Anda di halaman 1dari 40

TOKSIKOLOGI OBAT

MATA KULIAH ILMU DASAR KEPERAWATAN II

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 8

INDRA WARDANI NIM: P07220218007

NATASYA MELINDA RACHMAD NIM: P07220218022

NOVALINNA APPLEANGELINE R. NIM: P07220218023

WAFIQ AURELIA NOVANY NIM: P07220218036

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KALIMANTAN TIMUR

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


TOKSIKOLOGI OBAT

MATA KULIAH ILMU DASAR KEPERAWATAN II

Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Ilmu Dasar
Keperawatan II.

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 8

INDRA WARDANI NIM: P07220218007

NATASYA MELINDA RACHMAD NIM: P07220218022

NOVALINNA APPLEANGELINE R. NIM: P07220218023

WAFIQ AURELIA NOVANY NIM: P07220218036

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KALIMANTAN TIMUR

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

TAHUN AKADEMIK 2019/2020

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya dan tidak lupa shalawat serta salam kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah “Toksikologi Obat” untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Dasar
Keperawatan II.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan baik tulisan
maupun informasi yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, kami berterima kasih
kepada Bapak Mustaming, S.Kep, M.Kes atas bimbingannya dalam menulis dan
menyusun makalah ini, sehingga penulis dapat membuat makalah sesuai dengan
kaidah dalam membuat karya tulis.

Walaupun makalah ini masih banyak terdapat banyak kekurangan, kami


sangat mengharapkan kepada para pembaca untuk menyampaikan kritik dan saran
yang sifatnya membangun demi kebaikan dan kesempurnaan makalah selanjutnya.

Semoga makalah ini dapat selalu bermanfaat bagi pembaca dan atas
kekurangan dalam makalah ini kami mohon maaf. Terakhir tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih.

Samarinda, 25 Februari 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Cover …………………………………………………. i

Halaman Judul …………………………………………………... ii

Kata Pengantar …………………………………………………... iii

Daftar Isi ………………………………………………………… iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah …………………………………. 1


B. Rumusan Masalah ……………………………………….. 2
C. Tujuan Penulisan ………………………………………… 2
D. Metode Penulisan ………………………………………... 2
E. Sistematika Penulisan ……………………………………. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Toksikologi……..…………………………….. 4
B. Model dan Daya Keracunan ………………………………. 7
C. Klasifikasi Daya Keracunan.……………………………… 11
D. Jenis-jenis Obat Toksik…………………………………… 11
E. Penatalaksanaan Umum Keracunan ….……………………. 20

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ……………………………………………… 35
B. Saran …………………………………………………….. 35

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Toksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang efek


merugikan dari bahan kimia terhadap organisme hidup. Bahan – bahan yang
terkandung pada jenis obat – obatan, baik obat modern maupun obat tradisional.
Sebagian dari masyarakat Indonesia lebih cenderung mengkonsumsi obat-obatan
tanpa mengetahui ada dan tidaknya efek toksik dari obat yang dikonsumsi. hal ini
dikarenakan masih kurangnya pengetahuan masyarakat umum tentang adanya
efek toksik yang dapat ditimbulkan dari mengkonsumsi obat selain itu juga
dikarenakan minimnya jenis obat – obatan yang telah diteliti dan diketahui kadar
toksisitasnya.
Uji toksisitas sangatlah diperlukan untuk menilai keamanan suatu obat. hal ini
dilakukan untuk menghindari adanya efek negatif yang timbul bagi kesehatan,
baik efek secara langsung maupun di masa depan. Salah satu organ pada tubuh
manusia yang sangat penting adalah hepar, hepar memiliki fungsi untuk
memetabolisme semua jenis bahan obat serta bahan-bahan asing yang masuk ke
tubuh manusia, sehingga apabila terjadi proses sekresi melalui empedu, maka
akan terjadi efek toksik di dalam hepar yang disebabkan penumpukan xenobiotik
di dalam hepar.
Dal hal ini terapi antidote merupakan tatacara yang secara khusus ditujukan
untuk membatasi intensitas (kekuatan) efek toksik zat kimia atau menyembuhkan
efek toksik zat kimia atau menyembuhkan efek toksik yang ditimbulkannya,
sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya lebih lanjut. Berarti,
sasaran terapi antidot adalah pengurangan intensitas efek toksik (Donatus,1997).
Perlu dicatat, strategi terapi antidot mana yang akan diambil, sepenuhnya
bergantung pada pengetahuan atau informasi tentang rentang waktu antara saat
pemejanan bahan berbahaya, saat timbulnya gejala- gejala toksik dan saat
penderita siap menjalankan terapi. Karena pengetahuan ini diperlukan untuk
memprakirakan dominasi tahapan nasib bahan berbahaya di dalam tubuh. Misal

1
bahan berbahaya diprakirakan sudah terabsorpsi sempurna, maka tindakan
penghambatan absorpsi sudah tidak diperlukan. Dalam hal ini, mungkin yang
diperlukan penghambatan distribusi atau peningkatan eliminasinya. Misalnya
sekarang, bagaimana tatacara pelaksanaannya masing masing strategi tersebut
(Donatus, 1997).
Ketiga strategi dasar terapi antidot tersebut dapat dikerjakan dengan metode
yang tak khas atau metode yang khas. Dimaksud dengan metode tak khas ialah
metode umum yang adapat diterapkan terhadap sebagian besar zat beracun.
Metode khas ialah metode yang hanya digunakan bila zat beracunnya telah
tersidik jati dirinya serta zat antidotnya tersedia (Donatus,1997).
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis ambil sebagai dasar dari
pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.

“Bagaimana konsep dari toksikologi obat-obatan?”

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Tujuan Umum
Membahas dan memahami konsep dasar dari toksikologi obat.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah adalah:
a. Untuk mengetahui definisi toksikologi.
b. Untuk mengetahui model dan daya keracunan.
c. Untuk mengetahui klasifikasi daya keracunan.
d. Untuk mengetahui jenis-jenis obat toksik.
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan umum dalam keracunan.

D. Metode Penulisan
Adapun metode yang penulis gunakan untuk menulis dan menyusun
makalah ini adalah metode studi pustaka yaitu sebuah metode penulisan karya

2
tulis dengan mencari informasi dari berbagai jenis referensi, mulai dari literatur
buku, internet, televisi, dan jenis referensi lainnya.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1. Makalah ini diawali dengan halaman judul, kata pengantar, dan
daftar isi.
2. BAB I yang merupakan pendahuluan dibagai menjadi beberapa sub-
bab seperti latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
3. BAB II yang merupakan pembahasan dibagi menjadi beberapa sub-
bab seperti pengertian toksikologi obat, model dan daya keracunan,
klasifikasi daya keracunan, jenis-jenis obat toksik, dan penatalaksanaan
umum keracunan.
4. BAB III yang merupakan penutup yang dibagi menjadi beberapa sub-bab
yaitu kesimpulan dan saran.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Toksikologi

Hal racun sudah disebut pada Papyrus Ebers, yang ditulis sekitar 1500 SM.
Paracelsus (1493-1541) dapat dipandang sebagai inisiator toksikologi modern. Ia
mulai mengidentifikasi toksin tertentu melalui percobaan melihat responsnya
terhadap berbagai bahan kimia, dalam konteks terapeutik dan toksik, dan
kemungkinan keterlibatan agens lingkungan.
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian
tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan
kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga
membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut
sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi.
Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk
mengatakan bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain.
Perbandingan sangat kurang informatif, kecuali jika pernyataan tersebut
melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang dipermasalahkan
dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut berbahaya. Oleh sebab itu,
pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek zat
kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek
berbahaya zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
Racun adalah suatu zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi, menempel
pada kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relatif kecil dapat
mengakibatkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi kimia. Racun merupakan
zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis
toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian.
Racun dapat diserap melalui pencernaan, hisapan, intravena, kulit, atau melalui
rute lainnya. Reaksi dari racun dapat seketika itu juga, cepat, lambat atau secara
kumulatif.

