Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hemodialisis (HD) Adalah pengobatan dengan alat yaitu Dialyzer, tujuan


utama yaitu menyaring dan membuang sisa produk metabolisme toksik yang
seharusnya ditangani oleh ginjal dan di buang atau di saring oleh ginjal (Rahman,
2013). Markum (2006) juga menjelaskan tujuan Hemodialisis yaitu untuk
menurunkan kadar ureum, kreatinin dan zat toksik yang lainnya dalam darah, dan
sampai saat ini, hemodialisis masih menjadi alternatif untuk pasien penderita gagal
ginjal karena dari segi biaya lebih murah dibandingkan dengan dialis peritoneal.
Terapi pengganti ginjal di Indonesia di mulai pada tahun 1972 di Jakarta
(RSPUPN Dr. Cipto Mangunkusumo/FKUI), di Bandung tahun 1976 (RSUP
Hasan Sadikin/FK UNPAD). Pasien gagal ginjal kronik harus menjalani terapi
hemodialisis sepanjang hidupnya. Proses hemodialisis dapat dilakukan 2 hingga 3
kali dalam seminggu dalam 3 hingga 5 jam setiap kali hemodialisis untuk dapat
mempertahankan kadar urea, kreatinin, asam urat dan fosfat dalam kadar normal
walaupun masih terlihat kelainan klinis berupa gangguan metabolisme akibat
toksis uremik (Smeltzer, et al, 2008).

Sekitar 2.622.000 di dunia, orang telah menjalani pengobatan End – Stage


Renal Disease (ESRD), pada akhir tahun 2010 sebanyak 2.029.000 orang (77%)
diantaranya menjalani pengobatan dialisis dan 593.000 orang (23%) menjalani
transplantasi ginjal. Kasus gagal ginjal di Indonesia, setiap tahunnya masih
terbilang tinggi karena masih banyak masyarakat Indonesia tidak menjaga pola
makan dan kesehatan tubuhnya. Survey yang dilakukan Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (PERNEFRI) pada tahun 2009, prevalensi gagal ginjal kronik di
Indonesia sekitar 12,5 % berarti sekitar 18 juta orang dewasa di Indonesia
menderita penyakit gagal ginjal kronik (Neliya, 2012).
1
2

Tahun 2011 di Indonesia terdapat 15.353 pasien yang baru menjalani


Hemodialisis (HD) dan pada tahun 2012 terjadi peningkatan pasien yang
menjalani HD sebanyak 4.268 orang sehingga secara keseluruhan terdapat 19.621
pasien yang baru menjalani HD. Sampai akhir tahun 2012 terdapat 244 unit
Hemodialisis di Indonesia (Indonesia Repositing Renal, 2013). Penderita gagal
ginjal yang menjalani HD regular tahun 2016 meningkat sekitar empat kali lipat
dalam 5 tahun terakhir. Saat ini diperkirakan gagal ginjal terminal di Indonesia
yang membutuhkan cuci darah atau dialisis mencapai 150.000 orang, namun
penderita yang sudah mendapatkan terapi dialisis baru sekitar 100.000 orang.
(Pernefri dalam Kemenkes Indonesi 2016).
Menurut Dinkes pemerintahan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2004
kasus fungsi ginjal di Jawa Tengah dilaporkan sebanyak 170 kasus (Dalam
Nurchayati, 2010).
Terapi HD mempunyai banyak manfaat untuk memungkinkan kehidupan
yang dijalani pasien, meskipun hemodialisis aman dan bermanfaat bagi pasien
namun bukan tanpa efek samping. Berbagai permasalahan dan komplikasi yang
sering terjadi pada saat pasien yang menjalani Hemodialisis. Komplikasi
intradialisis tersebut seperti Hipotensi, Hipertensi, kram otot, pusing, sesak nafas,
mual muntah, demam, dan nyeri dada akan terjadi sejak hemodialisis di mulai
sampai diakhiri, mulai jam pertama sampai jam terakhir, Shahgholin, et al (2008).
Observasi terhadap pasien yang melakukan terapi Hemodialisis sangat
penting, agar bisa memonitor dan mengurangi kejadian komplikasi Intradialisis.
Ada beberapa alat yang digunakan untuk mengobservasi kejadian komplikasi
intradialisis salah satunya tensi, Heat Reat, termometer dan lainnya, hasil
penelitian (Vincent, Lawrence dan Daniel, 2015) tentang prediksi terjadinya
Hipotensi intradialisis menggunakan Variasi saturasi Oksigen dan Heart Rate
dengan hasil 68 pasien HD dengan End Stage Renal Disease (ESRD). Variasi dari
SaO2 dan Heart Rate yang ditemukan terkait dengan hipotensi intradialisis, dan
bisa menentukan pra-terjadinya komplikasi hipotensi intradialisis dalam waktu 30
menit pertama. Kesimpulannya ada hubungan antara memonitoring kejadian
Komplikasi Hipotensi Intradialisis dengan menggunakan Pulse oksimetri dan
Heart Rate.

