Anda di halaman 1dari 21

FILSAFAT ILMU DAN DASAR-DASAR LOGIKA

PROBLEMATIKA FILSAFAT

Disusun Oleh:
Nama : Fauzy Ahmad Nafis Azizi
NIM : 185120500111008
Kelas : A-1

Dosen Pengampu :
Dr. Sholih Mu’adi, SH., M.Si.

JURUSAN ILMU POLITIK FAKULTAS


ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2018

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
2.1 Definisi Filsafat ............................................................................................. 3
2.2 Objek Filsafat ................................................................................................ 5
2.3 Metode Penelitian Filsafat............................................................................. 6
2.4 Filsafat Ilmu .................................................................................................. 6
2.5 Filsafat Pendidikan........................................................................................ 9
2.6 Hubungan Filsafat Ilmu dan Pendidikan ..................................................... 14
2.7 Problematika Filsafat Pendidikan ............................................................... 15
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 18
3.1 Kesimpulan ................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 19

i
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan zaman berlangsung begitu cepat. Masyarakat berjalan
secara dinamis mengiringi perkembangan zaman tersebut. Seiring dengan hal itu,
filsafat sebagai suatu kajian ilmu juga berkembang dan melahirkan tiga dimensi
utama sekaligus sebagai obyek kajiannya. Ketiga dimensi utama filsafat ilmu ini
adalah ontologi (apa yang menjadi obyek suatu ilmu), epistemologi (cara
mendapatkan ilmu), dan aksiologi (untuk apa ilmu tersebut). Ontologi merupakan
hakikat yang ada, yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai
kenyataan dan kebenaran. Epistemologi adalah sarana, sumber, tata cara untuk
menggunakannya dengan langkah-langkah progresinya menuju pengetahuan
(ilmiah). Adapun aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolok ukur kebenaran
(ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normatif dalam penelitian dan penggalian,
serta penerapan ilmu. Adapun ruang lingkup filsafat ilmu meliputi:
Ø komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu;
Ø sifat dasar ilmu pengetahuan;
Ø metode ilmiah;
Ø anggapan-anggapan ilmiah;
Ø sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Filsafat bertugas memberi landasan filosofik untuk memahami berbagai
konsep dan teori suatu disiplin ilmiah.Secara substantif fungsi pengembangan
tersebut memperoleh pembekalan dari disiplin ilmu masing- masing, agar dapat
menampilkan teori substantif. Selanjutnya, secara teknis diharapkan dengan
dibantu metodologi, pengembangan ilmu dapat mengopera- sionalkan
pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing- masing.
Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua macam objek , yaitu objek
material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran
penyelidikan,seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu
kedokteran.Filsafat sebagai proses berpikir yang sistematis dan radil juga
memiliki objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala
yang ada. Segala yang ada mencakup ada yang tampak dan ada yang tidak

1
tampak.
Objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam
empiris,yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan adapun, objek
formal,dan rasional adalah sudut pandang yang menyeluruh,radikal,dan rasional
tentang segala yang ada.setelah berjalan beberapa lama kajian yang terkait dengan
hal yang empiris semakain bercabang dan berkembang, sehingga menimbulkan
spesialisasi dan menampakkan kegunaan yang peraktis.inilah peruses
terbentuknya ilmu secara bersenambungan .Will Durant mengibaratkan filsafat
bagaikan pasukan mariner yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan
infanteri. Karena itu, filsafat oleh para filosofi disebut sebagai induk ilmu.
Sebab,dari filsafat lah, ilmu-ilmu moderen dan konten pontemporer berkembang,
sehingga manusia dapat menikmati ilmu dan sekaligus buahnya,yaitu teknologi.
Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan,tetapi sudah
menjadi sektoral. Contohnya, filsafat agama, filsafat hokum, dan filsafat ilmu
adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan
terkotak dalam satu bidang tertentu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi filsafat?
2. Apa objek filsafat?
3. Bagaimana metode penelitian filsafat?
4. Apa definisi filsafat ilmu?
5. Apa definisi filsafat pendidikan?
6. Bagaimana hubungan filsafat ilmu dan pendidikan?
7. Bagaimana problematika filsafat pendidikan?

1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui terkait hubungan filsafat ilmu
dan pendidikan. Serta problematikan filsafat pendidikan.

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi Filsafat


Filsafat merupakan suatu pandangan hidup bagi seseorang yang
merupakan konsep dasar mengenai tujuan hidup. Menurut Praja (2003), kata
filsafat diambil dari bahasa Arab, Falsafah-berasal dari bahasa Yunani,
Philosophia, kata majemuk yang terdiri dari kata Philos yang artinya cinta atau
suka dan kata shopia yang artinya bijaksana. Dengan demikian, secara etimologis
kata filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan. Orangnya disebut
Philosopher atau Failasuf.Secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang
bermacam-macam, sebanyak orang yang memberikan pengertian atau batasan.
Berikut ini dikemukakan beberapa definisi tersebut.
1. Plato (427 SM – 347 SM) : Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang
ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.
2. Aristoteles (381 SM – 322 SM) : Filsafat adalah ilmu yang meliputi
kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu; metafisika, logika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika.
3. Marcus Tullius Cicero (106 SM – 43 SM) : Merumuskan filsafat sebagai
pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk
mencapainya.
4. Al-Farabi (Wafat 950 M) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam
maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
5. Immanuel Kant (1724 M – 1804 M) : Filsafat merupakan ilmu pokok dari
segala pengetahuan yang meliputi empat persoalan, yaitu :
a. Apakah yang dapat kita ketahui ? Pertanyaan ini dijawab oleh metafisika.
b. Apakah yang boleh kita kerjakan ? Pertanyaan ini dijawab oleh etika.
c. Sampai dimanakah pengharapan kita ? Pertanyaan ini dijawab oleh agama.
d. Apakah manusia itu ? Pertanyaan ini dijawab oleh antropologi.
Secara terminologi, menurut Surajiyo (2010), filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan
menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan
gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari sesuatu

3
fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan “sesuatu” adalah
“sesuatu” itu adanya. Filsafat mengkaji sesuatu yang ada dan yang mungkin ada
secara mendalam dan menyeluruh. Jadi filsafat merupakan induk segala ilmu.
Menurut istilah, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mengkaji
tentang masalah-masalah yang muncul dan berkenaan dengan segala sesuatu, baik
yang sifatnya materi maupun immateri secara sungguh-sungguh guna menemukan
hakikat sesuatu yang sebenarnya, mencari prinsip-prinsip kebenaran, serta
berpikir secara rasional-logis, mendalam dan bebas, sehingga dapat dimanfaatkan
untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan manusia.
Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang
pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497
S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya
dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya
“philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah
dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis
sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia
merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau
kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah
suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-
unsurnya dan kaidah-kaidahnya.
Menurutsejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang
ditauladankan oleh Socrates, yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang
mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan
pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus
menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran.
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada
tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam.
Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks,
maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan.
Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya
ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah
kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan

4
untuk menjawabnya.Filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan
radikal atas masalah tersebut.Sementara ilmu terus mengembangakan dirinya
dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal. Proses atau
interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh
karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang
pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah
pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas
alam secara dangkal.

2.2 Objek Filsafat


Menurut Praja (2003), objek penyelidikan filsafat adalah segala yang ada
dan yang mungkin ada, tidak terbatas. Inilah yang disebut objek material filsafat.
Inilah yang disebut objek material filsafat. Objek filsafat yang dimaksud adalah
objek materialnya, sebab ilmu pengetahuanpun mempunyai objek material yang
sama dengan filsafat, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Ilmu
pengetahuan bebas dan tidak terikat untuk menentukan objek penyelidikannya,
dan sampai saat ini, belum ada pembatasan dalam objek ilmu pengetahuan (objek
material). Oleh karena itu, kalau dilihat dari objek materialnya, baik filsafat
maupun ilmu pengetahuan, memiliki objek yang sama.
Objek penyelidikan ilmu pengetahuan hanya terbatas pada sesuatu yang
bisa diselidiki secara ilmiah saja, dan jika sudah tidak dapat diselidiki lagi maka
ilmu pengetahuan akan terhenti sampai di situ. Tetapi penyelidikan filsafat
tidaklah demikian, filsafat alan terus bekerja hingga permasalahannya dapat
ditemukan ke akar-akarnya. Bahkan filsafat baru menampakan hasil kerjanya
manakala ilmu pengetahuannya sudah terhenti penyelidikannya, yakni ketika ilmu
tidak mampu memberi jawaban atas masalah. Inilah suatu ciri khas sifat
penyelidikan filsafat, yang tidak dimiliki oleh ilmu pengetahuan.
Karena bebasnya objek yang diselidiki oleh filsafat, maka sifat dari hasil
penyelidikannya pun akan berbeda dari hasil yang diperoleh ilmu pengetahuan.
Seorang filsuf berpikir dan merenung untuk menemukan peroalan yang memenuhi
benaknya. Ia berpikir sedalam-dalamnya, sampai ke akar-akarnya untuk mencari
hakikat sesuatu. Hasil penyelidikan filsafat sifatnya masih berupa dugaan

5
(spekulatif) dan subjektif, sedangkan hasil penyelidikan ilmu pengetahuan,
sifatnya objektif dan pasti. Maka hasil penyelidikan filsafat memiliki sifat
menyeluruh, mendasar, dan spekulatif.

2.3 Metode Penelitian Filsafat


Menurut Sudarto (2002), metode penelitian filsafat merupakan suatu cara
atau jalan yang ditempuh dalam suatu proses tindakan atau rangkaian langkah-
langkah yang dilakukan secara terencana, sistematis untuk memperoleh
pemecahan permasalahan atau jawaban pertanyaan tentang kefilsafatan. Unsur-
unsur metodologi filsafat antara lain interpretasi, induksi dan dedukasi, koherensi
intern, holistik, kesinambungan historis, idealisasi, komparasi, heuristika,
analogikal, dan deskripsi. Alat-alat metodologi meliputi definisi, pembagian,
pembuktian, dan metodologi.
Menurut Sumaryono (2009), metode adalah sebuah rumusan yang terdiri
dari sejumlah langkah-langkah yang dirangkai dalam urutan-urutan tertentu,
merupakan perangkat aturan yang dapat membantu peneliti mencapai sasarannya
secara tepat. Sedangkan metode filsafat bukanlah metode “ketergantungan” atau
kepastian, melainkan lebih merupakan metode hipotesis. Filsafat berbicara tentang
hidup atau kehidupan, tidak hanya berbicara tentang hakikat sesuatu. Hidup atau
kehidupan sendiri sifatnya adalah selalu berkembang atau berevolusi dan berubah.

2.4 Filsafat Ilmu


Menurut Muslih (2005), Filsafat Ilmu, sebagai cabang dari Ilmu Filsafat
dapat dipandang dari dua sisi, sebagai sebuah disiplin ilmu dan sebagai landasan
filosofis proses keilmuan. Filsafat Ilmu membicarakan objek khusus yaitu ilmu
pengetahuan sebagai kajiannya. Lebih jauh Filsafat ilmu sekaligus juga
merupakan kerangka dalam proses penggalian ilmu atau memberikan perspektif
untuk melihat hakikat ilmu dan menjelaskan landasan filosofisnya. Filsafat Ilmu
merupakan pemikiran reflektif, radikal, kritis, dan mendasar atas berbagai
persoalan mengenai ilmu pengetahuan.Filsafat Ilmu menjadi sangat penting
artinya untuk melihat rancang bangun keilmuan, baik ilmu kealaman,
kemasyarakatan (sosial), dan humanitas (termasuk ke – Islaman), sekaligus

6
menganalisis kosekuensi logis dari pola pikir yang mendasarinya, sehingga ekses-
ekses yang ditimbulkan dapat dipahami dan akhirnya dapat dikontrol dengan baik.
Beberapa filsuf, seperti Comte menerapkan metode ilmiah ilmu-ilmu alam
pada ilmu-ilmu sosial dengan tujuan praktis, yaitu dengan dasar pengetahuan
tentang hukum-hukum yang mengatur masyarakat agar lebih sempurna.Pemikiran
Comte ini disempurnakan oleh kelompok aliran Wina.Mereka menolak perbedaan
ilmu alam dan ilmu sosial.Mereka menganggap pernyataan yang tidak dapat
diverifikasi secara empiris (mengenai etika, estetika, agama, dan metafisika),
menyatukan semua ilmu pengetahuan dalam satu bahasa ilmiah yang universal.
Pada kenyataannya proses alam dan sosial berbeda karena proses alam dapat
diprediksi dan dan dikuasai secara teknis, sedangkan proses sosial yang terdiri
dari tindakan manusia tidak.
Menurut John Loss filsafat ilmu dapat digolongkan menjadi empat
konsepsi yaitu:
1. Berusaha menyusun padangan-pandangan dunia sesuai atau berdasarkan
toeri-teori ilmiah yang penting.
2. Memaparkan praanggapan dan kecenderungan para ilmuwan.
3. Sebagai suatu cabang pengetahuan yang menganalisis dan menerangkan
konsep dan teori dari ilmu.
4. Sebagai pengetahuan kritis derajat kedua yang menelaah ilmu sebagai
sasarannya.
Enam problem atau permasalahan mendasar :
1. Problem-problem epistimologi tentang ilmu.
Di tengah maraknya kemajuan technoscience yang sangat spektakuler
masalah landasan epistemology dalam metodologis mempunyai kedudukan yang
sentral dan strategis. Auguste Comte dan Karl Raimund Popper adalah dua sosok
filsuf besar. Auguste hidup pada di abad ke-19 mengalami langsung revolusi
Prancis dengan segala akibatnya positivisme merupakan aliran produk
pemikirannya kemudian diabad ke-20 dikembangkan oleh kelompok Wina dengan
aliran Neo-Positifime.
Sedangkan Popper ialah filsuf konteporer. Falsifikasionisme merupakan
aliran yang dilahirnya sebagai jawaban atas problem-problem epistemology,

7
filsafat, ilmu, sosial, politik sejarah dan metodologi dan yang menjadi problem
disini ialah masalah perolehan pengetahuan yang selanjutnya melahirkan aliran
rasionalisme dan empirisme yang pada gilirannya melahirkan aliran kritisme
sebagai alternatif dan solusi terhadap pertikaian dari dua aliran tersebut. Popper
tampil diantara pertikaian tersebut dengan aliran falsifikasionisme yang bertumpu
diatas landasan epistemology rasionalisme kritis dan empirisme-kritis.
Pendekatan hubungan antara epistemology dengan metodologi tanpa bila
dikaitkan dengan pandangan protaguras. Yang menyatakan bahwa “didalam
segala hal manusia adalah menjadi tokoh ulur”. Epistemology oleh Popper
dianggap sebagai teori ilmu pengetahuan dan metodologi akan menentukan proses
dan produk ilmiah konflik metodologi akan tampak bila dikaitkan dengan jenis
ilmu yakni natural-sciences, ilmu sosial, ilmu budaya, dan lain-lain. Persoalannya
adalah apakah ilmu-ilmu sosial, budaya dapat menggunakan metode yang dipakai
oleh ilmu pengetahuan alam.
2. Problem-problem metafisis tentang ilmu.
Problem etika ilmu pengetahuan disini yakni menyangkut bagaimana
penerapan dari pada ilmu pengetahuan dan teknologi apa yang seharusnya
dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan dan martabat
manusia dan disinilah tanggung jawab etis bagi penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi karena kedua hal tersebut mempunyai pengaruh pada proses
perkembangan.
3. Problem-problem metodologis tentang ilmu.
Adapun persoalan atau problem dalam estetis ini antara lain:
- Pengertian dari estetika.
- Munculnya teori-teori tentang estetika.
- Munculnya bagian-bagian baru dalam estetika.
4. Problem-problem logis tentang ilmu.
5. Problem-problem etis tentang ilmu.
6. Problem-problem estetis tentang ilmu.

8
2.5 Filsafat Pendidikan
Menurut Hasan Langgulung dalam Zaprulkhan (2016), berikut merupakan
definisi filsafat pendidikan:
1. Filsafat pendidikan adalah penerapan metoda dan pandangan filsafat
dalam bidang pengalaman manusia yang disebut pendidikan. Filsafat
pendidikan adalah mencari konsep-konsep yang dapat menyelaraskan
gejala yang berbeda-beda dalam pendidikan dan suatu rencana
menyeluruh, menjelaskan istilah-istilah pendidikan, mengajukan prinsip-
prinsip atau asumsi-asumsi dasar tempat tegaknya pernyataan-pernyataan
khusus mengenai pendidikan dan menyingkapkan klasifikasi-klasifikasi
yang berbuhubungan antara pendidikan dan bidang-bidang kepribadian
manusia.
2. Filsafat pendidikan adalah aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan
filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan,
menyelaraskan, mengharmoniskan, dan penerapan nilai-nilai dan tujuan-
tujuan yang ingin dicapainya. Jadi di sini filsafat, filsafat pendidikan dan
pengalaman kemanusiaan adalah tiga elemen bagi suatu kesatuan yang
utuh.
3. Filsafat pendidikan adalah aktivitas yang dikerjakan oleh pendidik dan
filsuf-filsuf untuk menjelaskan proses pendidikan, menyelaraskan,
mengkritik dan mengubahnya berdasar pada masalah-masalah kontradiksi-
kontradiksi budaya.
4. Filsafat pendidikan adalah teori atau ideologi pendidikan yang muncul dari
sikap filsafat seorang pendidik, dari pengalaman-pengalamannya dalam
pendidikan dan kehidupan dari kajiannya tentang berbagai ilmu yang
berhubungan dengan pendidikan dan berdasarkan itu pendidik dapat
mengetahui sekolah berkembang.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diabmil kesimpulan bahwa
filsafat pendidikan erupakan terapat ilmu filsafat terhadap problema pendidikan
atau filsafat yang diterapkan dalam suatu usaha pemikiran (analisis filosofis)
mengenai masalah pendidikan. Filsafat adalah induk semua bidang studi dan
displipin ilmu pengetahuan, dengan sudut pandang yang bersifat komprehensif

9
berupa hakikat. Artinya, filsafat memandang setiap objek dari segi hakikatnya.
Sedangkan pendidikan adalah suatu bidang studi sekaligus dislipin ilmu
pengetahuan yang persoalan khasnya adalah menumbuh-kembangkan potensi
manusia menjadi semakin dewasa dan matang. Jadi, filsafat pendidikan
mempunyai persoalan sentral berupa hakikat pematangan potensi manusia.Dalam
filsafat pendidikan kita mengenal beberapa aliran: perenialisme (berakar pada
realisme) esensialisme (berakar pada idealisme dan realisme); progresivisme
rekonstruksionisme, dan neopragmatisme (berakar pada pragmatisme) dan
eksistensialisme.
Menurut Muhmidayeli (2011), filsafat pendidikan adalah upaya
menerapkan kaidah-kaidah berpikir filsafat dalam ragam pencarian solusi
berbagai ragam problem kependidikan yang akan melahirkan pemikiran utuh
tentang pendidikan yang tentunya merupakan langkah penting dalam menemukan
teori-teori tentang pendidikan.Menurut Jalaluddin dan Idi (2007), filsafat
pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental,
baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan
(emosional), menuju tabiat manusia. Filsafat pendidikan merupakan pelaksanaan
pandangan filsafat dan kaidah-kaidah filsafat dalam bidang pengalaman
kemanusiaan yaang disebut dengan pendidikan.
Filsafat pendidikan bersandarkan pada filsafat formal atau filsafat umum.
Dalam arti bahwa masalah-masalah pendidikan merupakan karakter filsafat.
Masalah-masalah pendidikan akan berkaitan dengan masalah-masalah filsafat
umum, seperti:
1. Hakikat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan berusaha untuk
mencapainya;
2. Hakikat manusia, karena manusia merupakan makhluk yang menerima
pendidikan;
3. Hakikat masyarakat, karena pendidikan pada dasarnya merupakan suatu
proses sosial;
4. Hakikat realitas akhir, karena semua pengetahuan akan berusaha untuk
mencapainya.

10
Selanjutnya al-Syaibany mengemukakan bahwa terdapat beberapa tugas
yang diharapkan dilakukan oleh seorang filsuf pendidikan, di antaranya:
1. Merancang dengan bijak dan arif untuk menjadikan proses dan usaha-
usaha pendidikan pada suatu bangsa;
2. Menyiapkan generasi muda dan warga negara umumnya agar beriman
kepada Tuhan dengan segala aspeknya;
3. Menunjukkan peranannya dalam mengubah masyarakat, dan mengubah
cara-cara hidup mereka ke arah yang lebih baik;
4. Mendidik akhlak, perasaan seni, dan keindahan pada masyarakat dan
menumbuhkan pada diri mereka sikap menghormati kebenaran, dan cara-
cara mencapai kebenaran tersebut.
Filsuf pendidikan harus memiliki pikiran yang benar, jelas, dan
menyeluruh tentang wujud dan segala aspek yang berkaitan dengan ketuhanan,
kemansiaan, pengetahuan kealaman, dan pengetahuan sosial. Filsuf pendidikan
harus pula mampu memahami nilai-nilai kemanusiaan yang terpancar pada nilai-
nilai kebaikan, keindahan, dan kebenaran.
Gandhi (2011), setelah mengkaji makna filsafat pendidikan dari berbagai
ahli Ia menyatakan bahwa: “Filsafat pendidikan tidak lain adalah penerapan upaya
metodis filsafat untk mempersoalkan konsepsi-konsepsi yang melandasi upaya-
upayamanusia di dalam membangun hidup daan kehidupannya untuk menjadi
semakin baik dan berkualitas. Sedangkan upaya-upaya filsafat dalam
mempersoalkan adalah guna mengarahkan penyelenggaraan pendidikan pada
kondisi-kondisi etika yang diidealkan. Dalam makna lain, filsafat pendidikan
adalah flsifikasi pendidikan, baik dalam makna teoritis konseptual maupun makna
praktis-pragmatis yang menggejala.
Jalaluddin dan Sa’id di dalam bukunya mengutip dari Tim Dosen IKIP
Malang menjelaskan, bahwa Secara makro (umum) apa yang menjadi obyek
pemikiran filsafat yaitu dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan
kehidupan manusia, alam semesta dan alam sekitarnya adalah juga merupakan
obyek pemikiran filsafat pendidikan. Tetapi secara mikro (khusus) yang menjadi
ruang lingkup filsafat pendidikan meliputi:

11
1. Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (The Nature Of
Education).
2. Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subjek dan objek pendidikan
(The Nature Of Man).
3. Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan,
agama, dan kebudayaan.
4. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, dan teori
pendidikan.
5. Merumuskan hubungan antara negara (ideologi), filsafat pendidikan, dan
politik pendidikan (sistem pendidikan).
6. Merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang
merupakan tujuan pedidikan.
Berbeda dengan yang di atas, Drs. Anas Salahudin, M.Pd. di dalam
bukunya “Filsafat Pendidikan” merumuskan, bahwa ruang lingkup filsafat
pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Pendidik
2. Murid atau anak didik
3. Materi pendidikan
4. Perbuatan mendidik
5. Metode pendidikan
6. Evaluasi pendidikan
7. Tujuan pendidikan
8. Alat-alat pendidikan
9. Lingkungan pendidikan.
Para pendidik adalah guru, orang tua, tokoh masyarakat, dan siapa saja
yang memfungsikan dirinya untuk mendidik. siapa saja dapat menjadi pendidik
dan melakukan upaya untuk mendidik secara formal maupun nonformal. Para
pendidik haruslah orang yang patut diteladani dan pendidik itu harus membina,
mengarahkan, menuntun, dan mengembangkan minat, serta bakat anak didik, agar
tujuan pendidikan tercapai dengan baik.Para pendidik adalah subjek yang
melaksanakan pendidikan. Pendidik mempunyai peran penting dalam
berlngsungnya pendidikan. baik atau tidaknya pendidikan berpengaruh besar

12
terhadap hasil pendidikan. Para pendidik memikul tanggung jawab yang berat
untuk memaajukan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, negara bertanggungjawab
untuk meningkatkan kinerja para pendidik melalui berbagai peningkatan.
Misalnya, peningkatan kesejahteraan para pendidik, menaikkan tunjangan
fungsional para pendidik, membantu dana pendidikan lanjutan hingga meraih
gelar doktor, dan memberikan beasiswa untuk berbagai penelitian.
Anak didik secara filosofis merupakan objek para pendidikan dalam
melakukan tindakan yang bersifat medidik. Dikaji dari beberapa segi, seperti usia
anak didik, kondisi ekonomi keluarga, minat dan bakat anak didik, serta tingkat
intelegensinya, itu membuat seorang pendidik mengutamakan fleksibilitas dalam
mendidik. Anak didik merupakan subjek pendidika, yaitu orang yang
menjalankan dan mengamalkan materi pendidikan yang diberikan oleh pendidik.
Agar pendidikan dapat berhasil dengan sebaik-baiknya, maka jalan pendidikan
yang ditempuh harus sesuaai dengan perkembangan psikologis anak didik.
Materi Pendidikan, yaitu bahan-bahan atau pengalaman-pengalaman
belajar yang disusun sedemikian rupa (dengan susunan yang lazim dan logis)
untuk disajikan atau disampaikan kepada anak didik.
Perbuatan mendidik adalah seluruh kegiatan, tindakan, perbuatan, dan
sikap yang dilakukan oleh pendidikan sewaktu menghadapi atau mengasuh anak
didiknya disebut dengan tahzib. Mendidik artinya meningkatkan pemahaman anak
didik tentang kehidupan, medalami pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan
manfaatnya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata dan sebagai pandangan
hidup.
Metode pendidikan, yaitu strategi yang relevan yang dilakukan oleh dunia
pendidikan pada saat menyampaikan materi pendidikan kepada anak didik.
metode berfungsi mengolah, menyusun, dan menyajikan materi pendidikan, agar
materi pendidikan tersebut dapat dengan mudah diterima dan dimiliki oleh anak
didik.
Evaluasi dan Tujuan Pendidikan. Evaluasi yaitusistem penilaian yang
diterapkan kepada peserta didik, untuk mengetahui keberhasilan pendidikan yang
dilaksanakannya. Evaluasi pendidikan sangat bergantung pada tujuan pendidikan.
jika tujuannya membentuk siswa yang kreatif, cerdas, beriman, dan bertakwa,

13
maka sistem evaluasi ynag dioperasionalkan harus mengarah pada tujuan yang
dimaksud.
Alat-alat Pendidikan dan Lingkungan Pendidikan merupakan fasilitas yang
digunakan untuk mendukung terlaksananya pendidikan. Sedangkan lingkungan
pendidikan adalah segala seusuatu yang terdapat disekitar lingkungan pendidikan
yang mendukung terealisasinya pendidikan.

2.6 Hubungan Filsafat Ilmu dan Pendidikan


Pandangan filsafat pendidikan sama peranannya dengan landasan filosofis
yang menjiwai seluruh kebijaksanaan pelaksanaan pendidikan. Antara filsafat dan
pendidikan terdapat kaitan yang sangat erat. Filsafat mencoba merumuskan citra
tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan
citra tersebut.
Filsafat pendidikan mengadakan tinjauan yang luas mengenai realita,
antara lain tentang pandangan dunia dan pandangan hidup. Konsep-konsep
mengenai ini dapat menjadi landasan penyusunan konsep tujuan dan metodologi
pendidikan. Di samping itu, pengalaman pendidik dalam menuntun pertumbuhan
dan perkembangan anak akan berhubungan dan berkenalan dengan realita.
Semuanya itu dapat digunakan oleh flsafat pendidikan sebagai bahan
pertimbangan dan tinjauan untuk memngembangkan diri.
Filsafat ilmu dengan filsafat pendidikan memiliki hubungan yang sangat
erat. Bagi perkembangan filsafat pendidikan, filsafat ilmu merupakan landasan
filosofis yang menjiwai pengembangan ilmu pendidikan dan teori-teori
pendidikan. Filsafat ilmu mencoba memberikan dasar bagi pengembangan filsafat
pendididkan dalam kerangka mengembangkan ilmu pendidikan dan teori-teori
pendidikan.
Selain itu, hubungan filsafat ilmu dengan filsafat pendidikan juga dapat
dimaknai bahwa filsafat ilmu mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan
arah dalam pengembangan ilmu pendidikan (pedagogic) maupun teori-teori
pendidikan baik dari segi ontologi (tujuan), epistemologi (metode), maupun
axiologi (nilai).

14
2.7 Problematika Filsafat Pendidikan
Di dalam filsafat, terdapat tiga masalah utama, yakni: masalah keberadaan
termasuk masalah kenyataan, masalah pengetahuan termasuk masalah kebenaran
dan masalah nilai. Masalah pertama dikaji dalam cabang filsafat yang disebut
metafisika.Masalah kedua dikaji dalam cabang filsafat yang disebut epistemology,
dan masalah ketiga dikaji dalam cabang filsafat yang disebut
aksiologi.Problematika filsafat pendidikan akan selalu timbul dan ide-ide filosofis,
baik yang menyangkut masalah realitas, pengetahuan, maupun masalah nilai.
Sebagaimana kita ketahui ada banyak aliran atau filsuf yang memiliki konsepsi
tentang realitas, pengetahuan dan nilai.
Filsafat Pendidikan sebenarnya melanjutkan apa yang telah dikaji oleh
Antropologi filosofis (filsafat manusia). Jika filsafat manusia mencari jawab
terhadap pertanyaan sentral “apakah hakikat manusia itu?” maka filsafat
pendidikan mencari jawab terhadap pertanyaan sentral “apakah hakikat
pendidikan itu?” ini berarti, jika pengertian tentang hakikat manusia telah
dirumuskan secara jelas, maka pengembangan terhadap hakikat manusia itu
memerlukan pendidikan, sehingga pendidikan itu diselenggarakan dalam upaya
untuk mengaktualisasikan potensi manusia (peserta didik) ke arah pengembangan
yang positif, baik segi jasmaniahnya maupun segi rohaniahnya (kognitif,
afektif, dan konatif) atau dalam pandangan yang lain, segi-segi : individualitas,
sosialitas, moralitas, maupun religiusitasnya secara integral.
Masalah pengetahuan termasuk masalah kebenaran juga menjadi salah
satu masalah utama filsafat.Menurut Pranarka (1987), pandangan epistemologis
antara lain akan menjawab bahwa pengetahuan manusia diperoleh lewat
kerjasama antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui.
Pengetahuan manusia tidak mungkin ada tanpa salah satunya, sehingga
pengetahuan manusia selalu suhyektif-obyektif atau obyektif-subyektif. Disini
terjadi kemanunggalan antara subyek dan obyek.Subyek dapat mengetahui
obyeknya, karena dalam dirinya memiliki kemampuan-kemampuan, khususnya
kemampuan akali dan indrawinya.
Menurut Thiroux (1985), dalam kenyataan, manusia dapat memperoleh
pengetahuan lewat berbagai sumber atau sarana seperti: pengalaman indrawi dan

15
pengalaman batin (external sense experience and internal sense experience); nalar
(reason), baik melalui penalaran deduktif maupun induktif (deductive and
inductive reasoning); intuisi (intuition); wahyu (revelation); keyakinan
(faith) authority (orang yang ahli dalam bidangnya); dan lewat tradisi dan
pendapat umum (tradition and common-sense).
Meskipun manusia dengan segala kemampuannya telah dan akan berupaya
terus untuk mengetahui obyeknya secara total dan utuh, tetapi dalam kenyataan,
manusia tidak mampu untuk merengkuh obyeknya secara total dan utuh. Apa
yang diketahui manusia selalu saja ada yang tersisa. Menurut Polanyi (1996),
manusia hanya mampu mengetahui yang fenomenal saja, dan tidak mampu
menjangkau yang noumenal. Hal inilah yang memicu munculnya anggapan bahwa
pengetahuan manusia itu relatif. Relativitas pengetahuan manusia itu disebabkan
sekurang-kurangnya karena keterbatasan kemampuan manusia sebagai subyek
yang rnengetahuidan juga karena kompleksitas obyek yang diketahui.
Jika pengetahuan manusia itu relatif, apakah kebenaran itu ada? Dengan kata lain,
apakah pengetahuan manusia itu benar adanya? Pertanyaan tersebut dapat dijawab
dengan berbagai teori kebenaran seperti teori-teori: koherensi, korespondensi,
pragmatis dan consensus. Dalam pandangan yang lain, kebenaran itu meliputi:
kebenaran epistemologikal, kebenaran ontologikal, dan kehenaran semantikal atau
kehenaran moral.Dalam filsafat pendidikan, masalah pengetahuan antara lain
terkait dengan masalah kurikulum, belajar dan metode pembelajaran. Karena
pengetahuan manusia tidak dapat dilepaskan dengan masalah isi pengetahuan
(realitas).
Masalah nilai baik nilai kebaikan (etika), maupun nilai keindahan
(estetika) juga menjadi salah satu bagian utama filsafat. Apakah nilai itu absolut
ataukah relatif? Dalam filsafat pendidikan, masalah nilai merupakan bagian yang
sangat penting, karena dalam pendidikan, bukan hanya menyangkut transfer
pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga menyangkut penanaman
nilai-nilai (transfer of values).Problematika filsafat pendidikan akan selalu timbul
dan ide-ide filosofis, baik yang menyangkut masalah realitas, pengetahuan,
maupun masalah nilai.

16
Menurut Paulston (1995), problematika filsafat pendidikan dapat juga
bersumber dan problema-problema yang muncul dalam bidang pendidikan itu
sendiri. Misalnya, mengenai makna pendidikan itu sendiri sampai sekarang selalu
dipermasalahkan terkait dengan munculnya aliran pemikiran baru seperti aliran-
aliran: poststruktualist, postmodernist, postpatriarchal dan post-marxist.Juga,
terkait dengan perubahan-perubahan yang teijadi di dalam masyarakat.
Kita tentu sangat sadar bahwa proses pendidikan itu tidak berlangsung di
ruang kosong, melainkan berada di tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah
cepat, sehingga apa yang terjadi dalam masyarakat akan berpengaruh pada bidang
pendidikan. Beberapa contoh dapat di kemukakan di sini secara umum, misalnya
kurikulum harus selalu disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Contoh
lain, misalnya: apa yang disampaikan oleh Komisi Pendidikan UNESCO agar
lembaga pendidikan lebih memfokuskan pada empat pilar pendidikan yang
fundamental, yakni “learning to know, learning to do, learning to live together
and learning to be”. Bahkan Komisi tersebut merekomendasikan agar learning to
live together lebih dikedepankan tanpa meninggalkan yang lain, karena terkait
dengan kemajemukan berbagai hal yang terjadi dalam masyarakat.

17
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pandangan filsafat pendidikan sama peranannya dengan landasan filosofis
yang menjiwai seluruh kebijaksanaan pelaksanaan pendidikan. Antara filsafat dan
pendidikan terdapat kaitan yang sangat erat. Filsafat mencoba merumuskan citra
tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan
citra tersebut. Hubungan filsafat ilmu dengan filsafat pendidikan juga dapat
dimaknai bahwa filsafat ilmu mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan
arah dalam pengembangan ilmu pendidikan (pedagogic) maupun teori-teori
pendidikan baik dari segi ontologi (tujuan), epistemologi (metode), maupun
axiologi (nilai).
Problematika filsafat pendidikan dapat juga bersumber dan problema-
problema yang muncul dalam bidang pendidikan itu sendiri. Misalnya, mengenai
makna pendidikan itu sendiri sampai sekarang selalu dipermasalahkan terkait
dengan munculnya aliran pemikiran baru seperti aliran-aliran: poststruktualist,
postmodernist, postpatriarchal dan post-marxist.Juga, terkait dengan perubahan-
perubahan yang teijadi di dalam masyarakat.

18
DAFTAR PUSTAKA

Gandhi, Teguh Wangsa. 2011. Filsafat Pendidikan: Madzab-Madzab Filsafat


Pendidikan. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Jalaluddin dan Idi, Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.
Muslih, M. 2005. Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar Yogyakarta.
Paulston, Rolland G. 1995.Mapping Knowledge Perspectives in Studies of
Educational Change in Cookson. New York & London: Garland
Publishing, Inc.
Polanyi, Michael. 1996. Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.
Pranarka. 1987. Epistemologi Dasar. Suatu Pengantar. Jakarta: Centre for
Strategic and International Studies.
Sudarto. 2002. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Sumaryono, E. 2009. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Surajiyo . 2010. FilsafatIlmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara.
Thiroux, Jacques. 1985. Philosophy Theory and Practice. New York: Macmillan
Publishing Company.
Zaprulkhan. 2016. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

19

Anda mungkin juga menyukai