Anda di halaman 1dari 4

who : Konsep sehat menurut WHO secara garis besar adalah suatu keadaan seseorang yang terbebas

dari gangguan fisik, mental, sosial, spiritual serta tidak mengalami kecacatan.

SEHAT MENURUT DEPKES RI

UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa :

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup
produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu
kesatuan yang utuh terdiri dari unsur –unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa
merupakan bagian integral kesehatan

Persepsi Masyarakat

Persepsi masyarakat mengenai terjadinya penyakit berbeda antara daerah yang satu dengan daerah
yang lain, karena tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat
tersebut. Persepsi kejadian penyakit yang berlainan dengan ilmu kesehatan sampai saat ini masih
ada di masyarakat; dapat turun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan bahkan dapat
berkembang luas.

Berikut ini contoh persepsi masyarakat tentang penyakit malaria, yang saat ini masih ada di
beberapa daerah pedesaan di Papua (Irian Jaya). Makanan pokok penduduk Papua adalah sagu yang
tumbuh di daerah rawa-rawa. Selain rawa-rawa, tidak jauh dari mereka tinggal terdapat hutan lebat.

Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik penguasa gaib yang dapat menghukum
setiap orang yang melanggar ketentuannya.

Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian, dan lain-lain akan
diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi, menggigil, dan muntah. Penyakit
tersebut dapat sembuh dengan cara minta ampun kepada penguasa hutan, kemudian memetik daun
dari pohon tertentu, dibuat ramuan untuk di minum dan dioleskan ke seluruh tubuh penderita.

Dalam beberapa hari penderita akan sembuh. Persepsi masyarakat mengenai penyakit diperoleh dan
ditentukan dari penuturan sederhana dan mudah secara turun temurun. Misalnya penyakit akibat
kutukan Allah, makhluk gaib, roh-roh jahat, udara busuk, tanaman berbisa, binatang, dan
sebagainya.

Pada sebagian penduduk Pulau Jawa, dulu penderita demam sangat tinggi diobati dengan cara
menyiram air di malam hari. Air yang telah diberi ramuan dan jampi-jampi oleh dukun dan pemuka
masyarakat yang disegani digunakan sebagai obat malaria.

simpulan: Cara dan gaya hidup manusia, adat istiadat, kebudayaan, kepercayaan bahkan seluruh
peradaban manusia dan ling - kungannya berpengaruh terhadap penyakit. Secara fisiologis dan
biologis tubuh manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya.

Manusia mempunyai daya adaptasi terhadap lingkungan yang selalu berubah, yang sering membawa
serta penyakit baru yang belum dikenal atau perkembangan/perubahan penyakit yang sudah ada.
Kajian mengenai konsekuensi kesehatan perlu memperhatikan konteks budaya dan sosial
masyarakat

Banjarmasin, (Tagar 25/12/2017)- Seseorang yang merasakan tubuhnya tidak sehat akan berusaha
berobat atau "batatamba" (sebutan orang Banjar Kalimantan Selatan). Sebutan batatamba nyaris tak
terdengar di perkotaan, tetapi di daerah-daerah terpencil, kata tatamba masih familier.

Batatamba salah satu warisan budaya urang Banjar Kalsel yang oleh sebagian masyarakat setempat
masih mereka lakoni untuk menuju sehat, baik jasmani maupun rohani.

Pasalnya sejak zaman nenek moyang tempo dulu kesehatan jasmani dan rohani sesuatu yang sangat
berharga dan mahal sekali karena mempunyai nilai tiada terhingga bagi kesempurnaan hidup dan
kehidupan seseorang.

Oleh karena itu berapa pun banyaknya kekayaan serta memiliki uang, kesemua itu tak akan banyak
makna dalam hidup dan kehidupan orang tersebut secara paripurna, jika tidak sehat jasmani dan
rohani atau jiwa raga.

Sebagai contoh seseorang yang kaya atau banyak duit, tetapi tidak boleh memakan sesuatu yang
enak, karena faktor kesehatan atau penyakit yang dia derita, misalnya gula darah (diabet), hipertensi
(tekanan darah tinggi), dan hipatitis/liver.