2
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR MEDIS HEMODIALISA


1. Definisi / Pengertian
Dialisis adalah proses yang menggantikan secara fungsional pada gangguan fungsi
ginjal dengan membuang kelebihan cairan dan akumulasi toksin endogen atau eksogen.
Dialisis paling sering digunakan untuk pasien dengan penyakit ginjal akut atau kronis (tahap
akhir).(Doenges, 2000)
2. Epidemiologi / Insiden Kasus
Dialisis di Indonesia di mulai pada tahun 1970 sampai sekarang telah dilaksanakan
di banyak rumah sakit rujukan. Diperkirakan telah lebih dari 100.000 pasien yang akhir –
akhir ini menjalani dialisis.
3. Indikasi Tindakan
Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK alah bila laju filtrasi glomerulus (LFG
sudah kurang dari 5mL/menit, yang di dalam praktek dianggap demikian bila (TKK) <
5mL/menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK < 5mL/menit tidak selalu sama,
sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu hal berikut :
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
b. K serum > 6 mEq/L
c. Ureum darah > 200mg/dL
d. pH darah < 7,1
e. Anuria berkepanjangan (>5 hari)
f. Fluid overload

B. KONSEP FISIOLOGI TINDAKAN


Dialisis adalah suatu proses dimana komposisi zat terlarut dari satu larutan diubah
menjadi larutan lain melalui membran semipermiabel. Molekul- molekul air dan zat-zat terlarut
dengan berat molekul rendah dalam kedua larutan dapat melewati pori-pori membran dan
bercampur sementara molekul zat terlarut yang lebih besar tidak dapat melewati barier membran
semipermiabel. Proses penggeseran (eliminasi) zat-zat terlarut (toksin uremia) dan air melalui
membran semipermiabel atau dializer berhubungan dengan proses difusi dan ultrafiltrasi
(konveksi).
a. Proses Difusi
Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif zat terlarut. Molekul zat
terlarut dari kompartemen darah akan berpindah kedalam kompartemen dialisat setiap saat
3
4

bila molekul zat terlarut dapat melewati membran semipermiabel demikian juga
sebaliknya.
b. Proses Ultrafiltrasi
Proses ultrafiltrasi adalah proses pergeseran zat terlarut dan pelarut secara simultan
dari kompartemen darah kedalam kompartemen dialisat melalui membran semipermiabel.
Proses ultrafiltrasi ini terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik dan osmotik.
1) Ultrafiltrasi hidrostatik
a) Transmembrane pressure (TMP)
TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan
kompartemen dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut didalamnya berpindah
dari darah ke dialisat melalui membran semipermiabel adalah akibat perbedaan
tekanan hidrostatik antara kompertemen darah dan kompartemen dialisat.
Kecepatan ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan tekanan yang melewati
membran.
b) Koefisien ultrafiltrasi (KUf)
Besarnya permeabilitas membran dializer terhadap air bervariasi
tergantung besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah cairan (ml/jam)
yang berpindah melewati membran per mmHg perbedaan tekanan (pressure
gradient) atau perbedaan TMP yang melewati membran.
2) Ultrafiltrasi osmotik
Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran
semipermiabel, bila larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah partikel dibanding
“A” maka konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding konsentrasi larutan “A”.
Dengan demikian air akan berpindah dari “A” ke “B” melalui membran dan sekaligus
akan membawa zat -zat terlarut didalamnya yang berukuran kecil dan permiabel
terhadap membran, akhirnya konsentrasi zat terlarut pada kedua bagian menjadi sama.
c. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan
1) UF Goal / UFR
2) Metoda Heparin
3) Lokasi & type AV
4) Blood flow rate & lama HD
5) Type & luas permukaan dialiser
6) Komposisi cairan dialisat

