Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut The International Association for the study of pain (IASP), nyeri
didefinisikan sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial
dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Setiohadi dkk, 2006).
Nyeri sebenarnya berfungsi sebagai tanda adanya penyakit atau kelainan
dalam tubuh dan merupakan bagian dari proses penyembuhan dan perlu
dihilangkan/ diatasi jika nyeri telah mengganggu aktifitas tubuh (Priyanto,
2008). Gejala-gejala nyeri dapat digambarkan sebagai : tajam menusuk,
pusing, panas terbakar, menyengat, pedih, nyeri yang merambat, rasa nyeri
yang hilang timbul, dan berbeda tempat rasa nyeri. Setelah beberapa lama,
rangsangan nyeri yang sama dapat memunculkan gejala yang sama sekali
berbeda (contoh : dari nyeri menusuk menjadi pusing, dari nyeri yang terasa
nyata menjadi samar-samar). Gejala yang tidak spesifik meliputi kecemasan,
depresi, kelelahan, insomnia (gangguan pola tidur), rasa marah dan ketakutan
(Sukandar dkk, 2008).
Berikut ini adalah contoh perilaku dasar ketika pasien mengalami nyeri
menurut Rospond (2008):
 Diam, menarik diri pada pasien yang biasanya mengeluh dan banyak
bergerak.
 Berkedip dengan cepat, dengan wajah terlihat kaku/menyeringai kesakitan,
pada pasien yang biasanya tenang dan tidak banyak bicara.
 Agitasi atau perilaku bersifat menyerang pada individu yang biasanya
mudah berteman dan terbuka.
 Deskripsi akurat mengenai lokasi nyeri pada pasien yang biasanya
berbicara tidak jelas.
Pasien sering ingin mempunyai peran yang lebih besar terhadap
pemeliharaan kesehatannya sendiri, serta untuk merawat penyakit kronik atau
yang kambuhan tanpa komplikasi yang dideritanya hal ini biasa disebut
Swamedikasi atau Self Medication. Swamedikasi biasa dilakukan pasien untuk
penyakit-penyakit ringan yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya sakit flu, batuk ringan, sakit perut ringan, luka kecil, sakit gigi, nyeri
kepala, dan penyakit-penyakit yang biasanya merupakan gejala dari penyakit
tertentu, jika semakin parah dan tidak bisa ditanggulangi sendiri, maka pasien
baru akan pergi ke dokter (Wibowo dan Gofir, 2001).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah patofisiologi dan mekanisme terjadinya nyeri?
2. Bagaimanakah penatalaksanaan nyeri?
3. Obat-obat apa saja yang bisa digunakan untuk pengatasan nyeri dalam proses
pengobatan sendiri (Swamedikasi)?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui patofisiologi dan mekanisme terjadinya nyeri.
2. Untuk mengetahui penatalaksanaan nyeri.
3. Untuk mengetahui obat-obatan yang bisa digunakan untuk mengatasi nyeri
dalam proses pengobatan sendiri (Swamedikasi).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya potensi kerusakan jaringan atau
keadaan yang menggambarkan kerusakan tersebut. Nyeri didefinisikan sebagai
suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila
seseorang pernah mengalaminya.
WHO telah memberikan guideline pemakaian analgesik yang bertujuan
untuk menghilangkan nyeri, meningkatkan kualitas hidup penderita dan
menurunkan biaya pengobatan. Penggunaan analgesik seperti obat antiinflamasi
non steroid (OAINS) dan parasetamol ditujukan untuk mengatasi nyeri ringan
sampai sedang. Bila tidak teratasi dapat ditingkatkan dengan penggunaan opioid
lemah seperti kodein yang di kombinasi dengan OAINS atau ajuvan (WHO,
1986). Hingga saat ini penggunaan agonis reseptor opioid, seperti morfin,
fentanil, oksikodon dan petidhin telah luas digunakan untuk mengatasi rasa nyeri
yang hebat seperti nyeri kanker, neuropati dan paska bedah. Namun keluhan yang
sering terjadi pada pengunaan obat-obat golongan ini adalah seringnya terjadi
toleransi, adiksi dan efek samping lainnya seperti konstipasi, muntah dan depresi
sistem pernafasan. Reseptor kappa merupakan salah satu sub unit reseptor opioid
yang jika diaktivasi dapat mempunyai efek analgesik tetapi dengan risiko
dependensi yang lebih kecil dari pada sub unit reseptor opioid yang lain.
