi/visual)

IV.1. Metode sekunder / Identifikasi sekunder

1. Riwayat medis
Deskripsi personal yang berisi data umum (umur, jenis kelamin, tinggi badan, etnis) dan
gambaran penbeda spesifik. Penemuan medis seperti bekas luka, bukti penyakit sama halnya
dengan pengangkatan organ dapat memberikan informasi krusial mengenai riwayat medis
seseorang. Operasi umum yang dapat membedakan karakteristik individu (misal
appendicectomy) dapat diperhitungkan dalam konteks ini. Nomor unik yang ditemukan pada alat
pacu jantung dan alat prostetik lainnya dapat digunakan untuk identifikasi. Tato, tahi lalat, dan
kerusakan dapat menjadi indikator pada identitas.17

2. Kepemilikan/Property
Kategori ini termasuk semua hal yang ditemukan pada jenazah (contoh perhiasan, baju, dan
dokumen identitas personal). Termasuk metode identifikasi yang baik walaupun tubuh korban
telah rusak atau hangus. Initial yang terdapat pada cincin dapat memberikan informasi siapa si
pemberi cincin tersebut, dengan demikian dapat diketahui pula identitas korban. Sedangkan dari
pakaian, dapat diperoleh model pakaian, bahan yang dipakai, merek penjahit, label binatu yang
dapat merupakan petunjuk siapa pemilik pakaian tersebut dan tentunya identitas korban.
Dokumentasi seperti KTP, SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya merupakan
sarana yang dapat dipakai untuk menentukan identitas. 17
Gambar 4. Bukti dokumen

IV.2. Metode Ilmiah / Identifikasi Primer


Secara internasional telah diterama bahwa identifikasi primer merupakan metode yang paling
diandalkan dimana identifikasi dapat dikonfirmasi:17

1. Sidik Jari
Ada tiga alas an mengapa sidik jari menjadi indikator yang dapat dipakai dalam penentuan
identitas :18
a) Sidik jari unik; kongruensi absolut antara jembatan papilar pada jari-jari berbeda tiap
individu atau pada jari yang berbeda pada orang yang sama tidak ada.
b) Sidik jari tidak berubah; jembatan papilar terbentuk pada usia gestasi empat bulan dan tidak
berubah sampai mati. Mereka akan tumbuh kembai pada pola yang sama saar luka kecil.
Beberapa luka berat dapat menyebabkan bekas luka permanen.
c) Sidik jari dapat diklasifikasikan; karena itu mereka bisa diidentifikasi dan diregistrasi secara
sistematis dan dapat diakses secara muda untuk kepentingan perbandingan.
Gambar 5. Sidik jari

2. Odontologi
Odontologi forensik adalah cabang kedokteran gigi yang terlibat dengan hukum.
Keahlian dalam bidang ini diperlukan dalam mengenal pasti bagian tubuh yang masih ada
pada post-mortem dengan memeriksa gigi korban, mengenal pasti pelaku dalam kasus jenayah
berdasarkan kesan gigitan pada korban dan memperkirakan usia korban berdasarkan radiograf
gigi. Gigi adalah bagian tubuh yang paling keras dan yang paling tahan terhadap trauma,
pembusukan, air, dan api. Penentuan identifikasi forensik berdasarkanpemeriksaan primer
masih dapat dilakukan denganpemeriksaan gigi geligi yaitu pada jenazah terbakarkarena gigi
merupakan medium yang tidak mudahrusak seperti sidik jari dan memiliki dayatahan terhadap
dekomposisi dan panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat dipercaya,
khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah dibuat masih
tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah dalam
keadaan membusuk atau rusak, seperti halnya kebakaran. 15, 21

Gambar 6. Pada suhu yang tinggi, walaupun tubuh telah rusak tetapi gigi masih dapat
diidentifikasi.22
Adapun dalammelaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan 2 (dua)
kemungkinan:12
a). Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau menyempitkan
identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai: umur, jenis kelamin, ras,
golongan darah,dan bentuk wajah. Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas
umur korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang
berada di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.
b). Mencari ciri‐ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut. Disini dicatat ciri‐ciri
yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secaralebih akurat dari pada sekedar mencari
informasi tentang umur atau jeniskelamin. Ciri‐ciri demikian antara lain : misalnya adanya
gigi yang dibungkuslogam, gigi yang ompongatau patah, lubang pada bagian depan biasanya
dapatlebih mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban.12