4
5

d. Peralatan / Pengaruh Terhadap Tubuh


1. Hemodialisis
Peralatan untuk terapi HD terdiri dari dializer, water treatment, larutan dialisat
(konsentrat) serta mesin HD dengan sistem monitor.
a) Dializer
Dializer adalah tempat dimana proses HD berlangsung sehingga terjadi
pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Material membran dializer
dapat terbuat dari Sellulose, Sellulose yang disubstitusi, Cellulosynthetic,
Synthetic. Spesifikasi dializer yang dinyatakan dengan Koeffisient ultrafiltrasi
(Kuf) disebut juga dengan permiabilitas air. Besarnya permeabilitas membran
dializer terhadap air bervariasi tergantung besarnya pori dan ukuran membran. KUf
adalah jumlah cairan (ml/jam) yang berpindah melewati membran per mmHg
perbedaan tekanan (pressure gradient) atau perbedaan TMP yang melewati
membran. Dializer ada yang memiliki high efficiency atau high flux. Dializer high
efificiency adalah dializer yang mempunyai luas permukaan membran yang besar.
Dializer high flux adalah dializer yang mempunyai pori-pori besar yang dapat
melewatkan. Molekul yang lebih besar, dan mempunyai permiabilitas terhadap air
yang tinggi. Ada 3 tipe dializer yang siap pakai, steril dan bersifat disposibel yaitu
bentuk hollow-fiber (capillary) dializer, parallel flat dializer dan coil dializer.
Setiap dializer mempunyai karakteristik tersendiri untuk menjamin efektifitas
proses eliminasi dan menjaga keselamatan penderita. Yang banyak beredar
dipasaran adalah bentuk hollowfiber dengan membran selulosa.
b) Water Treatment
Air yang dipergunakan untuk persiapan larutan dialisat haruslah air yang
telah mengalami pengolahan. Air keran tidak boleh digunakan langsung untuk
persiapan larutan dialisat, karena masih banyak mengandung zat organik dan
mineral. Air keran ini akan diolah oleh water treatment sistim bertahap.
c) Larutan Dialisat
1) Dialisat Asetat
Dialisat asetat telah dipakai secara luas sebagai dialisat standard untuk
mengoreksi asidosis uremikum dan untuk mengimbangi kehilangan bikarbonat
secara difusi selama HD. Dialisat asetat tersedia dalam bentuk konsentrat yang
cair dan relatif stabil. Dibandingkan dengan dialisat bikarbonat, maka dialisat
asetat harganya lebih murah tetapi efek sampingnya lebih banyak. Efek samping
yang sering seperti mual, muntah, kepala sakit, otot kejang, hipotensi, gangguan