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan
dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri
yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
B. Klasifikasi Nyeri
Menurut Brunner & Suddarth (2001), ada dua kategori dari nyeri secara
umum diketahui yaitu nyeri akut dan nyeri kronis.
1. Nyeri akut
Nyeri akut terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah
dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan
sampai berat) dan berlangsung dalam waktu yang singkat (Potter & Perry,
2005). Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistematik,
nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya proses penyembuhan;
nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan (Brunner & Suddarth,
2001). Dua tipe sindroma nyeri akut yang utama adalah nyeri somatis dan
nyeri viscera (Rospond, 2008).
a. Nyeri Somatis
Nyeri somatis permukaan/superfisial adalah akibat stimulasi
nosiseptor di dalam kulit atau jaringan subkutan dan mukosa yang
mendasari (Price & Wilson, 2005). Hal ini ditandai dengan adanya
sensasi/rasa berdenyut, panas atau tertusuk, dan mungkin berkaitan dengan
rasa nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak
mengakibatkan nyeri (misalnya allodinia), dan hiperalgesia. Jenis nyeri ini
biasanya konstan dan jelas lokasinya (Rospond, 2008).
Nyeri superfisial biasanya terjadi sebagai respon terhadap luka
terpotong, luka gores dan luka bakar superfisial (Price & Wilson, 2002).
Nyeri somatis dalam diakibatkan oleh jejas pada struktur dinding tubuh
(misalnya, otot rangka/skelet). Nyeri pascabedah memiliki komponen
nyeri somatis dalam karena trauma dan jejas pada otot rangka (Rospond,
2008).
b. Nyeri viscera
Nyeri viscera disebabkan oleh jejas pada organ dengan saraf
simpatis (Rospond, 2008). Nyeri ini dapat disebabkan oleh distensi
abnormal atau kontraksi pada dinding otot polos, tarikan cepat kapsul yang
menyelimuti suatu organ (misalnya hati), iskemi otot skelet, iritasi serosa
atau mukosa, pembengkakan atau pemelintiran jaringan yang berlekatan
dengan organ-organ ke ruang peritoneal, dan nekrosis jaringan (Price &
Wilson, 2005).
Nyeri viscera seringkali muncul pada awal awitan (onset) atau pada
stadium dini suatu penyakit. Sensasi nyeri yang berasal dari organ dalam
sering dipersepsikan sebagai nyeri yang berasal dari bagian tubuh yang
lebih supersifial/permukaan, biasanya daerah-daerah yang dipersarafi oleh
saraf spinal yang sama; lokasi nyeri di bagian superfisial atau bagian
dalam yang berjauhan dengan sumber patologi yang sebenarnya biasa
disebut sebagai referred pain (nyeri alih) (Brunner & Suddarth, 2001).
Infark miokard akut dan pankreatitis akut merupakan salah satu contoh
dari nyeri viscera (Rospond, 2008).
2. Nyeri Kronis
Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermitten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan
penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan
yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya
nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya (Potter & Perry, 2005). Nyeri kronis tidak mempunyai tanda-
tanda dan gejala klinis, sehingga patofisiologi yang mendasarinya biasanya
tidak terdeteksi pada pemeriksaan fisik atau radiologis. Nyeri kronis dapat
muncul dari lokasi viscera, jaringan miofasial, atau penyebab-penyebab
neurologis, dan biasanya dibedakan menjadi nyeri maligna (kanker atau
keganasan) dan nyeri non-maligna (jinak) (Rospond, 2008).
