Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

MATA KULIAH PSIKOLOGI KESEHATAN

Psychological Issues in Advancing and Terminal Illness

DOSEN PENGAMPU :
Rohmah Rifani, S.Psi., M.Si., Psikolog
Ismalandari Ismail, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Novi Yanti Pratiwi, S.Psi., M.Psi., Psikolog

KELAS A
KELOMPOK 11 :

Ancensius Tombo Bamba (1771041085)


Lhin Greis Ramba (1771042069)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk hidup mengalami perkembangan pada sepanjang masa

kehidupannya. Semakin bertambahnya usia semakin menurunan fungsi biologis pada

manusia yang dapat menimbulkan masalah. Masalah tersebut dapat mempengaruhi

psikologis dan fisik manusia sendiri. Jika tidak dapat dikelola dengan baik, masalah

dapat memunculkan gangguan-gangguan psikologis yang dapat berimbas ke

kesehatan fisik.

Masalah yang juga mengancam psikologis manusia yaitu kematian, baik untuk

diri individu tersebut maupun kematian dari orang terdekat. Kematian dapat

disebabkan oleh beberapa hal seperti kecelakaan, penyakit dan umur. Penyakit

menjadi salah satu penyebab kematian yang banyak terjadi khususnya penyakit

terminal dimana individu sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk sembuh. Bagi

penderita penyakit terminal banyak masalah psikologis yang muncul khususnya yaitu

pasien yang tidak dapat menerima kenyataan dari penyakit tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kematian di semua rentang kehidupan ?

2. Bagaimana isu-isu psikologis yang dihadapi pada penyakit lanjut?

3. Apakah ada tahapan dalam penyesuaian diri terhadap kematian?

4. Bagaimana isu-isu psikologis dalam penyakit terminal ?


5. Apa saja alternatif perawatan untuk penyakit terminal ?

6. Apa masalah-masalah yang dihadapi survivors dalam kaitannya dengan

kematian orang terdekat ?

C. Tujuan Makalah

Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan mengenai isu-isu

psikologis yang terdapat dalam penyakit lanjut dan penyakit terminal.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Kematian di Seluruh Rentang Kehidupan

Taylor (2018) mengemukakan bahwa individu pada zaman dahulu banyak yang

meninggal terutama disebabkan oleh penyakit menular seperti influenza, pneumona,

dan tuberkolosis, namun pada saat ini penyakit tersebut berkurang penyebarannya

karena kemajuan teknologi medis yang dikembangkan pada abada ke-20.

MacDorman dan Mathews (Taylor, 2018) mengemukakan bahwa angka kematian

menurun sebanyak 43% dimulai pada 1960-an.

Kasus kematian di USA tahun 2014:

1. Penyakit jantung 614.348

2. Kanker 591.699

3. Penyakit pernapasan kronis 147.101

4. Kecelakaan (cedera yang tidak disengaja) 136.053

5. Stroke (penyakit serebrovaskular) 133.103

6. Penyakit Alzheimer 93.541

7. Diabetes 76.488

8. Influenza / pneumonia 55.227

9. Nefritis 48.146
10. Melukai diri sendiri (bunuh diri) secara disengaja 42.773

1. Kematian saat Bayi dan Anak-anak

Taylor (2018) mengemukakan bahwa Amerika merupakan negara maju secara

teknologi namun tingkat kematian bayi di Amerika Serikat tergolong cukup tinggi,

lebih tinggi dari pada sebagian besar negara di Eropa Barat.

a. Penyebab Kematian

Taylor (2018) mengemukakan bahwa semua negara dengan program

perawatan ibu gratis atau berbiaya rendah selama kehamilan memiliki angka

kematian bayi yang lebih rendah dari pada Amerika Serikat. Kematian bayi pada

saat lahir dan bayi lahir prematur penyebabnya lebih sering didapatkan pada

perawatan prenatal yang buruk untuk ibu. Tahun pertama kehidupan penyebab

utama kematian yaitu bawaan dan sindrom kematian bayi mendadak atau Sudden

Infant Death Syndrome (SIDS). SIDS merupakan sindrom dimana bayi tiba-tiba

berhenti bernapas. Lipsitt (Taylor, 2018) mengemukaakn bahwa SIDS lebih

sering terjadi pada wilayah perkotaan kelas bawah dan ibu yang merokok selama

masa kehamilan.

Taylor (2018) mengemukakan bahwa setelah tahun pertama, penyebab utama

kematian pada anak-anak di bawah usia 15 tahun yaitu kecelakaan, terjadi sekitar

40% pada kelompok kematian usia tersebut. Kecelakaan tersebut diantaranya

keracunan, cedera dan jatuh dari rumah. Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit 2015 (Taylor, 2018) mengemukakan bahwa untuk tahun berikutnya

kecelakan mobil merupakan penyebab kematian utama.

Taylor (2018) mengemukakan bahwa penyebab kematian kedua pada anak-

anak usia 1-15 tahun yaitu kanker terutama leukemia. Leukemia merupakan

penyakit yang menyerang sum-sum tulang belakang, menghasilkan sel darah

putih yang berlebihan dan menyebabkan anemia berat serta komplikasi lainnya.

