Anda di halaman 1dari 52

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sirosis hati merupakan dampak tersering dari perjalanan klinis yang panjang
dari semua penyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan parenkim hati.
Diskripsi suatu sirosis hati berkonotasi baik untuk menetapkan prognosis pasien
dengan penyakit hati.1

Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada penderita usia
45-46 tahun. Diseluruh dunia sirosis hati menempati urutan ketujuh penyebab
kematian. Penderita sirosis lebih banyak pada laki-laki , jika dibandingkan dengan
wanita rasionya sekitar 1,6 : 1. Umur rata-rata penderitanya terbanyak golonga umur
30-59 tahun.Dengan puncaknya sekita umur 40-49 tahun. Penyebab sirosis hepatis
sebagian besar adalah penyakit hati alkoholik dan non alkoholik steatohepatis serta
hepatitis C.1

Sirosis hepatis merupakan salah satu penyebab utama beban kesehatan di


dunia. Menurut studi Global Burden Disease 2010, sirosis hepatis menyebabkan 31
juta kecacatan sesuai tahun kehidupan atau Disability Adjusted Life Years (DALYs),
atau 1,2% dari DALYs dunia dan 2% dari seluruh kematian didunia pada tahun 2010.
Sirosis hepatis termasuk dalam 20 penyebab kematian terbanyak di dunia, mencakup
1,3% dari seluruh kematian di dunia dan 5 besar penyebab kematian di Indonesia.1

Penyebab munculnya sirosis hepatis di negara barat tersering akibat alkoholik


sedangkan di Indonesia kebanyakan disebabkan akibat hepatitis B atau C. Patogenesis
sirosis hepatis menurut penelitian terakhir memperlihatkan adanya peranan sel stelata
dalam mengatur keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan proses
degradasi, di mana jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus
menerus, maka sel stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen.2
2

Fibrosis hati adalah proses yang sangat dinamis di mana banyak gen
berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan. Studi epidemiologi terbaru telah
mengidentifikasi kemungkinan polimorfisme di Indonesia. Sejumlah kandidat gen
yang mempengaruhi perkembangan fibrosis hati. Genetik merupakan faktor yang
dapat menjelaskan secara luas agen etiologi yang sama ditemukan di pasien dengan
penyakit hati kronis. Polimorfisme pada gen yang mengkode imunoregulasi protein,
sitokin proinflamasi, dan faktor fibrogenik dapat memengaruhi perkembangan
penyakit pada pasien dengan penyakit hati yang diinduksi alkohol, sirosis bilier
primer, atau kronishepatitis C.3
Semakin banyak bukti menunjukkan faktor genetik mempengaruhi
perkembangan penyakit hati kronis. Penelitian terbaru menunjukkan sejumlah
pengaruh polimorfisme gen yang mempengaruhi terjadi sirosis hepatis pada pasien
dengan hepatitis, B, hepatitis C, penyakit hati alkoholik dan penyakit hati non
alkoholik.3

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk memberikan pemahaman akan
berbagai polimorpism gen yang berperan dalam terjadi sirosis hepatis. Setiap
penyebab yang berperan menyebabkan terjadi sirosis ternyata memiliki polimorfisme
yang berbeda. Dalam referat ini akan dijelaskan berbagai macam gen yang berperan
dan bagaimana mekanisme gen tersebut mempengaruhi perkembangan terjadinya
sirosis hepatis.
3

BAB II
POLIMORFISME

2.1 Definisi
Polimorfisme genetik didefinisikan sebagai perbedaan pada sekuens DNA di
antara individu, kelompok, ataupun populasi.Lebih jelas, polimorfisme dapat
didefiniskan sebagai variasi pada sekuens DNA yang terjadi sebesar 1% atau lebih
dalam sebuah populasi.Apabila ditemukan kurang dari 1%, maka perubahan ini disebut
sebagai mutasi. Apabila perbedaan pada sekuens DNA pada individu terbukti memiliki
kaitan dengan suatu penyakit, maka hal ini biasanya akan disebut sebagai mutasi
genetik.4

Polimorfisme timbul sebagai akibat dari terjadinya mutasi, seperti perubahan


satu tipe nukleotida menjadi yang lainnya, insersi atau delesi, ataupun penyusunan
kembali struktur nukleotida.Setelah terbentuk, polimorfisme dapat diturunkan seperti
layaknya sekuens DNA lainnya, sehingga memungkinkan untuk mengetahui asal-usul
sekuens DNA awal.Banyaknya jumlah DNA yang tidak mengkode protein
memungkinkan polimorfisme dapat dijumpai di luar genetik. Hal ini dapat disebabkan
oleh karena perubahan pada sekuens DNA yang dapat mengkode protein dapat
memiliki efek berbahaya pada individu yang membawanya.5

Perjalanan penyakit fibrosis hati dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan.