a. Nyeri kanker
Nyeri kronis maligna merupakan kombinasi dari beberapa komponen
nyeri akut, intermiten dan kronis. Nyeri kanker dapat muncul pada
tempat/situs primer kanker sebagai akibat ekspansi tumor,
penekanan/kompresi saraf, atau infiltrasi oleh tumor, obstruksi maligna,
atau infeksi pada ulkus maligna (Rospond, 2008). Nyeri juga dapat muncul
pada tempat metastase yang jauh. Selain itu, terapi kanker dengan tindakan
bedah, kemoterapi, dan radiasi juga dapat menimbulkan mukositis,
gastroenteritis, iritasi kulit, dan nyeri lain yang berakitan (Brunner &
Suddarth, 2005).
b. Nyeri non-kanker
Nyeri kronis non-kanker dapat dibedakan menjadi 2 subtipe utama:
nyeri neuropati dan nyeri muskuloskeletal. Nyeri neuropati dapat bersifat
idiopatik atau dapat juga muncul dari lokasi tertentu atau umum pada jejas
saraf. Awitannya dapat terjadi seketika setelah jejas atau setelah jeda waktu
tertentu (Rospond, 2008). Nyeri neuropati dapat bersifat konstan dan
menetap. Selain nyeri yang terus menerus, juga dapat terjadi nyeri yang
tumpang tindih, hilang-muncul (intermitten), nyeri seperti syok, yang
seringkali dicirikan dengan sensasi nyeri yang tajam, seperti tersengat
listrik/elektrik, mengejutkan, seperti disobek/robek, atau kejang Contoh
sindroma nyeri neuropati kronis adalah neuralgia pascaherpes, neuropati
diabetik, neuralgia trigeminal, nyeri pascastroke, dan nyeri phantom (yaitu
rasa nyeri pada bagian tubuh yang telah diamputasi) (Rospond, 2008).
Nyeri muskuloskeletal muncul dari jaringan otot, tulang, persendian
atau jaringan ikat. Nyeri ini dapat diakibatkan oleh jejas idiopatik atau
iatrogenik. Sindroma nyeri muskuloskeletal kronik yang umum adalah
nyeri yang berkaitan dengan penyakit inflamasi otot misalnya polimyositis
(penyakit jaringan ikat yang ditandai dengan edema, inflamasi, dan
degenerasi otot) dan dermatitis dan juga nyeri yang berkaitan dengan
penyakit persendian misalnya arthritis (Rospond, 2008).
C. Penanganan nyeri
Strategi penatalaksanaan nyeri mencakup baik pendekatan farmakologis
dan nonfarmakologis (Brunner & Suddart, 2001). Pendekatan ini diseleksi
berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien secara individu.
1. Farmakologi
Beberapa agen farmakologis digunakan untuk menangani nyeri.
Metode yang paling umum digunakan untuk mengatasi nyeri adalah analgesik.
(Brunner & Suddarth, 2001). Ada tiga jenis analgesik, yakni: non-narkotik
dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), analgesik narkotik atau opiat, dan
obat tambahan (adjuvant) atau koanalgesik (Potter & Perry, 2005). NSAID
non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang, seperti
nyeri yang terkait dengan arthritis rheumatoid, prosedur, pengobatan gigi, dan
prosedur bedah minor, episiotomi, dan masalah pada punggung bagian bawah
(Brunner & Suddarth, 2001). Satu pengecualian, yaitu Ketorolac (Toradol),
merupakan agen analgesik pertama yang dapat diinjeksikan yang
kemanjurannya dapat dibandingkan dengan morphin (Muttaqin, 2008).
2. Nonfarmakologi
Ada sejumlah terapi nonfarmakologis yang mengurangi resepsi dan
persepsi nyeri dan dapat digunakan pada keadaan perawatan akut dan
perawatan tersier sama seperti di rumah dan pada keadaan perawatan restorasi.
