Penataan Ruang Yang Mendukung Penendalia
Penataan Ruang Yang Mendukung Penendalia
1
PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
Oleh : Ida Nurlinda2
A. Pendahuluan
Alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan/pemanfaatan non
pertanian seperti pembangunan sektor perumahan, industri, jasa,
infrastruktur dan kegiatan ekonomi lainnya telah memicu terjadinya
alih fungsi lahan pertanian secara besar-besaran dan tidak
terkendali. Data Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA)
Kementerian Pertanian pada Tahun 2005 menunjukkan bahwa
setiap tahun sekitar 187.720 Ha sawah telah beralih fungsi ke
penggunaan non pertanian, terutama di Pulau Jawa 3 . Sejalan
dengan data tersebut, Direktorat Penatagunaan Tanah BPN pada
Tahun 2005 juga menyatakan bahwa sehubungan dengan hal alih
fungsi lahan tersebut, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perlu
ditinjau kembali, karena jika tidak maka dari total lahan sawah
beririgasi seluas 7,3 Ha, maka hanya sekitar 4,2 juta Ha (57,6%)
yang dapat dipertahankan fungsinya, sedangkan sisanya sekitar
3,01 juta Ha (42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain4.
1
Data BPS bahkan menunjukkan 60.000 Ha lahan pertanian
dikonversi setiap tahunnya5.
2
ekonomi dan industri mendorong terjadinya alih fungsi lahan
pertanian. Kedua, cakupan kebijakan(peraturan) hanya terbatas
pada perusahaan/badan hukum yang akan menggunakan tanah
dan/atau mengubah fungsi penggunaan tanah; sedangkan
perubahan yang dilakukan oleh perorangan belum/tidak ter-cover
oleh peraturan tersebut. Padahal konversi lahan yang dilakukan
oleh individu pun diperkirakan cukup luas. Ketiga, konsistensi
perencanaan menjadi kendala karena Rencana tata Ruang Wilayah
(RTRW) dan izin lokasi sebagai instrumen pengendaliannya, tidak
dapat mencegah alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian.
3
ketahanan pangan pada akhirnya dapat juga melemahkan
kedaulatan pangan (food sovereignity), karena di era globalisasi
dan perdagangan bebas saat ini, negara-negara maju melakukan
liberalisasi perdagangan pangan melalui strategi perdagangan
secara dumping. Strategi ini terbukti menghancurkan sistem
pertanian pangan di negara-negara berkembang yang tidak mampu
berkompetisi dengan komoditi pangan yang berasal dari negara-
negara maju.
4
sisi lain, 70% dari keseluruhan jumlah rakyat Indonesia adalah
petani 7 yang menggantungkan kehidupannya pada kegiatan
pertanian. Sebagai negara agraris, kedudukan dan keberadaan
lahan pertanian merupakan unsur penting bagi kegiatan
pembangunan. Menurut Sediono M.P. Tjondronegoro 8 , negara
agraris tidaklah boleh diartikan dalam arti sempit yaitu negara
yang mengandalkan sektor pertanian sebagai penopang utama
ekonominya; namun harus difahami dalam arti luas, yaitu negara
yang mengandalkan sumber daya agraria (bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya untuk menopang ekonomi
negaranya.
5
Liberalisasi pertanian telah menimbulkan dampak negatif bagi
petani dan kegiatan pertanian di negara-negara berkembang.
Dampak negatif itu diantaranya tidak adanya proteksi yang
substansial bagi petani agar dapat aman bertahan dalam kegiatan
pertanian, dihapuskannya subsidi sektor pertanian menyebabkan
melemahnya dukungan negara terhadap petani10. Padahal, dalam
reforma agraria, peran negara justru sangat dibutuhkan untuk
melakukan tindakan-tindakan nyata, seperti upaya pembatasan
penguasaan dan pemilikan tanah oleh seseorang/korporasi dalam
skala besar dan mengendalikan alih fungsi tanah yang tidak sesuai
dengan peruntukkannya. Dengan demikian, peran negara dalam
reforma agraria merupakan suatu keniscayaan.