Studi epidemiologik mencatat adanya polimorfisme dari sejumlah gen kandidat yang
bisa mempengaruhi progresif fibrosis hati pada manusia. Faktor genetik ini dapat
menjelaskan adanya respon beragam terhadap agen penyebab yang sama yang
ditemukan pada pasien-pasien dengan penyakit hati kronik.6
4

2.2 Tipe-tipe polimorfisme DNA


2.2.1 Polimorfisme tandem berulang
Pasangan sekuens DNA yang hadir berulang kali umum dijumpai pada
genom sebagian besar spesies termasuk pada manusia dan biasanya
mengindikasikan adanya peranan penting. Pengulangan pasangan DNA
seringkali disebut juga simple sequence repeat (SSR), mikrosatelit, atau
minisatelit. Pengulangan sekuens ini dapat ditemukan pada ekson, intron, atau
daerah intergenik, sehingga memberikan peluang bagi modulasi ekspresi gen dan
struktur serta fungsi RNA dan protein.4,5

2.2.2 Pengulangan tandem pendek


Tipe polimorfisme DNA ini merupakan bentangan yang sangat pendek
dari DNA yang diulang pada beberapa lokasi di sepanjang genom manusia.
Berbeda dengan sekuens DNA pada gen koding, tidak ada jumlah pengulangan
yang pasti untuk setiap pengulangan tandem pendek secara spesifik dalam
genom. Untuk STR yang spesifik, setiap orang memiliki 2 salinan, satu yang
diturunkan dari ibunya ketika konsepsi, dan yang lainnya diturunkan dari
ayahnya sendiri. STR sangat membantu dalam forensik dan test orang tua, oleh
karena STR memiliki variasi yang beraneka ragam sehingga kemungkinan untuk
dua orang memiliki pengulangan yang sama persis pada kedua salinan yang
didapatkan secara turunan sangatlah kecil.4,5

2.2.3 Single nucleotide polymorphism (SNP)


Posisi gen dalam suatu sekuens DNA yang mengalami mutasi dapat
disebut pula sebagai SNP. Ketika mutasi terjadi pada posisi tertentu, mutasi ini
cenderung menimbulkan suatu atau beberapa macam penyakit. Genom manusia
biasanya tersusun atas tiga milyar base pairs, dan terdapat satu SNP dalam setiap
500 ~ 1000 bp, sehingga dapat disimpulkan kemungkinan dijumpainya SNP
pada genom manusia sangatlah tinggi. SNP disebutkan juga sebagai substitusi
basa tunggal pada DNA dan merupakan 90% dari bentuk polimorfisme.
5

Terdapat dua bentuk dari SNP: transisi di mana terjadi pergantian basa antar
purin (adenin/A, guanin/G) atau antar pirimidin (sitosin/C, timin/T) yang terjadi
pada 60% bentuk SNP dan bentuk kedua adalah transversi, di mana terjadi
substitusi antara purin dengan pirimidin. SNP yang terjadi pada daerah koding
atau daerah regulatori dapat menyebabkan gangguan fungsional.4,5

2.2.4 Copy-number polymorphism/variation (CNP/CNV)


Bentuk polimorfisme ini didefiniskan sebagai ditemukannya suatu segmen
tertentu dari sebuah DNA dapat ditemukan dalam jumlah salinan yang berulang
tertentu pada individual yang berbeda- beda. Jumlah CNV ini dapat berkisar
antara beberapa ratus nukleotida hingga basa- basa dalam jumlah yang lebih
besar. CNV memiliki perbedaan dibandingkan SNP, di mana bentuk
polimorfisme ini umumnya terjadi pada bagian tertentu yang signifikan pada gen
dan sangat tidak jarang ditemui.4,5

2.3 Pengunaan marker DNA


Tujuan utama mempelajari polimorfisme DNA dalam genetika manusia
adalah untuk mengidentifikasi lokasi kromosom gen mutan yang terkait dengan
penyakit keturunan. Dalam konteks berupa gangguan yang disebabkan oleh
interaksi berbagai faktor genetik dan lingkungan, seperti penyakit jantung,
kanker, diabetes, depresi, dan sebagainya, penting untuk memikirkan alel
berbahaya sebagai faktor risiko suatu penyakit yang meningkat probabilitas
terjadinya penyakit, bukan sebagai agen penyebab tunggal. Ini perlu ditekankan,
terutama karena faktor risiko genetik sering disebut gen penyakit. Sebagai
contoh, gen penyakit utama untuk kanker payudara pada wanita adalah gen
BRCA1.4,5