Dengan cara yang sama, terapi-terapi ini digunakan dalam kombinasi dengan
tindakan farmakologis (Potter & Perry, 2005).
a. Sentuhan terapeutik
Teknik ini dikembangkan oleh Kunz dan Krieger di mana sentuhan
teraupetik ini sebagian berasal dari praktik kuno “meletakkan tangan”
(Potter & Perry, 2005). Teori ini mengatakan bahwa individu yang sehat
mempunyai keseimbangan energi (ekulibrium) antara tubuh dengan
lingkungan luar. Orang sakit berarti ada ketidakseimbangan energi, dengan
memberikan sentuhan pada klien, diharapkan ada transfer energi ke klien.
Sentuhan terapeutik meliputi penggunaan tangan untuk secara sadar
melakukan pertukaran energi. Terdapat 4 langkah dasar untuk melakukan
teknik ini, yaitu pemusatan, pengkajian, terapi, dan evaluasi. Setiap tahap
umumnya melaju dengan langkah berikutnya dan proses secara keseluruhan
berlangsung sekitar 25 menit (Potter & Perry, 2005).
b. Imajinasi terbimbing (guided imagery)
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam
suatu cara yang dirangsang secara khusus untuk mencapai efek positif
tertentu (Brunner & Suddarth, 2001). Hal ini dapat dilakukan dengan
meminta klien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan,
tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi
dari klien. Apabila klien mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan.
Tindakan ini dilakukan pada saat klien merasa nyaman dan tidak sedang
nyeri akut (Potter & Perry, 2005).
c. Distraksi
Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada
sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi suatu strategi yang sangat berhasil
dan mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap
teknik kognitif efektif lainnya (Brunner & Suddarth, 2001). Teknik ini
efektif untuk nyeri ringan sampai sedang. Sistem aktivasi retikular
menghambat stimulus yang menyakitkan jika seseorang menerima masukan
sensori yang cukup dan berlebihan. Stimulus yang menyenangkan
menyebabkan pelepasan endorphin (Jihan, 2009). Distraksi dapat berkisar
dari hanya pencegahan monoton sampai menggunakan aktivitas fisik dan
mental yang sangat kompleks. Teknik distraksi lain yang bisa dilakukan
antara lain, distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi
audio (mendengar musik), distraksi sentuhan (masase, memegang mainan),
distraksi intelektual (merangkai puzzle, main catur) (Potter & Perry, 2005).
d. Stimulasi kutaneus
Penggunaan stimulasi kutaneus yang benar dapat mengurangi persepsi
nyeri dan membantu mengurangi ketegangan otot. Potter & Perry (2005),
mengatakan bahwa sentuhan dan masase merupakan teknik integrasi sensori
yang mempengaruhi aktivitas system sarafotonom. Apabila individu
mempersepsikan sentuhan sebagai stimulus untuk rileks, kemudian akan
muncul respon relaksasi. Tindakan masase punggung dengan usapan
perlahan pada klien dengan nyeri kanker terbukti menurunkan intensitas
nyeri (Usman, 2005). Selain itu, stimulasi kutaneus dapat digunakan
dengan cara pemberian kompres dingin, kompres hangat, balsam analgesik
dan stimulasi kontralateral (Muttaqin, 2008). Pemberian kompres hangat
dan dingin lokal bersifat terapeutik. Area pemberian kompres panas dan
dingin bisa menyebabkan respon sistemik dan respon lokal (Istichomah,
2007). Kompres panas adalah memberikan rasa hangat pada daerah tertentu
dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan hangat pada
bagian tubuh yang memerlukan. Tindakan ini selain untuk melancarkan
sirkulasi darah juga untuk menghilangkan rasa sakit, merangsang peristaltik
usus, pengeluaran getah radang menjadi lancar, serta memberikan
ketenangan dan kesenangan pada klien. Pemberian kompres dilakukan pada
radang persendian, kekejangan otot, perut kembung, dan kedinginan
(Istichomah, 2007). Kompres dingin adalah memberi rasa dingin pada
daerah setempat dengan menggunakan kain yang dicelupkan pada air biasa
atau air es sehingga memberi efek rasa dingin pada daerah tersebut. Tujuan
diberikan kompres dingin adalah menghilangkan rasa nyeri akibat edema
atau trauma, mencegah kongesti kepala, memperlambat denyutan jantung,
mempersempit pembuluh darah dan mengurangi arus darah lokal. Tempat
yang diberikan kompres dingin tergantung lokasinya. Selama pemberian
kompres, kulit klien diperiksa setelah 5 menit pemberian, jika dapat
ditoleransi oleh kulit diberikan selama 20 menit (Potter & Perry, 2005).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri.