6
Sejalan dengan komitmen politik dalam Tap MPR tersebut, BPN
menetapkan 6 (enam) program strategis, yaitu11:
1. Reforma agraria dan perspektif pengembangannya;
2. Penertiban tanah terlantar dan pemberdayaan masyarakat;
3. Legalisasi aset tanah;
4. Penyelesaian sengketa dan konflik;
5. LARASITA;
6. Penyediaan tanah untuk kepentingan umum.
7
Ketujuh tujuan tersebut pada dasarnya saling berhubungan,satu
sama lain tidak dapat dipisahkan. Namun terkait dengan
perwujudan kedaulatan pangan melalui ketahanan pangan yang
tangguh, maka tujuan reforma agraria yang ke-7 (tujuh),
mempunyai arti yang sangat signifikan. Tujuan meningkatkan
ketahanan pangan, terutama di era liberalisasi pertanian harus
dilihat dalam kerangka mewujudkan kedaulatan pangan sebagai
upaya menunjukkan jadi diri bangsa dan memperkuat posisi
sebagai negara agraris dalam arti luas.
8
pertanian ini penetapan kawasannya harus memperhatikan kriteria-
kriteria sebagai berikut :
1. Memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai
kawasan pertanian;
2. Ditetapkan sebagai lahan pertanian abadi;
3. Mendukung ketahanan pangan nasional; dan/atau
4. Dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat ketersediaan
air.
13 Lihat Penjelasan Pasal 66 ayat (1) PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)
9
4. Meningkatkan upaya pelestarian dan konservasi sumber
daya alam untuk pertanianserta fungsi lindung;
5. Menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan
pendapatan serta kesejahteraan masyarakat;
6. Meningkatkan pendapatan nasional dan daerah;
7. Mendorong perkembangan industri hulu dan hilir melalui efek
kaitan;
8. Mengendalikan adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke
non pertanian agar keadaan lahan tetap abadi;
9. Melestarikan nilai sosial budaya dan daya tarik kawasan
perdesaan; dan/atau
10. Mendorong pengembangan sumber energi terbarukan.
14 Lihat Pasal 108 PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN)
10
Ketentuan Pasal 108 PP No. 26 Tahun 2008 ini selayaknya
diwaspadai karena jika ditafsirkan lebih jauh dapat diartikan bahwa
alih fungsi lahan pertanian untuk fungsi non pertanian dapat
diperkenankan sepanjang untuk pembangunan sistem jaringan
prasarana umum yang dibangun untuk kepentingan umum.
Pengertian dan kriteria kepentingan umum kiranya harus
dirumuskan seketat mungkin untuk mengendalikan terjadinya alih
fungsi lahan pertanian. Pembangunan jalan tol di Pulau Jawa yang
dibangun dengan dasar untuk kepentingan umum misalnya telah
menghilangkan ratusan hektar persawahan.
11
3. Jika lahan tidak beririgasi yang dialih-fungsikan,
penggantiannya minimal 1x luas lahan semula.
D. Penutup
Untuk mengendalikan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke
penggunaan non pertanian, tentu dibutuhkan komitmen dari semua
pihak pemangku kepentingan (stakeholders). Komitmen untuk tidak
menempatkan pembangunan ekonomi secara dikhotomis dengan
kegiatan pertanian pangan. Kedua hal ini dapat ditempatkan secara
sinergi, dengan menempatkan petani pemilik dan/atau penggarap
12
lahan pertanian sebagai subyek dari proses pembangunan sektor
pertanian itu sendiri. Petani sebagai kelembagaan lokal harus
dilibatkan secara aktif dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan,
sehingga upaya pengendalian dapat menyentuh simpul-simpul kritis
yang terjadi di lapangan dan pada akhirnya diharapkan tercapai
ketahanan dan kedaulatan pangan.
13
sifat multi fungsi lahan persawahan. Misalnya keringanan pajak
bagi petani yang lahannya digantikan pada lokasi lain.
Pihak utama yang terkena dampak negatif alih fungsi lahan adalah
petani, sementara petani merupakan salah satu unsur penting
dalam keberhasilan reforma agraria, karena hakekat reforma
agraria adalah penataan struktur penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan dan
mensejahterakan. Tanpa disertai dengan hakekat dasar dari
reforma agraria, petani yang tanahnya terkena alih fungsi hanya
akan berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain tanpa dapat
mensejahterakan hidupnya, selain juga dari sisi negara menjadi
sulit mewujudkan kedaulatan pangan.
-inm: 121211-
14
DAFTAR PUSTAKA
15
SKH KOMPAS, Politik dan Strategi Pangan Nasional Lemah, Jakarta
30 November 2011.
-inm: 121211-
16