Pengobatan leukemia dilakukan dengan cara kemoterapi dan transplantasi sum-

sum tulang, namun transplantasi sumsum tulang, dapat menyakitkan dan

menghasilkan efek samping yang tidak menyenangkan.

b. Pengertian Kematian pada Anak-anak

Taylor (2018) mengemukakan bahwa hingga usia 5 tahun, sebagian besar

anak menganggap kematian sebagai tidur yang nyenyak. Bluebond-Langner

(Taylor, 2018) mengemukakan bahwa anak-anak usia ini menganggap orang

mati masih ada, seperti Putri Salju atau Sleeping Beauty yang menunggu sang

pangeran. Usia 5 dan 9, gagasan mengenai kematian berkembang bagi beberapa

anak kematian dipersonifikasikan menjadi sosok bayangan, seperti hantu atau

iblis. Mereka mungkin percaya bahwa kematian terjadi karena makhluk gaib

datang untuk membawa orang itu pergi. Bluebond-Langner (Taylor, 2018)

mengemukakan bahwa usia 9 atau 10 anak biasanya memiliki beberapa

pemahaman tentang proses yang terlibat dalam kematian (seperti penguburan


dan kremasi) dan menyadari bahwa orang yang telah meninggal tidak akan

kembali.

2. Kematian di Masa Remaja dan Dewasa Muda

Centers for Disease Control and Prevention 2016 (Taylor, 2018) mengemukakan

bahwa meskipun tingkat kematian pada remaja rendah, namun penyebab utama

kematian pada kelompok usia ini adalah cedera yang tidak disengaja, terutama yang

melibatkan mobil. Pada tingkat kedua yaitu pembunuhan, tingkat ketiga yaitu bunuh

diri yang dilakukan sebagian besar menggunakan senjata api, tingkat keempat yaitu

kanker, dan penyakit jantung dan AIDS berperan pada sebagian besar kematian yang

tersisa pada kelompok umur tersebut.

a. Reaksi terhadap Kematian Dewasa Muda

Taylor (2018) mengemukakan bahwa kematian individu dewasa muda

dianggap yang paling tragis. Ketika orang dewasa muda menerima diagnosis

penyakit yang mematikan, seperti kanker, mereka mungkin merasa syok, marah,

dan rasa ketidakadilan yang akut. Karena alasan ini, staf medis sering merasa

kesulitan untuk bekerja dengan pasien ini. Namun karena tidak seperti orang tua,

mereka mempunyai lebih sedikit pesaing biologis untuk kematian, sehingga

mereka tidak cepat menyerah pada komplikasi contohya pada penyakit gagal

ginjal.
3. Kematian di Usia Paruh Baya

Taylor (2018) mengemukakan bahwa pada usia paruh baya, kematian mulai

dianggap lebih realistis. Ketakutan pada kematian di usia paruh baya secara simbolis

dapat ditimbulkan sebagai ketakutan akan kehilangan penampilan fisik, kecakapan

seksual, kemampuan atletik, dan jika difokuskan pada pekerjaan individu adanya

kesadaran bahwa pekerjaan individu tidak berarti karena banyak ambisi muda yang

tidak akan pernah terwujud. Gould (Taylor, 2018) mengemukakan bahwa perubahan

hidup yang tiba-tiba dilakukan pada usia paruh baya seperti perceraian, pernikahan

kembali dengan orang yang jauh lebih muda, atau perubahan pekerjaan yang radikal

dapat dipandang sebagian sebagai upaya untuk menunda kematian.

a. Kematian Prematur (Kematian Dini)

Taylor (2018) mengemukakan bahwa kematian prematur pada usia dewasa

yaitu kematian yang terjadi sebelum usia 79 tahun atau kematian mendadak karena

serangan jantung. Kebanyakan orang menjawab bahwa mereka lebih memilih

kematian yang tiba-tiba, tidak menyakitkan, dan tidak mematikan. Kematian

mendadak dianggap lebih baik karena individu tidak harus menghadapi

kemunduran fisik, rasa sakit, dan kehilangan kemampuan mental. Keluarga juga

tidak harus melalui siksaan emosional menyaksikan kondisi individu yang sakit

memburuk, dan masalah keuangan yang berat.


Centers for Disease Control and Prevention, 2016 (Taylor, 2018)

mengemukakan bahwa orang kulit putih hidup lebih lama daripada orang kulit

hitam selama hampir 2 tahun (untuk pria) dan 1 tahun (untuk wanita). Salah satu

faktor yang menyebabkan perbedaan ini adalah yaitu status sosial ekonomi

merupakan penentu kuat usia kematian, semakin tinggi status sosial ekonomi,

semakin lama seseorang hidup. Orang kulit hitam juga lebih mungkin memiliki

penyakit diabetes, obesitas, dan hipertensi, yang dapat menyebabkan serangan

jantung dan stroke daripada orang kulit putih.

4. Kematian di Usia Tua

Taylor (2018) mengemukakan bahwa lansia (di atas usia 65 tahun) umumnya

lebih siap menghadapi kematian daripada yang muda. Hal tersebut disebabkan oleh

para lansia telah melihat teman dan kerabat mereka meninggal serta mungkin telah

memikirkan kematian mereka dan telah membuat beberapa persiapan awal. Biasanya,

lansia meninggal karena penyakit degeneratif, seperti kanker, stroke, atau gagal

jantung, atau hanya karena penurunan fisik umum yang membuat mereka rentan

terhadap penyakit menular atau kegagalan organ.

Centers for Disease Control and Prevention, 2016 (Taylor, 2018) mengemukakan

bahwa wanita biasanya hidup lebih lama daripada pria, wanita berusia 81 dan pria

hanya berusia 76 tahun.


Alasan wanita hidup lebih lama dibandingkan laki-laki yaitu:

- Wanita tampaknya secara biologis lebih bugar daripada laki-laki. Meskipun

lebih banyak janin berjenis kelamin laki-laki daripada janin berjenis kelamin

perempuan dikandung, lebih banyak bayi laki-laki yang lahir meninggal atau

keguguran daripada bayi perempuan, dan bayi laki-laki lebih mungkin

meninggal daripada wanita. Bahkan, angka kematian pria lebih tinggi di semua

usia, sehingga ada lebih banyak perempuan daripada laki-laki hidup pada saat

individu mencapai usia 20-an. Namun seperti apa mekanisme biologis wanita

lebih bugar masih belum diketahui.

