Anda di halaman 1dari 34

CASE REPORT

RUPTUR PALPEBRA

Oleh:
Diah Ayu Larasati 1618012079
Nada Ismalia 1618012119

Pembimbing:
Dr. Rani Himayani, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DR. H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
2018
BAB I
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. D
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Tgl. Pemeriksaan : 03 Agustus 2018
Rumah Sakit : RSUD. Dr. H.Abdul Moeloek

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Kelopak bawah mata kiri robek.
Keluhan Tambahan : Mata kiri terasa nyeri, merah dan bengkak.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang melalui IGD dengan keluhan kelopak bawah mata kiri
robek setelah terkena pagar rumah. Awalnya pukul 16.00 sore hari, pasien
sedang dimandikan ibunya. Setelah mandi pasien berlari ke arah pagar dan
terdapat kursi lalu pasien naik ke atas kursi tersebut. Karena licin pasien
jatuh terpeleset dan kelopak bawah mata kiri terkena pagar. Kelopak
bawah mata kiri pasien berdarah. Ibu pasien mengatakan bahwa saat jatuh,
kepala anaknya tidak terbentur. Ibu pasien panik dan segera membawa
pasien ke IGD RSAM Bandar Lampung untuk mendapatkan pertolongan.
Mual (-), muntah (-). Riwayat kejang (-), kesadaran semakin menurun (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma mata sebelum kecelakaan (-). Riwayat infeksi pada mata
sebelumnya (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengenai hal serupa.

III. TANDA VITAL DAN STATUS GENERALIS


Keadaan umum : Tampak sakit sedang/compos mentis
Tekanan darah :-
Nadi : 100 x/ menit
Pernapasan : 20 x/ menit
Suhu : 36,8ºC

Status Generalis
Kepala : normocephal, tampak vulnus laceratum pada kelopak mata
bawah kiri, kurang lebih 2 cm bentuk luka regular, belum
dijahit, edema (+)
THT : kesan dalam batas normal
Leher : kesan dalam batas normal
Thorax : Jantung : kesan dalam batas normal
Paru : kesan dalam batas normal
Abdomen : kesan dalam batas normal
Ekstremitas : kesan dalam batas normal

IV. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI


A. Inspeksi
No Pemeriksaan OD OS

1. Visus Sulit dinilai Sulit dinilai


2. Supersilia Normal, hitam Madarosis (-)
3. Silia Normal, hitam Sekret (+)
4. Palpebra superior Ptosis (-), Edema (-) Ptosis (+), Edema (+)
3. Palpebra inferior Edema (-) Vulnus laceratum
ukuran 2 cm, bentuk
regular, berbatas tegas,
Edema (+)
4. Bulbus okuli Orthoforia Orthoforia
5. Konjungtiva bulbi Injeksi (-) Injeksi (-)
6. Sklera Injeksi (-) Injeksi (-)
7. Kornea Jernih Jernih
8. Bilik mata depan Cukup Cukup
9. Iris Kripta (+) Kripta (+)
10. Pupil Bulat, regular, reflek Bulat, regular, reflek
cahaya (+) cahaya (+)
11. Lensa Jernih Jernih
12. Gerak bola mata Sulit dinilai Sulit dinilai
13. Lapang pandang Sulit dinilai Sulit dinilai
14. Tensio okuli T dig N T dig N

B. Palpasi

No Pemeriksaan OD OS

1. Tensi Okuler Normal perpalpasi Normal perpalpasi


2. Nyeri Tekan (-) (+)
3. Massa Tumor (-) (-)
4. Glandula periaurikuler Pembesaran (-) Pembesaran (-)

C. Visus : VOD = Sulit dinilai


VOS = Sulit dinilai
D. Color Sense : Tidak dilakukan pemeriksaan

E. Light Sense
OD OS
Refleks Cahaya Langsung + +
Refleks Cahaya Tak Langsung + +

F. Oftalmoskopi
FOD : Tidak dilakukan pemeriksaan.
FOS : Tidak dilakukan pemeriksaan.

V. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium:
- Hemoglobin : 11,4 gr/dL
- Leukosit : 15,800 /ul
- CT : 9 menit
- BT : 2 menit
- GDS : 98 mg/dL
- SGOT : 34 U/L
- SGPT : 14 U/L
- Ureum : 27 mg/dL
- Creatinin : 0.24 mg/dL
- Natrium : 137 mmol/L
- Kalium : 4,2 mmol/L
- Kalsium : 9,6 mg/dL
- Chlorida : 102

VI. Resume
Pasien datang melalui IGD dengan keluhan kelopak bawah mata kiri
robek setelah terkena pagar rumah. Awalnya pukul 16.00 sore hari, pasien
sedang dimandikan ibunya. Setelah mandi pasien berlari ke arah pagar dan
terdapat kursi lalu pasien naik ke atas kursi tersebut. Karena licin pasien
jatuh terpeleset dan kelopak bawah mata kiri terkena pagar. Kelopak
bawah mata kiri pasien berdarah. Ibu pasien mengatakan bahwa saat jatuh,
kepala anaknya tidak terbentur. Ibu pasien panik dan segera membawa
pasien ke IGD RSAM Bandar Lampung untuk mendapatkan pertolongan.
Mual (-), muntah (-). Riwayat kejang (-), kesadaran semakin menurun (-).

Status ophtalmologi: VOD dan VOS sulit dinilai karena pasien adalah
balita dan tidak kooperatif. Pada palpebra superior OS tampak edema (+),
ptosis (+). Sedangkan pada palpebra inferior OS tampak vulnus laceratum
ukuran 2 cm, bentuk regular dan batas tegas. Laboratorium hematologi
dan kimia darah dalam batas normal.