Untuk wanita yang membawa alel mutan BRCA1, risiko seumur hidup
untuk kanker payudara adalah sekitar 36%, dan karenanya, sebagian besar
wanita dengan faktor risiko genetik ini memiliki peluang besar untuk mengidap
6

kanker payudara. Sebaliknya, di antara wanita yang bukan karier, risiko seumur
hidup untuk kanker payudara adalah sekitar 12%. Memang, mutasi BRCA1
ditemukan hanya pada 16% wanita yang terkena yang memiliki riwayat keluarga
kanker payudara. Pentingnya faktor risiko genetik dapat dinyatakan secara
kuantitatif sebagai risiko relatif, yang sama dengan risiko penyakit pada individu
yang membawa faktor risiko dibandingkan dengan risiko pada mereka yang
tidak. Risiko relatif untuk penyakit pada wanita yang membawa BRCA1 sama
dengan 3.0.4,5

SNP tidak menyebabkan penyakit, namun dapat membantu menentukan


kemungkinan seseorang akan terserang penyakit tertentu. Salah satu gen yang
terkait dengan penyakit Alzheimer, apolipoprotein E atau ApoE, adalah contoh
yang baik tentang bagaimana SNP mempengaruhi perkembangan penyakit.
ApoE mengandung dua SNP yang menghasilkan tiga alel untuk gen ini: E2, E3,
dan E4. Setiap alel berbeda oleh satu basa DNA, dan produk protein dari setiap
gen berbeda oleh satu asam amino. Setiap individu mewarisi satu salinan ApoE
dari pihak ibu dan satu salinan ApoE dari pihak ayah. Penelitian telah
menunjukkan bahwa seseorang yang mewarisi setidaknya satu alel E4 akan
memiliki peluang lebih besar terkena penyakit Alzheimer. Rupanya, perubahan
satu asam amino dalam protein E4 mengubah struktur dan fungsinya cukup
untuk membuat perkembangan penyakit lebih dini. Mewarisi alel E2,
menunjukan bahwa seseorang memiliki risiko lebih kecil mengidap penyakit
Alzheimer.4,5

2.4 Pemetaan dan keterkaitan genetik


Setiap polimorfisme DNA berfungsi sebagai penanda/marker genetik
untuk lokasinya sendiri di kromosom. Pentingnya kaitan genetik adalah bahwa
penanda DNA yang cukup dekat dengan gen penyakit akan cenderung
7

diturunkan bersama dengan gen penyakit, dan semakin dekat penanda, semakin
kuat hubungan ini. Pendekatan pertama dalam identifikasi gen penyakit adalah
menemukan penanda DNA yang secara genetik terkait dengan penyakit untuk
mengidentifikasi lokasi kromosomnya, yaitu sebuah prosedur yang dikenal
sebagai pemetaan genetik. Setelah posisi kromosom diketahui, metode lain dapat
digunakan untuk menentukan gen penyakit itu sendiri dan mempelajari
fungsinya. Genom manusia mengandung gen B30 000. Jika hubungan genetik
tidak ada, maka kita harus memeriksa 30.000 DNA polimorfisme, satu di setiap
gen untuk mengidentifikasi gen penyakit. Tetapi genom manusia hanya memiliki
23 pasang kromosom, dan karena keterkaitan genetik dan kekuatan pemetaan
genetik, sebenarnya hanya membutuhkan beberapa ratus DNA polimorfisme
untuk mengidentifikasi kromosom dan memperkirakan lokasi faktor risiko
genetik.5,6

Sirosis hati ditandai oleh degenerasi dan nekrosis hepatosit, penggantian hati
parenkim dengan jaringan fibrotik dan regeneratif nodul dan hilangnya fungsi hati.
Hati yang rusak arsitektur akan menginduksi distorsi vaskular intrahepatik dan
hipertensi portal, yang bermanifestasi dalam komplikasi seperti asites, gastrointestinal
bagian atas perdarahan, ikterus dan ensefalopati hati. Namun, terlepas dari faktor
etiologisnya, faktor kerentanan dan tingkat kerusakan hati mungkin dipengaruhi oleh
polimorfisme genetik yang berhubungan dengan latar belakang etnis tertentu. Karena
itu, gen yang terlibat dalam berbagai jalur metabolisme dipengaruhi oleh faktor gaya
hidup lingkungan yang berbeda, seperti diet, aktivitas fisik, dan stres emosional.6
8