- Williams (Taylor, 2018) mengemukakan bahwa alasan lain mengapa pria

meninggal lebih awal daripada wanita yaitu perilaku berisiko. Merokok

merupakan penyebab sebanyak 40% dari perbedaan kematian antara pria dan

wanita. Pria terpapar lebih banyak pekerjaan berbahaya, seperti pekerjaan

konstruksi, polisi, atau pemadam kebakaran. Konsumsi alkohol pria lebih besar

daripada wanita, membuat mereka terkena kerusakan hati, dan mereka

mengkonsumsi lebih banyak obat daripada wanita. Pria dapat menakses lebih

besar ke senjata api dan menjadikannya lebih kemungkinan akan menggunakan

senjata api untuk bunuh diri, dibanding wanita yang biasanya lebih menyukai

racun. Pria menggunakan mobil dan sepeda motor lebih banyak daripada

wanita menyebabkan kontribusi tingkat kematian yang tinggi karena

kecelakaan. Taylor, Kemeny, Reed, Bower, dan Gruenewald (Taylor, 2018)


mengemukakan bahwa pria cenderung mengatasi stres melalui perkelahian

atau pelarian (penarikan sosial atau penarikan melalui narkoba dan alkohol)

dengan demikian juga dapat menjelaskan mengapa umur mereka lebih pendek.

Dukungan sosial mungkin lebih melindungi wanita daripada pria. Kiecolt-

Glaser dan Newton (Taylor, 2018) mengemukakan bahwa di satu sisi, menikah

menguntungkan pria lebih banyak daripada wanita, namun wanita memiliki

lebih banyak teman dekat dan berpartisipasi dalam lebih banyak kegiatan

kelompok yang menawarkan dukungan sosial. Dukungan sosial menjaga

sistem stres pada level rendah.

B. Isu-isu Psikologis pada Penyakit Lanjut

1. Perawatan Lanjutan dan Penyakit Lanjut

Taylor (2018) mengemukakan bahwa penyakit lanjut dan terminal sering

membutuhkan perawatan lanjutan dengan efek samping yang melemahkan dan

tidak menyenangkan, contohnya terapi radiasi dan kemoterapi untuk kanker dapat

menghasilkan ketidaknyamanan, mual dan muntah, diare kronis, kerontokan

rambut, perubahan warna kulit, kelelahan, dan kehilangan energi. Dalam beberapa

kasus, penolakan pengobatan dapat mengindikasikan depresi dan perasaan putus

asa, tetapi dalam banyak kasus, keputusan pasien mungkin didukung oleh pilihan

yang bijaksana.
a. Apakah ada Hak untuk Mati?

Taylor (2018) mengemukakan bahwa pada tahun 1990, Kongres meloloskan

Undang-Undang Penentuan Nasib Sendiri Pasien di mana pasien dapat memilih

untuk menandatangani atau tidak kebijakan dan prosedur tertulis mengenai

keinginan pasien untuk terapi yang memperpanjang hidup. Tren sosial penting

yang memengaruhi perawatan penyakit terminal yaitu gerakan right-to-die yang

menyatakan bahwa kematian harus menjadi masalah pilihan pribadi dan kontrol

pribadi. Penerimaan terhadap ide-ide seperti bunuh diri dan bunuh diri yang

dibantu untuk yang sakit terminal telah meningkat di populasi Amerika.

Dalam Polling Gallup 1975, 41% responden percaya bahwa seseorang yang

sangat kesakitan tanpa harapan peryembuhan memiliki hak moral untuk bunuh

diri. The Economist, 20 Oktober 2012 (Taylor, 2018) mengemukakan bahwa

banyak negara Eropa, Australia dan Kanada, memiliki tingkat dukungan yang jauh

lebih tinggi untuk kematian yang dibantu, mendekati 90%. Ditto, dkk (Taylor,

2018) mengemukakan bahwa penurunan fungsi tampaknya yang menyebabkan

berkurangnya minat pada perawatan untuk mempertahankan hidup.

b. Masalah Moral dan Hukum

Taylor (2018) mengemukakan bahwa semakin lama, masyarakat harus

bergulat dengan masalah euthanasia yaitu mengakhiri kehidupan seseorang yang

menderita penyakit mematikan yang menyakitkan. Pfeifer dan Brigham (Taylor,


2018) mengemukakan bahwa Euthanasia berasal dari kata Yunani yang berarti

"kematian yang baik". Pasien yang sakit terminal biasanya meminta euthanasia

atau bunuh diri berbantuan ketika mereka mengalami tekanan dan penderitaan

yang ekstrem.