VII. Diagnosis
Ruptur palpebra inferior OS et margo palpebra inferior OS (Fullthickness)

VIII. Penatalaksanaan
Rekonstruksi palpebra inferior OS (repair ruptur palpebra inferior OS et
margo palpebra inferior OS)
Obat pre operasi:
Sistemik:
1. Ceftriaxone iv 600mg/12 jam
2. Paracetamol syr 3x1 cth
Topikal:
1. Kompres NaCl lembab campur gentamicin ampul
2. Moxifloxacin eye drop 1 gtt/jam
3. C-lyteers eye drop 1gtt/jam

Obat post operasi:


Sistemik:
1. Ceftriaxone iv 600mg/12 jam
2. Paracetamol syr 3x1 cth
Topikal:
1. C.lyteers (Nacl,Kcl) eye drop 1 gtt/ jam OS
2. C. mycos eye ointment 3x1 OS + dekat jahitan
3. Moxifloxacin eye drop 1 gtt/ jam OS
4. Ganti verban/hari

DISKUSI
1. Apakah diagnosa yang ditegakkan sudah tepat?
Dari anamnesa didapatkan pasien An. D usia 3 tahun dengan keluhan
datang ke IGD dengan kelopak bawah mata kiri pasien berdarah, bengkak
dan robek. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kelainan pada mata kiri
yaitu, palpebra superior OS tampak edema (+), ptosis (+). Sedangkan pada
palpebra inferior OS tampak vulnus laceratum ukuran 2 cm, bentuk
regular dan batas tegas.

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan


menunjukkan adanya kerusakan pada palpebra. Hanya satu mata yang
mengalami keluhan ini yaitu mata kiri setelah mengalami trauma.
Diagnosa yang ditegakkan adalah Ruptur palpebra inferior OS et margo
palpebra inferior OS (Full thickness)
2. Apakah penatalaksanaan sudah tepat?
Pasien dengan ruptur palpebra inferior dengan keterlibatan margo palpebra
perlu dilakukan operasi palpebra. Adapun tindakan yg diberikan pada
pasien ini adalah Rekonstruksi palpebra inferior OS (repair ruptur palpebra
inferior OS et margo palpebra inferior OS)

Penatalaksanaan medikamentosa juga diberikan untuk mencegah infeksi,


mengurangi inflamasi, meringankan simtom dan mencegah komplikasi.
Medikamentosa yang diberikan sebelum operasi adalah Kompres NaCl
lembab campur gentamicin ampul. Kompres tersebut bertujuan sebagai
kompres fisiologis untuk mengurangi inflamasi dan meringankan gejala.
Vigamox sebagai antibiotik topikal berisi moxifloxacin yang digunakan
sebagai anti-bakteri. C-lyteers yang mengandung Sodium Chloride dan
Kalium Chloride merupakan obat untuk membantu melumasi dan
melindungi mata terhadap iritasi atau trauma.

3. Bagaimana konseling yang diberikan pada pasien?


Pada mata kelopak mata kanannya yang telah menjalani operasi disarankan
untuk mengikuti intruksi post operatif rekonstruksi palpebra, yaitu:
a. Posisi bed rest head up 300
b. Ganti verband 3x/24 jam
c. Mata tidak boleh terbentur atau diucek-ucek.
d. Tidak boleh miring pada mata yang sakit.
e. Kontrol post operasi untuk dilihat tanda inflamasi dan anatomi struktur
mata.
f. Jika terjadi perburukan, nyeri atau abses pada mata kiri pasien harus
segera kontrol.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Palpebra


Struktur mata yang berfungsi sebagai proteksi lini pertama adalah
palpebra. Fungsinya adalah mencegah benda asing masuk dan juga
membantu proses lubrikasi permukaan kornea. Pembukaan dan penutupan
palpebra diperantarai oleh muskulus orbikularis okuli dan muskulus levator
palpebra. Muskulus orbikularis okuli pada kelopak mata atas dan bawah
mampu mempertemukan kedua kelopak mata secara tepat pada saat
menutup mata. Pada saat membuka mata, terjadi relaksasi dari muskulus
orbikularis okuli dan kontraksi dari muskulus levator palpebra di palpebra
superior. Otot polos pada palpebra superior atau muskulus palpebra
superior (Müller muscle) juga berfungsi dalam memperlebar pembukaan
dari kelopak tersebut (Encyclopædia Britannica, 2007).
Sedangkan, palpebra inferior tidak memiliki muskulus levator sehingga
muskulus yang ada hanya berfungsi secara aktif ketika memandang
kebawah (Encyclopædia Britannica, 2007). Selanjutnya adalah lapisan
superfisial dari palpebra yang terdiri dari kulit, kelenjar Moll dan Zeis,
muskulus orbikularis okuli dan levator palpebra. Lapisan dalam terdiri dari
lapisan tarsal, muskulus tarsalis, konjungtiva palpebralis dan kelenjar
meibom (Wagner, 2006).

Inervasi
Inervasi serabut otot muskulus orbikularis okuli pada kedua palpebra
dipersarafi cabang zigomatikum dari nervus fasialis sedangkan muskulus
levator palpebra dan beberapa muskulus ekstraokuli dipersarafi oleh nervus
okulomotoris. Otot polos pada palpebra dan okuler diaktivasi oleh saraf
simpatis. Oleh sebab itu, sekresi adrenalin akibat rangsangan simpatis
dapat menyebabkan kontraksi otot polos tersebut (Encyclopædia
Britannica, 2007).

Fisiologi Mengedip
A. Refleks Mengedip
Banyak sekali ilmuan mengemukakan teori mengenai mekanisme refleks
kedip seperti adanya pacemaker atau pusat kedip yang diregulasi globus
palidus atau adanya hubungan dengan sirkuit dopamin di hipotalamus.
Pada penelitian Taylor (1999) telah dibuktikan adanya hubungan langsung
antara jumlah dopamin di korteks dengan mengedip spontan dimana
pemberian agonis dopamin D1 menunjukkan peningkatan aktivitas
mengedip sedangkan penghambatannya menyebabkan penurunan refleks
kedip mata. Refleks kedip mata dapat disebabkan oleh hampir semua
stimulus perifer, namun dua refleks fungsional yang signifikan adalah
(Encyclopædia Britannica, 2007): (1) Stimulasi terhadap nervus trigeminus
di kornea, palpebra dan konjungtiva yang disebut refleks kedip sensoris
atau refleks kornea. Refleks ini berlangsung cepat yaitu 0,1 detik. (2)
Stimulus yang berupa cahaya yang menyilaukan yang disebut refleks kedip
optikus. Refleks ini lebih lambat dibandingkan refleks kornea.