BAB III
Perananan Sitokin Dalam Fibrosis Hati dan Sirosis Hepatis
3.1 PDGF (platelet-derived growth factor )

PDGF(platelet-derived growth factor)adalah mitogen terkuat untuk HSC


(hepatic stelatte cell) di antara semua polipeptida faktor pertumbuhan. Keluarga
PDGF memiliki empat anggota, PDGF-A, -B, -C dan -D. PDGF dan reseptornya
adalah sangat diekspresikan dalam jaringan fibrosa, dan aktivitasnya meningkat
dengan derajat fibrosis hati. Varietas faktor-faktor seperti virus, bahan kimia, atau
kerusakan mekanis pada hepatosit dapat menginduksi sell kuffer untuk mensintesis
dan melepaskan PDGF. Setelah mengikat reseptor spesifik pada membran HSC,
PDGF mengaktifkan sinyal molekul dan faktor transkripsi, mengarah ke aktivasi gen
target hilir dan aktivasi HSC. PDGF telah terbukti meningkatkan regulasi ekspresi
MMP-2, MMP-9 dan TIMP-1, dan menghambat aktivitas kolagenase, sehingga
mengurangi degradasi ECM. PDGF-B dan PDGF-D adalah PDGF yang kuat isoform
dalam pensinyalan PDGF receptor (PDGFR) β di dalamnya HSC, sebagaimana
dibuktikan oleh autofosforilasi PDGFRβ dan aktivasi kinase yang diatur sinyal
ekstraseluler (ERK) 1/2, C-Jun N-terminal kinase (JNK), p38 dimitogenasi protein
kinase (MAPK), dan protein kinase (PK) Jalur B / Akt. PDGF-D dapat mengaktifkan
HSC dan memberikan efek mitogenik dan fibrogenik, dan karenanya memainkan
peran penting dalam remodeling matriks di hati fibrosis.7
9

Gambar 1.Skema yang sederhanadari sistem PDGF. PDGF-A dan –B disekresikan


sebagai homo- aktif atau heterodimer.8

PDGF-A dan -B disekresikan sebagai homo- aktif atau heterodimer. Dua bentuk
PDGF-A diproduksi oleh splicing alternatif daritranskrip PDGF-A. PDGF-B memiliki
motif retensi dasar terminal-C yang mengikat komponen ECM dan dapat dihilangkan
dengan protease. PDGF-C dan -D disekresi sebagaihomodimer prekursor tidak aktif
yang membutuhkan pembelahan ekstraseluler dari domain CUB untuk pengikatan dan
aktivasi reseptor.Plasmin dapat mengaktifkan kedua PDGF-C dan -D, sementara
aktivator plasminogen jaringan (tPA) khusus untuk PDGF-C. Pengikatan PDGF
dengan PDGFR menghasilkan autofosforilasi dan aktivasi berbagai jalur pensinyalan
seperti JAK / STAT-, Jalur PI3K-, PLC-g- atau MAPK, menghasilkan proliferasi sel,
migrasi, kelangsungan hidup, dan produksi ECM.7
10

3.2 TGF-β

TGF-β adalah penginduksi fibrogenesis yang paling kuat diketahui pada


fibrosis hati. TGF-β terutama disintesis oleh HSC atau myofibroblast, KC, LSECs, dan
hepatosit dalam hati. Keluarga TGF-β1 terdiri dari enam anggota, dan di antara nya
adalah TGF-β1 telah terbukti memiliki peran kunci dalam inisiasi dan pemeliharaan
fibrosis hati. Level ekspresi TGF-β1 meningkat pada hati fibrotik dan mencapai
maksimum pada sirosis.7

Efek pro-fibrogenesis TGF-β1 rumit, melibatkan banyak aspek, efek utama


TGF-β1 adalah untuk merangsang aktivasi HSC, dan TGF-β1 autokrin loop dalam
HSC yang diaktifkan adalah positif penting umpan balik terhadap perkembangan
fibrosis hati. TGF-β1 menginduksi ekspresi gen penghasil matriks dan menghambat
degradasi ECM dengan menurunkan regulasi ekspresi MMP dan mempromosikan
TIMP, yang mengarah ke pengendapan serat kolagen dan mempromosikan
pengembangan fibrosis hati. Selain itu, TGF-β1 telah terbukti menghambat sintesis
dan menginduksi DNAapoptosis hepatosit. Apoptosis yang diinduksi TGF-β1dianggap
bertanggung jawab atas kehilangan dan penurunan jaringan dalam ukuran hati terlihat
pada sirosis. Mengingat peran penting dari TGF-β1 dalam patogenesis sirosis hati,
spesifik blokade pensinyalan TGF-β1 atau Smad3 telah menunjukkan beberapa nilai
terapi untuk fibrosis hati.7
11