D. Faktor-faktor
Banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri karena nyeri
merupakan sesuatu yang kompleks; di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Usia
Salah satu variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada
anak-anak dan lansia adalah usia. Anak-anak kecil yang belum dapat
mengucapkan kata-kata akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan
secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orangtua dan petugas
kesehatan. Pada lansia yang mengalami nyeri, perlu dilakukan pengkajian,
diagnosis, dan penata laksanaan secara agresif. Herr (1991), mencatat bahwa
klien lansia tidak melaporkan nyeri karena klien lansia yakin bahwa nyeri
merupakan sesuatu yang harus mereka terima. Lansia akan menyangkal
bahwa mereka merasakan nyeri karena mereka takut akan konsekuensi yang
tidak diketahui seperti akan dilakukan tindakan diagnostik. Klien lansia juga
seringkali menggunakan berbagai cara untuk mengalihkan perhatian dari nyeri
karena mereka yakin bahwa memperlihatkan respon terhadap nyeri merupakan
hal yang tidak dapat diterima (Potter & Perry, 2005).
2. Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam
berespon terhadap nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis
kelamin misalnya ada kebudayaan yang menganggap seorang laki-laki harus
lebih berani dan tidak boleh menangis, sedangkan seorang anak perempuan
boleh menangis dalam situasi yang sama seperti pada bangsa Somalia (Arthurs,
2010). Kebudayaan Budaya mempengaruhi ekspresi dan persepsi terhadap
nyeri dan apakah individu menceritakan nyeri tersebut kepada orang lain
termasuk ke penyedia pelayanan. Keyakinan dan nilai-nilai budaya
mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang
diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka (Potter & Perry,
2005).
E. Swamedikasi (Self Medication)
Swamedikasi merupakan keinginan pasien untuk mempunyai peran yang
lebih besar untuk memelihara kesehatannya sendiri, serta untuk merawat
penyakit kronik atau yang kambuhan tanpa komplikasi yang dideritanya.
Pengobatan sendiri biasa dilakukan untuk:
1. Penghilangan simtom jangka pendek, untuk penyakit yang diagnosis
akuratnya tidak diperlukan.
2. Kasus penyakit kronik atau kambuhan tanpa komplikasi
Keamanan swamedikasi tergantung beberapa hal, diantaranya :
1. Obat : kandungan obat, dosis dan lama penggunaan, serta kemungkinan
ketergantungannya.
2. Formulasinya (misal dosis rendah saja, karena tidak diawasi petugas).
3. Informasinya (sering terdapat dalam kemasan obat).
4. Kepatuhan pasien.
Pasien seharusnya juga dapat mewaspadai apakah obat yang akan
dikonsumsi tersebut tidak kadaluwarsa dan kemasannya masih baik. Hal yang
penting untuk diketahui adalah apabila penyakitnya berlanjut, segera hubungi
dokter (Rospond, 2008). Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang
dapat digunakan tanpa resep, meliputi Obat Wajib Apotek (OWA), Obat Bebas
Terbatas (OBT) dan Obat Bebas (OB).
BAB III
PEMBAHASAN

Nyeri merupakan keluhan yang sangat sering dijumpai, dan merupakan


gejala yang sering dikeluhkan pasien. Nyeri terbagi dua yaitu nyeri akut dan nyeri
kronis. Nyeri akut merupakan fase awal dari rangkaian respon nociceptive yang
ekstensif dan menetap akibat kerusakan jaringan. Nyeri kronis diderita oleh
ratusan juta penduduk di seluruh dunia dan merubah fungsi fisik dan emosional,
menurunkan kulaitas hidup dan mengganggu kemampuan bekerja. Jika telah
mengganggu aktivitas tubuh maka nyeri harus dihilangkan.