Ritme Normal Kedipan Mata


Pada keadaan terbangun, mata mengedip secara reguler dengan interval
dua sampai sepuluh detik dengan lama kedip selama 0,3-0,4 detik. Hal ini
merupakan suatu mekanisme untuk mempertahankan kontinuitas film
prekorneal dengan cara menyebabkan sekresi air mata ke kornea. Selain
itu, mengedip dapat membersihkan debris dari permukaan okuler. Sebagai
tambahan, mengedip dapat mendistribusikan musin yang dihasilkan sel
goblet dan meningkatkan ketebalan lapisan lipid (McMonnies, 2007).
Iwanami (2007) mengemukakan bahwa muskulus Riolan dan muskulus
intertarsal dipercaya berhubungan dengan sekresi kelenjar meibom.
Menurut Hollan (1972), frekuensi mengedip berhubungan dengan status
mental dan juga diregulasi oleh proses kognitif. Kara Wallace (2006) pada
Biennial International Conference on Infant Studies XVth di Jepang
(Abelson, 2007) menyatakan bahwa berbicara, menghapal, dan
perhitungan mental (mental arithmatic) dihubungkan dengan peningkatan
frekuensi mengedip. Sedangkan melamun, mengarahkan perhatian dan
mencari sumber stimulus diasosiasikan dengan penurunan frekuensi
mengedip mata. Namun, kedipan mata dapat bervariasi pada setiap
aktivitas seperti membaca, menggunakan komputer, menonton televisi,
mengendarai alat transportasi, dan memandang. Frekuensi mengedip juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti keletihan, pengaruh
medikasi, stres dan keadaan afektif (Doughty, 2001).

Aparatus Lakrimalis
Aparatus lakrimalis dibagi menjadi dua bagian yaitu sistem sekresi dan
sistem ekskresi air mata. Sistem Sekresi Air Mata Permukaan mata dijaga
tetap lembab oleh kelenjar lakrimalis. Sekresi basal air mata perhari
diperkirakan berjumlah 0,75-1,1 gram dan cenderung menurun seiring
dengan pertambahan usia. Volume terbesar air mata dihasilkan oleh
kelenjar air mata utama yang terletak di fossa lakrimalis pada kuadran
temporal di atas orbita. Kelenjar yang berbentuk seperti buah kenari ini
terletak didalam palpebra superior. Setiap kelenjar ini dibagi oleh kornu
lateral aponeurosis levator menjadi lobus orbita yang lebih besar dan lobus
palpebra yang lebih kecil. Setiap lobus memiliki saluran pembuangannya
tersendiri yang terdiri dari tiga sampai dua belas duktus yang bermuara di
forniks konjungtiva superior.

Sekresi dari kelenjar ini dapat dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan
menyebabkan air mata mengalir berlimpah melewati tepian palpebra
(epiphora). Persarafan pada kelenjar utama berasal nukleus lakrimalis pons
melalui nervus intermedius dan menempuh jalur kompleks dari cabang
maksilaris nervus trigeminus. Kelenjar lakrimal tambahan, walaupun hanya
sepersepuluh dari massa utama, mempunya peranan penting. Kelenjar
Krause dan Wolfring identik dengan kelenjar utama yang menghasilkan
cairan serosa namun tidak memiliki sistem saluran. Kelenjar-kelenjar ini
terletak di dalam konjungtiva, terutama forniks superior. Sel goblet
uniseluler yang tersebar di konjungtiva menghasilkan glikoprotein dalam
bentuk musin. Modifikasi kelenjar sebasea Meibom dan Zeis di tepian
palpebra memberi substansi lipid pada air mata. Kelenjar Moll adalah
modifikasi kelenjar keringat yang juga ikut membentuk film prekorneal
(Sullivan, 1996 dan Kanski, 2003).
Sistem Ekskresi Air Mata
Sistem ekskresi terdiri atas punkta, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus
nasolakrimalis. Setiap berkedip, palpebra menutup mirip dengan risleting –
mulai di lateral, menyebarkan air mata secara merata di atas kornea, dan
menyalurkannya ke dalam sistem ekskresi pada aspek medial palpebra.
Setiap kali mengedip, muskulus orbicularis okuli akan menekan ampula
sehingga memendekkan kanalikuli horizontal. Dalam keadaan normal, air
mata dihasilkan sesuai dengan kecepatan penguapannya, dan itulah
sebabnya hanya sedikit yang sampai ke sistem ekskresi.

Bila memenuhi sakus konjungtiva, air mata akan masuk ke punkta


sebagian karena hisapan kapiler. Dengan menutup mata, bagian khusus
orbikularis pre-tarsal yang mengelilingi ampula mengencang untuk
mencegahnya keluar. Secara bersamaan, palpebra ditarik ke arah krista
lakrimalis posterior, dan traksi fascia mengelilingi sakus lakrimalis
berakibat memendeknya kanalikulus dan menimbulkan tekanan negatif
pada sakus. Kerja pompa dinamik mengalirkan air mata ke dalam sakus,
yang kemudian masuk melalui duktus nasolakrimalis – karena pengaruh
gaya berat dan elastisitas jaringan – ke dalam meatus inferior hidung.
Lipatan-lipatan mirip-katup dari epitel pelapis sakus cenderung
menghambat aliran balik air mata dan udara. Yang paling berkembang di
antara lipatan ini adalah “katup” Hasner di ujung distal duktus
nasolakrimalis (Sullivan, 1996). Berikut adalah ilustrasi dari sistem
ekskresi air mata yang berhubungan dengan fungsi gabungan dari
muskulus orbikularis okuli dan sistem lakrimal inferior (Wagner, 2006).
Air Mata
Permukaan bola mata yang terpapar dengan lingkungan dijaga tetap
lembab oleh air mata. Air mata tersebut disekresikan oleh aparatus
lakrimalis dan disertai dengan mukus dan lipid oleh organ sekretori dari
sel-sel pada palpebra serta konjungtiva. Sekresi yang dihasilkan inilah
yang disebut sebagai film air mata atau film prekorneal. Analisis kimia dari
air mata menunjukkan bahwa konsentrasi garam didalamnya mirip dengan
komposisi di dalam plasma darah. Selain itu, air mata mengandung lisozim
yang merupakan enzim yang memiliki aktivitas sebagai bakterisidal untuk
melarutkan lapisan luar bakteria (Encyclopædia Britannica, 2007).

