Anda di halaman 1dari 12

MARHAENISME

AKU baru berumur 20 tahun ketika suatu ilham politik yang kuat menerangi pikiranku.
Mula‐mula ia hanya berupa kuncup dari suatu pemikiran yang mengorek‐ngorek otakku, akan
tetapi tidak lama
kemudian ia menjadi landasan tempat pergerakan kami berdiri. Di kepulauan kami terdapat
pekerjapekerja yang bahkan lebih miskin daripada tikus gereja dan dalam segi keuangan terlalu
menyendihkan untuk bisa bangkit di bidang sosial, politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian
masing‐masing menjadimajikan sendiri. Mereka tidak terikat kepada siapapun. Dia menjadi
kusir gerobak kudanya, dia menjadi pemilik dari kuda dan gerobak itu dan dia tidak
mempekerjakan buruh lain. Dan terdapatlah nelayannelayan yang bekerja sendiri dengan
alat‐alat —seperti tongkat kail, kailnya dan perahu— kepunyaan sendiri. Dan begitupun para
petani yang menjadi pemilik tunggal dari sawahnya dan pemakai tunggal dari hasilnya.
Orang‐orang semacam ini meliputi bagian terbanyak dari rakyat kami. Semua menjadi pemilik
dari alat produksi mereka sendiri, jadi mereka bukanlah rakyat proletar. Mereka punya sifat
yhas
tersendiri. Mereka tidak termasuk dalam salah satu bentuk penggolongan. Kalau begitu, apakah
mereka ini sesungguhnya? Itulah yang menjadi renunganku berhari‐hari, bermalam‐malam dan
berbulan‐bulan.
Apakah sesungguhnya saudaraku bangsa Indonesia itu? Apakah namanya para pekerja yang
demikian, yang oleh ahli ekonomi disebut dengan istilah "Penderita Minimum"? Di suatu pagi
yang indah aku bangun dengan keinginan untuk tidak mengikuti kuliah, ini bukan tidak sering
terjadi. Otakku sudah terlalu penuh dengan soal‐soal politik, sehingga tidak mungkin
memusatkan perhatian pada studi.
Sementara mendayung sepeda tanpa tujuan —sambil berpikir— aku sampai di bagian selatan
kota Bandung, suatu daerah pertanian yang padat dimana orang dapat menyaksikan para
petani mengerjakan sawahnya yang kecil, yang masing‐masing luasnya kurang dari sepertiga
hektar. Oleh karena beberapa hal perhatianku tertuju pada seorang petani yang sedang
mencangkul tanah miliknya. Dia seorang diri. Pakaiannya sudah lusuh. Gambaran yang khas ini
kupandang sebagai perlambang daripada rakyatku. Aku berdiri disana sejenak
memperhatikannya dengan diam. Karena orang Indonesia adalah bangsa yang
ramah, maka aku mendekatinya. Aku bertanya dalam bahasa Sunda, "Siapa yang punya semua
yang engkau kerjakan sekarang ini?".
Dia berkata kepadaku, "Saya, juragan."
Aku bertanya lagi, "Apakah engkau memiliki tanah ini bersama‐sama dengan orang lain?".
"0, tidak, gan. Saya sendiri yang punya."
"Tanah ini kaubeli?".
"Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun."
Ketika ia terus menggali, akupun mulai menggali ..... aku menggali secara mental. Pikiranku
mulai bekerja. Aku memikirkan teoriku. Dan semakin keras aku berpikir, tanyaku semakin
bertubi‐tubi pula.
"Bagairnana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apa kah kepunyaanmu juga?"
"Ya, gan."
"Dan cangkul?"
"Ya, gan."
"Bajak?"
"Saya punya, gan."
"Untuk siapa hasil yang kaukerjakan?"
"Untuk saya, gan."
"Apakah cukup untuk kebutuhanmu?"
Ia mengangkat bahu sebagai membela diri. "Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup
untuk seorang
isteri dan empat orang anak?"
"Apakah ada yang dijual dari hasilmu?" tanyaku.
"Hasilnya sekedar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual."
"Kau mempekerjakan orang lain?"
"Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya."
"Apakah engkau pernah memburuh?"
"Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya."
Aku menunjuk ke sebuah pondok kecil, "Siapa yang punya rumah itu?"
"Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri."
"Jadi kalau begitu," kataku sambil menyaring pikiranku sendiri ketika kami berbicara, "Semua ini
engkau
punya?"
"Ya, gan."
Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanjy. "Marhaen." Marhaen
adalah
nama yang biasa seperti Smith dan Jones. Disaat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan
memakai
nama itu untuk rnenamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu! Semenjak itu
kunamakan
