Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat, hal ini ikut
mendorong perkembangan ilmu analisis. Terutama dalam hal metode analisis instrumental,
dimana metode modern dengan peralatan canggih dapat digunakan sebagai metode alternatif
pengganti metode konvensional. Dengan adanya kemajuan tersebut, suatu analisis yang
membutuhkan waktu lama dan kurang praktis serta efisien dapat diselesaikan dalam waktu relatif
singkat dengan hasil memuaskan serta menjamin keamanan penggunaannya. Pemilihan metode
merupakan masalah yang terpenting di dalam setiap analisis, karena metode yang akan dipilih itu
merupakan pencerminan dari beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: tujuan analisis,
macam bahan, jumlah bahan yang dianalisis, ketepatan dan ketelitian yang diinginkan, lamanya
waktu yang diperlukan untuk analisis, serta peralatan yang tersedia.

Untuk mengetahui apakah suatu sediaan memenuhi syarat atau tidak, diperlukan pemeriksaan
mutu dari sediaan tersebut, dan salah satu cara pemeriksaan mutu adalah dengan menetapkan
kadar sediaan tersebut secara analisis kuantitatif. Dalam menentukan jumlah (kadar) suatu
senyawa tertentu seringkali dapat dilakukan dengan berbagai macam metode. Dalam hal
demikian, tugas kimia analisis kuantitatif bukan sekedar melakukan penetapan kadar sesuai
dengan prosedur yang ada, tetapi lebih jauh harus dapat menentukan pilihan mana metode yang
paling baik dan sesuai. Dalam rangka pengembangan metode analisis serta pemilihan metode
yang sesuai, maka penelitian menyangkut penggunaan serta perbandingan metode-metode
tertentu untuk mengetahui perbedaan yang terdapat antara metode satu dengan lainnya masih
diperlukan. Metode analisis yang dipilih dituntut memberikan ketelitian, ketepatan, selektifitas
dan kecepatan tinggi. Kriteria utama yang perlu diperhatikan dalam suatu analisis adalah
ketepatan, ketelitian dan selektifitas.

B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui tentang studi kasus penetapan kadar Metampiron secara iodometri
2. Untuk mengetahui tentang studi kasus penetapan kadar Efinefrin secara Titrasi Bebas
Air

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. METAMPIRON

Antalgin merupakan salah satu turunan pirozolon yang bersifat analgetika yang mempunyai
kerja farmakologi utama analgetik, selain itu juga menunjukkan kerja antipiretik. Analgetik
adalah obat yang bersifat simtomatik, berarti analgetik hanya mengurangi atau menghilangkan
gejala yang berupa rasa sakit, tetapi tidak menghilangkan penyebab yang menimbulkan rasa sakit
itu. Obat ini bekerja mengurangi rasa sakit dengan cara menaikkan nilai ambang (treshold) rasa
sakit. Di Indonesia banyak masyarakat mengkonsumsi antalgin sebagai obat analgetik-
antipiretik. Peredaran obat ini di Indonesia tidak dibatasi seperti halnya di Amerika Serikat yang
telah membatasi atau melarang peredarannya disebabkan efek sampingnya yaitu agranulositosis
fatal dan trombositopenia yang ditimbulkannya. Berbagai cara dapat dilakukan untuk
menentukan kadar suatu obat tergantung dari struktur kimia dan sifat kimia-fisikanya. Metode
yang umumnya digunakan antara lain: titrimetri, kolorimetri, spektrofotometri, dan kromatografi.
Antalgin dapat ditentukan secara titrimetri (iodimetri) dan spektrofotometri. Metode titrimetri
diantaranya adalah titrasi iodimetri dan iodometri. Titrasi iodimetri merupakan titrasi langsung
dilakukan terhadap zat-zat yang potensial

1) Uraian Tentang Metampiron


Nama IUPAC : METHAMPYRONUM
Nama Lain : Metampiron, antalgin
Rumus Kimia : C13H16N3NaO4S. H2O
Bobot Molekul : 351,37
Pemerian : Serbuk hablur, putih atau putih kekuningan
Kelarutan : Larut dalam air, larut dalam HCl 0,02 N
Khasiat : Analgetik, antipiretik, untuk macam-macam rasa sakit, pada kolik dan sakit
setelah operasi
Dosis : Dewasa 3 g
Anak 6-12 tahun 2 g
Anak 6 tahun 1 g
Pemberian : Diberikan secara oral

2
Farmalogi : Pada fase ini, antalgin mengalami proses absorbs, distribusi, metabolism, dan
ekskresi yang berjalan secara stimuli langsung.