4
Sedangkan definisi keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah kondisi
yang mengikuti masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan
kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perlaku, fungsi, dan repon psikofisiologis.
Sumber lain menyebutkan bahwa keracunan dapat diartikan sebagai masuknya
suatu zat kedalam tubuh yang dapat menyebabkan ketidak normalan mekanisme
dalam tubuh bahkan sampai dapat menyebabkan kematian.
Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang di maksudkan untuk di
gunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau
rohaniah pada manusia atau hewan termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh
manusia (Anief, 1991).
Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih banyak juga
orang yang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat
itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu
penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila obat salah digunakan
dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan menimbulkan
keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak akan memperoleh
penyembuhan (Anief, 1991).
Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis berlebih
atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme atau
ekskresi.
Jenis kontak. Pada keadaan tertentu, kontak pada sembarang tempat masuk
tubuh dapat berakibat keracunan. Tabel berikut menggambarkan beberapa
kemungkinan kontak.
Contoh Kerja Racun Rute
Jenis Kontak Efek Kemungkinan
ini
- Efek Lokal dalam Overdosis obat, beberapa
Tertelan saluran cerna tumbuhan, minyak tanah
- Efek sistemik (dsb), pestisida

5
Iritasi local berakibat Soda kaustik
Topikal-kulit
keracunan sistemik Pestisida organofosfat
- Asam dan basa,
- Iritasi local beberapa
- Efek spesifik pada tumbuhan,
Topikal-mata
mata misalnya “Naked
Lady, Arum lily”
- Atropin
- Iritasi pada
saluran nafas
- Atropin
bagian atas dan
- Gas Klorin
Inhalasi bawah
- CO (Karbon
- Absorbsi dan
Monoksida)
keracunan
sistemik
- Sistemik Overdosis obat terapeutik
Injeksi - Iritasi local, Macam-macam obat
nekrosis sitotoksik

Jenis kontak harus bermakna dan baratnya keracunan akan bergantung pada
substansi yang bersangkutan dan sifat kimiawinya. Misalnya substansi larut air
kecil kemungkinan diabsorbsi melalui kulit dan berakibat keracunan sistemik.
Namun, bila mereka asam kuat (Asam Sulfat) atau basa kuat (Soda Kaustik),
dapat mengakibatkan luka bakar kimiawi pada kulit. Beberapa substansi larut
lemak (mis. Organofosfat seperti parathion dan malathion) dapat diabsorbsi
melaui kulit dan berakibat keracunan sistemik. Keadaan serupa terjadi bila
tertelan, timbul iritasi local, absorbs, atau kedua-duanya, tergantung sifat kimiawi
racun itu.

6
B. Model dan Daya Keracunan

Racun adalah zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada
kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relative kecil dapat
mengakibatkan cederadari tubuh dengan adanya rekasi kimia (Brunner &
Suddarth, 2001). Arti lain dari racun adalah suatu bahan dimana ketika diserap
oleh tubuh organisme makhluk hidup akan menyebabkan kematian atau perlukaan
(Muriel, 1995). Racun dapat diserap melalui pencernaan, hisapan, intravena, kulit,
atau melalui rute lainnya. Reaksi dari racun dapat seketika itu juga, cepat, lambat,
atau secara kumulatif. Keracunan dapat diartikan sebagaisetiap keadaan yang
menunjukkan kelainan multisystem dengan keadaan yang tidak jelas (Arif
Mansjor, 1999). Keracunan melalui inhalasi ( pengobatan dengan
cara memberikanobat dalam bentuk uap kepada si sakit langsung melalui alat
pernapasannya (hidung ke paru-paru)) dan menelan materi toksik, baik kecelakaan
dank arena kesengajaanmerupakan kondisi bahaya kesehatan.
Jenis-jenis keracunan menurut (FK-UI, 1995) yaitu :
1. Cara terjadinya terdiri dari:
a. Self poisoning
Pada keadaan ini pasien memakan obat dengan dosis yang berlebih
tetapi dengan pengetahuan bahwa dosis ini tak membahayakan.
Pasien tidak bermaksud bunuhdiri tetapi hanya untuk mencari
perhatian saja.
b. Attempted Suicide
Pada keadaan ini pasien bermaksud untuk bunuh diri, bisa berakhir
dengankematian atau pasien dapat sembuh bila salah tafsir dengan
dosis yang dipakai.
c. Accidental poisoning
Keracunan yang merupakan kecelakaan, tanpa adanya factor
kesengajaan.

7
d. Homicidal poisoning
Keracunan akibat tindakan kriminal yaitu seseorang dengan
sengaja meracuni orang lain.
2. Mulai waktu terjadi
a. Keracunan kronik
Keracunan yang gejalanya timbul perlahan dan lama
setelah pajanan. Gejala dapat timbul secara akut setalah pemajanan
berkali-kali dalam dosis relative kecil ciri khasnya adalah zat
penyebab diekskresikan 24 jam lebih lama dan waktu paruh lebih
panjang sehingga terjadi akumulasi. Keracunan ini diakibatkan oleh
keracunan bahan-bahan kimia dalam dosis kecil tetapi terus menerus
dan efeknya baru dapat dirasakan dalam jangka panjang (minggu,
bulan, atau tahun). Misalnya, menghirup uap benzene dan senyawa
hidrokarbon terkklorinasi (spt. Kloroform, karbon tetraklorida)
dalam kadar rendah tetapi terus menerus akan menimbulkan
penyakit hati (lever) setelah beberapa tahun. Uap timbal akan
menimbulkan kerusakan dalam darah.
b. Keracunan akut
Biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu, sering
mengenai banyak orang (pada keracunan dapat mengenai seluruh
keluarga atau penduduk sekampung ) gejalanya seperti sindrom
penyakit muntah, diare, konvulsi dan koma. Keracunan ini juga
karena pengaruh sejumlah dosis tertentu yang akibatnya dapat dilihat
atau dirasakan dalam waktu pendek. Contoh, keracunan fenol
menyebabkan diare dan gas CO dapat menyebabkan hilang kesdaran
atau kematian dalam waktu singkat.
3. Menurut alat tubuh yang terkena
Pada jenis ini, keracunan digolongkan berdasarkan organ yang
terkena, contohnya racun hati, racun ginjal, racun SSP, racun jantung.

8
4. Menurut jenis bahan kimia
Golongan zat kimia tertentu biasanya memperlihatkan sifat toksik
yang sama, misalnya golongan alcohol, fenol, logam berat, organoklorin
dan sebagainya.
Keracunan juga dapat disebabkan oleh kontaminasi kulit (luka
bakar kimiawi), melalui tusukan yang terdiri dari sengatan serangga
(tawon, kalajengking, dan laba-laba) dan gigitan ular, melalui makanan
yaitu keracunan yang disebabkan oleh perubahan kimia (fermentasi) dan
pembusukan karena kerja bakteri (daging busuk) pada bahan makanan,
misalnya ubi ketela (singkong) yang mengandung asam sianida (HCn),
jengkol, tempe bongkrek, dan racun pada udang maupun kepiting, dan
keracunan juga dapat disebabkan karena penyalahgunaan zat yang terdiri
dari penyalahgunaan obat stimultan (Amphetamine), depresan
(Barbiturate), atau halusinogen (morfin), dan penyalahgunaan alcohol.

Racun yang sering


menyebabkan keracunan dan Terbakar sekitar mulut, bibir, dan
simptomatisnya: Asam kuat hidung
(nitrit, hidroklorid, sulfat)
Kebiruan *gelap* pada kulit wajah
Anilin (hipnotik, notrobenzen)
dan leher
Asenik (metal arsenic, mercuri,
Umumnya seperti diare
tembaga, dll)
Atropine (belladonna),
Dilatasi pupil
Skopolamin
Basa kuat (potassium, Terbakar sekitar mulut, bibir, dan
hidroksida) hidung
Asam karbolik (atau fenol) Bau seperti disinfektan
Karbon monoksida Kulit merah cerry terang
Sianida Kematian yang cepat, kulit merah,

9
dan bau yang sedap
Keracunan makanan Muntah, nyeri perut
Nikotin Kejang-kejang *konvulsi*
Opiat Kontraksi pupil
Asam oksalik (fosfor-oksalik) Bau seperti bawang putih
Natrium Florida Kejang-kejang “konvulsi”
Kejang “konvulsi”, muka dan
Striknin
leher kebiruan “gelap”