rakyatku rakyat Marhaen. Selanjutnya di hari itu aku mendayung sepeda berkeliling mengolah
pengertianku yang baru. Aku memperlancarnya. Aku mempersiapkan kata‐kataku dengan
hati‐hati. Dan
malamnya aku memberikan indoktrinasi mengenai hal itu kepada kumpulan pemudaku.
"Petani‐petani
kita mengusahakan bidang tanah yang sangat kecil sekali.
Mereka adalah korban dari sistim feodal, dimana pada mulanya petani pertama diperas oleh
bangsawan
yang pertama dan seterusnya sampai ke anak cucunya selama berabad‐abad. Rakyat yang
bukan
petanipun menjadi korban daripada imperialisme perdagangan Belanda, karena nenek
mojangnya telah
dipaksa untuk hanya bergerak di bidang usaha yang kecil sekedar bisa memperpanjang
hidupnya. Rakyat
yang menjadi korban ini, yang meliputi hampir seluruh penduduk Indonesia, adalah Marhaen."
Aku
menunjuk seorang tukang gerobak, "Engkau ... engkau yang di sana. Apakah engkau bekerja di
pabrik
untuk orang lain?", Tidak," katanya. "Kalau begitu engkau adalah Marhaen." Aku menggerakkan
tangan
ke arah seorang tukang sate. "Engkau ... engkau tidak punya pembantu, tidak punya majikan
engkau juga
seorang Marhaen.
Seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai alat‐alat yang sedikit, orang kecil dengan milik
kecil,
dengan alat‐alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang puluhan juta jiwa,
yang
sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia.
Tidak ada
penghisapan tenaga seseorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia
dalam
praktek." Perkataan "Marhaenisme" adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian
nasional kami.
Begitupun nama tanah air kami harus menjadi lambang. Perkataan "Indonesia" berasal dari
seorang ahli
purbakala bangsa Jerman bernama Jordan, yang beladar di negeri Belanda. Studi khususnya
mengenai
Rantaian Kepulauan kami. Karena kepulauan ini secara geografis berdekatan dengan India, ia
namakanlah
"Kepulauan dari India". Nesos adalah bahasa Yunani untuk perkataan pulau‐pulau, sehingga
menjadi
Indusnesos yang akhirnya menjadi Indonesia.
Ketika kami merasakan perlunya untuk menggabungkan pulau‐pulau kami rnenjadi satu
kesatuan yang
besar, kami berpegang teguh pada nama ini dan mengisinya dengan pengertian‐pengertian
politik hingga
iapun menjadi pembirnbing dari kepribadian nasional. Ini terjadi ditahun 1922‐1923. Dalam
tahun‐tahun
inilah, ketika kami sebagai bangsa yang dihinakan diperlakukan seperti sampah di atas bumi
oleh orang
yang menaklukkan kami. Karni tidak dibolehkan apa‐apa. Ditindas dibawah tumit pada setiap
kali, bahkan
kami dilarang mengucapkan perkataan "lndonesia". Telah terjadi sekali ditengah berapi‐apinya
pidatoku,
kata "lndonesia" melompat dari mulutku.
"Stop .... stop ..... "perintah polisi. Mereka meniup peluitnya. Mereka memukulkan tongkatnya.
"Dilarang
sama sekali mengucapkan perkataan itu ...... hentikan pertemuan." Dan pertemuan itu dengan
segera
dihentikan. Di Surabaya aku tak ubah seperti seekor burung yang mencari‐cari tempat untuk
bersarang.
Akan tetapi di Bandung aku sudah menjadi dewasa. Bentuk fisikku berkembang dengan
sewajarnya.
Bintang matinee Amerika yang menjadi idaman di jaman itu adalah Norman Kerry dan, supaya
kelihatan
lebih tua dan lebih ganteng, aku memelihara kumis seperti Kerry. Tapi sayang, kumisku tidak
melengkung
ke atas pada ujung‐ujungnya seperti kumis bintang itu. Dan isteriku menyatakan, bahwa Charlie
Chaplinlah yang berhasil kutiru. Akhirnya usahaku satu‐satunya untuk meniru seseorang
berakhir dengan
kegagalan yang menyedihkan dan semua pikiran itu kemudian kulepaskan segera dari ingatan.
Di tahun
1922 aku untuk pertama kali mendapat kesukaran. Ketika itu diadakan rapat besar di suatu
lapangan
terbuka di kota Bandung. Seluruh lapangan menghitam oleh manusia. Ini adalah rapat Radicale
Concentratie, suatu rapat raksasa yang diorganisir oleh seluruh organisasi kebangsaan sehingga
wakilwakil
dari setiap partai yang ada dapat berkumpul bersama untuk satu tujuan, yaitu memprotes
berbagai
persoalan sekaligus. Setiap pemimpin berpidato. Dan aku, aku baru seorang pemuda. Hanya
mendengarkan. Akan tetapi tiba‐tiba terasa olehku suatu dorongan yang keras untuk
mengucapkan
sesuatu. Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Mereka semua membicarakan omong
kosong.
Seperti biasa mereka meminta‐minta. Mereka tidak menuntut. Naiklah tangan yang berapi‐api
dari
Sukarno, mercusuar dari Perkumpulan Pemuda, untuk minta izin ketua agar diberi kesempatan
berpidato
dihadapan rapat. "Saya ingin berbicara," aku berteriak. "Silakan," ketua berteriak kembali.
Disana ada
P.I.D., Polisi Rahasia Belanda, yang bersebar di segala penjuru Tepat di mukaku berdiri seorang
polisi
bermuka merah mengancam dan berbadan besar. Ini adalah alat yang berkuasa yaitu kulit
putih. Hanya
dia sendiri yang dapat menyetopku. Dia seorang dirinya, dapat membubarkan rapat. Dia
seorang dirinya,
dengan kekuasaan yang ada padanya dapat mencerai‐beraikan pertemuan kami dan
menjebloskanku ke
dalam tahanan. Akan tetapi aku masih muda, tidak mau peduli dan penuh semangat. Jadi
naiklah aku ke
mimbar dan mulai berteriak, "Mengapa sebuah gunung seperti gunung Kelud meledak? Ia
meledak oleh
karena lobang kepundannya tersumbat Ia meledak oleh karena tidak ada jalan bagi
kekuatan‐kekuatan
yang terpendam untuk membebaskan dirinya. Kekuatan‐kekuatan yang terpendam itu
bertumpuk sedikit
demi sedikit dan ..... DORRR. Keseluruhan itu meletus. "Kejadian ini tidak ada bedanya dengan
Gerakan
Kebangsaan kita Kalau Belanda tetap menutup mulut kita dan kita tidak diperbolehkan untuk
mencari
jalan keluar bagi perasaan‐perasaan kita yang sudah penuh, maka saudara‐saudara,
nyonya‐nyonya dan
tuan‐tuan, suatu saat akan terjadi pula ledakan dengan kita. "Dan rnanakala perasaan kita
meletus, Den
Haag akan terbang ke udara. Dengan ini saya menantang Pemerintah Kolanial yang
membendung
perasaan kita.
Dari sudut mataku aku melihat Komisaris Polisi itu menuju ke depan untuk mencegahku terus
berbicara,
akan tetapi aku begitu bersemangat dan menggeledek terus. "Apa gunanya kita puluhan ribu
banyaknya
berkumpul disini jikalau yang kita kerjakan hanya menghasilkan petisi? Mengapa kita selalu
merendah diri
memohon kepada 'Pemerintah' untuk meminta kebaikan hatinya supaya mendirikan sebuah
sekolah
untuk kita? Bukankah itu suatu Politik Berlutut? Bukankah itu suatu politik memohon dengan
mendatangi
Yang Dipertuan Gubernur Djendral Hindia Belanda, yang dengan rnemakai dasi hitam menerima
delegasi
yang membungkuk‐bungkuk dan menunjukkan penghargaan kepadanya dan menyerahkan
kepada
pertimbangannya suatu petisi? Dan merendah diri memohon pengurangan pajak? Kita
merendah diri ...
memohon, merendah diri, memohon ..... Inilah kata‐kata yang selalu dipakai oleh
pemimpin‐pemimpin
kita.
"Sampai sekarang kita tidak pernah menjadi penyerang. Gerakan kita bukan gerakan yang
mendesak,
akan tetapi gerakan kita adalah gerakan yang meminta‐minta. Tak satupun yang pernah
diberikannya
karena kasihan. Marilah kita sekarang menjalankan politik percaya pada diri sendiri dengan
tidak
mengemis‐ngemis. Hayo kita berhenti mengemis. Sebaliknya, hayo kita berteriak, "Tuan
Imperialis, inilah
yang kami TUNTUT ! "Kemudian, polisi‐polisi yang maha kuasa dan maha kuat ini, yang punya
kekuasaan
untuk menghentikan rapat ini, bertindak. Mereka menyetop rapat dan menyetopku. Heyne,
Kepala Polisi
Kota Bandung, sangat marah. Sambil menyiku kanan‐kiri melalui rakyat yang berdiri
berjejal‐jejal, ia
melompat ke atas mimbar, menarikku ke bawah dan mengumumkan, "Tuan Ketua, sekarang
saya
menyetop seluruh pertemuan. Habis. Tamat. Selesai. Tuan‐tuan semua dibubarkan. Sernua
pulang
sekarang. KELUAR !". Begitu pertama kali Sukarno membuka mulutnya, ia segera harus
berhubungan
dengan hukum. Dengan cepat aku mendadi buah tutur orang dan setiap orang mengetahui
nama
Sukarno. Aku memperoleh inti pengikut yang kuat. Akan tetapi, sayang, akupun
mengembangkan
pengikut yang banyak diantara polisi Belanda. Kemanapun aku pergi mereka ikuti.
Maka menjalarlah dari mulut ke mulut: "Di Sekolah Teknik Tinggi ada seorang pengacau. Awasi
dia."
Dengan satu pidato si Karno —yang pendiam, yang suka menarik diri dan dicintai membuat
musuh‐musuh
jadi geger dan selama 20 tahun kemudian aku tak pernah dicoret dari daftar hitam mereka.

(end of story)
So what is your view about that story?
- Materi apa yang akan dibahas berdasarkan cerita tadi?
- Mengapa materi itu yang akan dibahas? Alasan.

1. Menanyakan pada peserta bagaimana sejarah singkat marhaenisme di Indonesia.


2. Ceramah sejarah kapitalisme dan imperialisme di Indonesia
a. Era penjajahan Portugis
b. Era penjajahan Spanyol
c. Era penjajahan Inggris
d. Era penjajahan Belanda
- Politik devide et impera
- Sistem tanam / paksa cultuur stelsel
- Kerja paksa / rodi
- Sistem pendidikan kapitalisme dan imperialisme yang dibawa Belanda
e. Era penjajahan Jepang
- Gerakan 3A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia)
- BPUPKI dan PPKI secara singkat
f. Perbedaan imperialisme dan kapitalisme
g. Sistem feodal Indonesia
3. Mengapa imperialisme dan kapitaslisme tertarik dengan Indonesia?
a. Potensi kekayaan alam Indonesia.
- Rempah-rempah melimpah dan laku di pasar eropa
- Rare resources (bahan mentah yang hanya ada di Indonesia)
b. Latar belakang pendidikan rakyat rendah.
- Peradaban tertinggal
- Kesadaran membaca atau melakukan studi / penelitian sampai saat ini rendah.
- Nation Character Building
c. Potensi tenaga manusia melimpah dan murah meriah.
4. Definisi marhaenisme.
5. Bagaimana dan mengapa tercetus konsep marhaenisme?
6. Apakah marhaenisme cocok di Indonesia? Mengapa?
a. Nilai kekeluargaan masyarakat Indonesia.
b. Marhaenisme adalah kasih.
c. Marhaenisme adalah pengkrucutan dari Pancasila yang terkandung dalam tiga asas
marhaenisme (trisila)
- Sosio nasionalisme
- Sosio demokrasi
- Ketuhanan Yang Maha Esa
d. Marhaenisme sebagai anti tesa kapitalisme dan imperialisme di Indonesia.
Teori sebab akibat (secara singkat)
- Nilai berbagi dengan sesama
- Kapitalisme bentuk penindasan terhadap rakyat kecil demi kenikmatan duniawi
si pemilik modal.
- Bentuk aplikasi marhaenisme sebagai anti tesa kapitalisme dan imperialisme
dalam kehidupan sehari-hari.
e. Tiga asas Marhaenisme (trisila)
- Sosio nasionalisme
- Sosio demokrasi
- Ketuhanan Yang Maha Esa
7. Marhaenisme sebagai asas perjuangan
- Match adforming dan match adwending
- Non kooperatif dan progresif revolusioner
- Masa aksi dan aksi masa
- Self help dan self relliance
8. Apakah dengan lahirnya konsep marhaenisme, sistem kapitalisme dan imperialisme di
Indonesia sudah mati? Atau mati suri? Atau tidak mati sama sekali? Mengapa?
- Runtuhnya Uni Sovyet membuat dominasi barat kuat di dunia dan penyebaran
kapitalisme dan imperialisme makin merajalela.
- Adanya TNC (Trans National Corporation) dan MNC (Multinational Corporation)
sebagai ‘calon’ subyek hukum internasional yang baru.
- Realita yurisdiksi negara makin tunduk pada ketentuan internasional. Dimana
nasionalisme?
- Kaitan nasionalisme dengan marhaenisme Indonesia.
- Mengapa ber-GMNI dengan marhaenisme sebagai ideologi organisasi?

Tugas bagi calon kader GMNI


1. Tuliskan secara singkat mengenai pemahamanmu tentang marhaenisme dan aplikasi
nya sebagai anti tesa kapitalisme! (kerjakan selama 15 menit).
2. Buat tulisan mengenai “marhaenisme dalam gejolak peradaban dunia saat ini
(globalisasi)” ! (setelah KTD/tugas pra KTD) (minimal 2 halaman folio).

Anda mungkin juga menyukai