Forensik odontologis akan melakukan pemeriksaan terhadap gigi, gusi, bagian lain dari
kavitas oral, rahang/maxilla, dan komponen dari hidung pada wajah. Pemeriksaan ini meliputi
pencatatan data gigi (odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan manual, sinar X dan pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data
tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi, dan sebagainya. 12, 23

Kondisi pembusukan awal juga masih memungkinkan diidentifikasi melalui proses


pemeriksaan primer yang bersifat ekonomis dan efisien yaitu pemeriksaan gigi, meskipun
keluarga tidak dapat merinci kondisi gigi korban dengantepat. Semakin lama terpapar dalam
air maka proses pembusukan juga akan berlangsung dengan cepat sehingga akan
menyebabkan terbatasnya upayapemeriksaan primer. Proses identifikasi pada konsisi harus
dilakukan kombinasi pemeriksaanprimer dengan sekunder secara cermat dan akurat. Pada
kasus ini korban berikutnya ditemukan setelah 9-29 hari setelah kejadian sehingga tidak ada
satupun yang berhasil diidentifikasi berdasarkanpemeriksaan primer yang terjangkau yaitu
sidik jari maupun gigi karena terjadi pembusukan lanjut. 20
Selain ituakibat pemanasan terjadi koagulasi protein yangmenyebabkan otot mengecil
diikuti mengkerutnyakulit, termasuk pengerutan peridontal ligament atauperiodontal membran
sebagai jaringan penyanggatulang dan gigi.Hal ini akan sulit dilakukan pada jenazah
yangmeninggal dengan cara tenggelam. Pada jenazahyang meninggal dalam air pada saat
prosespembusukan berlangsung disertai dengan prosespembusukan pada maksila dan
mandibula yangakan diikuti dengan terlepasnya gigi dari tulangakibat lisis jaringan
penyangga. Gigi yang terlepasakan sulit dilakukan pemeriksaan karena sebagianbesar akan
jatuh dalam air. Hal ini pula yangmempengaruhi keberhasilan identifikasi primermelalui
pemeriksaan gigi geligi pada korbantenggelam.20

Gambar 7. Pemeriksaan Primer Gigi Tidak AkuratAkibat Avulsi Gigi Postmortem dan
HilangnyaJaringan Lunak.20

a). Identifikasi odontologi forensik


Batasan dari forensik odontologi terdiri dari:24
1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan kraniofasial.
2. Penentuan umur dari gigi.
3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark).
4. Penentuan ras dari gigi.
5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan kekerasan.
6. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli.
7. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.

 Penentuan Usia berdasarkan gigi


Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun. Identifikasi
melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang lebih baik daripada pemeriksaan
antropologi lainnya pada masa pertumbuhan. Pertumbuhan gigi desidua diawali pada
minggu ke 6 intra uteri. 22
Mineralisasi gigi dimulai saat 12-16 minggu dan berlanjut setelah bayi lahir.
Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang mempengaruhi pembentukan
sel gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan garis tipis yang memisahkan enamel dan
dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal line ini akan tetap ada walaupun seluruh
enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika ditemukan mayat bayi, dan ditemukan garis ini
menunjukkan bahwa mayat sudah pernah dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel
dan dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan teori dapat digunakan dengan melihat
ketebalan dari struktur di atas neonatal line. Pertumbuhan gigi permanen diikuti dengan
penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama dan dilanjutkan sampai akar dan
gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada usia 14 – 16 tahun. Ini bukan referensi
standar yang dapat digunakan untuk menentukan umur, penentuan secara klinis dan
radiografi juga dapat digunakan untuk penentuan perkembangan gigi. Penentuan usia
antara 15 dan 22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar tiga yang
pertumbuhannya bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan
perubahan pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini
dapat digunakan untuk aplikasi forensik.22, 25

