Panduan Manajemen Nyeri Maret 17
Panduan Manajemen Nyeri Maret 17
Manajemen Nyeri
1
DEFINISI
ASESMEN NYERI
1. Anamnesis
a. Riwayat penyakit sekarang
i. Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
ii. Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa
terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
iii. Pola penjalaran / penyebaran nyeri
iv. Durasi dan lokasi nyeri
v. Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan,
mual/muntah, atau gangguan keseimbangan / kontrol motorik.
vi. Faktor yang memperberat dan memperingan
vii. Kronisitas
viii. Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk
respons terapi
ix. Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka
x. Penggunaan alat bantu
xi. Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup
dasar (activity of daily living)
xii. Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti
adanya fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat
yang berhubungan dengan sindrom kauda ekuina.
c. Riwayat psiko-sosial
i. Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika
ii. Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien
iii. Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi
menimbulkan eksaserbasi nyeri
iv. Pembatasan /restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang
berpotensi menimbulkan stres. Pertimbangkan juga aktivitas
penggantinya.
v. Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat
menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi
pasien dengan program penanganan / manajemen nyeri ke depannya.
Pada pasien dengan masalah psikiatri, diperlukan dukungan
psikoterapi / psikofarmaka.
vi. Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres
bagi pasien / keluarga.
d. Riwayat pekerjaan
i. Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti
mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar; merupakan
pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri punggung.
f. Riwayat keluarga
i. Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.
2. Asesmen nyeri
a. Asesmen nyeri dapat menggunakan Numeric Rating Scale
i. Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9 tahun
yang dapat menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri
yang dirasakannya.
ii. Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan
dan dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.
0 = tidak nyeri
1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
4 – 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-
hari)
7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)3
3
Wong Baker FACES Pain Scale4
3. Face Large Activity Cry Consollability Scale
a. Indikasi : Pada pasien anak usia 0 – 3 tahun
b. Instruksi : Dokter/Perawat/Bidan menilai dari wajah, kaki, aktivitas, menangis
dan consolabilitas pasien anak setelah itu menuliskan total skor pada tabel.
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan
4-6 : Nyeri sedang
7-10 : Nyeri berat
Sesekali meringis/mengerutkan 1
kening
Melengkung, kaku 2
Erangan/rengekan keluhan 1
sesekali
4
INDIKATOR KONDISI SKOR KETERANGAN
Rileks 0 Tidak ada ketegangan otot
Ekspresi
Wajah Kaku 1 Mengerutkan kening/mengangkat alis
Meringis 2 Menggigit selang ETT
Tidak ada Tidak bergerak (tidak kesakitan) atau posisi normal
gerakan 0
abnormal
Gerakan Gerakan hati-hati, menyentuh lokasi nyeri, mencari
Lokalisasi nyeri 1
Tubuh perhatian melalui gerakan
Mencabut ETT, mencoba untuk duduk, tidak
Gelisah 2 mengikuti perintah, mengamuk, mencoba keluar
dari tempat tidur
Pasien
kooperatif
terhadap kerja 0 Alarm tidak berbunyi
Aktivasi Alarm ventilator
Ventilator mekanik
Mekanik Alarm aktif tapi Batuk, alarm berbunyi tetapi berhenti secara
1
mati sendiri spontan
Alarm selalu Alarm sering berbunyi
2
aktif
Berbicara dalam
nada normal
0 Bicara dengan nada jelas
Berbicara Jika atau tidak ada
Pasien suara
Diekstubasi Mendesah, Mendesah, mengerang
1
mengerang
Menangis 2 Menangis, berteriak
Tidak ada
0 Tidak ada ketegangan otot
ketegangan otot
Ketegangan
Tegang, kaku 1 Gerakan otot pasif
Otot
Sangat tegang
2 Gerakan sangat kuat
atau kaku
TOTAL SKOR 0-8
a. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi sedang,
asesmen dan penanganan nyeri dilakukan saat pasien menunjukkan respon
berupa ekspresi tubuh atau verbal akan rasa nyeri.
b. Asesmen ulang nyeri: dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa
jam dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
i. Lakukan asesmen nyeri yang komprensif setiap kali melakukan
pemeriksaan fisik pada pasien
ii. Dilakukan pada: pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tatalaksana
nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang sadar/ bangun), pasien yang
menjalani prosedur menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum
pasien pulang dari rumah sakit.
iii. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen
ulang setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena
iv. Pada nyeri akut / kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit – 1 jam
setelah pemberian obat nyeri.6
c. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai
menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis
atau bedah yang baru (misalnya komplikasi pasca-pembedahan, nyeri
neuropatik).
5. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan umum
i. Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh
ii. Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien
iii. Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut akibat
operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik
iv. Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang ( malalignment), atrofi
otot, fasikulasi, diskolorasi, dan edema.
5
b. Status mental
i. Nilai orientasi pasien
ii. Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
iii. Nilai kemampuan kognitif
iv. Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak
ada harapan, atau cemas.
c. Pemeriksaan sendi
i. Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan
ii. Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya
keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
iii. Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal /
dikeluhkan oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan
adanya limitasi gerak, raut wajah meringis, atau asimetris.
iv. Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
v. Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera
ligamen.
d. Pemeriksaan motorik
i. Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria
di bawah ini.
Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan
tahanan kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser ke kiri dan kanan tetapi
tidak mampu melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi / palpasi), tidak
menghasilkan pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot
e. Pemeriksaan sensorik
i. Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum- pin
prick), getaran, dan suhu.
iii. Nilai adanya refleks Babinski dan Hoffman (hasil positif menunjukkan
lesi upper motor neuron)
iv. Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan
melakukan tes dismetrik (tes pergerakan jari-ke-hidung, pergerakan
tumit-ke-tibia), tes disdiadokokinesia, dan tes keseimbangan
(Romberg dan Romberg modifikasi).
6
g. Pemeriksaan khusus
i. Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi
tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien
dengan 5 tanda ini ditemukan mengalami hipokondriasis, histeria, dan
depresi.
ii. Kelima tanda ini adalah:
Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik
Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik
Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif)
Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes / pemeriksaan
nyeri.
Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah)
saat gerakan yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda
(distraksi)
8. Pemeriksaan radiologi
a. Indikasi:
i. pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang
ii. pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang,
penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular.
iii. Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau
ereksi.
iv. Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
v. Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan
karakteristik nyeri.
i. Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur,
ketidaksegarisan vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoplasma)
ii. MRI: gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang (herniasi
diskus, stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi ruang diskus, keganasan,
kompresi tulang belakang, infeksi)
iii. CT-scan: evaluasi trauma tulang belakang, herniasi diskus, stenosis
spinal.
iv. Radionuklida bone-scan: sangat bagus dalam mendeteksi perubahan
metabolisme tulang (mendeteksi osteomyelitis dini, fraktur kompresi
yang kecil/minimal, keganasan primer, metastasis tulang)
9. Asesmen psikologi
a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
c. Nilai adanya dukungan sosial, interaksi sosial
3. Parasetamol
a. Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat
dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek anelgesik yang lebih
besar.
b. Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dewasa
dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.
9. Tramadol
a. Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek
samping yang lebih sedikit / ringan. Berefek sinergistik dengan medikasi
OAINS.
b. Indikasi: Efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri kanker,
osteoarthritis, nyeri punggung bawahm neuropati DM, fibromyalgia, neuralgia
pasca-herpetik, nyeri pasca-operasi.
c. Efek samping: pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.
d. Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal, dan oral.
e. Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal: 400mg
dalam 24 jam.
f. Titrasi: terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi, terutama
digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk
terhadap pengobatan atau memiliki risiko tinggi jatuh.
10. Opioid
a. Merupakan analgesik poten (tergantung-dosis) dan efeknya dapat ditiadakan
oleh nalokson.
b. Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, sufentanil, meperidin.
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi.
d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri akut.
e. Efek samping:
i. Depresi pernapasan, dapat terjadi pada:
Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat pemberian
secara infus, opioid long acting
Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepin, antihistamin,
antiemetik tertentu)
Adanya kondisi tertentu: gangguan elektrolit, hipovolemia,
uremia, gangguan respirasi dan peningkatan tekanan
intrakranial.
Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas intermiten
ii. Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan
menggunakan skor sedasi, yaitu:
0 = sadar penuh
1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah
dibangunkan
2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk,
mudah dibangunkan
3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
S = tidur normal
10
Perbandingan Obat-Obatan Anti-Emetik
f. Pemberian Oral:
i. sama efektifnya dnegan pemberian parenteral pada dosis yang sesuai.
ii. Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oral.
g. Injeksi intramuscular:
i. merupakan rute parenteral standar yang sering digunakan.
ii. Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektifitas penyerapannya tidak
dapat diandalkan.
iii. Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin.
h. Injeksi subkutan
i. Injeksi intravena:
i. Pilihan perenteral utama setelah pembedahan major.
ii. Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus-menerus
(melalui infus).
iii. Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak sesuai
dosis.
j. Injeksi supraspinal:
i. Lokasi mikroinjeksi terbaik: mesencephalic periaqueductal gray (PAG).
ii. Mekanisme kerja: memblok respons nosiseptif di otak.
iii. Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda nyeri pada
pasien kanker.
k. Injeksi spinal (epidural, intratekal):
i. Secara selektif mengurangi keluarnya neurotransmitter di neuron
kornu dorsalis spinal.
ii. Sangat efektif sebagai analgesik.
iii. Harus dipantau dengan ketat
l. Injeksi Perifer
i. Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek
anestesi lokal (pada konsentrasi tinggi).
ii. Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami inflamasi 2
b. Nyeri visceral:
11
i. Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic, sehingga jika
terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi,
bersifat difus, tumpul, seperti ditekan benda berat.
ii. Penyebab: iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasme
otot polos, distensi organ berongga / lumen.
iii. Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah,
hipotensi, bradikardia, berkeringat.
c. Nyeri neuropatik:
i. Berasal dari cedera jaringan saraf
ii. Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri
saat disentuh), hiperalgesia.
iii. Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera
(sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat
cederanya)
iv. Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis,
herniasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi / radioterapi.
12
3-Step WHO Analgesic Ladder8
*Keterangan:
patch fentanyl tidak boleh digunakan untuk nyeri akut karena tidak
sesuai indikasi dan onset kerjanya lama.
Untuk nyeri kronik: pertimbangkan pemberian terapi analgesik
adjuvant (misalnya amitriptilin, gabapentin).
*Istilah:
NSAID: non-steroidal anti-inflammatory drug
S/R: slow release
PRN: when required
13
Algoritma Pemberian Opioid Intermiten Intravena untuk Nyeri Akut8
tidak
tidak
Apakah pasien nyeri sedang/berat? Observasi rutin
ya
Saat dosis telah diberikan, lakukan tidak
monitor setiap 5 menit selama Apakah diresepkan opioid IV? Minta untuk diresepkan
minimal 20 menit.
Tunggu hingga 30 menit dari ya Gunakan spuit 10ml
pemberian dosis terakhir sebelum Ambil 10mg morfin sulfat
mengulangi siklus. dan campur dengan NaCl
Dokter mungkin perlu untuk Siapkan NaCl 0,9% hingga 10ml (1mg/ml)
meresepkan dosis ulangan Berikan label pada spuit
ya ATAU
Ya, tetapi telah Gunakan spuit 10ml
tidak Observasi rutin Ambil 100mg petidin dan
diberikan dosis
total campur dengan NaCl 0,9%
hingga 10ml (10mg/ml)
tidak Berikan label pada spuit
ya
Skor sedasi 0 atau 1? Minta saran ke dokter senior
Nyeri Tunda dosis hingga skor sedasi <2
ya dan kecepatan pernapasan > 8
tidak kali/menit.
Pertimbangkan nalokson IV (100ug)
Kecepatan pernapasan
> 8 kali/menit?
ya
tidak
Tunggu selama Tekanan darah sistolik Minta saran
5 menit ≥ 100 mmHg?*
ya
tidak Jika skor nyeri 7-10: berikan 2ml
Usia pasien < 70 tahun? Jika skor nyeri 4-6: berikan 1 ml
ya
Keterangan:
Skor nyeri: Skor sedasi: *Catatan:
0 = tidak 0 = sadar penuh Jika tekanan darah
nyeri 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, sistolik < 100mmHg:
1-3 = nyeri mudah dibangunkan haruslah dalam
ringan 2 = sedasi sedang, sering secara rentang 30%
4-6 = nyeri konstan mengantuk, mudah tekanan darah
sedang dibangunkan sistolik normal
7-10 = nyeri 3 = sedasi berat, somnolen, sukar pasien (jika
berat dibangunkan diketahui), atau
S = tidur normal carilah
saran/bantuan.
Gunakan tabel obat-obatan antiemetic (jika diperlukan)
Teruskan penggunaan OAINS IV jika diresepkan bersama dengan opioid.
c. Non-farmakologi:
i. Olah raga
ii. Imobilisasi
iii. Pijat
iv. Relaksasi
v. Stimulasi saraf transkutan elektrik 8
6. Pencegahan
a. Edukasi pasien:
i. Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta
tatalaksananya.
ii. Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien
iii. Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika memiliki
pertanyaan / ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
iv. Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri
(termasuk penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan jadwal
control).
b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik
15
Pasien mengeluh nyeri
Anamnesis dan
pemeriksaan fisik
Asesmen nyeri
ya
tidak Apakah etiologi nyeri Prioritas utama: identifikasi
bersifat reversibel? dan atasi etiologi nyeri
Nyeri bersifat tajam, Nyeri bersifat difus, seperti Nyeri bersifat menjalar, rasa
menusuk, terlokalisir, seperti ditekan benda berat, nyeri terbakar, kesemutan, tidak
ditikam tumpul spesifik.
16
Algoritma Manajemen Nyeri Akut7
Nyeri somatic
Nyeri viseral Nyeri neuropatik
Parasetamol
Kortikosteroid Antikonvulsan
Cold packs
Anestesi lokal intraspinal Kortikosteroid
Kortikosteroid
OAINS Blok neuron
Anestesi lokal (topical / infiltrasi)
Opioid OAINS
OAINS
Opioid
Opioid
Antidepresan trisiklik
Stimulasi taktil
(amitriptilin)
Pencegahan
tidak
Edukasi pasien
Lihat manajemen ya
nyeri kronik. Terapi farmakologi
Pertimbangkan Konsultasi (jika perlu)
Apakah nyeri Prosedur pembedahan
untuk merujuk ke
> 6 minggu? Non-farmakologi
spesialis yang
sesuai
ya
Kembali ke tidak
kotak ‘tentukan Mekanisme
mekanisme Analgesik adekuat?
nyeri sesuai?
nyeri’ tidak
ya
ya
Manajemen
Efek samping
efek samping
pengobatan?
tidak
Follow-up /
nilai ulang
17
MANAJEMEN NYERI KRONIK
1. Lakukan asesmen nyeri:
a. anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen
nyeri sebelumnya)
b. pemeriksaan penunjang: radiologi
c. asesmen fungsional:
i. nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan / disabilitas
ii. buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien
iii. nilai efektifitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan
4. Asesmen lainnya:
a. Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri
(depresi, cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan
secara seksual/fisik.verbal, gangguan tidur)
b. Masalah pekerjaan dan disabilitas
c. Faktor yang mempengaruhi:
i. Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk
18
ii. Penyakit lain yang memperburuk / memicu nyeri kronik pasien
d. Hambatan terhadap tatalaksana:
i. Hambatan komunikasi / bahasa
ii. Faktor finansial
iii. Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas kesehatan
iv. Kepatuhan pasien yang buruk
v. Kurangnya dukungan dari keluarga dan teman
19
Rencana Perawatan Pasien Nyeri Kronik
1. Tetapkan tujuan
Perbaiki skor kemampuan fungsional (ADL) menjadi:____ pada tanggal: _________
Kembali ke aktivitas spesifik, hobi, olahraga____________ pada tanggal: _________
a. ____________________________________________
b. ____________________________________________
c. ____________________________________________
Kembali ke kerja terbatas/ atau kerja normal pada tanggal: __________
5. Kurangi nyeri (level nyeri terbaik minggu lalu: ____/10, level nyeri terburuk minggu lalu: ____/10)
Tatalaksana non-medikamentosa
a. Dingin/panas ___________________________________________
b. ______________________________________________________
Medikasi
a. ______________________________________________________
b. ______________________________________________________
c. ______________________________________________________
d. ______________________________________________________
Terapi lainnya: ___________________________________________________
20
ii. Pasien harus berpartisipasi dalam program latihan untuk
meningkatkan fungsi
iii. Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif
dengan restorasi fungsi untuk membantu mengurangi nyeri dan
meningkatkan fungsi.
Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah
yang rumit dan kompleks. Tatalaksana sering mencakup
manajemen stress, latihan fisik, terapi relaksasi, dan
sebagainya
Beritahukan pasien bahwa focus dokter adalah manajemen
nyerinya
Ajaklah pasien untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen
nyeri
Berikan medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol
Jadwalkan control pasien secara rutin, jangan biarkan
penjadwalan untuk control dipengaruhi oleh peningkatan level
nyeri pasien.
Bekerjasama dengan keluarga untuk memberikan dukungan
kepada pasien
Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap
Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri.
iv. Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan pasien)
22
Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy)9
Skor Faktor Penjelasan
Diagnosis 1 = kondisi kronik ringan dengan temuan objektif minimal atau
tidak adanya diagnosis medis yang pasti. Misalnya:
fibromyalgia, migraine, nyeri punggung tidak spesifik.
2 = kondisi progresif perlahan dengan nyeri sedang atau kondisi
nyeri sedang menetap dengan temuan objektif medium.
Misalnya: nyeri punggung dengan perubahan degeneratif
medium, nyeri neuropatik.
3 = kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan objektif
nyata. Misalnya: penyakit iskemik vascular berat, neuropati
lanjut, stenosis spinal berat.
Intractability 1 = pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara
(keterlibatan) minimal dalam manajemen nyeri
2 = beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien tidak
sepenuhnya terlibat dalam manajemen nyeri, atau terdapat
hambatan (finansial, transportasi, penyakit medis)
3 = pasien terlibat sepenuhnya dalam manajemen nyeri tetapi
respons terapi tidak adekuat.
Risiko (R) R = jumlah skor P + K + R + D
Psikologi 1 = disfungsi kepribadian yang berat atau gangguan jiwa yang
mempengaruhi terapi. Misalnya: gangguan kepribadian,
gangguan afek berat.
2 = gangguan jiwa / kepribadian medium/sedang. Misalnya:
depresi, gangguan cemas.
3 = komunikasi baik. Tidak ada disfungsi kepribadian atau
gangguan jiwa yang signifikan
Kesehatan 1 = penggunaan obat akhir-akhir ini, alkohol berlebihan,
penyalahgunaan obat.
2 = medikasi untuk mengatasi stress, atau riwayat remisi
psikofarmaka
3 = tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan.
Reliabilitas 1 = banyak masalah: penyalahgunaan obat, bolos kerja / jadwal
control, komplians buruk
2 = terkadang mengalami kesulitan dalam komplians, tetapi
secara keseluruhan dapat diandalkan
3 = sangat dapat diandalkan (medikasi, jadwal control, dan
terapi)
Dukungan 1 = hidup kacau, dukungan keluarga minimal, sedikit teman
social dekat, kehilangan peran dalam kehidupan normal
2 = kurangnya hubungan dengan oral dan kurang berperan
dalam sosisl
3 = keluarga mendukung, hubungan dekat. Terlibat dalam
kerja/sekolah, tidak ada isolasi sosial
Efikasi 1 = fungsi buruk atau pengurangan nyeri minimal meski dengan
penggunaan dosis obat sedang-tinggi
2 = fungsi meningkat tetapi kurang efisien (tidak menggunakan
opioid dosis sedang-tinggi)
3 = perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup
tercapai dengan dosis yang stabil.
Skor total =D+I+R+E
Keterangan:
Skor 7-13: tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Skor 14-21: sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
iii. Intervensi: injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal,
injeksi intra-sendi, injeksi epidural
iv. Terapi pelengkap / tambahan: akupuntur, herbal
23
d. Manajemen level 2
i. meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan
rehabilitasinya atau pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau
infus intratekal).
ii. Indikasi: pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif /
manajemen level 1.
iii. Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan
dengan manajemen level 1.
24
Algoritma Asesmen Nyeri Kronik9
Asesmen nyeri
Anamnesis
Pemeriksaan fisik Pasien dapat mengalami
Pemeriksaan fungsi jenis nyeri dan faktor yang
mempengaruhi yang
beragam
Tentukan mekanisme nyeri
Perifer (sindrom nyeri Nyeri miofasial Artropati inflamasi Nyeri punggung bawah
regional kompleks, (rematoid artritis)
Nyeri leher
neuropati HIV, gangguan Infeksi
Nyeri musculoskeletal
metabolik) Nyeri pasca-oparasi (bahu, siku)
Sentral (Parkinson, multiple Cedera jaringan Nyeri viseral
sclerosis, mielopati, nyeri
pasca-stroke, sindrom
fibromyalgia)
tidak
Apakah nyeri kronik? Pantau dan observasi
ya
ya
Apakah etiologinya dapat Atasi etiologi nyeri sesuai
dikoreksi / diatasi? indikasi
tidak
Asesmen lainnya
25
Algoritma Manajemen Nyeri Kronik
Prinsip level 1
Asesmen hasil
26
MANAJEMEN NYERI PADA PEDIATRIK
1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala kronik, trauma,
sakit perut dan faktor psikologi
2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respons yang berbeda terhadap
kerusakan jaringan yang sama atau sederajat.
3. Neonates lebih sensitif terhadap stimulus nyeri
4. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatrik:
Obat Non-obat
Analgesik Kognitif
Analgesik adjuvant Fisik
anestesi perilaku
27
4. Pemberian analgesik:
a. ‘By the ladder’: pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level
nyeri anak (ringan, sedang, berat).
i. Awalnya, berikan analgesik ringan-sedang (level 1).
ii. Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naiklah ke
level 2 (pemberian analgesik yang lebih poten).
iii. Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol
tetap diaplikasikan sebagai analgesik adjuvant.
iv. Analgesik adjuvant
Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk
nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu.
Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan analgesik
adjuvant sebagai level 1.
Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi
nyeri neuropatik.
Kategori:
Analgesik multi-tujuan: antidepressant, agonis
adrenergic alfa-2, kortikosteroid, anestesi topical.
Analgesik untuk nyeri neuropatik: antidepressant,
antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal
Analgesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksan otot,
benzodiazepine, inhibitor osteoklas, radiofarmaka.
c. ‘by the child’: mengacu pada peemberian analgesik yang sesuai dengan
kondisi masing-masing individu.
i. Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur
ii. Sesuaikan dosis analgesik jika perlu
Obat-obatan non-opioid
5. Terapi non-obat
a. Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaat dan memiliki efek
yang besar dalam manajemen nyeri non-obat untuk anak
b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti music,
cahaya, warna, mainan, permen, computer, permainan, film, dan sebagainya.
29
c. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat
meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan
nyeri.
d. Terapi relaksasi: dapat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari tangan,
menggerakkan kaki sesuai irama, menarik napas dalam. 10
Terapi non-obat
Kognitif Perilaku Fisik
Informasi latihan pijat
Pilihan dan control terapi relaksasi fisioterapi
Distraksi dan umpan balik positif stimulasi termal
atensi modifikasi gaya hidup / stimulasi sensorik
Hypnosis perilaku akupuntur
psikoterapi TENS (transcutaneous
electrical nerve
stimulation)
30
Functional Pain Scale
Skala Keterangan
nyeri
0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas edikit terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi (tetapi masih dapat menggunakan telepon,
menonton TV, atau membaca)
4 Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon, menonton TV,
atau membaca)
5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)
7. Intervensi non-farmakologi
a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nosiseptif
untuk menginduksi pelepasan opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur
c. Blok saraf dan radiasi area tumor
d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif: terapi relaksasi,
umpan balik positif, hypnosis.
e. Fisioterapi dan terapi okupasi.
19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia:
a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek
samping gastrointestinal lebih besar)
b. Opioid: pentazocine, butorphanol (merupakan campuran antagonis dan
agonis, cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia); metadon,
levorphanol (waktu paruh panjang)
c. Propoxyphene: neurotoksik
d. Antidepresan: tertiary amine tricyclics (efek samping antikolinergik)
32
REFERENSI
33