Gambar. 2. Jalur pensinyalan yang dimediasi TGF-b dalam sel-sel hati.9

TGF-b memainkan peran ganda dalam kontrol proliferasi dan apoptosis. Di

samping itu, TGF-b menginduksi sinyal intraseluler yang memediasi penangkapan

siklus sel dan apoptosis, di sisi lain, di waktu kemudian, ia mengaktifkansinyal

proliferatif dan antiapoptosis, melalui aktivasi jalur EGFR. Loop autokrin EGFR

diaktifkan oleh TGF-b dalam sel hatimembutuhkan aktivitas metalloprotease TACE /

ADAM17, yang bertanggung jawab untuk penumpahan keluarga EGF faktor

pertumbuhan. DiSelain jalur EGFR, pembicaraan silang antara TGF-b dan faktor

pertumbuhan lainnya dan jalur kemokin telah ditetapkan. Nyaderegulasi dalam sel-sel

HCC mendukung aktivitas pro-tumorigeniknya.


12

Gambar. 3. Peran TGF-b dalam homeostasis hati.9

TGF-b mengatur kedua perkembangan hati (atas) dan regenerasi (lebih

rendah). TGF-b bertindak dalam proses diferensiasi hepatoblas ke hepatosit atau

kolangiosit dan morfogenesis bilier di parenkim hati berkembang. Selama regenerasi

hati setelah parsial hepatektomi, TGF-b adalah penting sinyal penghambatan. Dalam
13

kedua kasus, crosstalk-nyadengan beberapa jalur pensinyalan lainnyaadalah relevansi

khusus.9,10

Sinyal yang digerakkan TGF-b yang sangat tersetel, dalam hal ini dari kedua

jumlah dan aktivitas spatiotemporal, tampaknya mengatur ekspresi gen hati dan

membuat penentu kritis dalam spesifikasi dan diferensiasi zona hepatoblas ke

hepatosit atau kolangiosit pada parenkim hati yang berkembang. TGF-b juga penting

dalam kontrol arsitektur hati dan morfogenesis bilier.Tetapi TGF-b tidak saja

mengarahkan perkembangan hati yang normal.Faktor pertumbuhan hepatosit (HGF)

yang dimediasi jalur mandiri SMAD mampu menyelamatkan fenotip hati pada mutan

SMAD2 / 3.Ini tidak terlalu mengejutkan mengingat peran yang terkenal dari jalur

HGF / c-MET dalam perkembangan hati, tetapi saling mempengaruhi yang tepat

antara dua jalur mungkin pantas mendapat sedikit perhatian.Beberapa jalur lain yang

mengatur nasib empedu, yaitu Wnt / b-catenin, jalur pensinyalan Notch dan Hippo-

Yap, mungkin berinteraksi langsung dengan TGF-b.Oleh karena itu, TGF-b /

Pensinyalan BMP telah disarankan untuk mengaktifkan Notch pensinyalan dengan

mengatur perantara pensinyalan Notch. Pendekatan fungsional hilang dan mudah-

mudahan akan diambil di tahun-tahun mendatang untuk memperjelas fungsional

hubungan dan / atau cross-talk antara TGFb jalur dan jalur lain ini dalam konteks ini.

Meskipun tidak ada keraguan tentang peran penting Signaling pensinyalan TGF-b

bekerja sama dengan tambahan sinyal untuk mengatur perkembangan hati, bagaimana

ini pensinyalan fine-tune yang ditentukan masih dalam studi.9,10


14

Beberapa microRNAs (miRNAs) telah dibuktikan mengatur keputusan nasib

sel dengan memodulasi pensinyalan TGF-b.Pertama, Rogler et al. menunjukkan

bahwa SMADadalah target dari cluster miR-23b, yang fungsinya tampaknya akan

menekan ekspresi empedu pada program diferensiasi hepatoblas. Selanjutnya, baru-

baru ini, miR-302b dan miR-20a, dua miRNA berlimpah diekspresikan dalam

endoderm, juga telah ditunjukkan untuk menekan pensinyalan TGF-b dengan

menargetkan Tgfbr2; dan lebih penting lagi, ekspresi paksa miR-302b selama

diferensiasi sel induk embrionik terkait dengan penurunan ekspresi penanda

hati.Selain miRNA, regulator hulu lainnya signaling TGF-b adalah tinggi terkait SRY