2) Metode iodometri

Titrasi iodometri adalah salah satu metode titrasi yang didasarkan pada reaksi oksidasi
reduksi metode ini lebih banyak digunakan dalam analisis jika dibandingkan dengan metode lain.
Alasan dipilihnya metode ini karena perbandingan stoikometri yang sederhana, pelaksanaanya
praktis, tidak banyak masalah dan mudah dilakukan. Iodometri merupakan cara titrasi redoks
yang menggunakan larutan iodida sebagai pentiter atau dengan kata lain metode ini merupakan
metode titrasi tak langsung yang berkenan dengan titrasi dari iod yang dibebaskan dalam reaksi
kimia.

 Prinsip iodometri

Pada titrasi iodometri, analitik yang digunakan adalah oksidator yang dapat bereaksi
dengan I- (iodida) untuk menghasilkan I2, I2 yang terbentuk secara kuantitatif dapat dititrasi
dengan larutan tiosulfat. Dari pengertian diatas maka titrasi iodometri dapat dikategori sebagai
titrasi kembali. Iodida adalah reduktor lemah dan dengan mudah akan teroksidasi jika
direaksikan dengan oksidator kuat. Iodide tidak dipakai sebagai titran, hal ini disebabkan karena
factor kecepatan reaksi dan kurangnya jenis indicator yang dapat dipakai untuk iodide. Oleh
sebab itu titrasi kembali merupakan proses titrasi yang sangat baik untuk titrasi yang melibatkan
iodide. Senyawa iodide umumnya KI ditambahkan secara lebih pada larutan oksidator sehingga
terbentuk I2. I2 yang terbentuk adalah ekuivalen dengan jumlah oksidator yang akan ditentukan
dengan menitrasi I2 dengan larutan standar tiosulfat (umumnya yang digunakan adalah Na2S2O3)
dengan indicator amilum. Jadi perubahan warnanya dari biru tua kompleks amilum-I2 sampai
warna ini tepat hilang.

Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri untuk penentuan iodat adalah sebagai berikut :

IO3- + 5I- + 6H+ 3I2 + H2O


I2 + 2 S2O32-  2I- + S4O62-

3
Jadi prinsip dasar dari titrasi iodometri adalah zat uji (oksidator) mula- mula direaksikan dengan
ion iodida berkebih. Kemudian iodium yang dihasilkan dititrasi dengan larutan tiosulfat.

Okidator + KI  I2 + 2e
I2 + Na2S2O3  2S4O6
3) Metode Penetapan Kadar Metampiron Titrasi Iodimetri (Farmakope IV, Hal. 538)
Timbang secara seksama lebih kurang 200 mg, larutkan dalam 5 mL air. Tambahkan 5
mL asam klorida 0,02 N dan segera titrasi dengan iodium 0,1 N menggunakan indikator
kanji, dengan sekali-kali dikocok hingga terjadi warna biru mantap selama 2 menit.
4) Studi Kasus

Metode Kerja
1. Pengolahan Samprel
Sampel diambil secara acak dari salah satu Apotik yang beredar di wilayah
Makassar, lalu ditimbang pertablet sebanyak 10 tablet lalu digerus sampai halus.
2. Pembuatan larutan baku
a. Pembuatan Iodium 0,1 N
Ditimbang iodium sebanyak 1,4 g dan KI sebanyak 3,6 g, dimasukkan ke
dalam gelas kimia, dilarutkan dengan aquadest 100 mL. Ditambahkan 3 tetes
HCl P dan dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 mL.
b. Pembuatan Kanji 0,5% b/v
Ditimbang kanji sebanyak 500 mg, lalu dilarutkan dengan aquadest sebanyak
100 mL dalam gelas kimia. Dipanaskan larutan tersebut dengan kompor listrik
sampai selama ± 3 menit.
3. Prosedur Kerja
Ditimbang seksama 200 mg zat dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer,
ditamabahkan 5 mL aquadest dan 5 mL asam klorida 0,01 n lalu dikocok hingga
larut dan homogen dititrasi dengan iodium 0,1 N menggunakan indikator kanji
dengan sesekali dikocok hingga terjadi warna biru mantap selama 2 menit.

Dari hasil percobaan penetapan kadar Metampiron dalam tablet, dapat diambil kesimpulan
bahwa volume titrasi rata-rata yaitu 20 ml dengan %k metampiron 175,68%, dimana kadar

4
masing-masing Erlenmeyer 1 sampai 3 adalah 181,83%, 172,171%, dan 173,05%, dimana kadar
tersebut tidak sesuai dengan syarat yang tertera pada FI Edisi III, yaitu tidak kurang dari 99 %
dan tidak lebih dari 101,0

A. EPINEFRIN

Epinefrin berasal dari asam amino tirosin. Dan bekerja pada 2 jenis resptor adrenergik, yaitu
reseptor α dan resptor β .

a. Reseptor α dapat di bedakan kembali menjadi reseptor α1 dan α2 :


- α 1 : terdapat pada otot polos (pembuluh darah, saluran kemih-kelamin dan usus)
- α2 : terdapat pada otak, otot polos pembuluh darah, sel β pankreas dan trombosit.
Dampak aktivasi pada reseptor α1 dan α2 :
- pada otot polos menimbulkan kontraksi , kecuali otot polos usus menimbulkan
relaksasi
- aktivasi reseptor α2 pascasinaps dalam otak mengakibatkan berkurangnya
perangsangan simpatis dari ssp.
- Pada sel β pankreas menyebakan penurunan sekresi insulin
- Pada trombosit menyebabkan agregasi
- Pada jantung menyebabkan peningkatan kontraksi jantung dan aritmia.

b. Reseptor β dibedakan lagi menjadi β1 , β2 , dan β3 :


- β 1 : terdapat pada jantung dan sel jukstaglomerulus
- β2 : terdapat pada otot polos (bronkus, pembuluh darah , saluran cerna, saluran kemih-
kelamin) , pada otot rangka dan hati
- β3 : untuk memperantarai ipolisis dalam jaringan lemak.

Epinefrin melalui pengaktifan eksklusif reseptor β2 menyebabkan vasodilatasi pembuluh


darah

1) sifat fisika kimia

epinefrin mengandung tidak kurang dari 98,5 % dan tidak lebih dari 101,0%
C9H13NO3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

5
Pemerian : serbuk hablur renik, putih atau putoh kuning gading.

Kelarutan : agark sukar larut dalam air; tidak larut dalam etanol (95%) dan dalam
eter P; mudah larut dalam larutan asam mineral, dalam natrium hidroksida p dan dalam
kalium hidroksida P, tetapi tidak larut dalam larutan amonia dan dalam alkali karbonat.
Tidak stabil dalam alkali atau netral, berubah menjadi merah jika kena udara.

2) Indikasi

Bronkospasme, asma bronkial, viral croup, reaksi anafilaksis, henti jantung,


mengurangi perdarahan superfisial (kelainan koagulasi darah), kongesti pada jaringan
mukosa, kontraksi uterine yang berlebihan, glaukoma, reaksi hipersensitivitas, syncope,
penggunaan bersama dengan anestesi lokal untuk mengurangi absorpsi ansetesi yang
diberikan melalui intraspinal dan anestesi lokal serta dapat memperpanjang lama kerja
obat
3) Strukut kimia

Adrenalin (Epinefrine) adalah sebuah hormon yang memicu reaksi terhadap


tekanan dan kecepatan gerak tubuh kita. Tidak hanya gerak Reaksi yang kita sering
rasakan adalah frekuensi detak jantung meningkat, keringat dingin dan keterkejutan,
memiliki semua khasiat adrenergik alpa dan beta dengan efek beta lebih kuat.

C 9 H 13 NO3

4) Farmakodinamik
a. kardiovaskular (pembuluh darah) : efek vaskuler epinefrin terutama pada arteriol
kecil dan sfingter prekapiler , tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi :
- epinefrin dalam dosis rendah menyebabkan vasodilatasi ( hipotensi)

6
- epinefrin dalam dosis tinggi menyebabkan vasokontriksi ( peningkatan
tekanan darah)
b. arteri koroner :
- terjadi peningkatan aliran darah koroner
- peningkatan tekanan darah aorta
c. jantung :
- aktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan konduksi
- memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi
- curah jantung meningkat , namun pemakaian oksigen dan kerja jantung ikut
meningkat sehingga kurang efektif
d. otot polos
- saluran cerna : melalui reseptor α dan β , epinefrin menimbulkan relaksasi otot
polos saluran cerna
- uterus : bekerja pada reseptor α1 dan α2 . selama kehamilan bulan terakhir dan
diwaktu partus epinefin menghambat tonus dan kontraksi uterus melalui
reseptor β2.
- Pernafasan : bronkodilatasi , menghambat pelepasan mediator inflamasi dari
sel mast mlalui reseptor β2 , menghambat sekresi bronkus dan kongesti
mukosa melalui reseptor α1
e. Susunan saraf pusat
Epinefrin dapat menimbulkan kegelisahan , rasa kuatir , nyeri kepala, dan tremor
f. Proses metabolik
- Menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan otot rangka melalui reseptor β2
- Penghambatan sekresi insulin
- Peningkatan lipolisis
5) Farmakokinetik
a. Absorbsi
- Pada pemberian oral, epinefrin tidak mencapai dosis terapi karena dirusak oleh
enzim COMT dan MAO yang terdapat pada dinding usus dan hati
- Pada penyuntikan subkutan , absorbsi lambat karena terjadi vasokontriksi lokal
- IM : absorbsi cepat

7
- Inhalasi : efek terutama pada saluran nafas
b. Biotransformasi dan ekskresi
- Epinefrin stabil pada pembuluh darah
- Degradasi terutama terjadi di hati , karena terdapat banyak enzim COMT dan
MAO
- Metabolit epinefrin dikeluarkan melalui urine.
6) Mekanisme kerja Epinefrine

Suatu organ efektor dapat memiliki lebih dari satu reseptor adrenergik. Misal otot
polos pembuluh darah otot rangka memiliki reseptor β2 dan reseptor α . epinefrin bekerja
pada kedua reseptor dengan afinitas lebih tinggi terhadap reseptor β , sehingga pada
kadar normal epinefrin akan menyebabkan vasodilatasi , sedangkan pada kadar tinggi
epinefrin akan menyebabkan vasokontriksi karena berikatan dengan reseptor α yang
jumlahnya lebih banyak.

7) Metode Titrasi Bebas Air


Titrasi bebas air adalah suatu titrasi yang tidak menggunakan air sebagai pelarut, tetapi
menggunakan pelarut organik . seperti yang telah diketahui asam dan basa yang bersifat
lemah seperti halnya asam-asam organik atau alkaloid-alkaloid, cara titrasi dalam
lingkungan berair tidak dapat dilakukan, karena disamping sukar larut dalam air juga
kurang reaktif dalam air, seperti misalnya garam-garam amina, dimana garam-garam ini
dirombak lebih dahulu menjadi bebas yang larut dalam air.
Prinsip TBA Titrasi bebas air adalah titrasi yang menggunakan pelarut organik sebagai
pengganti air untuk mempertajam titik akhir titrasi asam/basa lemah.
8) Penetapan kadar epinefrin secara TBA (FI ed III 823)
Cara I : untuk basa dan garamnya kecuali dinyatakan lain,larutan sejumlah zat seperti
yang tertera pada massing-masing monografi dalam sejumlah volume asam asetat glacial
P yang sebelumnya telah dinetralkan dengan asam perklorat 0,1 M menggunakan
indicator Kristal violet P, bila perlu dihangatkan kemudian didinginkan. Jika at uji berupa
garam halogenida, tambahakan 10 ml larutan raksa (II) asetat P.
Titrasi dengan asam perklorat 0,1 N hingga perubahan warna indicator sampai sesuai
dengan harga maksimum df /dv jika titrasi dilakukan secara potensiomterik,E adalah dava

8
elektro motif dalam Mv dan V adalah volume dalam ml. Jika digunakan indicator
lain,indicator tersebut harus pula digunakan untuk menetralkan asam asetat lasial
P,larutan raksa (II) asetet P dan untuk pembakuan asam klorat titik akhir ditetapkan
secara potensiometrik dapat digunakan elektrokde kaca sebagai electrode indicator dan
electrode kalomer sebagai electrode pembanding. Hasil akan lebih baik jika larutan jenuh
kalium klorida pada electrode kalomel digantikan dengan larutan ditimium perklorat P
1% b/v dalam asam asetat lasial P
Cara II Untuk Asam lakukan titrasi menggunakan sejumlah zat uji, pelarut, titran dan
indicator sperti tertera pada masing-masing monografi. Netralkan pelarut terhadap
indicator menggunakan titran yang akan digunakan titrasi. Selama penetapan larutan
harus terlindung terhadap karbondioksida dengan mengalirkan nitrogen di atas larutan.
Larutan zat jika perlu di hangatkan.
Litrasi hingga perubahan warna indicator sesuai dengan harga maksimun dE/dV jika
titrasi dilakukan secara potensiometrik, E adalah daya elektromotif dalam mV dan V
adalah volume titra dalam ml. jika titik akhir titrasi ditetapkan secara potensiometrik,
dapat digunakan elektrode kaca sabagai electrode indicator dan electrode kalomel sebagai
electrode pembanding. Hasil akan lebih baik jika larutan jenuh kalium klorida pada
electrode kalomel diganti dengan larutan jenuh kalium klorida P adalam methanol P.

9
BAB III

PENUTUP

1. Untuk mengetahui apakah suatu sediaan memenuhi syarat atau tidak, diperlukan
pemeriksaan mutu dari sediaan tersebut, dan salah satu cara pemeriksaan mutu adalah
dengan menetapkan kadar sediaan tersebut secara analisis kuantitatif.

2. Titrasi iodometri adalah salah satu metode titrasi yang didasarkan pada reaksi oksidasi
reduksi metode ini lebih banyak digunakan dalam analisis jika dibandingkan dengan
metode lain. Alasan dipilihnya metode ini karena perbandingan stoikometri yang
sederhana, pelaksanaanya praktis, tidak banyak masalah dan mudah dilakukan. Iodometri
merupakan cara titrasi redoks yang menggunakan larutan iodida sebagai pentiter atau
dengan kata lain metode ini merupakan metode titrasi tak langsung yang berkenan
dengan titrasi dari iod yang dibebaskan dalam reaksi kimia.

3. Titrasi bebas air adalah suatu titrasi yang tidak menggunakan air sebagai pelarut, tetapi
menggunakan pelarut organik . seperti yang telah diketahui asam dan basa yang bersifat
lemah seperti halnya asam-asam organik atau alkaloid-alkaloid, cara titrasi dalam
lingkungan berair tidak dapat dilakukan, karena disamping sukar larut dalam air juga
kurang reaktif dalam air, seperti misalnya garam-garam amina, dimana garam-garam ini
dirombak lebih dahulu menjadi bebas yang larut dalam air.

10
DAFTAR ISI

1. Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Depkes RI, Jakarta


2. Anonim. 1979. Farmakope Indonesia III. Jakarta: Depkes RI.
3. Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman, 2010, Kimia Farmasi Analisis,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
4. Jerome, I. et al., 1961, Pharmaceutical Analysis, Interscience Publishers, USA
5. Mursyidi, Ahmad Dr., Rohman, Abdul. 2008. Volumetri dan Gravimetri. Yogyakarta:
UGM Press.
6. Underwood., Day. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.

11

Anda mungkin juga menyukai