5
6

hemodinamik, hipoksemia, koreksi asidosis menjadi terganggu, intoleransi


glukosa, meningkatkan pelepasan sitokin. Adapun komposisi dialisat asetat dan
bikarbonat adalah sebagai berikut:
2) Dialisat Bikarbonat
Dialisat bikarbonat terdiri dari 2 komponen konsentrat yaitu larutan
asam dan larutan bikarbonat. Kalsium dan magnesium tidak termasuk dalam
konsentrat bikarbonat oleh karena konsentrasi yang tinggi dari kalsium,
magnesium dan bikarbonat dapat membentuk kalsium dan magnesium karbonat.
Larutan bikarbonat sangat mudah terkontaminasi mikroba karena konsentratnya
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Kontaminasi ini dapat
diminimalisir dengan waktu penyimpanan yang singkat. Konsentrasi bikarbonat
yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan alkalosis metabolik
yang akut. Namun dialisat bikarbonat bersifat lebih fisiologis walaupun relatif
tidak stabil. Biaya untuk sekali HD bila menggunakan dialisat bikarbonat relatif
lebih mahal dibanding dengan dialisat asetat.
d) Mesin hemodialisis
Mesin HD terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan dialisat dan
sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari tempat tusukan
vaskuler kepada dializer. Kecepatan dapat diatur biasanya antara 200-300 ml per,33 -
8,33 menit. Untuk pengendalian ultrafiltrasi diperlukan tekanan negatif. Lokasi
pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan arteri dan monitor larutan
dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-390 C sebelum dialirkan kepada
dializer. Suhu larutan dialisat yang terlalu rendah ataupun melebihi suhu tubuh dapat
menimbulkan komplikasi. Sistem monitoring setiap mesin HD sangat penting untuk
menjamin efektifitas proses dialisis dan keselamatan penderita.
e) Tusukan Vaskuler
Tusukan vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek teknik untuk
program HD akut maupun kronik. Tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya
darah dari tubuh penderita menuju dializer dan selanjutnya kembali lagi ketubuh
penderita. Untuk melakukan dialisis intermiten jangka panjang, maka perlu ada jalan
masuk ke sistem vaskular penderita yang dapat di andalkan. Darah harus dapat
keluar dan masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200-400 ml/menit. Teknik-
teknik akses vaskuler utama untuk hemodialisis dibedakan menjadi akses eksternal
dan akses internal (Price, 1995).

6
7

1. Akses Internal (Permanen)


a. Arterio-Venous Fistula (AVF).
AVF di buat dengan teknik bedah melalui anastomosis langsung
dari suatu arteri dengan vena (biasanya arteri radialis dan vena sefalika
pergelangan tangan) pada tangan yang non dominant. Darah pirau dari arteri
ke vana membesar setelah beberapa minggu. Pungsi vena dengan jarum
yang besar akan lebih mudah di lakukan dan mencapai aliran darah pada
tekanan arterial. Hubungan ke sistem dialisis di buat dengann menempatkan
satu jarum di distal (garis arteri) dan sebuah jarum lagi di proksimal (garis
vena) pada vena yang sudah di arterialisasi tersebut. Masalah yang paling
utam adalah rasa nyeri pada pungsi vena, terbentuknya aneurisma,
trombosis, kesulitan hemostasis postdialisis, dan iskemia pada tangan (steal
syndrome) (Price, 1995).
b. Arterio-Venous Graft (AVG).
Di ciptakan dengan menempatkan ujung kanula dari teflon dalam
arteri (biasanya arteri radialis atau tibialis posterior) dan sebuah vena yang
berdekatan. Ujung-ujung kanula kemudian dihubungkan dengan selang karet
silikon dan suatu sambungan teflon yang melengkapi pirau. Pada waktu di
lakukan dialisis, maka selang pirau eksternal di pisahkan dan di buat
hubungan dengan dialyzer. Darah kemudian mengalir dari jalur arteri,
melalui dialyzer dan kemudian kembali ke vena. Masalah utama adalah
masa pemakaian yang pendek akibat pembekuan dan infeksi (rata-rata 9
bulan).
2. Akses eksternal atau kateter
a. Kateter vena subklavia
b. Kateter vena jugularis
c. Kateter vena femoralis
Kateter adalah suatu pipa berlubang yang dimasukkan kedalamvena
subklavia, jugularis, atau vena femoralis yang memiliki akses langsung menuju
jantung katetr ini merupakan akses vaskular sementara. akses ini digunakan jika
akses internal tidak dapat digunakan untuk pengobatan, dan pasien membutuhkan
dialisis darurat. Internal AVF and AFG lebih di pilih untuk di gunakan dari pada
kateter karena AVF dan AVG menurunkan kemungkinan infeksi, yang sangat
penting bagi pasien yang menjalani terapi hemodialisis yang memiliki daya imun
rendah (Kidney Dialysis Foundation, 2004).