faktor transkripsi kotak mobilitas kelompok (SOX) 9 dan 4. Mereka bekerja sama

untuk mengendalikan morfogenesis saluran empedu dan tampaknya melakukannya

dengan bertindak sebagai komponen empedu memodulasi jaringan gen TGF-b, Notch

dan Hippo- Pensinyalan Yap, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa SOX4 / SOX9

ganda mutan menampilkan perubahan di ekspresi mediator pensinyalan jalur ini,

seperti TbRII, Hes1 dan Tead2, meskipun dampak pada setiap kaskade tampak tidak

sama.9,10

Secara mengejutkan, poros pensinyalan TGF-b / SOX9 bisa saja dua arah

dan beroperasi juga dalam batang hati dewasa / leluhur sel, karena induksi TGF-b-

dimediasi SOX9 dalam sel batang / progenitor mesenkim hati hati dewasa dikaitkan

dengan penurunan diferensiasi hepatositikKonteks lain di mana TGF-b adalah


15

regulator penting adalah regenerasi hati. Peran TGF-b sebagai sinyal penghambatan

penting dalam regenerasi hati akut setelah parsial hepatektomi telah dieksplorasi

secara luas.Respons yang dikurangi untuk efek sitostatik dan sitotoksik TGF-b dalam

regenerasi hepatositmenyediakan mekanisme potensial untuk mempromosikan

regenerasi hepatosit. Itu fenotip yang resisten dikaitkan dengan peningkatan regulasi

sinyal antiapoptotik dan antioksidan, tetapi yang mendasarinya mekanisme perubahan

seperti itu masih belum diketahui.9,10

Menariknya, seperti pada perkembangan hati, yang sempurna orkestrasi

spatiotemporal dari pensinyalan TGF-b di diperlukan berbagai tahapan proses, dalam

hal ini, untuk memungkinkan proliferasi hepatosit di induktif fase dan penghentian

regeneratif yang efisien respon sesudahnya.Pengetahuan dalam mekanisme yang

mendasari kontrol spatiotemporal dari pensinyalan TGF-b inisedang disediakan.

Memang, miRNA yang samaterbukti mengatur pensinyalan TGF-b selama

perkembangan hati mungkin mengatur aktivasi TGF-b1 / SMAD3 di tahap terminasi

regenerasi hati. Bahkan, cross-talk yang rumit yang beroperasi di antara yang berbeda

tipe sel hati mungkin penting. 9,10

Hu et al. telah menunjukkan bahwa endotelial hati sinusoidal hati produksi

angiopoietin-2, yang pada gilirannyamengatur produksi TGF-b dan endotel vaskular

ekspresi reseptor-2 faktor pertumbuhan, sangat penting untuk menyalakan atau

mematikan hepatosit dan sinusoidal hati proliferasi sel endotel selama tahapan

regeneratif biphasic. Bersama dengan ini, saling mempengaruhi secara halusantara


16

TGF-b dan reseptor tirosin kinase pensinyalan, seperti itu dipicu oleh HGF atau

epidermal ligan reseptor faktor pertumbuhan (EGFR), dipertimbangkan menjadi

fundamental dalam kontrol proliferasi hepatosit dan apoptosis selama regenerasi.

Bagaimana cross-talk ini beroperasi tidak jelas.11

Di sisi lain, regulasi ekspresi timbal balik telah diterapkan ditampilkan antara

HGF dan TGF-b tetapi tentu saja, crosstalk tampaknya lebih kompleks dan ada angka

kandidat mediator. NADPH oksidase (NOX) 4 bisa jadi salah satunya.Kami telah

menunjukkan itu secara negatif mengontrol proliferasi hepatosit dan Ekspresi diatur ke

bawah selama regenerasi setelah hepatektomi parsial pada tikus. Karena NOX4 adalah

dikenal sebagai target penting TGF-b yang menjadi perantara efek apoptosis dan dapat

ditekan oleh epidermal faktor pertumbuhan (EGF) dan HGF, kami berhipotesis bahwa

aktivasi HGF / Met dan / atau Sinyal EGFR dalam hati yang mengalami regenerasi

mungkin berkontribusi untuk pengurangan NOX4 sebagai mekanisme untuk

mempromosikan proliferasi dan resistensi hepatosit apoptosis. Namun, hati yang

kekurangan tirosin EGFR aktivitas kinase menunjukkan proliferasi yang tertunda

bersama dengan terlalu aktifnya jalur TGF-b / SMAD, tetapi tidak ada perbedaan

dalam apoptosis atau kadar NOX4 diamati. Mediator potensial lainnya adalah

fosfatase PTP1B yang mengikat Met dan EGFR dan mengurangi aktivasi mereka.