Pada tahun 1994, Oregon menjadi negara bagian pertama yang mengeluarkan

undang-undang yang mengizinkan euthasia dibantu oleh dokter. Untuk

melaksanakan opsi ini, pasien harus kompeten secara mental dan memiliki

penyakit terminal dengan masa hidup kurang dari 6 bulan, namun pasien harus

diinformasikan tentang alternatif, seperti pengendalian rasa sakit dan perawatan

rumah sakit. Pasien harus mengajukan permintaan setidaknya 3 kali, dan kasus ini

harus ditinjau oleh dokter kedua untuk keakuratan serta untuk memastikan bahwa

anggota keluarga tidak menekan pasien untuk mati. Biasanya, jika kondisi ini

terpenuhi dokter memberikan dosis obat atau pil tidur yang mematikan yang

kemudian dapat diminum pasien untuk mengakhiri hidupnya. Sears dan Stanton

(Taylor, 2018) mengemukakan bahwa pada tahun 1997 Oregon Death with

Dignity Act diresmikan, dengan kematian pertama yang dibantu dokter terjadi

pada tahun 1998. Namun penelitian menunjukkan bahwa banyak dokter

mengabaikan keinginan pasien sekarat dan memperpanjang rasa sakit dan

penderitaan mereka.
2. Isu Psikologis dan Sosial Terkait Kematian

a. Perubahan Konsep Diri Pasien

Taylor (2018) mengemukakan bahwa penyakit dapat mengancam konsep diri

individu. Seiring perkembangan penyakit, pasien semakin kurang mampu

menampilkan diri secara efektif. Semakin sulit untuk mempertahankan kontrol

fungsi biologis dan sosial. Pasien-pasien mungkin mengalami nyeri atau muntah

yang tidak terkendali, dan mengalami penurunan penampilan yang drastis karena

penurunan berat badan, stres akibat perawatan, atau banyaknya penyakit. Yang

bahkan lebih mengancam bagi beberapa pasien adalah kemunduran mental dan

ketidakmampuan untuk berkonsentrasi. Wilson, Beck, Bienias, dan Bennett

(Taylor, 2018) mengemukakan bahwa penurunan kognitif meningkat pesat pada

tahun-tahun sebelum kematian. Kehilangan fungsi kognitif juga bisa disebabkan

oleh sifat progresif penyakit dan efek dari obat-obatan.

b. Masalah Interaksi Sosial

Taylor (2018) mengemukakan bahwa meskipun pasien yang sakit terminal

menginginkan dan membutuhkan kontak sosial, muncul ketakutan dalam diri

mereka bahwa kemunduran mental dan fisik yang jelas akan mengganggu

individu lainnya. Dengan demikian, pasien dapat memulai proses penarikan

sosial, di mana mereka secara bertahap membatasi kunjungan hanya ke beberapa

anggota keluarga. Beberapa pelepasan dari dunia sosial adalah normal dan

mungkin mewakili proses berduka, namun masa berduka antisipatif ini dapat
mengganggu komunikasi karena sulit bagi pasien untuk mengungkapkan kasih

sayang kepada orang lain dan bersamaan bersiap untuk meninggalkan mereka.

c. Masalah Komunikasi

Taylor (2018) mengemukakan bahwa selama prognosis pasien baik,

komunikasi biasanya terbuka namun ketika prognosis memburuk dan

pengobatan menjadi lebih drastis, komunikasi dapat terputus. Kematian itu

sendiri masih menjadi topik tabu dalam masyarakat. Ketika kematian menyerang

dalam sebuah keluarga, para korban sering mencoba untuk menanggung

kesedihan mereka sendirian.

3. Isu Perawatan Nontradisional

Taylor (2018) mengemukakan bahwa ketika kesehatan dan komunikasi

memburuk, beberapa pasien yang sakit terminal berpaling dari perawatan medis

tradisional. Banyak pasien menjadi korban keraguan yang ditawarkan di luar sistem

perawatan kesehatan formal. Apa yang mendorong orang untuk mengambil langkah-

langkah yang seringkali tidak nyaman, mahal, dan tidak berharga? Beberapa pasien

sangat panik pada prospek kematian sehingga mereka akan menggunakan tabungan

mereka sendiri dan keluarga dengan harapan penyembuhan ajaib. Pada kasus lain

beralih ke pengobatan nontradisional mungkin merupakan gejala dari hubungan yang

memburuk dengan sistem perawatan kesehatan dan keinginan untuk perawatan yang

lebih humanistik.
C. Apakah Ada Tahapan dalam Penyesuai untuk Mati?

1. Teori Lima Tahap Kubler-Ross

Taylor (2018) mengemukakan bahwa Elisabeth Kübler-Ross, seorang

pelopor dalam studi kematian mengemukakan orang melewati lima tahap ketika

mereka menyesuaikan diri dengan kematian yaitu denial, anger, bargaining,

depression, dan acceptance.

- Denial (Penyangkalan)

Penyangkalan dianggap sebagai reaksi awal seseorang terhadap diagnosis

penyakit terminal. Penyangkalan adalah mekanisme pertahanan di mana orang

menghindari implikasi suatu penyakit. Individu bertindak seolah-olah

penyakitnya tidak parah, akan segera hilang, dan akan memiliki sedikit

implikasi jangka panjang. Ditto, Munro, dkk (Taylor, 2018) mengemukakan

bahwa pada kasus yang ekstrem, pasien bahkan dapat menyangkal bahwa ia

memiliki penyakit, meskipun telah diberi informasi yang jelas tentang

diagnosis. Denial terjadi karena alam bawah sadar yang menghalangi realisasi

penuh dari realitas dan implikasi dari gangguan tersebut. Denial biasanya

hanya berlangsung beberapa hari. Ketika itu berlangsung lebih lama, mungkin

memerlukan intervensi psikologis.


- Anger (Marah)

Reaksi kedua terhadap kemungkinan kematian adalah kemarahan. Pasien

yang marah dapat menunjukkan kebencian terhadap siapa pun yang sehat,

seperti staf rumah sakit, anggota keluarga, atau teman. Kemarahan adalah

salah satu respons yang paling sulit dihadapi keluarga dan teman. Keluarga

mungkin perlu bekerja sama dengan terapis untuk memahami bahwa pasien

tidak benar-benar marah kepada mereka, tetapi pada nasib. Kemarahan dapat

dilampiaskan pada siapa saja yang ada didekatnya terutama pada orang-orang

yang pasien tidak merasakan adanya kewajiaban untuk berperilaku sopan dan

santun dan biasanya anggota keluarga sering masuk pada kategori ini.