Walaupun air mata mengandung enzim bakteriostatik dan lisozim, menurut


Sihota (2007), Hal ini tidak dianggap sebagai antimikrobial yang aktif
karena dalam mengatasi mikroorganisme tersebut, air mata lebih
cenderung memiliki fungsi mekanik yaitu membilas mikroorganisme
tersebut dan produk-produk yang dihasilkannya. K+ , Na+ , dan Cl-
terdapat dalam konsentrasi lebih tinggi dalam air mata dari dalam plasma.
Air mata juga mengandung sedikit glukosa (5 mg/dL) dan urea (0,04
mg/dL) dan perubahannya dalam konsentrasi darah akan diikuti perubahan
konsentrasi glukosa dan urea air mata. pH rata-rata air mata adalah 7,35,
meski ada variasi normal yang besar (5,20-8,35). Dalam keadaan normal,
cairan air mata adalah isotonik. Osmolalitas film air mata bervariasi dari
295 sampai 309 mosm/L (Whitcher, 2000).

Berikut adalah ilustrasi dari elektrolit, protein dan sitokin dalam komposisi
air mata (Pflugfelder, S.C., 2004). Gambar 2.4. Komposisi Air Mata Air
mata akan disekresikan secara refleks sebagai respon dari berbagai stimuli.
Stimulus tersebut dapat berupa stimuli iritatif pada kornea, konjungtiva,
mukosa hidung, stimulus pedas yang diberikan pada mulut atau lidah, dan
cahaya terang. Selain itu, air mata juga akan keluar sebagai akibat dari
muntah, batuk dan menguap. Sekresi juga dapat terjadi karena kesedihan
emosional. Kerusakan pada nervus trigeminus akan menyebabkan refleks
sekresi air mata menghilang. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemberian
kokain pada permukaan mata menyebabkan penghambatan hantaran pada
ujung nervus sensoris yang mengakibatkan penghambatan refleks sekresi
mata (bahkan ketika mata dipaparkan pada gas air mata yang poten). Jalur
aferen pada hal ini adalah nervus trigeminus, sedangkan eferen oleh saraf
autonom, dimana bahagian parasimpatis dari nervus fasialis yang
memberikan pengaruh motorik yang paling dominan. Oleh sebab itu,
pemberian obat yang parasimpatomimetik (seperti asetilkolin) dapat
meningkatkan sekresi sedangkan pemberian obat antikolinergik (atropin)
akan menyebabkan penurunan sekresi. Refleks sekresi air mata yang
berlebihan dapat diinterpretasikan sebagai respon darurat. Pada saat lahir,
inervasi pada aparatus lakrimalis tidak selalu sempurna, hal ini
menyebabkan neonatus sering menangis tanpa sekresi air mata
(Encyclopædia Britannica, 2007).

2.2 BATASAN
Berbagai mekanisme trauma seperti kecelakaan mobil, perkelahian, gigitan
binatang, dan berbagai mekanisme lain dapat merusak kelopak mata dan
sistem drainase air mata. Sedangakan yang disebut sebagai laserasi kelopak
mata merupakan rudapaksa pada kelopak mata akibat benda tajam yang
mengakibatkan luka robek/laserasi.

2.3 KLASIFIKASI
Kerusakan pada kelopak mata diklasifikasikan berdasarkan ukuran dan
lokasi:
 Untuk pasien muda (tight lids)
o Small - 25-35%
o Medium - 35-45%
o Large - > 55%

 Untuk pasien yang lebih tua (lax lids)


o Small - 35-45%
o Medium - 45-55%
o Large - > 65%
Kerusakan khas mungkin melibatkan 50% dari bagian tengah kelopak mata
atas. Keterlibatan margin kelopak mata harus diperhatikan. Jika margin
kelopak mata terhindar, penutupan dengan flap lokal atau skin graft
mungkin sudah cukup. Setelah margin terlibat, perbaikan bedah harus
mengembalikan integritas dari margin kelopak mata.

2.4 PATOFISIOLOGI
2.4.1 TRAUMA TUMPUL
Echimosis dan edema termasuk dalam manifestasi klinis trauma
tumpul. Pasien membutuhkan evaluasi biomikroskopik dan
pemeriksaan fundus dengan pupil yang dilebarkan untuk
menyingkirkan permasalahan yang terkait kelainan intraokular. CT
scan di perlukan untuk mengetahui adanya fraktur.

Gambar 2.2 Echimosis dan edema akibat trauma tumpul

2.4.2 TRAUMA BENDA TAJAM


Pengetahuan yang mendetail tentang anatomi palpebra membantu
dokter ahli bedah untuk memperbaiki trauma tajam palpebra. Secara
umum, penanganan trauma tajam palpebra tergantung kedalaman dan
lokasi cedera.