Kekurangan PTP1B menyebabkan peningkatan pensinyalan yang dimediasi EGF dan

HGF pada hepatositdan hati diserahkan ke hepatektomi parsialmenghasilkan


17

regenerasi yang dipercepat, dan juga menganugerahkan resistensi pada efek penekan

yang diinduksi TGF-b di hepatosit.Baik pengaruhnya terhadap tirosin reseptor kinase

dan pensinyalan TGF-b saling terkait tanggungan belum diklarifikasi. Di sisi lain, a

pengaturan umpan balik negatif antara TGF-b dan HGF melalui faktor transkripsi

faktor nuklir IC telah diusulkan memiliki peran pengaturan pusat dalam regulasi

respons proliferatif bertahap di hati. Menyatukan semua untaian ini adalah tidak

mudah, tetapi keseimbangan yang tepat dari semua sinyal ini mungkin merupakan

penentu efisiensi dan intensitas respon regeneratif.TGF-b juga mengatur

fenotipikkonversi, khususnya, itu mendorong epithelial-tomesenchymaltransisi

(EMT). Meski ada sekarangtidak ada pertanyaan bahwa TGF-b mampu menginduksi

EMT dalam hepatosit,janin, neonatal dan dewasa (setidaknya in vitro dandalam

kondisi tertentu), dan bahwa proses ini menganugerahkanresistensi terhadap efek

penekan yang dimediasi TGF-b, apakah TGF-b benar-benar mendorong konversi iniin

vivo tetap kontroversial dan menunggu penyelidikan lebih lanjut.9,10,11

Meskipun demikian, ada beberapa kemajuandibuat sehubungan dengan

bagaimana EMT diinduksi.Kolaborasiantara pensinyalan SMAD dan non-

SMADdiketahui, tetapi pensinyalan dan pengaturan sinyal barumolekul sedang

diidentifikasi.Sekali lagi, miRNA sepertinyauntuk memiliki peran.Secara khusus,

miR-101 telah ditampilkanuntuk menghambat EMT yang diinduksi TGF-b pada

hepatosit.Sebagaiuntuk cross-talk antara TGF-b dan tirosin kinasepensinyalan reseptor


18

selama induksi EMT, gambarmasih cukup jelas.Meskipun TGF-b-dimediasi aktivasi

EGFR tampaknya dapat diabaikan.9,10,11

Gambar. 4. TGF-b dan penyakit hati.9

Aktivitas TGF-b ditemukan di semua fase perkembangan kondisi patologis

di hati.Awalnya, TGF-bmenginduksi apoptosis hepatosit dan transdifferensiasi HSC

ke myofibroblast setelah cedera kronis, yang menyebabkan inflamasi. Proses dan

fibrosis hati. TGF-b juga bertindak dalam mempromosikan proliferasi HSC dan

pemeliharaan fenotipe myofibroblastik, yang penting untuk pembentukan

sirosis.Akhirnya, TGF-b juga memainkan peran penting dalam HCC, bertindak

sebagai penekan tumor pada tahap, tetapi begitu sel-sel tumor memperoleh kapasitas
19

untuk mengatasi respons sitostatiknya, TGF-b bertindak sebagai sitokin pro-

tumorigenik, mendukungperkembangan keganasan. 9,10,11

3.3 TNF-α

TNF-α terutama diproduksi oleh monosit, makrofag, HSC, dan sel kuffer,
memiliki kegiatan proinflamasi danefek sitotoksik dalam sel-sel. Dalam proses liver
fibrosis, TNF-α memainkan peran penting dalam aktivasi HSC dan sintesis ECM.
TNF-α bisa mengurangi apoptosis spontan HSC tikus teraktivasi dengan
meningkatkan faktor antiapoptosis NF-κB, Bcl-XL dan p21WAF1, serta menurunkan
regulasi proapoptosis faktor p53. Namun, efek TNF-α pada HSCs dan fibrosis rumit
dan bahkan paradoksal, seperti ditunjukkan oleh penelitian yang menunjukkan bahwa
TNF-α dapat menginduksi apoptosis pada HSCs. TNF-α juga telah ditunjukkan untuk
memberikan efek antifibrogenik pada HSC tikus dengan mengurangi glutathione dan
menghambat ekspresi pro-kolagen α1. Dalam model tikus steatohepatitis nonalkohol
(NASH), Antibodi TNF-α terbukti mengurangi peradangan, nekrosis dan fibrosis di
hati. Pensinyalan TNF-α melalui aktivasi sel kuffer memainkan peran penting dalam
patogenesis fibrosis hati pada model hewan NASH.7
20

