Anda di halaman 1dari 13

A.

Definisi
Appendiks adalah organ tambahan kecil yang menyerupai jari, melekat pada sekum tepat
dibawah katup ileocecal (Brunner dan Sudarth, 2009). Appendiksitis akut adalah penyebab
paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling
umum untuk bedah abdomen darurat.
Appendiksitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi diumbai cacing. Dalam kasus ringan
dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan
penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi,
dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur.
Appendiksitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan
dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan
penyingkirn umbai cacing yang terinfeksi. Appendiksitis akut adalah penyebab paling umum
inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk
bedah abdomen darurat (Smeltzer,2010).
Appendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah, usus
buntu itu bisa pecah. Usus buntu merupakan saluran usus yang ujungnya buntu dan menonjol
dari bagian awal usus besar atau sekum (cecum). Usus buntu besarnya sekitar kelingking
tangan dan terletak diperut kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun,
lendirnya banyak mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir.
B. Etiologi
Appendiksitis disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel
lymphoid fecalit, benda asingstriktur karena fibrasi adanya peradangan sebelumnya atau
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang memproduksi mukosa mengalami
bendungan. Namun elastisitas dinding appendik mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan tekanan intra lumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat
aliran limfe yang akan menyebabkan edema an ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
Appendiksitis akut lokal yang ditandai oleh adanya nyeri epigastrium. Penyebab yang
muncul sebagai berikut :
 Adanya benda asing seperti biji-bijian, seperti biji Lombok, biji jeruk dll
 Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E.Coli dan streptococcus.
 Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 – 30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh oleh karena peningkatan jaringan limpoid
pada masa tersebut.
 Tergantung pada bentuk appendiks
 Appendik yang terlalu panjang
 Messo appendiks yang pendek
 Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
 Kelainan katup di pangkal appendiks

C. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi
Appendiks adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada secum ( bagian
awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih. Secara anatomi appendik sering disebut
juga dengan appendiks vermiformis atau umbai cacing. Appendiks terletak di bagian
kanan bawah dari abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga
taenia coli. Muara appendiks berada disebelah postero-medical secum.
Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendiks juga mempunyai mesenterium.
Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan appendik pada struktur lain
pada abdomen. Kedudukan ini memungkinkan appendiks dapat bergerak. Selanjutnya
ukuran appendiks dapat lebih panjang daripada normal. Gabungan dari luasnya
mesenterium dengan appendiks yang panjang menyebabkan appendiks bergerak masuk
ke pelvis (antara organ-organ pelvis pada wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan
appendiks bergerak ke belakang colon yang disebut appendiks retrocolic. Appendiks
dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari
cabang n.vagus yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari n. thoracalis X.
2. Fisiologi
Fungsi appendiks pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan
dengan system kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendiks menghasilkan lendir. Lendir
ini secara normal dialirkan di appendiks dan secum. Hambatan aliran lendir di muara
appendiks berperan pada patogenesis appendicitis.
1) Pergerakan Usus Halus
Bila bagian tertentu usus halus teregang oleh kimus, peregangan dinding usus
menyebabkan kontraksi konsentris local dengan jarak interval tertentu sepanjang usus
dan berlangsung sesaat dalam semenit. Kontraksi ini membagi usus menjadi segmen-
segmen ruang yang mempunyai bentuk rantai sosis. Bila satu rangkaian kontraksi
segmentasi berelaksasi maka timbul rangkaian baru, kontraksi terutama pada titik
baru diantara kontraksi sebelumnya. Frekuensi kontraksi maksimum pada duodenum
dan jejunum 12 kontraksi permenit dan pada ileum 8 sampai 9 kontraksi per menit.
Kontraksi segmentasi menjadi sangat lemah bila aktivitas perangsangan system saraf
enteric dihambat oleh atropine.
a. Gerakan propulsive
Kimus didorong melalui usus halus oleh gerakan peristaltic. Ini dapat terjadi pada
bagian usus manapun, dan bergerak menuju anus dengan kecepatan 0,5 sampai
2,0 cm/detik, lebih cepat dibagian usus proksimal daripada distal. Pengaturan
peristaltic dilakukan oleh sinyal saraf dan hormone. Aktivitas usus meningkat
setelah makan karena timbul reflex gastroenterik. Faktor hormon meliputi gastrin,
CCK, insulin, motilin dan serotonin, semuanya meningkatkan motilitas usus dan
disekresikan selama berbagai fase pencernaan makanan. Sebaliknya, sekretin dan
glucagon menghambat motilitas usus. Gerak peristaltic secara normal bersifat
halus dan lemah. Gerak yang sangat kuat terjadi pada diare infeksi yang berat
akibat iritasi kuat mukosa usus.
b. Pergerakan Kolon
Pergerakan normal dari kolon sangat lambat, pergerakannya masih mempunyai
karakteristik yang serupa dengan pergerakan usus halus.
c. Gerakan mencampur (haustrasi)
Pada setiap kontriksi kira kira 2,5 cm otot sirkuler akan berkontraksi, kadang
menyempitkan kolon sampai hamper tersumbat. Pada saat yang sama, otot
longitudinal kolon yang terkumpul menjadi taenia coli akan terkontraksi.
Kontraksi gabungan ini menyebabkan bagian usus besar yang tidak terangsang
menonjol keluar memberikan bentuk serupa kantung (haustrasi).
d. Gerakan mendorong (pergerakan massa)
Pergerakan massa adalah jenis peristaltic yang dimodifikasi yang ditandai oleh
rangkaian peristiwa sebagai berikut : pertama timbulsebuah cicin kontriksi
sebagai respon dari tempat yang teregang atau teriritasi dikolon, biasanya pada
kolon transversum. Kemudian dengan cepat kolon sepanjang 20 cm atau lebih
pada bagian distal cincin kontriksi tadi akan kehilangan haustrasinya justru
berkontraksi sebagai satu unit, mendorong maju materi feses pada segmen ini
sekaligus untuk lebih menuruni kolon.
D. Patofisiologi
Appendiksitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, struktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,
atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendiksitis akut focal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan
nyeri daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendiksitis supuratif akut. Bila
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangrene. Stadium ini disebut dengan appendiksitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi appendiksitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada
anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih
tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007).