2.4.3 LASERASI YANG TIDAK MELIBATKAN MARGO PALPEBRA


Laserasi pada palpebra superficial hanya terdapat pada kulit dan otot
orbicularis biasanya hanya memerlukan jahitan pada kulitnya saja.
Untuk menghindari sikatrik yang tidak di kehendaki,harus mengikuti
prinsip dasar tindakan bedah plastik. Hal ini termasuk debridemant
luka yang sifatnya konservatif, menggunakan benang dengan ukuran
yang kecil. Menyatukan tepi luka sesegera mungkin dan melakukan
pengangkatan jahitan. Adanya lemak orbita di dalam luka
menyatakan bahwa septum orbita telah terkena. Bila terdapat benda
asing di daerah superfisial harus dicari sebelum laserasi pada
palbebra di jahit. Melakukan irigasi untuk menghilangkan
kontaminasi material di dalam luka. Prolaps lemak orbita pada
palpebra superior merupakan indikasi untuk melakukan eksplorasi,
laserasi pada otot levator atau aponeurosis harus dengan hati-hati
melakukan perbaikan untuk menghindari ptosis post operasi.

Gambar 2.3 Laserasi palpebra tanpa melibatkan margo palpebra


2.4.4 LASERASI PADA MARGO PALPEBRA
Laserasi pada margo palpebra memerlukan jahitan untuk
menghindari tepi luka yang tidak baik. Banyak teknik – teknik sudah
diperkenalkan tapi pada prinsip pentingnya adalah aproksimasi tarsal
harus dibuat dalam garis lurus.

Gambar2.4 Laserasi pada margo palpebra

2.4.5 TRAUMA PADA JARINGAN LUNAK KANTUS


Trauma pada medial atau lateral kantus pada umumnya disebabkan
oleh adanya tarikan horizontal pada palpebra menyebabkan avulsi
dari palpebra pada titik lemah medius atau lateral dari tendon kantus.
Avulsi dari tendon kantus medial harus dicurigai bila terjadi di
sekitar medial tendon kantus dan telekantus.Harus diperhatikan juga
posterior dari tendon sampai dengan posterior kelenjar lakrimalis.
Penanganan avulsi dari tendon medial kantus tergantung pada jenis
avulsinya. Jika pada bagian atas atau bagian bawah terjadi avulsi
tetapi pada bagian posterior masih intake avulsi dapat di jahit. Jika
terdapat avulsi pada posterior tetapi tidak ada fracture pada
nasoorbital tendon yang mengalami avulsi harus di lakukan wirering
melalui lubang kecil di dalam kelenjar lakrimal ipisi lateral posterior.
Jika avulsi tendon disertai dengan fraktur nasoorbital,wirering
transnasal atau platting diperlukan setelah reduksi dari fraktur.
2.4.6 GIGITAN ANJING DAN MANUSIA
Robekan dan trauma remuk terjadi sekunder dari gigitan anjing atau
manusia. Laserasi palpebra pada sebagian kulit luar dan kulit secara
menyeluruh, avulsi kantus, laserasi kanalikulus paling sering terjadi.
Trauma pada wajah dan intracranial mungkin dapat terjadi terutama
pada bayi. Irigasi dan penutupan luka secara dini harus segera
dilakukan dan kemungkinan terjadinya tetanus dan rabies harus
dipikirkan serta memerlukan observasi, direkomendasikan untuk
pemberian antibiotik.

Gambar 1.6 Laserasi akibat gigitan anjing

2.4.7 LUKA BAKAR PADA PALPEBRA


Pada umumnya luka bakar pada palpebra terjadi pada pasien-pasien
yang mengalami luka bakar yang luas. Sering terjadi pada pasien
dengan keadaan setengah sadar atau di bawah pengaruh sedatif yang
berat dan memerlukan perlindungan pada mata untuk mencegah
ekspose kornea,ulserasi dan infeksi. Pemberian antibiotiktetes dan
salep serta pelembab.Evaluasi secara rutin pada palpebra merupakan
penanganan dini pada pasien-pasien tersebut.
2.5 PENATALAKSANAAN
2.5.1 EVALUASI PREOPERATIVE DAN PENDEKATAN
DIAGNOSTIK
A. Stabilisasi Sistemik
Evaluasi luka periorbital dimulai setelah pasien trauma telah stabil
dan cedera yang mengancam hidup ditangani. Peran dokter mata
dalam evaluasi dan manajemen adalah sangat penting- harus ada
komunikasi yang baik antara tim trauma dan dokter mata.
B. Riwayat Penyakit
Sebuah riwayat penyakit yang lengkap diperoleh untuk
menentukan waktu kejadian dan mekanisme cedera. Untuk anak-
anak, harus dipertimbangkan kemungkinan adanya kekerasan
pada anak sebagai penyebab cedera mata dan periorbital. Adanya
anamnesa tentang partikel proyektil berkecepatan tinggi mungkin
memerlukan studi pencitraan yang tepat untuk menentukan
adanya benda asing intraokuler atau intraorbital.Gigitan hewan
dan gigitan manusia harus diberi perhatian khusus dan dikelola
sesuai dengan pemberian antibiotik yang tepat. Pada bagian yang
cedera diperiksa dengan hati-hati untuk setiap jaringan yang
hilang, dan setiap jaringan yang teramputasi yang ditemukan
dilokasi kejadian diawetkan dan ditempatkan pada es secepat
mungkin. Dalam kebanyakan kasus jaringan ini dapat dijahit
kembali ke lokasi anatomi yang tepat.
C. Pemeriksaan Oftalmologi
Penilaian ketajaman visual adalah wajib dan dilakukan sebelum
setiap upaya rekonstruksi. Periksa keadaan pupil, jika didapatkan
kerusakan relatif pada afferent pupillary, potensi hasil visual akan
buruk dan harus didiskusikan dengan pasien sebelum dilakukan
bedah rekonstruksi. Otot-otot luar mata dievaluasi dan jika
didapatkan adanya diplopia harus tercatat sebelum operasi.
Pemeriksaan eksternal meliputi penilaian lengkap tulang tulang
wajah, dengan penekanan khusus pada wilayah periorbital. Palpasi
yang jelas menunjukkan adanya krepitasi, atau unstable bone
memerlukan evaluasi radiologi. Pengukuran baseline proyeksi
bola mata didokumentasikan dengan exophthalmometry Hertel
karena enophthalmos merupakansequela lambat yang umum
terjadi pada trauma orbital. Posisi kelopak mata, fungsi otot
orbicularis, dan setiap bukti lagophthalmos dicatat. Pengukuran
jarak intercanthal dan evaluasi integritas dari tendon canthal juga
dilakukan, karena dapat terjadi dehiscence tendon traumatis dan
telecanthus.
D. Evaluasi Laboratorium dan Radiografi
Biasanya, evaluasi laboratorium yang tepat dilakukan oleh tim
ruang gawat darurat. Hitung darah lengkap dan analisis kimia
serum seringkali diperlukan untuk tujuan anestesi. Pemeriksaan
faal hemostasis dapat membantu dalam kasus-kasus tertentu, dan
pemeriksaan kimia darah untuk alkohol dan zat-zat beracun
lainnya diperlukan dalam beberapa kasus. Ketika kecurigaan
klinis patah tulang orbital tinggi, pencitraan yang sesuai dengan
orbita, terutama computed tomography, harus diusulkan.
Ultrasonografi bola mata, otot luar mata, sarafoptik, dan orbita
kadang-kadang bisa menjadi pemeriksaan tambahan yang penting.
E. Profilaksis Infeksi
Pencegahan infeksi merupakan hal yang utama. Data riwayat
imunisasi tetanus lengkap harus diperoleh dan akan dilakukan
manajemen yang tepat pada pasien tidak mendapat imunisasi atau
tidak tahu tentang riwayat imunisasinya. Gigitan kucing, dan
bahkan luka yang disebabkan oleh cakar kucing, merupakan
resiko tinggi infeksi. Profilaksis yang sesuai termasuk penisilin
VK (phenoxymethylpenicillin)500mg sehari selama 5-7 hari. Pada
pasien alergi penisilin maka dapat diberikan tetrasiklin. Luka
gigitan manusia memerlukan pemberian antibiotikyang tepat,
seperti penisilin.
F. Timing of Repair
Waktu perbaikan ini ditentukan oleh beberapa faktor. Setiap
upaya harus dilakukan untuk merekonstruksi jaringan terluka
sesegera mungkin setelah pasien telah sepenuhnya dievaluasi dan
data pemeriksaan penunjang tambahan telah diperoleh. Jika
terpaksa dilakukan penundaan perbaikan, maka penting untuk
selalu menjaga jaringan agar selalu dalam kondisi lembab.

