Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kadar bilirubin serum orang normal umumnya kurang lebih 0,8 mg %
(17mmol/l), akan tetapi kira-kira 5% orang normal memiliki kadar yang lebih tinggi (1
– 3 mg/ dl). Bila penyebabnya bukan karena hemolisis atau penyakit hati kronik maka
kondisi ini biasanya disebabkan oleh kelainan familial metabolism bilirubin,yang
paling sering adalah sindrom gilbert. Sindrom lainnya juga sering ditemukan,
prognasisnya baik. Diagnosis yang akurat terutama pada penyakit hati kroniksangat
penting untuk penatalaksanaan pasien. Adanya riwayat keluarga, lamanya penyakit
serta tidak ditemukan adanya pertanda penyakit hati dan splenomegali, serum
transaminase normal dan bila perlu dilakukan biopsi hati. (Aru W. sudoyo)
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir. Sekitar 25 – 50% bayi baru lahir menderita ikterus pada
minggu pertama. Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar plasma bilirubin,
standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau
lebih dari 90 persen. Dalam perhitungan bilirubin terdiri dari bilirubin direk dan
bilirubin indirek. Peningkatan bilirubin indirek terjadi akibat produksi bilirubin yang
berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin oleh hati, atau kelainan konjugasi
bilirubin. Setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian, terutama ikterus
ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin indirek
meningkat 5 mg/dL dalam 24 jam dan bilirubin direk > 1 mg/dL merupakan keadaan
yang menunjukkan kemungkinan adannya ikterus patologis.
Hiperbilirubinemia dianggap patologis apabila waktu muncul, lama, atau kadar
bilirubin serum yang ditentukan berbeda secara bermakna dari ikterus fisiologis. Gejala
paling mudah diidentifikasi adalah ikterus yang didefinisikan sebagai kulit dan selaput
lendir menjadi kuning. Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu menerapkan asuhan keperawatan pada anak dengan hiperbilirubinemia.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu mengidentifikasi data pengkajian pada hiperbilirubinemia.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada hiperbilirubinemia.
c. Mampu menyusun rencana keperawatan pada hiperbilirubinemia.
d. Mampu melakukan tindakan keperawatan pada hiperbilirubinemia.
Bab II

Tinjauan Teori

A. Pengertian
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Hiperbilirubi-nemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbillirubenemia patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonates >95% menurut Normogram Bhutani.
Hiperbilirubinemia adalah salah satu masalah paling umum yang dihadapi
dalam jangka bayi yang baru lahir. Secara historis, manajemen berasal ari studi tentang
toksisitas bilirubin pada dengan penyakit hemolitik. Rekomendasi yang lebih baru
mendukung penggunaan terapi yang kurang intensif dalam jangka bayi yang sehat
dengan sakit kuning. (Ely Susan, 2011)
Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan
ikterus, yang dikenal dengan ikterus neonatorum patologis. Hiperbilirubimenia yang
merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar bilirubin di dalam jaringan
ekstravaskular, sehingga konjungtiva, kulit, dan mukosa akan berwarna kuning.
Keadaan tersebut juga bisa berpotensi besar terjadi ikterus, yaitu kerusakan otak akibat
perlengketan bilirubin indirek pada otak. Bayi yang mengalami hiperbilirubinemia
memiliki ciri sebagai berikut : adanya ikterus terjadi pada 24 jam pertama, peningkatan
konsentrasi bilirubin serum 10 mg% atau lebih setiap 24 jam, konsentrasi bilirubin
serum 10 mg% pada neonatus yang cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus yang
kurang bulan, ikterus disertai dengan proses hemolisis kemudian ikterus yang disertai
dengan keadaan berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36
minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, dan lain-lain.

B. Etiologi

Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis besar,


penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :

a. Produksi bilirubin yang berlebihan.


Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
emolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan
darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar.

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi
atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar).
Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting
dalam uptake bilirubin ke sel hepar.

c. Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

d. Gangguan dalam ekskresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam
hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

C. Mnifestasi Klinik

1. Ikterus terjadi 24 jam.

2. Peningkatan kosentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam.

3. Kosentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonarus kurang bulan dan 12,5
mg% pada neonatus cukup bulan.

4. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompabilitas darah, defisiensi enzim G-6-
PD (Glukosa 6 Phosphat Dehydrogenase))

5. Ikterus yang disertai keadaan berikut :

- Berat lahir kurang dari 2000 gram


- Masa gestasi kurang dari 36 minggu

- Infeksi

- Gangguan pernafasan

D. Patofisiologi

a. Saat eritrosit hancur di akhir siklus neonatus, hemoglobin pecah menjadi fragmen
globin (protein) dan heme (besi).

b. Fragmen heme membentuk bilirubin tidak terkonjugasi (indirek), yang berikatan


dengan albumin untuk dibawa ke sel hati agar dapat berkonjugasi dengan
glukuronid, membentuk bilirubin direk.

c. Karena bilirubin terkonjugasi dapat larut dalam lemak dan tidak dapat
diekskresikan di dalam urine atau empedu, bilirubin ini dapat keluar menuju
jaringan ekstravaskular, terutama jaringan lemak dan otak, mengakibatkan
hiperbilirubinemia.

d. Hiperbilirubinemia dapat berkembang ketika :

 Faktor tertentu-tertentu mengganggu konjugasi dan merebut sisi yang


mengikat albumin, termasuk obat (seperti aspirin, penenang, dan
sulfonamide) dan gangguan (seperti hipotermia, anoksia, hipoglikemia,
dan hipoalbuminemia)

 Peu nurunan fungsi hati yang menyebabkan penurunan konjugasi bilirubin.

 Peningkatan produksi atau inkompatibilitas Rh atau ABO.

 Obstruksi bilier atau hepatitis mengakibatkan sumbatan pada aliran


empedu yang normal.

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin.
Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah
dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai
cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan
tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin
tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke
albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh
dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan
menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin keasam glukoronat (bilirubin
terkonjugasi, direk).

Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri
kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini
umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian
dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut
air bersama urin.

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi


kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena
rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa
adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika
konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke
dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning.

E. Penatalaksanaan Medis

Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut :

a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya


lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus
yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai
lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin(misalnya
menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk
memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa
hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma
meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan
dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum
maupun sesudah terapi tukar.
c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik
dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar.
Pada umumya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :
1. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤ 20 mg%
2. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3 - 1 mg%/jam.
3. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.
4. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat < 14 mg% dan uji Coombs direct
positif.
f. Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan kompetitor
inhibitif terhadap heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian dan belum
digunakan secara rutin.
g. Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara sampai 2 hingga 4 jam
telah digunakan untuk mengurangi level bilirubin pada janin dengan penyakit
hemolitik isoimun. Mekanismenya belum diketahui tetapi secara teori
immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel retikuloendotel dengan
demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang dilapisi oleh antibody.

Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit. Dalam
perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :

1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan
membuka pakaian bayi.
2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik
untuk mendapatkan energi yang optimal.
4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang
terkena cahaya dapat menyeluruh.
5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.

F. Implikasi Keperawatan
Menurut Atikah dan Jaya, 2016, cara mengatasi hiperbilirubinemia yaitu:
a. Mempercepat proses konjugasi, misalnya pemberian fenobarbital. Fenobarbital
dapat bekerja sebagai perangsang enzim sehingga konjugasi dapat dipercepat.
b. Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya
ialah pemberian albumin untuk meningkatkan bilirubion bebas.
c. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi ini ternyata setelah dicoba
dengan alat-alat bantuan sendiri dapat menurunkan bilirubin dengan cepat.
Walaupun demikian fototerapi tidak dapat menggantikan transfusi tukar pada
proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi
tukar.
Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara terapeutik :
a. Fototerapi
Dilakukan apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 10 mg% dan
berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urin
dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin.
b. Fenoforbital
Dapat mengekskresi bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatis glukoronil transferase yang mana dapat
meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen dalam
empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat
bilirubin. Fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan.
c. Transfusi Tukar
Apabila sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi atau kadar
bilirubin indirek lebih dari 20 mg%.
Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara alami :
a) Bilirubin Indirek
Penatalaksanaanya dengan metode penjemuran dengan sinar ultraviolet
ringan yaitu dari jam 7.00 – 9.00 pagi. Karena bilirubin fisioplogis jenis ini
tidak larut dalam air.

b) Bilirubin Direk
Penatalaksanaannya yaitu dengan pemberian intake ASI yang adekuat.
Hal ini disarankan karna bilirubin direk dapat larut dalam air, dan akan
dikeluarkan melalui sistem pencernaan. (Atikah & Jaya, 2016 ; Widagdo,
2012)
G. Pengkajian Fokus (pemeriksaan penunjang) (KURANG ASKEP)
1. Pemeriksaan Fisik

Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan
terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang
kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi
apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.

Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian. Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-
tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut, dan lain-lain. Tempat
yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti
penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya
ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.

2. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang
tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemi berat. Namun pada bayi yang
mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi
sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin.

‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar serum


bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk
kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 µmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus
yang sedang mendapat terapi sinar.

Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab


ikterus antara lain :

a. Golongan darah dan ‘Coombs test’.

b. Darah lengkap dan hapusan darah.

c. Hitung retikulosit, skrining G-6-PD.


d. Bilirubin direk.

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi
dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan
pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.

3. Pathways Keperawatan

4. Fokus Intervensi dan Rasional


NO. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan RASIONN
Hasil

1. Gangguan menelan NOC NIC

Definisi : abnormal fungsi  Pencegahan aspirasi Aspiration Precautions


mekanisme menelan yang
 Ketidak efektifan pola Memantau tingkat
dikaitkan dengan deficit struktur
menyusui kesadaran, reflex batuk,
atau fungsi oral, faring, atau
reflex muntah, dan
esophagus.  Status menelan :
kemampuan menelan
tindakan pribadi untuk
Batasan Karakteristik :
mencegah pengeluaran Memonitor status paru
Gangguan fase esofagus cairan dan partikel menjaga/ mempertahankan
padat ke dalam paru jalan nafas
 Abnormalitas pada fase
esophagus pada pemeriksaan  Status menelan : fase Jauhkan pengaturan hisap
menelan esofagus; penyaluran yang tersedia
cairan atau partikel
 Menolak makan Menyuapkan makanan
padat dari faring ke
dalam jumlah kecil
 Nyer epigastrik, Nyeri ulu hati lambung

Posisi tegak 90 derajat atau


 Status menelan : fase
 Muntah, muntahan di bantal sejauh mungkin
oral : persiapan,
 Menelan berulang penahanan, dan Hindari makan, jika residu
pergerakan cairan atau tinggi tempet “pewarna”
Gangguan fase oral
partikel padat kea rah dalam tabung pengisi NG
 Abnormalitas fase oral pada posterior di mulut
Potong makan menjadi
pemeriksaan menelan
 Status menelan : fase potongan-potongan kecil
 Batuk sebelum menelan faring : penyaluran
cairan atau partikel Istirahat atau
 Ngiler padat dari mulut ke menghancurkan pil

esophagus sebelum pemberian


 Bibir tidak menutup secara Kriteria hasil : Penawaran makanan atau
rapat cairan yang dapat dibentuk
 Dapat
menjadi bolus sebelum
 Tersedak sebelum menelan mempertahankan
menelan
makanan dalam mulut
Gangguan fase faring
 Kemampuan menelan
 Abnormalitas pada fase faring
adekuat
pada pemeriksaan menelan
 Pengiriman bolus ke
 Tersedak, batuk hipofaring selaras
dengan reflek menelan
 Keterlambatan menelan

 Kondisi pernafasan
 Menolak makan, muntah
adekuat
 Suara seperti kumur
 Pengetahuan cara
Factor yang berhubungan : menyusui

Defisit kongenital  Mampu mengontrol


mual dan muntah
 Masalah perilaku makan
 Imobilitas konsekuensi
 Riwayat dengan makan slang
fisiologis

 Gangguan pernafasan  Kondisi menelan bayi

 Penyakit jantung kongenital  Menyusui adekuat

 Gagal pertumbuhan

 Obstruksi mekanis (mis: edema,


slang trakeostomi, tumor)

 Malnutrisi energi-protein

 Anomali saluran nafas atas


2. Kekurangan volume cairan NOC NIC

Definisi : penurunan cairan  Fluid balance Fluid management


intravascular, interstitial, dan/
 Hydration Timbang popok/ pembalut
atau intraseluler. Ini mengacu
jika diperlukan
pada dehidrasi, kehilangan cairan  Nutritional Status :
saat tanpa perubahan pada Food and Fluid Intake Pertahankan catatan intake
natrium. dan output yang akurat
Kriteria Hasil :
Batasan karakteristik Monitor status hidrasi
 Mempertahankan
(kelembaban membran
 Perubahan status mental urine output sesuai
mukosa, nadi adekuat,
dengan usia dan BB,
 Penurunan tekanan darah tekanan darah ortostatik),
BJ urine normal, HT
jika diperlukan
 Penurunan tekanan nadi normal
Monitor vital sign
 Penurunan volume nadi  Tekanan darah, nadi,
suhu tubuh dalam Monitor masukan
 Penurunan turgor kulit batas normal manan/cairan dan hitung
intake kalori harian
 Penurunan turgor lidah  Tidak ada tanda
dehidrasi, Kolaborasikan pemberian
 Penurunan saluran urin
Elastisitasturgor kulit cairan IV
 Penurunan pengisisan vena baik, membrane
Monitor status nutrisi
mukosa lembab, tidak
 Membrane mukosa kering
ada rasa haus yang Berikan cairan IV pada
berlebihan
 Kulit kering suhu ruangan

 Peningkatan hematokrit Dorong masukan oral

 Peningkatan suhu tubuh Berikan penggantian


nesogatrik sesuai output
 Peningkatan frekuensi nadi
Dorong keluarga untuk
 Peningkatan konsentrasi urin membantu pasien makan
 Tiba-tiba (kecuali pada ruang
ketiga)

 Haus

 Kelemahan

Faktor yang berhubungan :

 Kehilangan cairan aktif

 Kegagalan mekanisme regulasi

3. Ketidak efektifan NOC NIC


Termoregulasi
 Hidration Temperature regulation
Definisi : fluktuasi suhu diantara (pengaturan suhu)
 Adherence behavior
hepotermi dan hipetermia.
Monitor suhu minimal tiap
 Immune status
Batasan Karakteristik 2 jam

 Risk control
 Dasar kuku diasnotik Rencanakan monitoring

 Risk detection suhu secara kontinyu


 Fruktuasi suhu tubuhdi atas dan
di bawah kisaran normal Kriteria hasil : Monitor TD, nadi, dan RR

 Kulit kemerahan  Keseimbangan antara Monitor warna dan suhu

produksi panas, panas kulit


 Hipertensi
yang diterima, dan
Monitor warna dan suhu
 Peningkatan suhu tubuh diatas kehilangan panas
kulit
kisaran normal
 Seimbang antara
Monitor tanda-tanda
 Penuruna suhu tubuh di bawah produksi panas, panas
hipertermi dan hipotermi
kisaran normal yang diterima dan
kehilangan panas Tingkatkan intake cairan
Faktor yang berhubungan selama 28 hari dan nutrisi
pertama kehidupan
 Usia yang ekstrem
 Fluktuasi suhu lingkungan  Keseimbangan asam Selimuti pasien untuk
basa bayi baru lahir mencegah hilangnya
 Penyakit
kengatan tubuh
 Temperature stabil :
 Trauma
36,5 – 370C Ajarkan pada pasiwn cara
mencegah keletihan akibat
 Tidak ada kejang
panas

 Tidak ada perubahan


Diskusikan tentang
warna kulit
prntingnya pengaturan suhu

 Glukosa darah stabil dan kemungkinan efek


negative dari kedinginan
 Pengendalian risiko :
hipertermia, Beritahu tentang indikasi