E. Klasifikasi Apendisitis
Terdapat Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu apendisitis akut dan kronis
(Sjamsuhidayat & Jong, 2005).
a) Apendisitis Akut
Peradangan pada appendiks dengan gejala khas yang memberikan tanda setempat.
Gejala apendisitis akut antara lain nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini disertai rasa mual muntah
dan penurunan nafsu makan. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik
McBurney. Pada titik ini nyeri yang dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatic setempat (Sjamsuhidayat, 2005).
Nyeri tekan dan nyeri lepas disertai rigiditas pada titik McBurney sensitive untuk
apendisitis akut. Komplikasi dari apendisitis akut yang paling sering terjadi adalah
perforasi. Perforasi dari appendiks dapat menimbulkan abses periapendisitis yaitu
terkumpulnya pus yang terinfeksi bakteri. Appendiks menjadi terinflamasi, bisa terinfeksi
dengan bakteri, dan bisa dipenuhi pus hingga pecah, jika appendiks tidak diangkat tepat
waktu. Pada apendisitis perforasi isi pus yang di dalam appendiks dapat ke luar ke rongga
peritoneum. Gejala dari apendisitis perforasi mirip dengan gejala apendisitis akut biasa,
namun keluarnya pus dari lubang appendiks menyebabkan nyeri yang lebih saat
mencapai rongga perut (Lee, 2009).
b) Apendisitis Kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan 3 hal yaitu;
pertama, pasien memiliki riwayat nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen selama
paling sedikit 3 minggu tanpa alternative diagndosis lain. Kedua, setelah dilakukan
appendiktomi gejala yang dialami pasien akan hilang dan yang ketiga, secara
histopatologik gejalanya dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis yang aktif pada
dinding appendiks atau fibrosis pada appendiks, (Santacroce & Craig, 2006). Gejala yang
dialami oleh pasien apendisitis kronis tidak jelas dan progresifnya lambat. Terkadang
pasien mengeluh merasakan nyeri pada kuadran kanan bawah yang intermiten atau
persisten selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
F. Manifestasi Klinis Apendisitis
Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam disertai oleh demam rigan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik McBurney bila
dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas (hasil atau intensifikasi dari nyeri bila tekanan
dilepaskan) mungkin dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat
konstipasi atau diare tidak bergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiktis. Bila
apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa didaerah lumbar;
bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahui dengan pemeriksaan
rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujungan apendiks berada dekat rektum; nyeri pada
saat perkemihan menunjukkan bahwa apendiks berada didekat kandung kemih atau ureter.
Adanya kekakuan pada bagian otot rektus kanan dapat terjadi (Smeltzer, 2001: 1098). Tanda
Rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yan secara paradoksial
meyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri
menjadi lebih menyebar; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitis, dan kondisi pasien
memburuk (Smeltzer, 2001: 1099).
G. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosa didasarkan pada pemeriksaan fisik lengkap dan tes laboratorium dan sinar-x.
Hitung darah lengkap dilakukan dan akan menunjukkan peningkatan jumlah darah putih.
Jumlah leukosit mungkin lebih besar dari 10.000/mm3 dan pemeriksaan ultrasound dapat
menunjukkan densitas kuadran kanan bawah atau kadar aliran-udara terlokalisasi (Smeltzer,
2001: 1099).
Diagnosis apendisitis dibuat, terutama berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik pasien.
Namun, hasil pemeriksaan laboratorium akan membantu menegakkan diagnosis yang benar.
Hasil abnormal meliputi kenaikan jumlah sel darah putih dan protein C-reaktif kendati kedua
hasil pemeriksaan ini tidak khas hanya pada apendisitis. Sinar-X dan USG abdomen dapat
mengungkapkan kepadata pada abdomen kuadran kanan bawah atau distensi lokal pada usus
kendati hasil radiograf yang negatif tidak boleh digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan diagnosis apendisitis (Chang, 2009: 313).
H. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan
cairan IV ddiberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah
diagnosa ditegakkan (Smeltzer, 2001: 1099).
Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin
untuk menurunkan risiko perforasi. Apendektomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum
atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode
terbaru yang sangat efektif (Smeltzer, 2001: 1099).
Tidak ada terapi farmakologi yang spesifik untuk apendisitis. Terapi, terutama terdiri dari
pengangkatan apendiks dengan pembedahan. Asuhan pra bedah meliputi pemberian infus
dan antibiotik. Karena perforasi dapat terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam sesudah awitan
gejala, laparotomi merupakan satu-satunya tindakan yang aman jika apendisitis merupakan
diagnosis sementara. Bayak uji coba memperlihatkan efektivitas terapi antibiotik prabedah
dalam menurunkan komplikasi infeksi, akan tetapi, jika yang ditemukan hanya apendisitis
akut sederhana, pemberian antibiotik lebih dari 24 jam tidak membawa manfaat (Chang,
2009: 314).
Karena adanya orgaisme Gram-negatif didalam usus, terapi antibiotik harus meliputi
pemberian sefalosporingenerasi-ketiga yang efektif melawan banyak bakteri Gram-Negatif.
Contoh sefalosporin generasi-ketiga adalah sefotaksim, seftriakson, dan seftazidim. Ketiga
preparat ini menghancurkan bakteri dengan menghambat sintesis dinding selnya (Chang,
2009: 314).
I. Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang menjadi
peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32% . insiden lebih tinggi pada
anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala
mencakup demam dengan suhu 37,7 derajat Celcius atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan
nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer, 2001: 1099).
ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian:
1. Anamnesa
a. Identitas pasien
1) Inisial nama : An. A
2) Usia : 14 tahun
3) Jenis kelamin : perempuan
4) Agama : Islam
5) Suku : Betawi
6) Pendidikan : SMP
7) Alamat : jalan sawu no. 400
2. Riwayat penyakit
a. Keluhan utama
1) Nyeri abdomen kuadran kanan bawah
2) Rasa mual
b. Riwayat penyakit sekarang
Sebelumnya pasien suka makanan yang pedas/ cabe, pada awalnya pasien mengeluhkan
nyeri di abdomen kuadran kanan bawah, semakin lama pasien merasakan nyeri semakin
bertambah. Pasien pun mengalami penurunan selera makan karena adanya rasa mual.
Diagnosa medis adalah apendisitis.
c. Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada.
d. Riwayat penyakit keluarga (Genogram)
Tidak ada dan tidak dilakukan pengkajia genogram
e. Riwayat alergi
Tidak ada
3. ROS (review of system)
a. Keadaan umum : baik
b. Kesadaran / GCS : compos mentis
c. Tanda vital : TD: 110/90 mmHg Nadi: 84 x/i Suhu: 37C RR : 19 x/i
d. Pernapasan
1) Bentuk dada : Normal
2) Pola napas/ irama : Teratur/ reguler
3) Suara napas : normal
e. Kardiovaskuler
1) Irama jantung : Regular/ teratur
2) S1/S2 tunggal : S1 dan S2 tunggal, tidak ada bunyi tambahan
3) Bunyi jantung : lup dup
4) CRT : < 3 derik
5) Akral : Hangat
6) JVP : tidak dilakukan tindakan
f. Persyarafan dan pengindraan
1) Refleks fisiologis : Normal, tidak ada kelainan
2) Refleks patologis : Tidak ada kelainan dari lahir
3) Istirahat/ tidur : 7 jam/ hari
4) Gangguan tidur : Susah tidur dimalam hari karena nyeri hilang timbul
5) Pusing : tidak ada
6) Nyeri :ada Skala nyeri: 8 Lokasi: abdomen kuadran kanan
7) bawah Durasi : 3-5 menit
g. Penglihatan
1) Skelra : Tidak ikterik
2) Pupil : Mengecil jika terkena cahaya
3) Konjungtiva : tidak anemis
4) Gangguan pendengaran : tidak ada gangguan pendengaran
5) Bentuk hidung : simetris
h. Perkemihan
1) Keluhan : tidak ada keluhan saat BAK
2) Alat bantu : tidak menggunakan alat bantu
3) Bladder : tidak ada nyeri tekan
4) Produksi urin : warna: kuning Bau: khas
5) Intake cairan : Parenteral ± 500 cc/hari
i. Pencernaan
1) BB : 44 kg
2) Mukosa mulut : Bibir kering
3) Gigi : tidak ada caries pada gigi
4) Tenggorokan : tidak ada nyeri saat menelan
5) Abdomen : nyeri abdomen kuadran kanan bawah
6) BAB : belum ada BAB
7) Diet
Frekuensi : 3x/hari
Jenis : bubur
j. Musculoskeletal/ integumen
1) Pergerakan sendi : sendi bebas, tidak ada gangguan
2) Kulit : lembut dan tidak kering
3) Turgor : elastis
4) Luka dan balutan : tidak ada
k. Personal hygyne
1) Mandi /dilap : - x/hari Sikat gigi : 2 x/hari
2) Keramas : - x/hari Kuku : pendek dan bersih
3) Rambut : bersih
4) Ganti pakaian : 1x/hari
l. Psiko-sosio-spritual
1) Persepsi klien terhadap penyakitnya : klien takut dan cemas dengan penyakitnya
2) Ekspresi klien terhadap penyakitnya : klien tampak tenang namun terlihat pucat
3) Reaksi saat interaksi : klien kurang kooperatif
m. Pemeriksaan laboratorium/ penunjang
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
WBC 9.000 5.000 – 10.000
HGB 12 12 – 14 (Wanita)
14 – 16 (laki-laki)
PLT 276.000 150.000 – 450.000