2.5.2 ANESTESI

Pemilihan anestesi untuk perbaikan luka adnexal tergantung pada


beberapa faktor. Umur pasien sangat penting karena hampir semua
anak memerlukan anestesi umum untuk mencapai hasil rekonstruksi
terbaik. Luka besar dengan kerusakan jaringan lunak yang luas dan
keterlibatan osseous terbaik jika dilakukan dengan anatesi umum.
Meskipun dengan menggunakan anestesi umum, infiltrasi lokal
epinefrin (adrenalin) sangat penting untuk hemostasis. Mayoritas
cedera dewasa dapat diperbaiki dengan anestesi infiltrasi atau regional
lokal lidokain 1-2% (lignocaine) dengan 1:100000 epinefrin. Anestesi
infiltrasi dapat menyebabkan distorsi jaringan yang signifikan; ini
dapat diminimalkan dengan penggunaan asam hyaluronic
(hyaluronidase), yang memfasilitasi penyebaran cairan anestesi.

2.5.3 TEKNIK UMUM

Teknik-teknik rekonstruksi kelopak mata dan orbital setelah trauma


sangat banyak dan beragam, yang digunakan sangat tergantung pada
sejauh mana cedera dan struktur adnexal spesifik yang terlibat.
Pendekatan yang umum adalah untuk mengatasi setiap struktur
anatomi secara independen dan menghormati prioritas yang tepat,
pertama sebagai pelindung mata, kemudian fungsinya, dan akhirnya
kosmetik. Dalam banyak kasus, sejumlah teknik rekonstruksi
digabungkan untuk mencapai hasil yang maksimal.
Beberapa metode dapat dipergunakan untuk melakukan rekontruksi
defek palpebra pilihan ahli bedah tergantung pada umur
pasien,karakter palpebra, ukuran dan posisi defek serta pengalaman
ahli bedah.
Prioritas pada rekontruksi palpebra adalah :
 Pekembangan tepi palpebra yang stabil
 Lebar palpebra secara vertical yang adekuat
 Penutupan palpebra yang adekuat
 Halus dan terjadi epitelisasi pada permukaan internal palpebra
 Baik secara kosmetik dan simetris
Prinsip –prinsip rekonstruksi palpebra :
 Rekonstruksi anterior atau posterior lamella palpebra dengan
graft.
 Tegangan yang maksimum secara horizontal dan ketegangan
yang minimum secara vertical.
 Mempertahankan bentuk anatomi dari kantus kemiripan
jaringan defek yang sempit.
 Memilh teknik yang simple pada saat rekonstruksi.
 Jangan membuat defek bila tidak dapat di tutup.
 Mintalah konsultasi pada sub spesialis bila diperlukan.