Jika kita sehari – hari bekerja, atau kontak dengan zat kimia, kita
sadar dan tahu bahkan menyadari bahwa setiap zat kimia adalah beracun,
sedangkan untuk bahaya pada kesehatan sangat tergantung pada jumlah zat
kimia yang masuk kedalam tubuh.
Seperti garam dapur, garam dapur merupakan bahan kimia yang
setiap hari kita konsumsi namun tidak menimbulkan gangguan kesehatan.
Namun, jika kita terlalu banyak mengkonsumsinya, maka akan
membahayakan kesehatan kita. Demikian juga obat yang lainnya, akan
menjadi sangat bermanfaat pada dosis tertentu, jangan terlalu banyak
ataupun sedikit lebih baik berdasarkan resep dokter.
Bahan-bahan kimia atau zat racun dapat masuk ke dalam tubuh
melewati tiga saluran, yakni:
a. Melalui mulut atau tertelan bisa disebut juga per-oral atau ingesti. Hal
ini sangat jarang terjadi kecuali kita memipet bahan-bahan kimia
langsung menggunakan mulut atau makan dan minum di laboratorium.
b. Melalui kulit. Bahan kimia yang dapat dengan mudah terserap kulit
ialah aniline, nitrobenzene, dan asam sianida.
c. Melalui pernapasan (inhalasi). Gas, debu dan uap mudah terserap lewat
pernapasan dan saluran ini merupakan sebagian besar dari kasus
keracunan yang terjadi. SO2 (sulfur dioksida) dan Cl2 (klor)
memberikan efek setempat pada jalan pernapasan. Sedangkan HCN,

10
CO, H2S, uap Pb dan Zn akan segera masuk ke dalam darah dan
terdistribusi ke seluruh organ-organ tubuh.
d. Melalui suntikan (parenteral, injeksi)
e. Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal) (Idris, 1985).

C. Klasifikasi Daya Keracunan

Klasifikasi daya keracuan meliputi sangat-sangat toksik, sedikit toksik dan


lain-lain.
1. Super Toksik : Struchnine, Brodifacoum, Timbal, Arsenikum, Risin, Agen
Oranye, Batrachotoxin, Asam Flourida, Hidrogen Sianida.
2. Sangat Toksik :Aldrin, Dieldrin, Endosulfan, Endrin, Organofosfat
3. Cukup Toksik :Chlordane, DDT, Lindane, Dicofol, Heptachlor
4. Kurang Toksik :Benzene hexachloride (BHC)

Dalam obat
obatan,
penggolongan Kriteria Toksik Dosis
daya racun
yaitu: No.
1. Super Toksik > 15 G/KG BB
2. Toksik Ekstrim 5 – 15 G/KG BB
3. Sangat Toksik 0,5 – 5 G/KG BB
4. Toksisitas Sedang 50 – 500 MG/KG BB
5. Sedikit Toksik 5 – 50 MG/KG BB

D. Jenis-jenis Obat Toksik


1. Asetaminofen
Efek toksik :
a. Keracunan akut
o Bia terjadi dalam 2-4 jam setelah paparan: mual muntah.
Diaphoresis, pucat, depresi SSP
o Bila sudah 24-48 jam: tanda-tanda hepatotoksis (nyeri abdomen
RUQ, hematomegali ringan)

11
o Prothrombine time mamanjang
o Bilirubin serum meningkat
o Aktivitas transaminase meningkat
o Gangguan fungsi ginjal
b. Keracunan berat : terjadi gagal hati dan ensefalopati.
o Prothrombine time mamanjang > 2x
o Bilirubin serum > 4 mg/dl
o pH < 7,3
o Kreatinin serum > 3,3
c. Keracunan kronik: sama seperti keracunan akut, namun pada penderita
alkoholik, dapat sekaligus terjadi insufiensi hati & ginjal yang berat,
disertai dehidrasi, icterus, koaguloathi, hipoglikemi, dan ATN.
Terapi :
a. Bila keracunan terjadi dalam 4 jam setelah overdosis : diberi karbon
aktif
b. Keracunan dalam 8-10 jam setelah minum obat tersebut berikan:
o Antidote : N-acetylcysteine p.o yang dilarutkan dalam cairan
(bukan alcohol, bukan susu) dengan perbandinagn 3:1 Loading
dose : 140 mg/kgBB. Maintenance dose 70 mg/kgBB tiap 4 jam
(dapat diulang sampai 17x). efek samping : mual, muntah,
epigastric discomfort.
o Antiemetic (metoclopramide, domperidone, atau ondansetron)
o Harus dilakukan monitoring fungsi hati dan ginjal.
o Pada keracunan berat sekali : dilakukan transplantasi hati

2. Obat Anti Kolinergik


Keracunan akut terjadi dalam 1 jam setelah overdosis. Keracunan
kronik dalam 1-3 hari setelah pemberian terapi dimulai.
Efek Toksik :
a. Manifestasi SSP : agitasi, ataksia, konfusi, delirium, halusinasi,
gangguan pergerakan (choreo-athetoid dan gerakan memetik)

12
b. Letargi
c. Depresi nafas
d. Koma
e. Manifestasi di saraf perifer : menurun/hilangnya bising usus, dilatasi
pupil, kulit & mukosa menjadi kering, retensi urine, menimgkatnya
nadi, tensi, respirasi, dan suhu.
f. Hiperaktivitas neuromuskuler, yang dapat mengarah ke terjadinyarhabd
omiolisis dan hipertermi
g. Overdosis AH1 (difenhidramin): kardiotoksik dan kejang
h. Overdosis AH2 (astemizol dan terfenadin) : pemanjangan interval DT
dengan takiaritmia ventrikel, khususnya torsade de pointes.
Terapi :
a. Korban aktif
b. Koma : intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik
c. Agitasi : diberikan preparat benzodiazepine
d. Agitasi yang tidak terkontrol dan delirium, antidote
: physostigmine (inhibitorasetilkolin-esterase). Dosis : 1-2 mg i.v.
dalam 2-5 menit (dosis dapat diulang)
e. Kontraindikasi physostigmine : penderita dengan kejang, koma,
gangguan konduksi jantung, atau aritmia ventrikel.

3. Benzodiazepine
Efek Toksik
a. Eksitasi paradoksal
b. Depresi SSP : (mulai tampak dalam 30 menit setelah overdosis)
c. Koma dan depresi nafas (pada ultra-short acting benzodiazepin dan
kombinasi benzodiazepine-depresan SSP lainnya)
Terapi over dosis benzodiazepine
a. Karbon aktif
b. Respiratory support bila perlu
c. Flumazenil (antagonis kompetitif reseptor benzodiazepine)

13
d. Dosis : 0,1 mg i.v. dengan interval 1 menit sampai dicapai efek yang
diinginkan atau mencapai dosis kumulatif (3 mg). bila terjadi replase,
dapat diulang dengan interval 20 menit, dengan dosis maksimum 3
mg/jam.
e. Efek samping : kejang (pada penderita dengan stimulan dan trisiklik
antidepresan, atau penderita ketergantungan benzodiazepine.
f. Kontraindikasi : kardiotoksisitas dengan anti depresan trisiklik.

4. -Blocker
Efek toksik :
Terjadi dalam ½ jam setelah overdosis dan memuncak dalam 2 jam.
a. Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP
b. -blocker dengan ISA (+) : hipertensi, takikardi
c. Efek toksik pada SSP : kejang
d. Kulit : pucat & dingin
e. Jarang : bronkospasme dan edema paru
f. Hiperkalemi
g. Hipoglikemi
h. Metabolik asidosis (sebagai akibat dari kejang, shock, atau depresi
nafas)
i. EKG : berbagai derajat AV block, bundle branch block, QRS lebar,
asistol
j. Khusus sotalol : pemanjangan interval QT, VT, VF, dan torsade de
pointes

Terapi :
a. Karbon aktif
b. Pada bradikardi dan hipotensi : atropin, isoproterenol, dan vasopresor
c. Pada keracunan berat :
o Glukagon; dosis inisial : 5-10 mg dilanjutkan1-5 mg/jam via infus
o Calcium

14
o Insulin dosis tinggi + glukosa + kalium
o Pacu jantung (internal/eksternal)
o IABP
1) Pada kejadian bronkospasme : inhalasi -agonis, epinefrin
s.c., aminofilin i.v.
2) Pada sotalol-induced ventricular tachyarrhythmia : lidokain,
Mg, overdrive pacing
3) Pada overdosis atenolol, metoprolol, nadolol, dan sotalol :
dapat dilakukan prosedur ekstrakorporeal