7
8

3) Dialisa Peritoneal
Tidak jauh berbeda dengan HD, dialisis peritoneal (DP) juga menggunakan
kateter namun yang dipakai adalah Stylet Catheter (kateter peritoneum) untuk dipasang
pada abdomen masuk dalam kavum peritoneum sehingga ujung kateter terletak dalam
kavum Douglasi.
Cairan dialisat yang digunakan mengandung elektrolit dengan kadar seperti pada plasma
darah normal.
Elektrolit Meq/L Tek Osmosis (mOsm/L)
Na+ 140,0 140,0
Ca++ 4,0 2,0
Mg++ 1,5 0,8
Cl- 102,0 102,0
Laktat 43,5 83,3
Glukosa 15,0 gr/L
291,0 Meq/L 371,6 mOsm/L

Gb 1. Mesin Hemodialisa

Gb 2. Catheter & Syringe

8
9

Gb. 3 Cairan dialysat

e. Komplikasi Hemodialisa
Komplikasi Penyebab
Demam 1. Bakteri atau zat penyebab demam (pirogen) di
dalam darah
2. Dialisat terlalu panas
Reaksi anafilaksis yang 1. Alergi terhadap zat di dalam mesin
berakibat fatal (anafilaksis) 2. Tekanan darah rendah
Tekanan darah rendah Terlalu banyak cairan yang dibuang
Gangguan irama jantung Kadar kalium & zat lainnya yang abnormal dalam
darah
Emboli udara Udara memasuki darah di dalam mesin
Perdarahan usus, otak, mata Penggunaan heparin di dalam mesin untuk mencegah
atau perut pembekuan

9
10

C. KONSEP DASAR PENYAKT CKD (GAGAL GINJAL KRONIK)


1. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan
ireversible dari berbagai penyebab (Suharyanto & madjid, 2013). Kerusakan tersebut terjadi
lebih dari 3 bulan yang disertai kelainan struktur dan fungsional ginjal dengan atau tanpa
terjadi penurunan laju filtrasi glumerulus (LFG) (Sudoyo, et al. 2010).
2. Etiologi
Menurut Suharyanto & madjid (2013) penyebab gaga ginjal kronik antara lain:

a. Glumerulonefritis kronis
b. Nefropati diabetik
c. Nekrosis hipertensif
d. Penyakit ginjal polikistik
e. Pielonefritis kronis dan nefritis intestinal

Menurut Sudoyo, et al., (2010) klasifikasi penyakit gagal ginjal atas dasar diagnosis etiologi
antara lain:

Tabel 2.2 Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronis atas dasar diagnosis etiologi

Penyakit Tipe mayor


Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit ginjal Penyakit glumerular (penyakit autoimun, infeksi
non diabetes sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vaskuler (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointestinal (pielonefritis kronis, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glumerular)

(Sumber: Sudoyo et al.,2010:1036).


3. Manifestasi Klinis
Menurut Brunner & Studarth (2014) tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis
dikarenakan gangguan yang bersifat sistemik. Kerusakan ginjal akan mengakibatkan
gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Tanda dan gejala tersebut antara lain:
a. Pitting edema (kaki, tangan, sakrum), edema periorbital
b. Kulit kering dan priuritas
c. Sesak napak, takipnea, pernapasan kusmaul
10
11

d. Ulserasi dan pendarah mulut, napas bau amoniak, konstipasi, diare, mual dan muntah
e. Kelemahan atau keletihan, konfusi
f. Kram otot, kehilangan kekuatan otot, nyeri tulang
g. Penurunan libidio
h. Anemia dan trombositopenia

4. Klasifikasi
Menurut Ketut (2010) klasifikasi gagal ginjal kronik di dasarkan atas dua hal yaitu

atas derajat penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi derajat penyakit di buat

atas dasar LFG, yang dihitung menggunakan rumus Kockeroft-Gault sebagai berikut:

LFG (ml/menit/1,73m3) = ((140-umur)xBB) : (72x Kreatinin Serum)

Sedangkan pada perumpuan hasil dikalikan 0,85


Tabel 2.1 Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik atas dasar derajat penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/menit/1,7m3)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90
atau meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan LFG 60-89
menurun ringan
3 Kerusakan ginjal dengan LFG 30-59
menurun sedang
4 Kerusakan ginjal dengan LFG 15-29
menurun berat
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

(Sumber: Masriadi, 2016: 215).

5. Patofisiologi
Patofisiologi gagal ginjal kronik pada awalnya tergantung penyakit yang

mendasarinya. Selama proses terjadinya penyakit ini akan terjadi pengurangan massa ginjal

yang dapat mengakibatkan terjadinya hipertrofi struktural dan fungsional

nefron (Suharyanto & Madjid, 2013). Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi yang diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glumerulus yang menyebabkan proteinuria.

Hal ini mengakibatkan terjadinya maladaptasi berupa sklerosis nefron sehingga terjadi

penurunan fungsi nefron yang progresif (Sudoyo, et al. 2010). Adanya aktifitas renin

angiotensin aldostreron yang ikut memberikan kontribusi terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis

dan progresifitas tersebut. Beberapa hal yang dianggap berperan dalam terjadinya

progresifitas antara lain albuminuria, hipertensi, hiperglikemia dan dyslipidemia (Sudoyo, et

al., 2010).

11
12

Pada stadium dini kehilangan daya cadang ginjal dengan keadaan LFG masih

normal atau malah meningkat. Tetapi secara perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron

yang progresif ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum (Susila et al.,

2014). Pada pasien dengan LFG 60% belum terjadi keluhan (asimtomatik) tetapi telah

terjadi peningkatan kreatinin serum dan urea. Pada LFG dibawah 30% mulai terjadi keluhan

nokturia, badan lemah, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai LFG

dibawah 30% akan memperlihatkan tanda dan gejala uremia karena gangguan reabsorsi

ginjal seperti anemia, hipertensi, gangguan metabolisme kalsium dan pruritus. Sehingga

pasien dapat mengalami gangguan keseimbangan cairan seperti hipo atau hipervolemia serta

gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Ketika kerusakan ginjal

semakin berlanjut atau LFG dibawah 15% maka akan terjadi komplikasi yang lebih serius

sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain seperti dialisis dan transplantasi

ginjal (Sudoyo, et al. 2010).

6. Komplikasi
Menurut Pranata dan Prabowo (2014) karena penyakit gagal ginjal bersifat

ireversible maka akan menyebabkan gangguan pada sistemik karena terjadi penurunan

fungsi ginjal. Komplikasi yang mungkin bisa terjadi antara lain:

a. Penyakit kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sistemik akan berdampak langsung terjadinya hipertensi,

kelainan lipid, intoleransi glukosa.

b. Anemia
Sekresi hormon etiroproetin yang mengalami defisiensi di ginjal akan mengakibatkan

penurunan hemoglobin.

c. Disfungsi seksual
Gangguan sirkulasi pada ginjal akan menyebabkan penurunan libido dan terjadi

impotensi pada pria serta hiperprolaktinemia pada perempuan.

d. Penyakit tulang
Hipokalsemia akan secara langsung mengakibatkan dekalsifikasi matriks tulang

sehingga dapat terjadi osteoporosis dan jika berlangsung lama akanb mengakibatkan

12
13

fraktur patologis.

7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Sudoyo et al. (2010) pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan

diagnosa gagal ginjal kronis antara lain:

a. Gambaran laboratoris
1) Sesuai penyakit yang mendasarinya
2) Peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum
3) Kelainan biokimia darah meliputi penurunan HB, peningkatan asam urat, hiper atau
hipokalemia, hiponatremia, hipo atau hiperkloremia

4) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria


b. Gambaran radiologis
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak
2. Pielografi intravena, jarang digunakan karena kekawatiran pengaruh toksik oleh
kontras terhadap ginjal

3. USG ginjal, ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, hidronefrosis.
c. Biopsi dan histopatologi ginjal

Dilakukan pada pasien yang ukuran ginjal masih mendekati normal yang

bertujuan mengetahui etiologi, menetapkan terapi, dan prognosis.