Gambar 8. memperlihatkan gambaran panoramic X ray pada anak-anak (a) gambaran yang
menunjukkan suatu pola pertumbuhan gigi dan perkembangan pada usia 9 tahun (pada usia 6
tahun terjadi erupsi dari akar gigi molar atau gigi 6 tapi belum tumbuh secara utuh).
Dibandingkan dengan diagram yang diambil dari Schour dan Massler (b) menunjukkan
pertumbuhan gigi pada anak usia 9 tahun.25

 Penentuan Jenis Kelamin berdasarkan gigi


-Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin. Gigi
geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya. Anderson
mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada wanita berdiameter kurang dari 6,7
mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat ini sering dilakukan pemeriksaan DNA
dari gigi untuk membedakan jenis kelamin.25

 Penentuan Ras berdasarkan gigi


Penentuan ras pada gigi dan rahang tidak dapat diandalkan, meskipun beberapa
morfologi menunjukkan statistik perbedaan dalam frekuensi antara ras. Contoh gambaran
gigi pada ras mongoloid adalah insisivus berbentuk sekop. Insisivus pada maksila
berbentuk sekop pada 85-99% ras mongoloid. 2 sampai 9% ras kaukasoid dan 12% ras
negroid memperlihatkan adanya bentuk seperti sekop walaupun tidak terlalu jelas. Dens
evaginatus, aksesoris berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah pada
1-4% ras mongoloid, Akar distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada 20%
mongoloid, lengkungan palatum berbentuk elips, serta batas bagian bawah mandibula
berbentuk lurus.25

Gambar 9. Gigi seri berbentuk sekop. 24

b). Langkah langkah penanganan aspek odontologi forensik:


- Bila rahang atas dan bawah lengkap :26
1. Pembukaan rahang bawah untuk melepaskan rahang bawah.
2. Melakukan pembersihan rahang bawah dan rahang atas.
3. Melakukan dental charting/odontogram.
4. Melakukan rontgen foto pada seluruh gigi geligi di rahang atas dan rahang bawah.
5. Pencabutan gigi molar 1 atas atau bawah untuk pemeriksaan DNA.
6. Melakukan pemotretan dengan ukuran close-up
7. Melakukan perbandingan data dental antemortem dengan post mortem
8. Proses rekonsilasi untuk penentuan identifikasi.
- Pada rahang yang tidak utuh :26
Melakukan rekonstruksi bentuk rahang serta susunan gigi geliginya dengan
menggunakan wax/malam. Kenudian diperkuat dengan menggunakan self curing acrylic.
Lalu melakukan pencetakan, dilakukan pemotretan close-up, dan pengembalian pada
jenazah.Tujuan rekonstruksi diharapkan dapat memperoleh gambaran perkiraan raut
wajah korban untuk membantu memudahkan identifikasi.26

3. DNA
DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan. Di dalam
sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam mitokondria. Konsep dari
identifikasi DNA pertama kali diperkenalkan oleh Alex Jeffreys pada tahun 1985 yang dimana ia
menemukan bahwa beberapa regio dari DNA sangatlah bervariasi antara individu. Analisa dari
regio yang polimorfik dari DNA ini akan menghasilkan “DNA fingerprint” yang dimana
sekarang lebih dikenal dengan sebutan “DNA profile.”DNA ini sendiri biasanya disamakan
sebagai suatu cetak biru sebuah kehidupan dan membawa informasi herediter yang dibutuhkan
organiseme terebut untuk melakukan fungsinya.Molekul yang membawa informasi pengaturan
biologis yang fundamental ini sebenarnya sederhana secara relatif. Yang dimana struktur dasar
yang membangun DNA ini yaitu nukleotida yang tersusun atas tiga grup kimiawi yang berbeda:
sebuah gula (deoxyribosa), grup fosfat dan sebuah basa nitrogen. Ada 4 tipe yang berbeda dari
basa nitrogen DNA, yaitu adenine, guanine, thymine dan cytosine.27

Gambar 1 komponen dari moekul DNA. Molekul DNA terbentuk dari deoxynucleotida (a): gula
deoxyribosa (b) memiliki lima atom karbon (dari C1 hingga C5); satu dari empat tipe yang berbeda dari
basa nitrogen (c) melekat pada atom karbon C1, grup hidroksil melekat pada atom karbon nomor 3, dan
grup fosfat melekat pada atom karbon C5.27

Genom manusia dapat didefinisikan sebagai komplemen kehidupan suatu organisme.