5. Calcium Channel Blocker (CCB)


Efek toksik :
mulai terjadi dalam 2-18 jam, berupa :
a. Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP
b. Gol. Dihidropiridin : takikardi reflektif
c. Kejang
d. Hipotensi  iskemi mesenteric; iskemi/infark miokard  edema paru
e. EKG : berbagai derajat AV block, QRS lebar dan pemanjangan
interval QT (terutama karena verapamil); gambaran iskemi/infark,
asistol
f. Metabolik asidosis (sekunder terhadap shock)
g. Hiperglikemi
Terapi :
a. Karbon aktif
b. Pada bradikardi simptomatis :
1) atropin
2) Calcium, dosis inisial : CaCl2 10% 10cc atau Ca glukonas 10% 30
cc i.v. dalam >2 menit (dapat diulang sampai 4x).
c. Bila terjadi relaps setelah dosis inisial, diberikan infus calcium kontinu
: 0,2 cc/kgBB/jam sampai maksimal 10cc/jam.
1) isoproterenol

15
2) glukagon (dosis seperti pada overdosis -blocker)
3) electrical pacing (internal/eksternal)
d. Pada iskemi : mengembalikan perfusi jaringan dengan cairan
e. Khusus pada overdosis verapamil, dilakukan usaha-usaha untuk
mengembalikan metabolisme miokard dan meningkatkan kontraktilitas
miokard dengan : regular insulin dosis tinggi (0,1 – 0,2 U/kgBB bolus
i.v. diikuti dengan 0,1 – 1 U/kgBB/jam, bersama dengan glukosa 25 gr
bolus, diikuti infus glukosa 20% 1 gr/kgBB/jam, serta kalium).
f. Bila masih hipotensi walaupun bradikardi sudah teratasi, diberikan
cairan.
g. Amrinone, dopamine, dobutamin, dan epinefrin (tunggal/kombinasi)
h. Pada shock refrakter : I A B P.

6. Karbon Monoksida
Efek toksik :
a. Hipoksia jaringan, dengan : metabolisme anaerob, asidosis laktat,
peroksidasi lemak, dan pembentukan radikal bebas.
b. Nafas pendek, dispnea, takipnea,
c. Sakit kepala, emosi labil, konfusi, gangguan dalam mengambil
keputusan,
d. Kekakuan, dan pingsan
e. Mual, muntah, diare
f. Pada keracunan berat : edema otak, koma, depresi nafas, edema paru,
g. Gangguan kardiovaskuler : nyeri dada iskemik, aritmia, gagal jantung,
dan hipotensi
h. Pada penderita koma dapat timbul blister dan bula di tempat-tempat
yang tertekan
i. Creatin kinase serum meningkat
j. Laktat dehidrogenase serum meningkat
k. Nekrosis otot  mioglobinuria  gagal ginjal

16
l. Gangguan lapang pandang, kebutaan , dan pembengkakan vena disertai
edema papil atau atrofi optic
m. Metabolik asidosis
n. Menurunnya saturasi O2 (dinilai dari CO-oxymetry)
o. Biasanya tampak sianosis (jarang terlihat kulit dan mukosa berwarna
merah ceri)
p. Penderita yang sampai tidak sadar beresiko mengalami sekuele
neuropsikiatrik (perubahan kepribadian, gangguan kecerdasan, buta,
tuli, inkoordinasi, dan parkinsonism) dalam 1-3 minggu setelah paparan

7. Glikosida Jantung
Dicurigai keracunan bila pada penderita yang mendapatkan digoksin
denyut jantung yang sebelumnya cepat/normal menjadi melambat atau
terdapat irama jantung yang ireguler dengan konsisten.
Efek toksik :
a. Menurunnya otomatisitas SA node dan konduksi AV node
b. Tonus simpatis : otomatisitas otot, AV node, dan sel-sel konduksi;
meningkatnya after depolarization
c. EKG : bradidisritmia, triggered takidisritmia, sinus aritmia, sinus
bradikardi, berbagai derajat AV block, kontraksi ventrikel premature,
bigemini, VT, VF
d. Kombinasi dari takiaritmia supraventrikel dan AV block
(mis.: PAT dengan AV block derajat 2; AF dengan AV block derajat
3) atau adanya bi-directional VT ) sangat sugestif untuk menilai adanya
keracunan glikosida jantung
e. Muntah
f. Konfusi, delirium
g. Halusinasi, pandangan kabur, fotofobi, skotomata, kromotopsia
h. Keracunan akut : takiaritmia dan hiperkalemi
i. Keracunan kronik : bradiaritmia dan hipokalemia

17
Terapi :
a. Karbon aktif dosis berulang
b. Koreksi K, Mg, Ca
c. Koreksi hipoksia
d. Pada sinus bradikardi dan AV block derajat 2/3 : atropin, dopamine,
epinefrin, dan dapat saja fenitoin (100 mg i.v. tiap 5 menit sampai 15
mg/kg), serta isoproterenol
e. Pada takiaritmia ventrikel : Mg sulfat, fenitoin, lidokain, bretilium, dan
amiodaron
g. Pada disritmia yang life-threatening : terapi antidot dengan digoxin-
specific Fab-fragmen antibodies i.v. dalam >15-30 menit. Tiap vial
antidot (40 mg) dapat menetralisir 0,6 mg digoksin. Biasanya pada
keracunan akut diperlukan 1-4 vial; pada kronik 5-15 vial.
h. Pada keracunan akut yang berat dengan kadar kalium serum >= 5,5
mEq/lt (walaupun tanpa disritmia), antidot harus diberikan.
i. Electrical pacing (bukan pacing untuk profilaksis)
j. Bila perlu defibrilasi dengan energi rendah (mis.: 50W.s)

8. Obat-obatan golongan NSAID


Efek toksik :
a. Mual, muntah, nyeri perut
b. Mengantuk, sakit kepala
c. Glikosuri, hematuri, proteinuria
d. Jarang : gagal ginjal akut, hepatitis
e. Diflunisal dapat mengakibatkan : hiperventilasi, takikardi, dan
berkeringat
f. Asam mefenamat dan fenilbutazon dapat mengakibatkan : koma,
depresi nafas, kejang, kolaps kardiovaskular. Fenilbutazon relatif sering
mengakibatkan : asidosis metabolic.
g. Ibuprofen : asidosis metabolik, koma, dan kejang
h. Ketoprofen dan naproxen : kejang

18
Terapi :
a. Karbon aktif dosis berulang
b. Pada gagal hati/ginjal dan pada keracunan berat, hemoperfusi dapat
berguna.
9. SALISILAT (termasuk aspirin)
Keracunan salisilat diidentifikasi dari test urine ferri chloride (+) berwarna
ungu.
Efek toksik
(mulai terjadi dalam 3-6 jam setelah overdosis >= 150 mg/kgBB) :
a. Muntah, berkeringat, takikardi, hiperpnea  dehidrasi dan menurunnya
fungsi ginjal
b. Demam, tinitus, letargi, konfusi
c. Pada awalnya terjadi alkalosis respiratorik dengan kompensasi
ekskresi bikarbonat melalui urine
d. Selanjutnya asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap dan
ketosis
e. Alkalemia dan asiduria paradoksal
f. Peningkatan hematokrit, jumlah leukosit, dan jumlah thrombosis
g. Hipernatremia, hiperkalemia, hipoglikemia
h. Prothrombin time memanjang
i. Pada keracunan berat dapat terjadi : koma, depresi nafas, kejang,
kolaps kardiovaskuler, serta edema otak & paru(non-kardiak &
kardiak). Saat ini terjadi asidemia dan asiduria (asidosis metabolik
dengan alkalosis/asidosis respiratorik).
Terapi overdosis salisilat :
a. Karbon aktif dosis berulang masih berguna walaupun keracunan sudah
terjadi dalam 12-24 jam
b. Pada penderita yang menelan >500 mg/kgBB salisilat, sebaiknya
dilakukan lavase lambung dan irigasi seluruh usus

19
c. Endoskopi berguna untuk diagnostik dan untuk mengeluarkan bezoar
lambung
d. Pada penderita dengan perubahan status mental, sebaiknya kadar
glukosanya terus dipantau
e. Saline i.v. sampai beberapa liter
f. Suplemen glukosa
g. Oksigen
h. Koreksi gangguan elektrolit dan metabolic
i. Pada koagulopati diberikan vitamin K i.v.
j. Alkalinisasi urine (sampai pH 8) dan diuresis saline. Kontraindikasi
diuresis: edema otak/paru, gagal ginjal
k. 50-150 mmol bikarbonat (+ kalium) yang ditambahkan pada 1 lt cairan
infus saline-dekstrose dengan kecepatan 2-6 cc/kgBB/jam
l. Monitor kadar elektrolit, calcium, asam-basa, pH urine, dan balans
cairan
m. Hemodialisis dilakukan pada intoksikasi berat (kadar salisilat
mendekati/>100 mg/dl setelah overdosis akut, atau bila ditemukan
kontraindikasi/kegagalan prosedur di atas

E. Penatalaksanaan Keracunan dan Overdosis


1. Prinsip umum.
Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi tanda-
tanda vital, mencegah absorpsi racun lebih lanjut, mempercepat
eliminasi racun, pemberian antidot spesifik, dan mencegah paparan ulang.
Terapi spesifik tergantung dari identifikasi racun, jalan masuk,
banyaknya racun, selang waktu timbulnya gejala, dan beratnya derajat
keracunan. Pengetahuan farmakodinamik dan farmakokinetik substansi
penyebab keracuan amatlah penting.
Selama fase pretoksik, sebelum onset keracunan, prioritas pertama
adalah dekontaminasi segera berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang terarah dan singkat Juga disarankan pemasangan i.v. line dan

20
monitoring jantung, khususnya pada penderita keracunan per oral serius
atau penderita dengan anamnesis yang tidak jelas.
Bila anamnesis penderita tidak jelas, dan diduga keracunan akan
terjadi secara lambat atau akan terjadi kerusakan ireversibel, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan toksikologi darah dan urin, serta dilakukan
pemeriksaan kuantitatif bila ada indikasi. Selama absorpsi dan distribusi
berlangsung, kadar racun dalam darah akan lebih tinggi dibandingkan kadar
di jaringan, sehingga tidak berhubungan dengan toksisitasnya. Namun
bila metabolit racun tinggi kadarnya dalam darah dan lebih toksik
dibanding bentuk asalnya (asetaminofen, etilen glikol, atau methanol), maka
diperlukan intervensi tambahan (antidot, dialisis).
Kebanyakan pasien yang asimtomatis setelah terpapar racun per oral
dalam 4-6 jam, dapat dipulangkan dengan aman. Observasi lebih lama
dibutuhkan bila terdapat keracunan per oral yang menyebabkan lambatnya
pengosongan lambung dan motilitas usus dimana disolusi, absorpsi, dan
distribusi racun dengan sendirinya juga lebih lambat. Pada racun yang
dalam tubuh akan diubah menjadi metabolit toksik, juga diindikasikan
observasi lebih lanjut.
Selama fase toksik, yaitu waktu antara onset keracunan sampai
dengan terjadinya efek puncak, penatalaksanaan berdasarkan pada
penemuan klinis dan laboratorium. Setelah overdosis, akan segera timbul
efek-efeknya lebih awal, yang kemudian memuncak, dan tetap bertahan
lebih lama dibandingkan bila obat tersebut diberikan pada dosis terapi.
Prioritas pertama untuk dilakukan adalah resusitasi dan stabilisasi. Terhadap
semua pasien yang simtomatis harus dilakukan pemasangan i.v. line,
penentuan saturasi oksigen, monitoring jantung, dan observasi kontinu.
Pemeriksaan laboratorium dasar, EKG, dan x-ray dapat berguna.
Pada penderita dengan perubahan status mental, khususnya pada
kasus koma maupun kejang, harus dipertimbangkan pemberian glukosa i.v.
(kecuali bila kadarnya normal), naloxone, dan thiamine. Dekontaminasi
dapat berguna juga.

21
Harus dipikirkan manfaat dan resikonya bila dilakukan upaya
percepatan eliminasi racun. Syaratnya adalah diagnosis pasti dengan
konfirmasi laboratoris. Dialisis intestinal dengan pemberian karbon aktif
berulang biasanya aman dan dapat mempercepat eliminasi. Terapi diuresis
dan khelasi hanya mempercepat eliminasi sejumlah kecil racun, serta
memiliki potensi komplikasi. Metode ekstrakorporeal efektif untuk
mengeluarkan banyak racun, tetapi biaya dan resikonya juga besar, sehingga
penggunaanya terbatas pada.keracunan berat.
Selama fase resolusi, perawatan suportif dan monitoring harus
kontinu dilakukan sampai abnormalitas klinis, laboratoris, maupun EKG
membaik. Karena bahan-bahan kimia dalam darah lebih dulu dieliminasi
dibandingkan yang dari jaringan, maka kadarnya dalam darah selalu lebih
rendah dari kadarnya di jaringan sehingga tidak berkorelasi dengan
toksisitasnya.. Hal ini menjadi dasar prosedur ekstrakorporeal. Redistribusi
dari jaringan dapat menyebabkan peningkatan balik racun dalam darah
setelah selesainya prosedur ini. Bila metabolit racun yang menyebabkan
efek toksiknya, maka pada penderita yang telah asimtomatis tetap harus
diberikan terapi karena masih terdapat potensi toksik kadarnya metabolitnya
dalam darah (asetaminofen, etilen glikol, dan methanol).
2. Perawatan suportif
Tujuan dari terapi suportif adalah adalah untuk mempertahankan
homeostasis fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap, dan untuk
mencegah serta mengobati komplikasi sekunder seperti aspirasi, ulkus
dekubitus, edema otak & paru, pneumonia, rhabdomiolisis, gagak ginjal,
sepsis, penyakit thromboembolik, dan disfungsi organ menyeluruh akibat
hipoksia atau syok berkepanjangan. Indikasi untuk perawatan di ICU adalah
sebagai berikut:
a. Penderita keracunan berat (koma, depresi nafas, hipotensi,
abnormalitas konduksi jantung, aritmia jantung, hipo/hipertermi,
kejang)

22
b. Penderita yang perlu monitoring ketat, antidot, maupun terapi
percepatan eliminasi racun
c. Penderita dengan kemunduran klinis progresif
d. Penderita dengan penyakit dasar yang signifikan
Penderita keracunan ringan sampai sedang dapat dikelola pada
pelayanan kesehatan umum, intermediate care unit, diobservasi di UGD,
tergantung dari lamanya kejadian keracunan dan monitoring yang
diperlukan (observasi klinis intermiten vs kontinu, monitoring jantung dan
pernafasan).
Penderita percobaan bunuh diri membutuhkan observasi dan
pemeriksaan kontinu untuk mencegah mereka melukai diri sendiri, sampai
tidak mungkin lagi dilakukan upaya-upaya lebih lanjut.

3. Penatalaksanaan problem respirasi


Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi isi lambung amat
penting untuk dilakukan pada penderita : depresi SSP atau kejang, karena
komplikasi ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Karena
penilaian klinis fungsi respirasi sering tidak akurat, perlunya oksigenasi dan
ventilasi paling baik ditentukan dari pemeriksaan oksimetri atau analisa gas
darah. Reflek muntah bukanlah indikator yang dapat dipercaya untuk
menilai perlunya intubasi. Paling baik dilakukan intubasi profilaksis pada
penderita yang tidak mampu berespon terhadap suara, maupun yang tidak
mampu duduk atau minum tanpa dibantu.
Ventilasi mekanik diperlukan pada penderita depresi nafas, hipoksia,
dan untuk memfasilitasi sedasi terapeutik atau paralysis untuk mencegah
hipertermia, asidosis, dan rhabdomiolisis yang berhubungan dengan
hiperaktivitas neuromuskuler.
Edema paru yang diinduksi obat biasanya jenis yang non-kardiak.
Edema paru kardiak biasanya pada penderita depresi SSP dan penderita
abnormalitas konduksi jantung Pengukuran tekanan arteri pulmoner penting
untuk mengetahui etiologi dan dapat langsung sebagai terapi.

23
Pada gagal nafas berat yang reversibel, dilakukan pengukuran
ekstrakorporeal ( oksigenasi membran, perfusi venoarterial, bypass
kardiopulmoner), ventilasi parsial cairan (perfluorokarbon), dan terapi
oksigen hiperbarik.
4. Terapi kardiovaskuler
Mempertahankan perfusi normal jaringan amat penting untuk
pemulihan tuntas ketika racun sudah dieliminasi. Bila terjadi hipotensi yang
tidak responsif dengan ekspasi volume, dapat diberikan norepinefrin,
epinefrin atau dopamine dosis tinggi.
Pada gagal jantung berat yang reversibel, dapat dilakukukan
tindakan intraaortic balloon pump counterpulsation, dan tehnik perfusi
venoarterial atau kardiopulmoner. Pada keracunan -blocker dan calcium
channel blocker, efektif diberikan glukagon dan kalsium. Terapi antibodi
antidigoxin dan pemberian Mg diindikasikan untuk kasus keracunan
glikosida jantung yang berat.
SVT yang berkaitan dengan hipertensi dan eksitasi SSP hampir
selalu disebabkan karena agen yang mengakibatkan eksitasi fisiologik
secara menyeluruh. Kebanyakan kasusnya berupa keracunan ringan atau
sedang dan hanya memerlukan observasi atau sedasi nonspesifik dengan
benzodiazepin. Sedangkan SVT tanpa hipertensi pada umumnya merupakan
akibat sekunder dari vasodilatasi atau hipovolemia, dan berespon dengan
pemberian cairan. Terapi spesifik diindikasikan untuk kasus berat atau yang
berhubungan dengan instabilitas hemodinamik, nyeri dada, atau pada EKG
dijumpai iskemia.
Untuk penderita dengan hiperaktivitas simpatik, terapi dengan
kombinasi  dan  blocker (labetalol), calcium channel blocker (verapamil
atau diltiazem), atau kombinasi  blocker – vasodilator (esmolol dan
nitroprusside) merupakan terapi terpilih. Untuk penderita keracunan
antikolinergik, terapi terpilihnya adalah pemberian physostigmine.
Pada VT (ventricular tachyarrhytmia) umumnya aman bila diberikan
lidokain dan fenitoin. Namun pemberian blocker dapat berbahaya, kecuali

24
bila aritmia jelas disebabkan karena hiperaktivitas simpatis. Obat antiaritmi
kelas IA, IC, dan III merupakan kontraindikasi untuk diberikan pada VT
karena antidepresan trisiklik dan karena obat-obatan membran aktif (karena
efek elektrofisiologik yang mirip), tetapi pemberian sodium bicarbonate
dapat membantu.
Penderita dengan torsade de pointes dan pemanjangan interval QT,
pemberian Mg sulfat dan overdrive pacing(dengan isoproterenol
atau pacemaker) akan membant.
Rekaman EKG invasive (esofagel atau intracardiak), dibutuhkan
untuk menentukan dari mana takikardia kompleks lebar berasal
(ventricular atau supraventricular).
Bila penderita secara hemodinamik stabil, lebih baik diobservasi saja
daripada diterapi dengan obat yang potensial proaritmia. Aritmia dapat
resisten terhadap terapi sampai keseimbangan asam-basa, elektrolit,
oksigenasi, dan gangguan suhu dikoreksi.

5. Terapi SSP
Hiperaktivitas neuromuskuler dan kejang dapat selanjutnya
mengarah ke hipertermia, asidosis laktat, dan rhabdomiolisis dengan
komplikasinya, dan harus diterapi secara agresif. Kejang akibat stimulasi
berlebihan reseptor katekolamin (pada keracunan simpatomimetik atau
halusinogen dan putus obat) atau kejang akibat menurunnya aktivitas
GABA (keracunan INH) atau kejang karena reseptor glisin (keracunan
strichnin), paling baik diterapi dengan peningkatan efek GABA seperti
dengan pemberian : benzodiazepin dan barbiturat. Terapi dengan ke-2 obat
ini sekaligus lebih efektif karena masing-masing bekerja dengan efek yang
berlainan. Benzodiazepin meningkatkan frekuensi, sedangkan barbiturat
memanjangkan lamanya waktu pembukaan saluran klorida dalam merespon
GABA.
Kejang yang disebabkan INH, yang menghambat sintesis GABA
memerlukan piridoksin dosis tinggi yang memfasilitasi sintesis GABA.

25
Kejang yang berasal dari destabilisasi membran (keracunan  blocker
antidepresan siklik) akan memerlukan anti konvulsan membran aktif seperti
fenitoin sebagaimana yang meningkatkan GABA.
Pada keracunan dopaminergik sentral (seperti phencyclidine),
pemberian agen yang aktivitasnya berlawanan seperti haloperidol, akan
berguna. Pada keracunan antikolinergik dan sianida, diperlukan terapi
antidot spesifik. Sedangkan kejang yang terjadi sekunder akibat iskemi,
edema, atau abnormalitas metabolik, harus dikoreksi dari penyakit
dasarnya. Pada kejang refrakter diindikasikan upaya paralisis
neuromuskuler. Monitoring EEG dan terapi berkelanjutan penting untuk
mencegah kerusakan neurologik permanen. Keadaan suhu yang ekstrim,
abnormalitas metabolik, disfungsi hati & ginjal, dan komplikasi sekunder
harus diterapi sesuai standar.

6. Pencegahan Absorpsi Racun


a. Dekontaminasi Gastrointestinal
Perlu tidaknya dilakukan dekontaminasi gastrointestinal dan
prosedur mana yang akan dipakai, tergantung dari : waktu sejak racun
tertelan, toksisitas bahan yang telah & akan terjadi kemudian,
availabilitas, efikasi, dan kontraindikasi dari prosedur; serta beratnya
keracunan dan resiko komplikasi. Studi pada binatang dan sukarelawan
menunjukkan bahwa efektivitas dari karbon aktif, lavase lambung, dan
sirup ipecac menurun sesuai jangka waktu keracunan. Tidak cukup data
untuk menunjang/mengekslusi manfaat penggunaan hal-hal tsb. pada
keracuan yang sudah lebih dari 1 jam.
Rata-rata waktu terapi dekontaminasi gastrointestinal yang
disarankan adalah lebih dari 1 jam setelah keracunan pada anak dan
lebih dari 3 jam pada dewasa dari sejak racun tertelan sampai timbul
gejala/tanda keracunan. Sebagian besar penderita akan sembuh dari
keracunan dengan semata-mata perawatan suportif yang baik, namun
komplikasi dari dekontaminasi gastrointestinal khususnya aspirasi,

26
dapat memanjangkan proses ini. Karena itu prosedui ini dilakukan
secara selektif dan bukan rutin. Prosedur ini jelas tidak diperlukan
bilamana toksisitas diperkirakan minimal atau waktu terjadinya efek
toksik maksimal sudah terlewati tanpa efek signifikan.
Karbon aktif lebih efektif digunakan, kontraindikasinya &
komplikasinya lebih sedikit, lebih tidak invasive, sedikit lebih disukai,
dibandingkan ipecac atau lavase lambung. Karbon aktif merupakan
metoda dekontaminasi gastrointestinal yang terpilih untuk sebagian
besar kasus keracunan. Karbon aktif disiapkan sebagai suspensi dalam
air, baik sendiri atau dengan suatu katartik. Diberikan per oral melalui
botol susu pada bayi atau melalui cangkirsedotan, atau NGT berkaliber
kecil. Dosis yang direkomendasikan : 1 gr/kgBB dengan 8 ml pelarut
untuk tiap gram karbon aktif. Untuk memperbaiki rasanya, dapat
ditambahkan pemanis (sorbitol), atau penambah rasa (ceri, coklat, atau
cola) dalam suspensinya.
Karbon menyerap racun dalam lumen usus, sehingga memungkinkan
kompleks karbon-toksin dievakuasi melalui feses. Kompleks tsb. dapat
juga dikeluarkan dari lambung dengan induksi muntah atau lavase.
Secara in vitro, karbon menyerap >= 90% dari sebagian besar jenis
racun bila diberikan dalam jumlah10x lipat berat racun.
Bahan kimia yang terionisasi (asam & basa mineral), garam sianida
yang terdisosiasi amat cepat, flourida, Fe, lithium, dan senyawa
anorganik lainnya, tidak diserap dengan baik oleh karbon. Pada studi
binatang dan sukarelawan, karbon rata-rata akan menyerap 73%
ingestan bila diberikan dalam 5 menit setelah pemberian ingestan,
menyerap 51% bila diberikan dalam 30 menit, dan 36% dalam 1 jam.
Karbon paling tidak sama efektifnya dengan sirup ipecac atau lavase
lambung. Dalam eksperimen, lavase yang diikuti dengan pemberian
karbon aktif lebih efektif daripada karbon aktif saja; pemberian karbon
aktif sebelum dan sesudah lavase lebih efektif lagi. Namun