Penatalaksanaan trauma palpebra termasuk :


 Menggali riwayat
 Mencatat ketajaman penglihatan
 Mengevaluasi bola mata
 Mengetahui secara detail tentang palpebra & anatomi mata.
 Memastikan posisi yang terbaik dalam penanganan
Linberg JV. Oculoplastic and Orbital Emergencies Norwalk, CT : Appleton
& Lange,1990
2.5.4 TEKNIK SPESIFIK

A. Partial-Thickness Eyelid Injuries


Partial-thickness eyelid injuries, laserasi kelopak mata dangkal
yang tidak melibatkan margin palpebra dan yang sejajar dengan
garis kulit dapat distabilkan dengan skin tape. Laserasi yang lebih
besar dan tegak lurus dengan garis kulit memerlukan pendekatan
yang lebih hati-hati dan eversi ke tepi kulit. Hal ini dapat dicapai
dengan menggunakan benang ukuran 6-0 atau 7-0 yang absorbable
atau nonabsorbable. Jika ketebalan penuh dari otot orbicularis
terlibat, harus diperbaiki secara terpisah. Penetrasi ke septum
orbital dengan cedera pada aponeurosis levator, luka tersebut harus
diperbaiki.
B. Eyelid Margin Lacerations
Jenis trauma adnexa membutuhkan pendekatan kelopak mata yang
paling teliti, yang harus tepat untuk menghindari notching kelopak
mata dan malposisi margin palpebra. Semua bagian tarsal yang
iregular di tepi luka harus dibuang untuk memungkinkan
pendekatan tarsal-ke-tarsal yang lebih baik padamargin palpebra
yang diperbaiki. Hal ini dilakukan sepanjang ketinggian vertikal
seluruh tarsus untuk mencegah tarsal buckling, meskipun laserasi
primer mungkin hanya melibatkan tarsus marginal. Perbaikan
dimulai dengan penempatan benang 6-0 pada bidang kelenjar
meibom di margin palpebra, kira-kira 2mm dari tepi luka dan
dengan kedalaman 2mm.Dulunya, sering dilakukan penjahitan
margin menggunakan benang nonabsorbable. Namun, Jeffrey P,
George C dan Robert AG telah secara rutin menggunakan jahitan
dengan menggunakan benang absorbable dan belum mengalami
komplikasi dari penyerapan jahitan yang prematur.
Gambar 1.7 Teknik penjahitan pada laserasi yang melibatkan margin
palpebra
Pentupan margo palpebra dapat dilakukan dengan 2 atau 3 jahitan
untuk mensejajarkan tepi luka. Untuk menghindari kerusakan pada
epitel kornea jahitan tarsal tidak boleh meluas sampai dipermukaan
konjungtiva,terutama pada palpebra superior.Penutupan tepi palpebra
harus menghasilkan tepi luka yang baik.

A. Tepi dari palpebra,jahit dengan jahitan matras vertikal, benang


melewati orificium kelenjar meibom.
B. Jahitan plat tarsal dengan 2 atau 3 jahitan terputus.
C. Jahitan pada tepi palpebra dengan matras vertical.
D. Pentupan kulit

C. Eyelid Injuries with Tissue Loss


Luka kelopak mata yang mengakibatkan kehilangan jaringan
memberikan tantangan rekonstruksi yang lebih sulit. Ini adalah
kewajiban bagi ahli bedah untuk mengevaluasi pasien dengan
trauma kelopak mata, untuk menentukan tidak hanya apakah dan
berapa banyak dari kelopak mata yang hilang tetapi juga lapisan
kelopak mata tidak ada. Dalam evaluasi pasien, sangat penting
untuk mempertimbangkan kelopak mata sebagai struktur yang
memiliki lamela anterior dan posterior, kulit dan muskulus
orbicularis akan menjadi lamela anterior, sedangkan tarsus dan
konjungtiva menjadi lamelaposterior. Jika full-thickness loss of
eyelid tissuemengarah ke lagophthalmos dan eksposur kornea,
pelumasan agresif dengan salep antibiotik harus diberikan atau
dilakukan tarsorrhaphy sementara sampai perbaikan pasti dapat
dicapai.

D. Full-Thickness Eyelid Lacerations


Full-thickness lacerations yang tidak melibatkan margin kelopak
mata mungkin terkait dengan kerusakan internal yang signifikan
dari struktur palpebra dan perforasi bola mata. Pada penanganan
cedera ini memerlukan pemeriksaan lapis demilapis pada luka
untuk menilai integritas dari septum orbita, otot levator dan
aponeurosis levator, konjungtiva, ototrektus, dan bola mata.

Jika lamela posterior kelopak mata terlibat dalam full-thickness


eyelid injury tetapi dapat direapproximat tanpa menimbulakan
ketegangan kulit yang tidak semestinya, maka langsung dapat
diperbaiki. Tarsal alignment dapat dicapai melalui jahitan dalam.
Penjahitan menggunakan polyglactin(Vicryl) ukuran 6-0 atau 7-0,
namun, Dexon, silk, dan kromik dapat pula digunakan untuk
penutupan tarsal.

E. Cedera pada Sistem Lakrimalis


a. Kanalikulus Superior
Cedera pada daerah ini jarang menimbulkan gejala bila fungsi
kanalikuli inferior masih normal.Oleh karena itu cedera daerah ini
tidak memerlukan metode khusus apapun untuk memperbaiki
kanalikuli superior, karena potensi drainasinya lebih rendah jika
dibandingkan dengan kanalikuli inferior.
b. Kanalikulus Inferior
Perbaikan cedera pada kanalikulus inferior masih dalam
perdebatan.Bukan suatu hal yang sulit untuk menyatukan kembali
dua sisi kanalikulus yang terputus, namun tidak mudah untuk
memastikan patensi anastomosis kanalikulus ini setelah beberapa
bulan kemudian.Berbagai jenis stent telah digunakan, namun
pengunaan stent itu sendiri merangsang timbulnya fibrosis.

Gambar 1.8 Larerasi pada kanaliculus inferior

Gambar 1.9 Pemasangan stent dengan menggunakan silicone stent


Selama operasi sebuah silicone tube halus (stent) diletakkan di
saluran lakrimalis untuk menjaga bukaan pada sistem drainase air
mata. Stentini kemudianakan dilepas. Jika operasi ini tidak
sepenuhnya berhasil gejala dapat diselesaikan dengan
menggunakan sebuah tabung Jones Lester.

Gambar 1.10 Penggunaan Lester Jones Tube


c. Common Canaliculus
Jika terjadi cedera pada common canaliculus, maka harus dilakukan
perbaikan atau dibuka sampai sakus lakrimalis, lakukan intubasi
kanalikulus dan dakriosistorinostomi.
d. Sakus Lakrimais
Jika terjadi cedera pada sakus lakrimalis, maka dakriosistorinostomi
harus dilakukan.