Penanganan nyeri secara konvensional berdasarkan pada jenis penyebab
penyakit. Tetapi cara ini terlalu rumit karena memerlukan penelusuran diagnosis
yang cermat. Cara lain yang bisa dilakukan adalah terapi berdasarkan sign
(simtom) walaupun belum sepenuhnya ditunjang oleh data eksperimental klinis.
Swamedikasi berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan
obat-obatan yang dapat dibeli bebas di apotek, di warung-warung atau toko obat
dengan inisiatif atau kesadaran diri sendiri tanpa ada nasihat dokter. Biasanya
swamedikasi dilakukan pasien ketika terserang penyakit yang mereka anggap
ringan, dan baru bersedia ke dokter setelah penyakit tak kunjung sembuh.
Pasien mengeluh nyeri gigi/ sakit gigi dan pergi ke Apotek maka
Apoteker/ Tenaga kesehatan yang melayani harus menanyakan apakah pasien
giginya berlubang? Atau hanya nyeri saja? Dari jawaban yang diberikan oleh
pasien Apoteker/ Tenaga Kesehatan dapat memberikan advice yang sesuai kepada
pasien, jika pasien hanya merasa nyeri gigi berikan Ponstan/ Asam Mefenamat,
jika gigi berlubang beri pereda nyeri tetapi segera sarankan pasien untuk berobat
ke dokter gigi, dan jelaskan jika penanganan dengan obat pereda nyeri saja tidak
cukup karena jika gigi berlubang dan terkena makanan maka nyeri tersebut akan
terulang terus menerus.
Pasien mengeluh disminore atau nyeri perut saat menstruasi, maka
Apoteker harus menanyakan apakah setiap bulan seperti itu? Obat apa yang biasa
dikonsumsi? Jika pasien sudah biasa mengkonsumsi obat tertentu, berikan obat
yang biasa dipakai pasien, kemudian sarankan untuk memeriksakan diri ke dokter
obgyn, karena nyeri yang terus menerus muncul secara rutin bisa jadi merupakan
gejala penyakit tertentu.
Dalam melakukan swamedikasi kepada pasien Apoteker harus bijak dan
dapat menjamin bahwa obat yang mereka sarankan manjur dan tepat untuk
menangani penyakit/ gejala yang dialami pasien. Swamedikasi harus disertai
edukasi kepada pasien, informasi yang diberikan harus benar-benar lengkap dan
jelas, agar penggunaan obat oleh pasien tersebut tepat sehingga terapi yang
diharapkan dapat tercapai. Jika obat-obat yang dibeli bebas dalam proses
swamedikasi tersebut tidak dapat mengatasi keluhan pasien, segera sarankan
pasien untuk konsultasi ke dokter.
BAB IV
KESIMPULAN

1. Nyeri pada umumnya terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata,
keadaan dimana disebut sebagai nyeri akut misalnya nyeri pasca bedah.
Namun terdapat juga suatu keadaan dimana timbul keluhan nyeri tanpa
adanya kerusakan jaringan yang nyata atau nyeri timbul setelah proses
penyembuhan usai, keadaan mana disebut sebagai nyeri kronik misalnya
nyeri post-herpetic, nyeri phantom atau nyeri trigeminal.
2. Penggunaan analgesik seperti obat antiinflamasi non steroid (OAINS) dan
parasetamol ditujukan untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang. Bila tidak
teratasi dapat ditingkatkan dengan penggunaan opioid lemah seperti kodein yang
di kombinasi dengan OAINS atau ajuvan. Hingga saat ini penggunaan agonis
reseptor opioid, seperti morfin, fentanil, oksikodon dan petidhin telah luas
digunakan.