hypothermia, proses terjadinya keletihan dan

penularan, dan penanganan emergency

paparan sinar matahari yang diperlukan

Ajarkan indikasi dari


hipotermi dan penanganan
yang diperlukan

Berikan anti piretik jika


perlu
4. Kerusakan integritas kulit NOC NIC
Definisi: Perubahan/ gangguan Pressure Management
 Tissue Integrity : Skin
epidermis dan atau dermis
and Mucous Anjurkan pasien untuk
Batasan karakteristik:
Membranes menggunakan pakaian yang
 Kerusakan lapisan kulit longgar
 Hemodyalis akses
(dermis)
Hindari kerutan pada
 Kriteria Hasil :
 Gangguan permukaan kulit tempat tidur
(epidermis)  Integritas kulit yang
Jaga kebersihan kulit agar
baik bisa
 Invasi struktur tubuh tetap bersih dan kering
dipertahankan
Faktor yang berhubungan : (sensasi, elastisitas, Mobilitas pasien (ubah
temperature, hidrasi, posisi pasien) setiap dua
 Eksternal : pigmentasi)dan jam sekali
perawatan alami
- Zat kimia, Radiasi Monitor kulit akan adanya
 Tidak ada luka/lesi kemerahan
- Usiayang ekstrim
pada kulit
Oleskan lotion atau
- Kelembapan
 Perfusi jaringan baik minyak/baby oil pada deah
- Hipertermia, Hipotermia yang tertekan
 Menunjukkan
- Faktor mekanik (mis.gaya pemahaman dalam Monitor aktivitas dan
gunting [shearing forces] proses perbaikan kulit mobilisasi pasien
dan mencegah
- Medikal Monitor status nutrisi
terjadinya sedera
pasien
- Lembab berulang

Memandikan pasien
- Imobilitas fisik  Mampu melindungi
dengan air hangat dan
kulit dan
 Internal : sabun
mempertahankan

- Perubahan status cairan kelembaban kulit Insision site care


alami
- Perubahan pigmentasi
- Perubahan turgor Membersihkan, memantau
dan meningkatkan
- Faktor perkembangan
prosespenyembuhan pada

- Kondisi ketidak seimbangan luka yang ditutup dengan

nutrisi jahitan, strip atau straples

(mis.,obesitas,emasisasi)
Monitor proses pen-

- Penurunan imunologis yembuhan area insisi

- Penurunan sirkulasi Monitor tanda dan gejala


infeksi pada area insisi
- Kondisi gangguan metabolic
Bersihkan area sekitar
- Gangguan sensasi jahitan atau staples,
menggunaka lidi kapas
- Tonjolan tulang
steril

Gunakan preparat anti


septik, sesuai program

Ganti balutan pada interval


waktu yang sesuai atau
biarkan luka tetap terbuka
(tidak dibalut) sesuai
program

Dialysis acces Maintenance


5. Risiko cidera NOC NIC
Definisi : berisiko mengalami  Risk control Environment management
cidera sebagai akibat kondisi Kriteria hasil : (Manajemen Lingkungan)
lingkungan yang berinteraksi  Klien terbebas dari Sediakan lingkungan yang
sumber adaptif dan sumber cedera aman untuk pasien
individu  Klien mampu Identifikasi kebutuhan
Faktor risiko : menjelaskan cara/ keamanan pasien, sesuai
 Eksternal metode untuk dengan kondisi fisik dan
- Biologis (missal ; tingkat mencegah injury/ fungsi kognitif pasien dan
imunisasi komunitas, cedera riwayat penyakit terdahulu
mikroorganisme)  Klien mampu pasien
- Zat kimia menjelaskan factor
- Manusia risiko dari lingkungan/
- Cara pemindahan perilaku personal
- Nutrisi  Memodifikasi gaya
 Internal : hidup untuk mencegah
- Profil darah yang abnormal  Injury
- Usia perkembangan  Mampu mengenali
- Disfungsi efektor perubahan status
- Disfungsi integratif kesehatan
- Malnutrisi
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Hiperbilirubi-nemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbillirubenemia patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonates >95% menurut Normogram Bhutani.
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti
mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin
yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi
dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme
untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak
larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin
dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini
beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin keasam glukoronat
(bilirubin terkonjugasi, direk).
Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis besar,
penyebab dari hiperbilirubinemia adalah : produksi bilirubin yang berlebihan,
gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar, gangguan transportasi, dan
gangguan dalam ekskresi.

B. Saran
Penulis berharap jika perawat menemukan gejala hiperbilerubinemia, perawat
dapat mendiagnosa dan dapat melakukan intervensi teerhadap seseorang tersebut. Dan
penulis juga berharap makalah ini dapar bermanfaan bagi pembaca terutama bagi
perawat.
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, Amin Huda. Hardhi Kusuma. 2013. Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan
Profesional. Yogyakarta : Mediaction Publishing

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37957/4/Chapter%20II.pdf Diakses pada


tanggal 01 oktober 2015 pukul 16.45 WIB

Sudoyo, Aru W., dkk. 2010. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing

Susanty, Ely. 2011. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Nanda Nic Noc. Yogyakarata : Modya
Karya

Anda mungkin juga menyukai