2.6 KOMPLIKASI
A. Akibat kegagalan dalam memperbaiki laserasi khususnya jika
melibatkan margin palpebra, dapat berupa:
 Epiforakronis
 Konjungtivitiskronis,konjungtivitis bakterial
 Exposurekeratitis
 Abrasi kornea berulang
 Entropion/ ektropion sikatrikal
B. Akibat teknik pembedahan yang buruk, terutama dalam hal akurasi
penutupan luka,dapat berupa:
 Jaringan parut
 Fibrosis
 Deformitas palpebra sikatrikal
C. Keadaan luka yang memburuk akibat adanya infeksi atau karena
penutupan luka yang tertunda.
D. Laserasi dekat canthus medial dapat merusak sistem nasolacrimal.

2.7 PROGNOSIS
Prognosis sangat tergantung pada luasnya laserasi atau kerusakan
palpebra serta lokasi dan ketebalan jaringan yang rusak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Edsel I.Laceration, Eyelid (serial online). Last update Apr 26, 2012.
[cited Dec/20/2012,06.18]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1212531-overview

2. Jeffrey P, George C, Robert AG. Eyelid Trauma and


Reconstruction Techniques (serial online). Last update Dec/29/2010.
[cited Dec/20/2012,06.17]. Available from: URL:
http://medtextfree.wordpress.com/2010/12/29/chapter-94-eyelid-
trauma-and-reconstruction-techniques/

3. Francis B, Quinn. Anatomy of the Ocular Adnexa and Orbit, In: Orbital
Trauma(serial online). Last update Jun/03/1998. [cited
Dec/24/2012,06.20]. Available from: URL:
http://www.utmb.edu/otoref/grnds/orbital-trauma.html

4. Robert G. Reconstructive Surgery (serial online). Last update


Marc/03/2008. [cited Dec/24/2012,06.20]. Available from: URL:
http://www.drfante.com/reconstructive_surgery.html

5. Rowena GH, Harijo W, Ratna,D. Laserasi Kelopak Mata, Dalam:


Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata Edisi III.
Surabaya: RSU DR. Soetomo; 2006. p.147

6. Mounir B. Eyelid Reconstruction, Upper Eyelid (serial online). Last


update Nov 13, 2011. [cited Dec/26/2012,06.24]. Available from:
URL: http://emedicine.medscape.com/article/1282054-overview

7. American Academy of Ophthalmology. Orbit, Eyelids, and Lacrimal


System. San Fransisco: The Eye M.D Association; 2006.

8. Sharma V., Benger R., Martin P.A. Techniques of periocular


reconstruction. Indian: J Ophthalmol ; 2006. p.149-158.
9. J R O Collin. Repaired of Eyelid Injuries, In: A Manual of Systematic
Eyelid Surgery. United States of Amarica: Churchill Livingstone;
1989. p.99-108

10. Maria S. Watering eyes (serial online). Last update Jan/29/2010. [cited
Dec/28/2012,01.26]. Available from: URL:
http://www.faceandeye.co.uk/eye/wateringeyes2.html

11. Graham M, Paul EM. Eyelid: Trauma – Repair (serial online). Last
update Jan/16/2010. [cited Jan/4/2013,02.24]. Available from: URL:
http://www.vetstream.com/equis/Content/Technique/teq00106

12. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum, Edisi 14, Cetakan I, Widya


Medika, Jakarta, 200.,
LAPORAN OPERASI

Nama Pasien : An. D


Umur : 4tahun
Operator : dr. Rani Himayani, Sp. M
Tanggal Operasi : 03 Agustus 2018
Mata : Kiri
Anestesi : General anesthesia
Diagnosis prabedah : Ruptur palpebra inferior OS et margo palpebra inferior
OS (Full thickness)
Diagnosis pasca bedah : Post rekonstruksi palpebra inferior OS (repair ruptur
palpebra inferior OS et margo palpebra inferior OS)

- Pasien diposisikan supine dengan general anestesi


- Dilakukan tindakan aseptik antiseptic dan pasang doek steril
- Identifikasi luka, didapatkan luka pada palpebra inferior dan keterlibatan
margo ± 5 cm full thickness OS
- Debridement luka dan underman luka
- Dilakukan hecting margo palpebra inferior prolene 6.0 dua buah.
- Hecting palpebra inferior dengan vicryl 8.0
- Operasi selesai
- Diberi salep mata dan ditutup dengan kasa steril
FOLLOW UP (POST OPERATIF)

04 Agustus 2018
S - Mata kiri post operasi sudah tidak nyeri
- Bengkak berkurang
O KU : tampak sakit sedang
Kes : composmentis
N : 85 x/m
RR : 20 x/mnt
T : 36,8 oC

Oft Dextra Sinistra


6/6 Visus 6/6
Edema (-) Palpebra Edema(-)
Superior
Edema (-) Palpebra Edema (+)
Inferior minimal.
Tampak jahitan
dengan benang
yang masih
utuh.
Injeksi (-) Konjungtiva Injeksi (-)
Bulbi
Injeksi (-) Sclera Injeksi (-)
Jernih Kornea Jernih
Bulat, ditengah, Pupil Bulat, ditengah,
reflek cahaya reflek cahaya
(+) (+)
Dx Post rekonstruksi palpebra inferior OS (repair ruptur
palpebra inferior OS et margo palpebra inferior OS)
hari ke 1
1. Ceftriaxone iv 600mg/12 jam
A 2. Paracetamol syr 3x1 cth

Topikal
1. C.lyteers (Nacl,Kcl) eye drop/ jam OS
2. C. mycos eye ointment 3x1 OS + dekat jahitan
3. Vigamox eye drop/ jam OS
4. Ganti verban/hari
Pasien diizinkan pulang

Anda mungkin juga menyukai