27
kenyataannya pada penderita keracunan yang diberikan karbon aktif
saja, hasilnya lebih baik daripada kombinasi seperti di atas.
Efek samping karbon aktif meliputi : mual, muntah, dan diare atau
konstipasi. Karbon aktif juga menghambat penyerapan obat-obatan
yang diberikan per oral. Komplikasi pemberian karbon aktif meliputi :
obstruksi mekanik dari jalan nafas, aspirasi, muntah, obstruksi usus, dan
infeksi. Kontraindikasi karbon aktif : penderita dengan keracunan agen
korosif, karena akan mengaburkan endoskopi.
Lavase lambung dikerjakan dengan cara memberikan dan
mengaspirasi secara bergantian cairan sebanyak 5 ml/kgBB melalui
tube orogastrik No.28 (French) pada anak dan No. 40 pada dewasa.
Kecuali pada bayi, tap cairan dapat dilakukan. Penderita dalam posisi
Trendelenburg dan left lateral decubitus untuk mencegah aspirasi
(kecuali bila sudah dipasang ETT). Efektivitas lavase kira-kira sama
dengan ipecac.
Komplikasi lavase tersering adalah aspirasi (terjadi pada >10%
penderita), khususnya pada lavase yang kurang benar. Komplikasi
serius berupa lavase trakheal, perforasi esofagus dan gaster, terjadi kira-
kira pada hampir 1% penderita. Karenanya dokter harus melakukan
sendiri pemasangan tube lavage dan mengkonfirmasi letaknya dan
pasien juga harus kooperatif atau diberi sedasi bila perlu selama
prosedur.
Kontraindikasi lavage lambung adalah pada keracunan bahan korosif
atau petroleum distilate peroral karena bisa saja terjadi perforasi
gastroesofageal dan aspiration induced hydrocarbon pneumonitis.
Irigasi usus dilakukan dengan cara memberikan cairan pembersih
usus yang mengandung elektrolit dan polietilen glikol (Golytely,
Colyte) peroral atau dengan tube gastric dengan kecepatan > 0,5
liter/jam pada anak-anak dan 2 liter/jam pada dewasa, sampai diperoleh
cairan rectum yang jernih. Pasien harus dalam posisi duduk. Irigasi
seluruh usus mungkin sama efektifnya dengan prosedur dekontaminasi

28
yang lain. Irigasi usus dapat dilakukan pada penderita yang tertelan
benda asing, bungkus obat illegal, obat yang lepas lambat atau tablet
salut dan agen yang tidak dapat diserap oleh karbon aktif misalnya
(logam berat).
Kontraindikasi irigasi usus pada penderita obstuksi usus, ileus,
hemodinamik yang tidak stabil, dan jalan nafas yang tidak terlindungi.
Garam-garam katartik (disodium fosfat, magnesium sitrat dan sulfat,
serta sodium sulfat), atau golongan sakarida (manitol, sorbitol),
merangsang evakuasi rektal dari isi lambung dan usus. Katartik yang
paling efektif ialah sorbitol dengan dosis 1-2 gram/kgBB. Katartik
tunggal tidak mencegah absorpsi bahan yang tertelan dan sebaiknya
tidak digunakan untuk dekontaminasi usus. Penggunaan utamanya
adalah untuk mencegah konstipasi pada pemberian karbon aktif.
Efek samping katartik berupa kram perut, mual, dan kadang-kadang
muntah.Komplikasi dosis katartik yang berulang berupa
hipermagnesemia dan diare yang hebat. Katartik dikontraindikasi kan
pada penderita keracunan bahan korosif peroral dan pada penderita
yang sedang diare. Katartik yang mengandung magnesium tidak boleh
dipakai pada penderita gagal ginjal.
Dilusi (minum air sebanyak 5 cc/kgBB atau cairan jernih lainnya)
harus dilakukan sesegera mungkin dilakukan setelah tertelan bahan
korosif (asam-basa). Namun dilusi juga meningkatkan kecepatan
disolusi (dengan sendirinya absorpsi) dari kapsul, tablet, dan bahan
padat lainnya, sehingga sebaiknya tidak digunakan pada keracunan
karena bahan-bahan ini.
Pada keadaan yang jarang, diperlukan tindakan endoskopik atau
pembedahan untuk mengeluarkan racun, seperti misalnya keracunan
tertelan benda asing yang potensial toksik, dimana benda ini gagal
untuk transit di GI tract, keracunan logam berat dalam jumlah yang
potensial mematikan (arsen, besi, merkuri, thalium) atau bahan yang
bersatu dengan isi lambung atau bezoar (barbiturat, glutetimid, logam

29
berat, lithium, meprobamat, preparat lepas lambat). Penderita yang
menjadi toksik karena kokain akibat kebocoran dari banyak bungkus
obat yang ditelan membutuhkan intervensi bedah segera.
b. Dekontaminasi pada tempat-tempat lain
Bilasan segera dan berulang-ulang dengan air, saline, atau cairan
jernih lainnya yang dapat diminum merupakan terapi inisial untuk
eksposur topikal (kecuali logam alkali, kalsium oksida, fosfor). Untuk
irigasi mata dipilih salin sedangkan untuk dekontaminasi kulit paling
baik dilakukan triple wash (air-sabun-air). Paparan racun melalui
inhalasi harus diobati dengan udara segar atau oksigen.

7. Percepatan eliminasi racun


Keputusan untuk tindakan ini harus berdasarkan pada toksisitas yang
nyata atau yang diperkirakan dan didasarkan juga pada efektivitas, biaya,
dan resiko terapi.
a. Karbon aktif dosis multipel
Dosis oral karbon aktif yang berulang dapat mempercepat
eliminasi substansi yang sebelumnya diabsorpsi dengan cara
mengikatnya dalam usus lalu diekskresikan melalui empedu,
disekresikan oleh sel-sel gastrointestinal, atau difusi pasif kedalam
lumen usus (absorpsi balik atau exsorpsi enterokapiler). Dosis yang
direkomendasikan 0,5-1 gram/kgBB tiap 2-4 jam, diberikan untuk
mencegah regurgitasi pada pasien dengan motilitas gastrointestinal
yang berkurang. Secara eksperimen terapi ini mempercepat eliminasi
hampir semua substansi. Efektifitas farmakokinetiknya mendekati
seperti hemodialisis untuk beberapa agen (misalnya fenobarbital,
teofilin). Terapi dosis multipel ini tidak efektif dalam mempercepat
eliminasi dari klorpropamid, tobramisin, atau bahan yang tidak bisa
diserap oleh karbon. Komplikasinya berupa obstruksi
usus, pseudoobstruksi, dan infark usus nonoklusif pada penderita-
penderita dengan motilitas usus yang rendah.

30
b. Diuresis paksa dan perubahan pH urin
Diuresis dan iontrapping melalui perubahan pH urin dapat
mencegah reabsorpsi renal dari racun yang mengalami ekskresi oleh
filtrasi glomerulus dan sekresi aktif tubuler. Karena membran lebih
permeable terhadap molekul yang tidak terion dibandingkan yang dapat
terion, racun-racun yang asam (pKa rendah) akan diionisasi dan
terkumpul dalam urin yang basa. Sebaliknya racun-racun yang sifatnya
basa akan diionisasi dan dikumpulkan dalam urin yang asam.
Diuresis salin dapat mempercepat ekskresi renal dari alkohol,
bromida, kalsium, fluorida, lithium, meprobamat, kalium, dan INH.
Diuresis basa (pH urin >= 7,5 dan output urin 3-6 cc/kgBB/jam)
mempercepat eliminasi dari herbisida chlorphenoxyacetic acid,
klorpropamid, diflunisal, fluorida, metotreksat, fenobarbital,
sulfonamid, dan salisilat.
Kontraindikasi diuresis paksa meliputi gagal jantung kongestif,
gagal ginjal, dan edema otak. Parameter asam-basa, cairan, dan
elektrolit harus dimonitor dengan cermat.
Diuresis asam mempercepat eliminasi renal dari amfetamin,
klorokuin, kokain, anestetik local, phencyclidine, kinidin, kinin,
strychnine, simpatomimetik, antidepresan trisiklik, dan tokainid.
Namun penggunaannya banyak dilarang karena potensial terjadi
komplikasi dan efektifitas kliniknya tidak banyak.

8. Pengeluaran racun secara ekstrakorporeal


Dialisis peritoneal, hemodialisis, hemoperfusi karbon atau resin,
hemofiltrasi, plasmaferesis, dan tranfusi ganti dapat dilakukan untuk
mengeluarkan toksin dari aliran darah. Kandidat untuk terapi-terapi ini
adalah :
a. Penderita dengan keracunan berat yang mengalami deteriorasi klinis
walaupun sudah diberi terapi suportif yang agresif;

31
b. Penderita yang potensial mengalami toksisitas yang berkepanjangan,
ireversibel, atau fatal;
c. Penderita dengan kadar racun darahnya dalam tingkat yang berbahaya;
d. Penderita yang dalam tubuhnya tidak mampu dilakukan detoksifikasi
alami seperti pada penderita gagal hati atau gagal ginjal;
e. Serta penderita keracunan dengan penyakit dasar/komplikasinya yang
berat

Agen yang akan dieliminasi dengan cara dialisis harus memiliki BM


rendah(<500 Da), larut dalam air, berikatan lemah dengan protein, volume
distribusi kecil (< 1 liter/kgBB), eliminasi memanjang (waktu paruh
panjang), dan memiliki bersihan dialisis yang tinggi relatif terhadap
bersihan total dari badan. Berat molekul, kelarutan dalam air, atau ikatan
dengan protein, tidak mengurangi efektivitas metode ekstrakorporeal yang
lainnya.
Indikasi dialisis untuk kasus keracunan berat dengan : barbiturat,
bromida, chloral hydrate, ethanol, etilen glikol, isopropyl alcohol, lithium,
methanol, procainamide, teofilin, salisilat, dan mungkin logam berat.
Walaupun hemoperfusi mungkin lebih efektif dalam mengeluarkan
beberapa racun, namun metode ini tidak sekaligus mengoreksi abnormalitas
asam-basa dan elektrolit.
Indikasi hemoperfusi pada keracunan berat yang disebabkan :
karbamazepin, kloramfenikol, disopiramid, dan sedatif-hipnotik (barbiturat,
ethchlorvynol, glutethimide, meprobamat, methaqualone), paraquat,
fenitoin, prokainamid, teofilin, dan valproat.
Baik metode dialisis maupun metode hemoperfusi, sama-sama
memerlukan akses vena sentral dan antikoagulan sistemik, serta dapat
menyebabkan hipotensi sementara. Hemoperfusi juga dapat mengakibatkan
hemolisis, hipokalsemia, dan trombositopenia.
Dialisis peritoneal dan transfusi ganti lebih kurang efektivitasnya,
tetapi metode ini dapat digunakan bila tidak dapat dikerjakan prosedur

32
ekstrakorporeal lainnya, baik karena terdapat kontraindikasi, maupun secara
tehnis sulit (misalnya pada bayi).
Tranfusi ganti mengeluarkan racun-racun yang mempengaruhi
eritrosit (seperti pada methemoglobinemia, atauarsen–induced hemolysis).
9. Tehnik eliminasi lainnya
Logam berat dapat lebih cepat dieliminasi dengan khelasi.
Pengeluaran karbon monoksida dapat ditingkatkan dengan pemberian
oksigen hiperbarik.
a. Pemberian antidot
Antidot bekerja berlawanan dengan efek racun dengan :
menetralisir racun (reaksi antigen-antibodi, khelasi, atau membentuk
ikatan kimia), mengantagonis efek fisiologis racun (mengaktivasi kerja
sistem saraf yang berlawanan, memfasilitasi aksi kompetisi metabolik/
reseptor substrat tsb.).
Kasus keracunan yang memerlukan antidot spesifik adalah
keracunan : asetaminofen, agen antikolinergik, antikoagulan,
benzodizepin, -blocker, CCB, CO, glikosida jantung, agen kolinergik,
sianida, reaksi distonik karena induksi obat, etilen glikol, fluorida,
logam berat, hydrogen sulfida, agen hipoglikemik, INH, metHb-emia,
narkotik, simpatomimetik, Vacor, dan gigitan/bisa binatang tertentu.
Antidot mengurangi morbiditas dan mortalitas, namun sebagian
besar juga potensial toksik. Penggunaan antidot agar aman
membutuhkan identifikasi yang benar keracunan spesifik atau
sindromnya.
b. Pencegahan Paparan Ulang
Keracunan merupakan penyakit yang dapat dicegah. Orang dewasa
yang pernah terpapar racun karena kecelakaan harus mentaati instruksi
penggunaan obat dan bahan kimia yang aman (sesuai yang tertera pada
labelnya). Penderita yang menurun kesadarannya harus dibantu dalam
meminum obatnya. Kesalahan dosis obat oleh petugas kesehatan
membu-tuhkan pendidikan khusus bagi mereka. Penderita harus

33
diingatkan untuk menghindari lingkungan yang terpapar bahan kimia
penyebab keracunan. Departemen Kesehatan dan instansi terkait juga
harus diberi laporan bila terjadi keracunan di lingkungan tertentu/tem-
pat kerja.
Pada anak-anak dan penderita overdosis yang disengaja, upaya
terbaik adalah membatasi jangkauan terhadap racun /obat/ bahan/
minuman tsb.
Penderita depresi atau psikotik harus menerima penilaian
psikiatrik, disposisi, dan follow-up. Bila mereka diberi resep obat harus
dengan jumlah yang terbatas dan dimonitor kepatuhan minum obatnya,
serta dinilai respon terapinya.

34
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis
berlebih atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan
metabolisme atau ekskresi.
b. Jenis-jenis keracunan menurut (FK-UI, 1995) yaitu :
1. Cara terjadinya terdiri dari:
a) Self poisoning
b) Attempted Suicide
c) Accidental poisoning
d) Homicidal poisoning
2. Mulai waktu terjadi
a) Keracunan kronik
b) Keracunan akut
3. Menurut alat tubuh yang terkena
4. Menurut jenis bahan kimia
c. Keracunan obat spesifik diantaranya : Asetaminofen, Obat Anti
Kolinergik, Benzodiazepine, b-Blocker, Calcium Channel Blocker (CCB),
Karbon Monoksida, Glikosida Jantung, Obat-obatan golongan NSAID.
d. Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi tanda-tanda
vital, mencegah absorpsi racun lebih lanjut, mempercepat eliminasi racun,
pemberian antidot spesifik, dan mencegah paparan ulang.
B. Saran-saran
Diharapkan baik penulis maupun pembaca karya tulis ini dapat mengetahui dan
memahami toksikologi obat serta dapat mengimplementasikannya dalam bentuk
kewaspadaan dalam pemberian obat maupun penerimaan obat.

35
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1991). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press
Donatus Imono A. 2005. Toksikologi Dasar. Jakarta : Depkes RI.
Donatus, I. A., 1997. Toksikologi Pangan, Edisi Pertama, Toksikologi Jurusan
Kimia Farmasi. Yokyakarta : Fakultas Farmasi UGM
Tambayong, dr.Jan. 2014. Farmakologi Keperawatan Edisi 2. Jakarta: EGC.
Linden,C.H., Burns,M.G., 2005.Poisoning and Drug Overdosage in Harrison’s Pri
nciples of Internal Medicine Vol.2, 16thedition, International
Edition, McGraw Hill.
Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.). Semarang:
IKIP Semarang.
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI.
Muriel, Skeet. 1995.Buku Tindakan Paramedis Terhadap Kegawatan dan
Pertolongan Pertama.Edisi 2. Jakatra:EGC
Press B,Immaduddin.2008. BahanKimia Beracun atautoksik.(http://imadanalyzear
tikelkesehatan.blogspot.com/2008/07/bahan-kimia- beracun-atau
toksik.html).
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: EGC

36

Anda mungkin juga menyukai