BATATAMBA:

Garing dan penamban adalah istilah orang

Banua untuk menyebut sakit dan penyembuh


tradisional mereka. Istilah garing dalam bahasa
Banjar berarti orang tersebut harus berhenti
bekerja. Hal ini didasarkan pada kondisi tubuh
ketika seseorang sakit yang dianggap sebagai
kode agar ia beristirahat untuk sementara.
Sementara itu, istilah penamban merujuk pada
kata tamban yang dalam bahasa Banjar berarti
penyembuh (Azidin dkk., 1990).
Pengobatan tradisional pada masyarakat Banjar
yang disebut dengan istilah batatamba memiliki
keunikan tersendiri. Menurut orang Banua, sakit
adalah semacam gangguan terhadap pikiran dan
fisik manusia, sehingga ia tidak dapat
melaksanakan pekerjaan dengan baik. Dengan
kata lain, sakit adalah gangguan yang
menyerang manusia, baik secara lahir dan batin.
Dengan dasar di atas, sakit dibedakan menjadi
dua bagian, yaitu sakit yang bersifat nyata
(rasional, ringan) dan sakit yang bersifat tidak
nyata (irrasional, berat). Sakit yang nyata adalah
penyakit yang dapat dilihat dan dirasakan
dengan jelas sehingga mudah untuk diobati.
Sedangkan sakit yang tidak nyata adalah
penyakit yang sulit untuk ditemukan
penyebabnya. Orang yang sakit juga tidak dapat
menyebutkan bagian mana yang terasa sakit
karena yang merasakan sakit adalah fisik dan
psikisnya, baik secara sadar maupun tidak.
Dalam pengetahuan orang Banua, sakit
yang tidak nyata dianggap lebih berbahaya
daripada sakit yang nyata, karena sulitnya untuk
diobati. Sakit yang tidak nyata antara lain
garing panas (sakit ingatan), garing pulasit
(kemasukan roh jahat), sakit kuning, dan
kapidaran (penyakit yang menyerang anak-
anak), gelisah dan susah tidur. Jika seseorang
terkena jenis penyakit ini, maka dianggap
teguran dari leluhur atau telah melanggar
pantangan adat. Untuk menyembuhkannya,
orang yang sakit harus dibawa ke penyembuh
tradisional atau penamban.
Dalam masyarakat Banjar, prosesi
pengobatan tersebut dinamakan dengan istilah
batatamba. Secara etimologis, batatamba dalam
bahasa Banjar berasal dari kata tamba atau
tatamba yang bermakna obat; batatamba berarti
berobat atau berdukun; mananambai bermaksud
mengobati atau menyembuhkan; dan
pananamba berarti orang yang memberikan
pengobatan (Hapip, 2008).Orang Banua
(sebutan lain suku Banjar) membedakan orang orang yang berprofesi sebagai penamban.

Misalnya mereka menyebut bidan kampung


untuk penamban yang membantu kelahiran dan
menyembuhkan bayi yang sakit. Tukang urut
adalah penamban untuk sakit fisik seperti
kecapekan. Istilah penambaan untuk orang yang
menyembuhkan sakit tersebab roh jahat.
Terakhir adalah mualim, yaitu sebutan bagi
penamban untuk sakit akibat roh jahat tetapi ia
biasanya seorang tokoh agama (Azidin dkk.,
1990; Sam’ani dkk., 2005).
tahap: pembacaan doa, air penawar Air penawar dimaksud atau disebut dengan ‘air

berkah’ biasanya ada yang diminumkan,


dimandikan (bamandi-mandi), dibasuhkan ke
wajah (batimpungas), dipercikan (dipapai atau
ditapungtawari), disemburkan (basambur).
ramuan obatan tradisional Ramuan-ramuan untuk penyakit dalam terdiri
dari akar-akaran, biji-bijian, dan daun-daunan
ditambah dengan doa-doa yang telah diajarkan
oleh leluhur Suku Banjar sejak masa silam.
Kenyataan ini membuktikan kedekatan mereka
terhadap alam. Pemberian alam dimanfaatkan
sebagai obat dan menghasilkan pengetahuan
tentang obat. Hal ini membuktikan kebesaran
kebudayaan Melayu secara umum (Sam'ani,
dkk., 2005; Daud, 1997).

Anda mungkin juga menyukai