- Bargaining (Tawar-menawar)

Pada titik ini, pasien meninggalkan amarah, dan melakukan tawar-

menawar seperti melakukan perilaku yang baik untuk mendapatkan kesehatan.

Tawar-menawar dapat berupa perjanjian dengan Tuhan, di mana pasien setuju

untuk melakukan perbuatan yang baik atau setidaknya meninggalkan cara-

cara egois dengan imbalan kesehatan yang lebih baik atau diberikan lebih

banyak waktu. Individu tiba-tiba melakukan aktivitas amal atau berperilaku

menyenangkan merupakan bentuk bahwa pasien sedang berusaha melakukan

tawar-menawar.
- Depresi

Pada tahap ini pasien mengakui bahwa sekarang tidak banyak yang bisa

dilakukan. Kesadaran pasien dapat bertepatan dengan memburuknya gejala,

bukti nyata bahwa penyakit ini tidak akan disembuhkan. Tahap ini pasien

mungkin merasa mual, sesak napas, dan lelah. Mereka mungkin kesulitan

makan dan memusatkan perhatian. Pada tahap ini depresi dapat berfungsi bagi

pasien mempersiapkan hal yang akan terjadi di kemudian hari.

- Acceptance (Penerimaan)

Tahap terakhir dalam teori Kübler-Ross adalah acceptance. Pada titik ini,

pasien mungkin terlalu lemah untuk marah dan terlalu terbiasa dengan

gagasan mati untuk menjadi depresi. Beberapa pasien menggunakan waktu ini

untuk melakukan persiapan, memutuskan bagaimana membagi harta mereka

yang tersisa dan mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman lama dan

anggota keluarga.

2. Evaluasi Teori Kubler-Ross

Taylor (2018) mengemukakan bahwa tahap kematian Kübler-Ross

memberikan banyak manfaat, dapat digunakan untuk kebutuhan konseling dan

dijadikan penelitian ilmiah, namun pasien biasanya tidak melalui lima tahap dalam

urutan yang telah ditentukan, dan disamping depresi yang menjadi salah satu
respon yang paling umum, apa yang ditakuti pasien biasanya adalah

ketiakmampuan untuk mengontrol rasa sakit.

D. Isu-isu Psikologis dan Penyakit Terminal

1. Staf Medis dan Pasien yang Sakit Terminal

Kematian pasien di rumah sakit seringkali dapat dipersonalisasi dan

difragmentasi. Rumah sakit sering mengalami kekurangan perawat dan staff

khususnya di bagian bangsal rumah sakit, ditambah dengan tidak mampunya

semua staf dan perawat memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan oleh

pasien. Selain ketidakmampuan memberikan dukungan emosional, aturan rumah

sakit yang membatasi jam membesuk dan jumlah pengunjung yang dapat tinggal

bersama pasien juga dapat mengurangi ketersediaan dukungan dari keluarga dan

teman.

Nyeri adalah salah satu gejala utama dalam penyakit terminal. Di lingkungan

rumah sakit yang sibuk, kemampuan pasien untuk mendapatkan jumlah obat nyeri

yang mereka butuhkan dapat dikompromikan. Turk dan Feldman (Taylor, 2018)

mengemukakan bahwa prasangka untuk perawatan obat terhadap pasien dengan

penyakit terminal masih sering dilakukan oleh para perawat, sehingga pasien

menghadapi risiko undermedikasi atau kurangnya obat yang diberikan untuk

mengurangi rasa nyeri mereka.


2. Pentingnya Staf Medis di Rumah Sakit untuk Pasien

Staf medis berperan penting bagi keberlangsungan hidup pasien di rumah sakit.

Bantuan yang sangat kecil misalnya keinginan pasien membalikkan badan di

tempat tidur dan berbagai bantuan fisik lainnya yang dibutuhkan pasien lebih

sering diberikan oleh staf medis. Dokter biasanya membantu pasien untuk

mengurangi rasa sakit yang dirasakan, namun dukungan emosional lebih sering

ditunjukkan oleh para staf medis, khususnya bagi pasien yang tidak memiliki

keluarga atau teman. Bahkan, tidak dapat dipungkiri bahwa staf mungkin satu-

satunya orang yang mengetahui keadaan fisik pasien yang sebenarnya. Hal ini

karena pasien merasa lebih dekat dengan staf yang lebih sering mengunjunginya

dibandingkan dokter. Oleh karena itu, staf medis sesungguhnya adalah sumber

informasi yang realistis mengenai keadaan pasien. Karena kedekatannya dengan

staf, bahkan ada pasien yang memberitahukan rahasianya kepada staf yang

berkaitan dengan penyakit yang dialami.

3. Risiko Perawatan Penyakit Terminal untuk Staf

Pasien yang menderita penyakit terminal membutuhkan perawatan yang

lebih sulit, sehingga tidak sedikit staf yang ingin menarik diri dari merawat pasien

yang mengalami penyakit terminal. Perawatan yang diberikan bersifat paliatif,

yaitu perawatan yang bertujuan membuat pasien merasa nyaman, bukannya

perawatan kuratif, yaitu perawatan yang bertujuan untuk menyembuhkan.


Perawatan yang bersifat paliatif tersebut membuat staf medis merasa bahwa

pekerjaan mereka tidak menyenangkan karena yang dilakukan adalah demi

kenyamanan pasien, misalnya memberi makan, mengganti pakaian, sampai

memandikan pasien. Staf medis bahkan kelelahan karena harus mengawasi pasien

meskipun pada akhirnya ada pasien yang dinyatakan meninggal.

Dokter seringkali lebih menyediakan waktu untuk pasien yang dapat

disembuhkan dibanding dengan pasien yang sakit parah. Sehingga, banyak pasien

penyakit terminal yang merasa ditinggalkan bahkan tidak dilayani dengan baik.

Oleh karena itu, meski singkat, dokter perlu memberikan waktu secara teratur

kepada pasien yang menderita penyakit terminal.

4. Mencapai Kematian yang Tepat

Psikiater Avery Weisman mengemukakan bahwa hal-hal berikut perlu

diperhatikan oleh staf medis yang dapat membantu pasien untuk menghadapi

kematiannya.

 Informed consent - Pasien harus diberi tahu kondisi fisiknya dan perawatan

yang dapat diberikan sampai pada taraf tertentu.

 Safe conduct - Dokter dan staf lain harus bertindak sebagai panduan yang

bermanfaat bagi pasien untuk melalui tahap kehidupan yang baru dan

menakutkan ini.
 Significant survival - Dokter dan staf medis lainnya harus membantu pasien

menggunakan sisa waktu sebaik mungkin.

 Anticipatory grief - Pasien dan anggota keluarganya harus dibantu dalam

mengatasi rasa kehilangan mengantisipasi timbulnya depresi.

 Timely and appropriate death - Pasien harus dituruti keinginannya dalam hal

kapan dan bagaimana pasien ingin menutup usianya. Pasien harus mencapai

kematian secara bermartabat.

5. Terapi dengan Pasien yang Mengalami Penyakit Terminal

Terapi yang diberikan kepada pasien penyakit terminal biasanya bersifat

jangka pendek dan waktu kunjungan biasanya tergantung pada keinginan dan

tingkat energi pasien. Pasien seringkali memiliki unfinished business, maka terapis

juga perlu membantu pasien untuk menyelesaikannya karena dapat mengacaukan

pikiran. Terapis akan membantu pasien untuk berdamai dengan kehidupan masa

lalunya agar lebih siap menghadapi penyakitnya dan kemungkinan terburuk yang

dihadapinya yaitu kematian.

Beberapa tanatolog - yaitu, mereka yang mempelajari tentang sekarat dan

kematian menyarankan bahwa terapi CBT dapat secara konstruktif digunakan

untuk pasien yang sekarat. Misalnya, relaksasi otot progresif dapat memperbaiki

ketidaknyamanan dan menanamkan rasa kontrol baru. Positive self talk , seperti
berfokus pada pencapaian kehidupan seseorang, juga dapat membantu mengurangi

depresi yang sering menyertai kematian

6. Manajemen Penyakit Terminal pada Anak

Merawat anak-anak yang sakit parah termasuk yang paling menegangkan dari

semua perawatan penyakit terminal. Akibatnya, anggota keluarga, teman, dan

bahkan staf medis mungkin enggan untuk berbicara secara terbuka dengan anak

yang sekarat tentang situasinya.

Meskipun demikian, anak-anak yang sakit parah sering tahu lebih banyak

tentang keadaan mereka daripada informasi yang diberikan oleh orang lain. Anak-

anak menggunakan isyarat dari perawatan yang diberikan dari orang-orang di

sekitar mereka untuk menyimpulkan bagaimana kondisi mereka. Ketika kondisi

fisik mereka sendiri memburuk, mereka mengembangkan konsepsi kematian

mereka sendiri dan kesadaran bahwa itu kematian mereka tidak akan lama lagi.

Mungkin sulit untuk mengetahui apa yang harus dikatakan kepada seorang anak.

Tidak seperti orang dewasa, anak-anak mungkin tidak mengungkapkan

pengetahuan, masalah, atau pertanyaan mereka secara langsung. Mereka dapat

mengkomunikasikan pengetahuan bahwa mereka akan mati secara tidak langsung,

seperti dengan ingin merayakan hari ulan tahun lebih awal. Atau mereka mungkin

tiba-tiba berhenti berbicara tentang rencana masa depan mereka.


Konseling dengan anak yang sakit parah mungkin diperlukan dan biasanya

mengikuti beberapa pedoman yang sama seperti yang berlaku pada orang dewasa

yang sekarat, tetapi terapis dapat mengambil isyarat tentang apa yang harus

didiskusikan dari anak, berbicara hanya tentang masalah-masalah yang siap

didiskusikan oleh anak. Orang tua juga perlu konseling untuk membantu mereka

menghadapi kematian yang akan datang. Orang tua mungkin menyalahkan diri

mereka sendiri atas penyakit anak atau merasa bahwa ada lebih banyak yang bisa

mereka lakukan.

Orang tua dari anak-anak yang sekarat mengalami beban stres yang sangat

besar sehingga mereka kadang-kadang memiliki gejala PTSD. Tekanan emosional

orang tua dengan anak yang sekarat mungkin memerlukan layanan kesehatan

mental suportif dan pertemuan dengan dokter untuk membantu pasien memahami

dan memperoleh makna dari penyakit terminal anak, terutama selama beberapa

bulan pertama setelah diagnosis anak.

E. Perawatan Alternatif untuk Pasien Penyakit Terminal

1. Hospice Care

Hospice care adalah pelayanan paliatif yang suportif dan terkoordinasi. Bisa

disiapkan di rumah atau rumah sakit dengan memberi pelayanan fisik, psikologis,

sosial dan spiritual untuk pasien yang menunggu ajal dan keluarganya. Pasien yang

menjalani hospice care akan dibuat senyaman mungkin untuk menghadapi takdir

mereka. Jika dilakukan di rumah sakit, maka ruang perawatan akan dibuat
senyaman mungkin seperti bila berada di rumah. Perawatan ini akan diberikan jika

pasien memenuhi persyaratan seperti sudah dalam fase end of life.

Pasien didorong untuk mempersonalisasikan tempat tinggal mereka sebanyak

mungkin dengan membawa barang-barang yang mereka kenal. Dengan demikian,

dalam perawatan rumah sakit, setiap kamar mungkin terlihat sangat berbeda,

mencerminkan kepribadian dan minat penghuninya. Pasien juga biasanya memakai

pakaian mereka sendiri dan menentukan aktivitas mereka sendiri.

Pada perawatan hospice care, tidak ada batasan pada kunjungan dari keluarga

atau teman. Staf dilatih khusus untuk berinteraksi dengan pasien dengan cara yang

hangat dan penuh perhatian. Biasanya, konselor juga tersedia untuk intervensi

individu, kelompok, atau keluarga.

2. Home Care

Beberapa tahun terakhir telah terlihat minat baru dalam perawatan di rumah

untuk pasien yang sekarat. Perawatan di rumah tampaknya menjadi perawatan

pilihan bagi sebagian besar pasien yang sakit parah, dan bagi banyak pasien, ini

mungkin satu-satunya perawatan yang layak secara ekonomi. Keuntungan

psikologis dari perawatan di rumah adalah bahwa pasien dikelilingi oleh barang

milik pribadi dan oleh keluarga daripada staf medis. Beberapa tingkat kontrol

dapat dipertahankan atas kegiatan seperti apa yang harus dimakan atau apa yang

harus dipakai.
Meskipun perawatan di rumah seringkali lebih mudah bagi pasien secara

psikologis, namun perawtaan tersebut bisa membuat stress yang tinggi bagi

keluarga. Bahkan jika diperlukan, setidaknya ada satu anggota keluarga yang

mengkhususkan diri bagi pasien setiap hari untuk merawatnya. Pengasuh yang

ditunjuk harus sering berhenti bekerja dan juga menghadapi tekanan tambahan dari

kontak yang konstan dengan prospek kematian. Pengasuh dapat terpecah

pikirannya antara keinginan untuk menjaga pasien supaya tetap hidup atau ingin

supaya pasien dan penderitaannya segera berakhir, dalam artian merelakan pasien

menghadapi ajalnya.

F. Masalah-masalah yang Dihadapi oleh Survivors

Survivors adalah orang atau keluarga yang ditinggalkan yang pernah mengalami

penyakit yang kurang lebih sama dengan penyakit dari anggota keluarga yang

meninggal. Kematian seorang anggota keluarga adalah peristiwa yang menakutkan

dan terkadang dianggap menjengkelkan bagi sebagian orang. Bahkan, bagi orang yang

dicintai, kematiannya kadang dianggap lebih menakutkan daripada kematian atau

penyakit diri sendiri. Perasaan-perasaan ini misalnya terjadi pada pasangan suami istri

yang suaminya meninggal lalu menjadi janda pada usia lanjut.

Maciejewski, Zhang, Block, & Prigerson (Taylor, 2018) mengemukakan bahwa

kesedihan sebagai respons psikologis terhadap berkabung, adalah perasaan hampa,

sering ditandai dengan keasyikan dengan citra orang yang meninggal, ekspresi
permusuhan terhadap orang lain, dan rasa bersalah atas kematian. Orang yang berduka

sering menunjukkan kegelisahan dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi pada

kegiatan, kerinduan untuk orang yang mereka cintai, serta kemarahan atau depresi,

terutama selama 6 bulan pertama. Selain masalah-masalah psikologis, masalah

kesehatan fisik juga umum terjadi.

Orang luar terkadang sulit untuk menghargai tingkat kesedihan pada orang atau

keluarga yang ditinggalkan. Persepsi yang sering muncul adalah jika kematian itu

sudah datang, yang selamat harus siap menghadapinya dan lekas keluar dari kesedihan

yang sedang dirasakan. Taylor (2018) mengemukakan bahwa orang yang ditinggal

kemudian menjadi seorang janda sering mengatakan bahwa setelah kematian pasangan

mereka, teman-temannya sering mendesaknya segera menarik diri dari kemurungan

dan melanjutkan kehidupan. Dalam beberapa kasuss, topik untuk menikah kembali

sering diangkat beberapa minggu setelah kematian pasangan. Stroebe & Stroebe

(Taylor, 2018) mengemukakan bahwa sekalipun telah menikah, rasa duka masih dapat

bertahan sampai beberapa bulan bahkan banyak janda dan duda yang sangat terganggu

oleh kematian pasangannya sampai beberapa tahun.

Apakah seseorang dikatakan adaptif untuk bersedih atau tidak bersedih setelah

kematian seseorang terus diperdebatkan. Beberapa psikolog mengatakan bahwa

menghindari emosi yang negatif dapat menjadi masalah. Berbeda dengan penelitian

yang dilakukan oleh Bonanno, Keltner, Holen, & Horowitz (Taylor, 2018) bahwa

penghindaran emosi negatif dapat mengarah pada penyesuaian yang lebih baik setelah
kematian. Demikian juga ditunjukkan oleh Stein, Folkman, Trabasso dan Richards

(Taylor, 2018) bahwa penilaian positif mengarah kepada penyesuaian yang lebih baik

setelah kematian.