BAB V
CONTOH KASUS
1. Swamedikasi migrain. Serangan yang tidak begitu hebat seringkali dapat dihentikan
secara efektif dengan kombinasi dari suatu obat antimual dan zat antinyeri, bila diminum
sedini mungkin setelah timbulnya serangan. Pertama2 diminum tablet antimual (O.W.A)
metoklopramida (Primperan) dengan efek meningkatkan gerakan2 lambung, yang selama
serangan sangat terhambat. Setengah jam kemudian diminum 2 tablet asetosal (Aspirin,
dll), atau 2 tablet parasetamol (Panadol, dll) atau 2 tablet asam mefenamat (Ponstan, dll).
Setelah minum obat-obat ini adalah penting agar penderita berbaring di ruang gelap dan
berusaha tidur. Penderita yang sudah mual dan tidak dapat minum obat tsb melalui mulut,
dapat menggunakannya secara rektal dalam bentuk suppositoria. Serangan yang lebih
hebat perlu ditangani oleh dokter dengan obat migrain khas, yakni obat yang
memperkecil pembuluh ergotamin (komb: Cafergot, Ergophen, Bellapheen) atau obat
baru sumatriptan, yang sangat ampuh menghentikan serangan hebat dalam waktu 0,5/2
jam (injeksi/tablet).

2. Swamedikasi nyeri : seorang anak laki – laki 10 tahun dengan keluhan nyeri kaki akibat
jatuh dari sepeda dengan luka lebam disertai panas.
farmasis memberikan komunikasi dan menggali informasi tentang kasus tersebut
kemudian membantu memilihan terapi yang tepat untuk pasien, dengan
memberikan pilihan terapi parasetamol sirup untuk demamnya dan hico gel
(heparin) untuk luka lebamnya.dengan pemberian sirup parasetamol diminum 3
kali sehari dan atau jika panas saja. Untuk hico gel dioleskan pada luka lebam
bisa dioleskan sampai 6 kali sehari.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Arthurs, 2010, Pain and Culture, diakses dari


http:.//www.sljol.info/index.php/SLJA/article/viewFile/1561/1350.
Brunner dan Suddarth, 2001, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, volume 2,
EGC, Jakarta.
Herr, K., 2002, Chronic Pain in the Older Patient: Management Strategies,
Journal of Gerontology Nursing.
Istichomah, 2007, Pengaruh Teknik Pemberian Kompres terhadap Perubahan
skala Nyeri pada Klien Kontusio di RSUD Sleman, diakses dari
http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=125279&lokas
i=12.
Jihan, 2009, Efektivitas Terapi Perilaku Kognitif (Cognitive Behaviour Therapy)
Relaksasi dan Distraksi pada Pasien Kanker dengan Nyeri Kronis di RSU
HAM Medan, diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14300/1/10E01039.pdf
Muttaqin, Arif., 2008, Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan, Salemba Medika, Jakarta.
Potter, P.A, dan Perry, A.G., 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan :
Konsep, Proses, dan Praktik , diterjemahkan oleh Renata Komalasari dkk,
Edisi keempat, volume 2, EGC, Jakarta.
Price, S.A, Wilson, L.M, 1995, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta.
Priyanto dan Batubara, L., 2008, Farmakologi Dasar untuk Mahasiswa Farmasi
dan Keperawatan, Edisi II, Leskonfi, Jakarta.
Rospond, RM., 2008, Penilaian Nyeri, diterjemahkan oleh Lyrawati, , 133-163.
Setyohadi, B., Sumariyono, Kasjmir, Y.I., Isbagio, H., dan Kalim, H., 2006, Nyeri
dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M. K., Setiati,
S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat, Jilid III, 1166-1173,
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta.
Sukandar, E.Y., Andrajati,R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.P., dan
Kusnandar, 2008, ISO Farmakoterapi, ISFI Penerbitan, Jakarta.
Usman, 2005, Pengaruh Terapi Masase terhadap Intensitas Nyeri Kanker
Payudara di Makassar, diakses dari
http://jurnal.dikti.go.id/jurnal/proses/?q=pengarang:RENI%20&offset=105
&limit
Wibowo, S., dan Gofir, A., 2001, Farmakoterapi dalam Neurologi, Salemba
Medika, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai