Anda di halaman 1dari 5

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan keluhan demam naik turun, mual dan makanan
yang masuk mudah keluar, sehingga pasien kekurangan asupan yang dapat menurunkan berat
bdana pasien, tetapi dalam kasus tidak terdapat informasi berat pasien awal saat diagnosis HIV
sampai saat ini. Hasil laboratorium menunjukkan HIV, penurunan Hb, hematokrit, leukosit,
trombosit dan CD4 serta peningkatan SGOT dan SGPT. Diagnosis kerja pada pasien saat ini
berupa HIV dengan vomitus dan anoreksia.
Penurunan leukosit mengindikasikan adanya infeksi HIV, dimana retrovirus (virus
RNA) yang menyerang sel sistem imun terutama CD4+ dan limfosit T, melemahkan
pertahanan host, menyebabkan munculnya infeksi oprtunistik (IO) dan AIDS. Pertahanan tubuh
dalam melawan infeksi, memfagosit organisme asing dan kurangnya produksi antibodi dapat
diobati, jika kekebalan tubuh tetap rendah maka IO mudah kambuh kembali atau juga dapat
timbul IO yang lain. Terdapat banyak penyakit yang digolongkan IO seperti terlihat pada tabel
berikut ini :
Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV a
Hepatitis A
Hepatitis B
Hepatitis C
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c
a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang mengganggu kerja
atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab lain selain infeksi HIV.
Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan
pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal 2 kali
selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari, intermiten, atau
konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain (missal kanker, tuberkulosis,
enteritis spesifik) selain HIV.
Hasil laboratorium lainnya yaitu penurunan haemoglobin dan hematorkit menunjukkan
indikasi adanya gejala anemia. Hal ini perlu dipastikan kembali dengan pemeriksaan red cell
count (hitung eritrosit). Hasil laboratorium lainnya yaitu penurunan trombosit dan CD4.
Pemeriksaan terhadap SGOT dan SGPT memberikan hasil diatas normal memungkinkan
adanya indikasi hepatoseluler, sirosis aktif dan hepatitis. Penurunan beberapa pemeriksaan
hematologi dan imunologi selain karena infeksi yang terjadi juga dari efek samping pengobatan
yang diterima oleh pasien.
Anemia bisa terjadi karena efek samping obat dari zidovudin (AZT) atau karena infeksi
dari HIV itu sendiri. Orang dengan HIV sering mengalami anemia karena tubuhnya tidak lagi
memproduksi hormon yang dibutuhkan untuk merangsang produksi sel darah merah. Untuk
memastikan anemia yang disebabkan AZT diperlukan pemeriksaan darah lebih lanjut dengan
melihat bentuk dan ukuran eritrosit darahnya, karena AZT menghambat sintesis DNA pada
proses pembentukan sel-sel darah (eritropoesis). Manifestasi efek samping toksis AZT pada
sumsum tulang berupa anemia, neutropenia dan siderosis yang disebabkan inhibisinya pada
sintesis heme dan globin bersamaan dengan gangguan pada ketersediaan besi, sehingga anemia
yang ditimbulkan adalah anemia megaloblastik. Plan untuk pengatasan yang dapat dilakukan
bila terjadi anemia pada pasien HIV adalah memberikan peresepan suplemen atau transfusi
darah bila dirasa perlu. Untuk anemia, bila nilai HB <6,5g% dan atau jumlah total
netrofil<500/mm3 maka dilakukan pergantian dengan ARV yang toksisitasnya terhadap
sumsum tulang lebih rendah (contohnya : d4T, ABC atau TDF) dan mempertimbangkan
transfusi. Pada pasien nilai Hb terakhir 8,7g% sehingga tidak diperlukan transfusi atau
penggantian terapi ARV tetapi dapat diberikan suplemen dan monitoring nilai Hb pada minggu
ke-8, minggu ke-12, dan tiap 6 bulan sekali setelah pemakaian ARV.
Keluhan mual muntah dapat terjadi karena adanya infeksi virus dan sering terjadi
karena jalur ARV diberikan secara peroral dapat mengiritasi dan meningkatkan asam lambung.
Dimana pemakaian duviral dan atau neviral memiliki efek samping mual dan muntah. Hal ini
dapat dicegah dengan minum obat bersama makanann. Pada pasien juga mengluhkan saat
makan selalu dikeluarkan menunjukkan adanya terjadinya anoreksia yang dapat menyebabkan
pasien kekurangan nutrisi yang dapat diatasi dengan pemberian infus futrolit serta megazing.
Pasien juga mendapatkan injeksi ondansetron, injeksi omeprazol serta sukralfat (peroral) untuk
terapi mual muntah nya kurang tepat karena mual dan muntah karena infeksi dapat diterapi
dengan pemberian antibakteri, antivirus untuk menangani infeksi dan golongan antacids salah
satunya adalah proton pump inhibitor seperti omeprazole. Untuk mencegah iritasi lambung
karena peningkatan asam lambung oleh obat ARV dapat diberikan sukralfat yang diberikan 1
jam sebelum mengkonsumsi omeprazole. Jika dengan kedua obat tersebut masih mengeluhkan
mual, muntah, demam dan anoreksia ada kemungkinan pasien mengalami hepatitis. Monitoring
terhadap nilai SGOT/SGPT, Alkalin Fosfatase (ALP), Bilirubin, HAV-ab/IgM, HAV-ab/IgG,
dan HBs-Ag serta menggali informasi pada pasien apakah mengalami nyeri abdomen atau
tidak. Hal ini juga berpengaruh jika hasil menunjukkan positif hepatitis, terapi ARV pasien
diubah sesuai dengan algoritma terapi pasien HIV dengan koinfeksi hepatitis.
Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4. Hal ini akan berlanjut
bertahun-tahun dengan terapi yang efektif. Data CD4 saat mulai terapi ARV dan perkembangan
CD4 yang dievaluasi tiap 6 bulan sangat diperlukan untuk menentukan adanya gagal terapi
secara imunologis. Pada pasien yang tidak pernah mencapai jumlah CD4 yang lebih dari 100
sel/mm3 dan atau pasien yang pernah mencapai jumlah CD4 yang tinggi tetapi kemudian turun
secara progresif tanpa ada penyakit atau kondisi medis lain, maka perlu dicurigai adanya
keadaan gagal terapi secara imunologis. Penggantian terapi jika selain karena adanya penyakit
lain juga kegagalan terapi, dalam kasus ini belum dapat dipastikan apakah pasien mengalami
kegagalan terapi atau tidak karena kriteria yang harus dipenuhi jika mengalami kegagalan
terapi adalah sebagai berikut :
A. KESIMPULAN
Penerapan terapi pada pasien HIV/AIDS ditujukan supaya mengurangi laju penularan
HIV di masyarakat, memulihkan dan memlihara fungsi imunologis (stabilisasi atau
peningkatan CD4), menurunkan komplikasi akibat HIV, memperbaiki kualitas hidup ODHA,
menekan replikasi virus secara maksimal dan terus menerus menurunkan angka kesakitan dan
kematian yang berhubungan dengan HIV. Pada pasien tuan N mengalami mual, anoreksia dan
HIV yang telah diterapi dengan pemakaian ARV dan terapi simptomatik lainnya. Perlu adanya
pemantauan pemeriksaan klinis dan laboratorium untuk memantau keberhasilan terapi dan juga
efek samping yang muncul.

DAFTAR PUSTAKA
Alpers, DH., Stenson, WF., Taylor, BE and Bier TM.,2008, Manual of nutritional
therapeutics,fifth edition, walters kluwer.
Anonim, 2006, Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Orang dengan HIV/AIDS (ODHA),
DepKes RI.
Anonim,2011, Pedoman Interpretasi Data Klinik, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Anonim, 2011, Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral
Pada Orang Dewasa, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Anonim, 2014, Pedoman Pengobatan Antiretroviral, Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 87 Tahun2014, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Dauglas, DR, and Alexander, 2001, Management of Common Symptoms in Terminally Ill
Patients : Part I (Fatigue, Anorexia, Cachexia, Nusea and Vomiting), American Family
Physician, Volume 64, 807-814
Djoerban, Z., 2000, Membidik AIDS Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA, Galang Press bekerja
sama dengan Yayasan Memajukan Ilmu Penyakit Dalam, Yogyakarta.
Hidayati, NR., Abdillah S, dan Keba, S.A, 2016, Analisis Adverse Drug Reactions Obat Anti
Retroviral Pada Pengobatan Pasien HIV/AIDS di RSUD Gunung Jati Cirebon Tahun
2013, Pharmaciana, Vol.6.79-78
Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In : Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors. Infeksi
oportunistik pada AIDS. Jakarta : Balai Penerbit FKUI 2005.
Mansjoer A., dkk., 2000, Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jiid 2, 162, Media
Aesculapeus, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
https://www.drugs.com/paracetamol.html
Yayasan Spirita. Sejarah HIV di Indonesia. 2016. Available from :
http://spiritia.or.id/li/bacali.php?lino=431

Anda mungkin juga menyukai