Genom manusia mengandung sekitar 3,2 milyar informasi yang terorganisir ke dalam 23
kromosom manusia. Manusia pada normalnya terdiri atas dua set kromosom. Dua set tersebut
berasal dari tiap orangtua, yang memberikan 46 kromosom yang terdiri atas 22 pasang
kromosom autosomal dan pasangan ke 23 ialah kromosom X dan Y. Yang dimana pada
perempuan memiliki dua kromosom X sedangkan pria memiliki 1 kromosm X dan 1 kromosom
Y.27
Bagian DNA yang mengkode dan melakukan sintesis protein disebut dengan gen. Hal
inilah yang sangat luas dipelajari karena memainkan peran yang sangat vital paa struktur dan
fungsi dari semua sel. Beberapa protein yang dikoding DNA berbentuk polimorfik yang artinya
timbul dalam beberapa bentuk, dan inilah yang digunaan pada ilmu forensik. Sistem yang sangat
diketahui dengan baik saat ini ialah sistem golongan darah ABO.00

Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti buccal swab (usapan
mulut pada pipi sebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya, walaupun lebih dipilih
penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai sumber DNA. Tes DNA dilakukan
dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi dan hukum antara lain; tunjangan anak,
perwalian anak, adopsi, imigrasi, warisan dan masalah forensik (dalam identifikasi korban
bencana).25

V. PENUTUP

Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap bencana.
Beberapa bencana yang sering terjadi di Indonesia antara lain banjir, gempa bumi, gunung
meletus, tsunami, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan.1 Bencana yang terjadi selalu
menimbulkan kondisi gawat darurat.5 Kondisi ini dapat berakhir pada terjadinya krisis kesehatan
di masyarakat yang terkena bencana. Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi
oleh tim medis, para medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah
mati yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula.11,12Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan amanat kepada pemerintah dan
masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal. Identifikasi
korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar dapat dikembalikan kepada keluarga
dan dikubur secara layak sesuai dengan keyakinannya semasa hidup.11
Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah yang diberikan sebagai sebuah
prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana massal yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada standar baku
Interpol DVI Guideline.Tim DVI terdiri dari dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli
antropologi (ilmu yang mempelajari tulang), kepolisian, fotografi, dan ahli DNA.12,13,14 Prosedur
DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus
dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme.Dapat
diterapkan terhadap bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban.Prinsip dari proses
identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-mortem dan post-mortem, semakin
banyak yang cocok maka akan semakin baik. 13
Pelaksanaan DVI mencakup beberapa fase yaitu: fase TKP, fase post mortem, fase anter
mortem, fase rekonsiliasi, dan fase evaluasi. Berdasarkan standar baku dari Interpol proses
identifikasi mencakup dua metode yaitu identifikasi primer dan sekunder. Identifikasi primer
meliputi sidik jari, gigi geligi, dan DNA. Identifikasi sekunder mencakup datas medis,
kepemilikan, dan visual/fotografi. Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif,
Badan Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat,
yaitu menentukan identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI
Indonesia adalah didukung minimal salah satu primaryidentifiers positif atau didukung dengan
minimal dua secondary identifiers positif.15,18,20
DAFTAR PUSTAKA

1. ASEAN Inter-Parliamentary Assembly 3rd AIPA CAUCUS. Indonesia’s Country Report


on Disaster Response Management. Philippines; 2011.

2. US Geological Survey. Seismotectonics of the Indonesian Region [Internet]. 2014 [cited


on 2017 May 10]. Available from:
http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/world/indonesia/seismotectonics.php.