n. Terapi medikasi
Obat Dosis Kegunaan Efek Samping
Cefotaxin Sebagai obat Infeksi bakteri Radang pada
tempat suntikan
Ketorolax ½ ampul anti nyeri analgesik Ulkus, perdarahan
saluran cerna dan
perforasi
ANALISA DATA
NO Data Etiologi Masalah
Keperawatan
1 DS: sering makan cabe,
- Klien mengatakan nyeri massa keras feses,
dibagian perut kanan obstruksi lumen,
bawah dan nyeri bisa suplai aliran darah
muncul saat kedaan menurun, mukosa
istirahat. Skala nyeri: 8 terkikis, peradangan
- Klien mengatakan nyeri pada apendiks,nyeri
hilang timbul.
Gangguan rasa
DO: nyaman
- Klien tampak pucat, nyeri
lemah dan sesekali
memegang area nyeri.
TD: 110/90
S:37,5C
HR: 84x/mnt RR:
19x/mnt

2 DS: penyebab belum


- Klien mengatakn ketika diketahui, kerja
sedang makan muncul fisik yang keras,
rasa mual, tidak ada massa feses keras,
nafsu makan obstruksi lumen, Perubahan nutrisi
DO: suplai darah kurang dari
- klien tampak pucat dan menurun, distensi kebutuhan tubuh
lemah abdomen , menekan
gaster peningkatan
produk HCl, mual,
muntah, perubahan
nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh

Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d distensi jaringan usus oleh inflamasi
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d peningkatan pada HCl, tekanan pada
abdomen
Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1 Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji nyeri, catat
nyeri b.d distensi keperawatan 3x24 jam lokasi dan
jaringan usus oleh diharapkan nyeri hilang/ karakteristik nyeri
inflamas berkurang. 2. Pertahankan
KH: - skala nyeri <5 istirahat dengan
- klien merasa nyaman posisi semi fowler
3. Ajarkan teknik
relaksasi napas
dalam
4. Kolaborasi:
analgesik

2 Perubahan nutrisi kurang Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan oral


dari kebutuhan tubuh b.d keperawatan selama 3x24 jam higiene pada klien
peningkatan pada HCl, diharapkan nafsu makan 2. Berikan makanan
tekanan pada abdomen meningkat. sedikt tapi sering
KH: - intake cairan 3. Kolaborasi dalam
seimbang - mual teratasi pemberian obat-
obatan

Anda mungkin juga menyukai