Nolen-Hoeksema, McBride & Larson (Taylor, 2018) mengemukakan bahwa orang

dewasa yang berduka dan merenungkan kematian cenderung kurang mendapatkan

dukungan sosial yang baik, memiliki tingkat stres yang lebih tinggi, dan lebih

cenderung mengalami depresi. Sebaliknya,menurut Pai dan Carr (Taylor, 2018),

orang-orang dengan tipe kepribadian extravert lebih mampu dalam hal memperoleh

dukungan sosial sehingga dapat melewati masa berkabung dengan depresi yang lebih

sedikit

Aneshensel, Botticello, & Yamamoto Mitani, (Taylor, 2018) ; Stroebe & Stroebe

(Taylor, 2018) mengemukakan bahwa respons kesedihan lebih buruk pada pria,

pengasuh, dan pada mereka yang kehilangannya tiba-tiba dan tidak terduga. Meskipun

demikian, menurut Vahtera et al (Taylor, 2018) ada janda dan duda yang tangguh

dalam menanggapi kehilangan mereka, yaitu mereka yang memiliki pikiran bahwa

memang tidak ada harapan hidup bago pasangannya. Hal-hal yang juga sering menjadi

masalah setelah kematian adalah bagi wanita sering mengalami kesulitan keuangan

dan bagi pria mengalami tekanan manajemen rumah tangga.

Aiken dan Marx (Taylor, 2018) mengemukakan bahwa pengalaman berkabung

dapat menyebabkan perubahan yang merugikan dalam fungsi imunologis,


meningkatkan risiko penyakit dan bahkan kematian. Orang yang ditinggalkan juga

dapat melakukan perbuatan seperti penyalahgunaan alkohol dan narkoba. Oleh karena

itu, diperlukan konseling bagi orang yang berduka untuk mengurangi reaksi-reaksi

yang merugikan tersebut.

Taylor (2018) mengemukakan bahwa anak yang selamat dari penyakit tertentu

namun saudara kandungnya meninggal dapat menimbulkan komplikasi khusus. Hal ini

bisa disebabkan karena anak berharap pada suatu waktu supaya saudara kandungnya

meninggal. Ketika saudara kandungnya benar-benar meninggal, anak yang selamat

merasa bahwa dia yang menyebabkan saudaranya meninggal. Lindsay & McCarthy

(Taylor, 2018) mengemukakan bahwa alasan mengapa anak sering berharap supaya

saudara kandungnya meninggal bisa dipicu karena selama sakit, anak yang selamat

tersebut tidak mendapatkan banyak perhatian seperti saudaranya, sehingga setelah

saudaranya meninggal ada sedikit kegembiraan yang dirasakan karena tidak ada lagi

yang menjadi sumber kompetisi. Bluebond Langner (Taylor, 2018) mengemukakan

bahwa ada anak yang mengalami sedikit kegembiraan ketika mengetahui kematian

saudaranya karena seluruh mainan saudaranya dapat menjadi miliknya.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyebab kematian bervariasi sepanjang rentang kehidupan. Pada masa bayi

SIDS adalah penyebab terbesar kematian bagi bayi. Pada usia 1 hingga 15 tahun,

penyebab kematian bergeser kepada kecelakaan dan leukemia. Pada masa remaja

dan dewasa muda, kematian biasanya disebabkan oleh kecelakaan mobil,

pembunuhan, bunuh diri, kanker, dan AIDS. Pada usia dewasa, kanker dan

serangan jantung adalah penyebab kematian paling umum. Sedangkan pada usia

lanjut, kematian biasanya disebabkan oleh penyakit jantung, stroke, kanker, serta

kemunduran fisik.

Penyakit lanjut sering memunculkan masalah psikologis, seperti

ketidaknyamanan terhadap pengobatan dan keputusan apakah akan melanjutkan

pengobatan atau tidak. Penyakit yang terus berkelanjutan tersebut dapat

mengubah penampilan pasien, tingkat energi yang dimiliki dan kontrol terhadap

fisik. Pasien pada akhirnya juga dapat menarik diri dari keluarga dan teman

karena penyakitnya. Dengan demikian, masalah komunikasi dapat menjadi titik

fokus untuk intervensi.

Pada penyakit terminal, sebagian besar tanggung jawab untuk manajemen

psikologis bergantung kepada staf medis. Staf medis dapat memberikan

informasi, jaminan, dan dukungan emosional ketika orang lain tidak bisa. Selain
dukungan staf, pasien juga membutuhkan konseling psikologis karena banyak

individu yang membutuhkan kesempatan untuk mengembangkan perspektif

tentang kehidupan mereka. Terapi keluarga juga dapat diberikan untuk

menenangkan masalah keluarga dan untuk membantu pasien dan keluarga saling

mengucapkan selamat tinggal. Pada anak-anak yang mengalami penyakit parah

konseling juga perlu diberikan karena orang tua dan anaknya mungkin bingung

dan ketakutan akan penyakit dan cara menyampaikannya pada anak.

Saat ini, tersedia dua pilihan alternatif untuk pasien dengan penyakit terminal

yaitu hospice care dan home care. Kedua perawatan ini diharapkan memberikan

kenyamanan bagi pasien khususnya kemungkinan untuk menghadapi saat-saat

terakhir hidupnya.

B. Saran

Penyakit lanjut dan terminal menjadi isu kesehatan yang sering

diperbincangkan karena banyak menimbulkan isu-isu psikologis. Diperlukan

pendekatan psikologis seperti konseling untuk membantu pasien dan keluarga

dalam menghadapi penyakit tersebut. Perlu perhatian khusus bagi pasien-pasien

dengan penyakit ini agar mereka merasa tidak ditinggalkan. Pasien perlu

mendapatkan dukungan baik secara fisik maupun psikologis dari pihak rumah

sakit, keluarga, dan teman-temannya. Kematian pasien menimbulkan juga dapat

menimbulkan masalah psikologis bagi yang ditinggalkan. Diharapkan orang

terdekat dapat memberikan support agar orang yang ditinggalkan tidak berlarut-

larut dalam kesedihannya.


DAFTAR PUSTAKA

Taylor, S. E. (2018). Health psychology. USA: McGraw-Hill. Inc

Anda mungkin juga menyukai