8. Penatalaksanaan
Menurut Brunner & Studdart (2014) fungsi ginjal yang rusak sulit untuk dilakukan

pengembalian, maka tujuan dari penatalaksanaan klien gagal ginjal kronis adalah

mengoptimalkan fungsi ginjal yang masih ada. Penatalaksanaannya meliputi:

a) Penatalaksanaan farmakologis
1) Hiperfosfatemia dan hiperkalemia ditangani dengan pemberian agen
pengikat fosfat dalam saluran cerna

2) Hipertensi ditangani dengan obat antihipertensi dan pengontrol tekanan


intravaskuler

3) Edema pulmonal ditangani dengan pembatasan cairan, diet rendah natrium,


diuresis, agen inotropik.

4) Observasi kelainan neurologic


13
14

5) Anemia ditangani dengan rekombinan eritoproetin


b) Terapi diet
1) Pengaturan cermat asupan protein, asupan cairan dan asupan natrium serta
kalium

2) Pembatasan protein, yang diperbolehkan harus mengandung nilai biologis


yang tinggi (produk susu, keju, telur, dan daging)

3) Diet cairan sebesar 500 hingga 600 ml dan tidak boleh lebih dari jumlah
halauran urin selama 24 jam.

4) Asupan kalori dan vitamin harus mamadai. Kalori yang diberikan dalam
bentuk karbohidrat dan lemak untuk mencegah pelisutan otot.

c) Dialisis
Dialisis membantu untuk mengoptimalkan atau membantu fungsi

ginjal. Umunya dilakukan untuk pasien yang tidak dapat mempertahankan gaya

hidup yang wajar dengan penanganan konservatif.

d) Pentalaksanaan keperawatan
1 Kaji status cairan dan identifikasi sumber potensi ketidakseimbangan cairan
dengan penimbangan berat badan setiap hari. Kolaborasi dengan medis jika

terdapat perubahan lebih dari 1,5 kg dalam 24 jam.

2 Terapkan program diet untuk menjamin asupan nutrisi yang memadai dan
sesuai dengan batasan regimen terapai.

3 Dukung peran positif dengan mendorong pasien untuk meningkatkan


kemampuan perawatan diri dan lebih mandiri.

4 penjelasan dan informasi kepada pasien dan keluarga terkait penyakit gagal
ginjal kronik, pilihan pengobatan, dan kemungkinan komplikasi.

5 Berikan dukungan emosional.

14
15

DAFTAR PUSTAKA

Cahyaningsih, N.D. 2009. Hemidialisis; Panduan Praktis Perawatan Gagal Ginjal. Cet Ke-2.
Jogyakarta: Mitra Cendikia Press

Guyton & Hall. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Hudak & Gallo. 1997. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik edisi 4 volume 2. Jakarta : EGC..

Sovari, A.A. 2008. Renal Failure, Chronic, & Dialysis Complication, (Online),
(http://emedicine.medscape.com/article/157452-media, diakses pada tgl 1 Maret 2010).

Wikipedia, the free encyclopedia, 2009, Hemodialysis, (Online), (http://en.wikipedia.


org/wiki/Hemodialysis, Diakses pada tgl 1 Maret 2010).

Brunner & Struddart. (2014). Keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC.

Ketut dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, K.M., Setiati, S. (2010). Buku ilmu
penyakit dalam. Jakarta: Internal Publising.

Prabowo, E., Pranata, A.E. (2014). Buku ajar asuhan keperawatan sistem perkemihan. Yogyakarta:
Nuha Medika

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, K.M., Setiati, S. (2010). Buku ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Internal Publising.

Suharyanto & Madjid, A. (2013). Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem
perkemihan. Jakarta: CV. Trans Info Media

15

Anda mungkin juga menyukai