3. Mahul O, Gunawan I, Sitorus D, Hidayat S, Fahmi AZ, Soetono B, et al. Indonesia:


Advancing a National Disaster Risk Financing Strategy – Options for Consideration. The
World Bank; 2011 Oct.

4. Hadihardaja IK, Kuntoro AA, Farid M. Flood Resilience for Risk Management: Case
Study of River Basin in Indonesia. Taiwan: APEC Research Center for Typhoon and
Society; 2013 Dec p. 16–9.

5. Integrated Regional Information Network. Disaster reduction and the human cost of
disaster [Internet]. IRINnews. 2014 [Cited on 2017 May 10]. Available from:
http://www.irinnews.org/IndepthMain.aspx?reportid=62447&indepthid=14.

6. Nafsiah Mboi. Peran Tenaga Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia.


Studium Generale; 2014 Jun 13; Gedung RIK UI Depok.

7. Negara Republik Indonesia. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. 2007.

8. What is a disaster? - IFRC [Internet]. [Cited on 2017 May 10]. Available from:
http://www.ifrc.org/en/what-we-do/disaster-management/about-disasters/what-is-a-
disaster/.
9. Kristi L. Koenig, Carl H. Schultz. Disaster Medicine: Comprehensive Principles and
Practices. University of Cambridge; 2010.

10. BPBD Jakarta – 2002-2014,Bencana Alam di Indonesia Capai 1.093 [Internet]. [cited
2017 May 10]. Available from: http://bpbd.jakarta.go.id/2002-2014bencana-alam-di-
indonesia-capai-1- 093/.

11. Henky, Safitry O. Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI Antara Teori dan
Kenyataan. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2012; 2(1): 5-7.

12. Singh, S. Disaster Victim Identificationdalam Majalah Kedokteran Nusantara Vol.41 (4).
Medan: SMF Kedokteran Forensik FK-USU; 2008; p 254-8.

13. Anonym. Disaster Victim Identification (DVI) Indonesia. Badan Nasional


Penanggulangan Bencana. [Online] 2011. [Cited on 2017 May 10]. Available from :
URL:http://www.bnpb.go.id.

14. Jennet K. Disaster Victim Identification- Learning from the Victoria Bush Fires Tragedy
: A Winston Churchill Travel Fellowship. Merseyside Police; 2011.

15. Kusumasari W, Medistianto E, dkk. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan


Akibat BencanaEdisi Revisi. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2012; p.1-
151-61.

16. Anonym. DVI Indonesia. [Online] 2011. [Cited on 2017 May 10]. Available from :
http://www.dvi-indonesia.com/index.php?id=7.

17. Disaster Victim Identification Guide. 2014. INTERPOL.

18. International Criminal Police Organization. Disaster Victim Identification Guide.


[Online] 2009. [Cited on 2017 May 10]. Available from :
URL:http://www.interpol.int/content/download/9158/68001/version/5/file/guide.pdf

19. Budiyanto A, Widiatmaka W, Dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian


Kedokteran Forensik FK-UI; 1997; p.197-206.

20. Prawestiningtyas E, Algozi M. Identifikasi Forensik Berdasarkan Pemeriksaan Primer


dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada Dua Kasus Bencana Massal
dalam Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol XXV(2). Lab.Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang: 2009; p.87-92.

21. Acharya AB. Role of forensic odontology in disaster victim identification in the Indian
context. J Dent Specialities, 2015;3(1):89-91.

22. Dix J. Color Atlas Of Forensic Pathology. New York: CRC Press; 2000.

23. Simpson, D. Guidance on Disaster Victim Identification. London: National Policing


Improvement Agency; 2011.

24. Stimson P, Mertz C. Forensic Dentistry. New York: CRC Press; 1997.

25. Eckert, W. Introduction To Forensic Sciences : Second Edition. New York: CRC
Press;1997.

26. Beauthier J, Valck E, et all. Mass Disaster Victim Identification: The Tsunami
Experience in The Open Forensic Science Journal 2. Belgium:2009; p.54-62

27. Pertiwi KR. Penerapan Teknologi DNA dalam Identifikasi Forensik. 2014. Yogyakarta:
UNY.

Anda mungkin juga menyukai