Gambar 5. Hipotesis kerja untuk mekanisme kerusakan hati yang dimediasi oleh anti-
TNF-α.
(A) TNF-αblokade dapat mengganggu penekanan normal produksi sel B auto-
reaktif dan apoptosissel T CD8 menyebabkan peningkatan kehadiran limfosit. Ini bisa
memicu perkembanganautoantibodi; (B) TNF-α dapat memediasi efek ganda dan
berlawanan dengan bekerja pada dua reseptor TNF(TNFR1 dan TNFR2)
diekspresikan pada sel T. TNF-α mampu merangsang sel T efektor, terutama melalui
TNFR1, yang mendorong respons peradangan. Di sisi lain, aktivasi TNFR2
diekspresikanpada sel T regulator menyebabkan pencegahan autoimunitas dan
pelemahan peradangan.Dengan demikian, blokade TNF-α dapat menentukan cedera
hati lebih lanjut atau regenerasi denganmemodulasi keseimbangan antara sel T efektor
dan regulator. Arah tanggapan ini bisajuga dipengaruhi oleh genetika dan status
imunologis inang (mis., sitokin, TNFRprofil ekspresi, sumber seluler TNF). TNF-α,
Tumor necrosis factor-α; TNFR1, Tumor nekrosisfaktor-α reseptor 1; TNFR2, Tumor
21

necrosis factor-α receptor 2; ANA, antibodi anti-nuklir;ASMA, antibodi otot anti-


halus; Anti-LKM, antibodi tipe 1 ginjal anti-ginjal;Anti-ds-DNA, antibodi DNA untai-
ganda.

3.4 Interferon
Interferon (IFN) adalah keluarga ekstraseluler terlarut molekul pemberi sinyal.
Leukosit mensintesis IFN-α dan IFN-β sebagai respons terhadap infeksi virus, dan sel
T mengeluarkan IFN-γ saat stimulasi dengan berbagai antigen dan mitogen. IFN
memiliki aktivitas antivirus dan dikenal dengan baikuntuk efek antivirus mereka.
Pasien dirawat dengan IFNs menunjukkan regresi fibrosis hati bahkan jika
pemberantasan virus tidak tercapai, menunjukkan bahwa IFN itu sendiri memiliki
aktivitas antifibrotik melalui pemicu apoptosis HSC. IFN-β dapat menonaktifkan HSC
dan menurun produksi mereka dari α-smooth muscle actin (SMA) dan kolagen melalui
penghambatan TGF-β dan PDGF jalur. Demikian pula, IFN-γ telah ditunjukkan untuk
mengurangi deposisi ECM in vivo dengan menghambat HSCaktivasi melalui jalur
pensinyalan TGFβ1 atau Smad3. Pengobatan tikus dengan fibrosis dengan IFN-γ
menyebabkan berkurang produksi dan deposisi kolagen, laminin, fibronektin, dan pro-
kolagen tipe I dalam hati. Namun, efek IFNs pada fibrosis tidak konsisten, seperti
yang ditunjukkanoleh penelitian terbaru menunjukkan bahwa IFN-α dan IFN-γ dapat
memberikan efek berlawanan pada apoptosis pada HSC. IFN-α terbukti menimbulkan
efek antiapoptotik pada HSC yang diaktifkan, sedangkan IFN-found ditemukan
mengerahkan proapoptosis berpengaruh pada HSC dengan menurunkan pengaturan
sengatan panas protein.7
Penghambatan proliferasi sel-sel hati (HSC) secara klinis penting untuk
pengendalian fibrosis hati dan sirosis.Interferon sekarang sering digunakan untuk
hepatitis virus kronis karena anti-virus mereka aktivitas.Namun, pasien yang dirawat
dengan interferon menunjukkan regresi fibrosis hati bahkan jika pemberantasan virus
tidaktercapai, menunjukkan bahwa interferon itu sendiri memiliki anti-fibrotik
22

aktivitas.Di sini, kami menunjukkan anti-proliferasi dan proapoptosis aktivitas


interferon alami melawan HSC. Kita menemukan bahwa interferon menghambat
serum yang distimulasi penggabungan timidin dari HSC dalam dosis-tergantung cara,
dengan pengurangan yang signifikan lebih dari 100 U / ml. Interferon yang juga
dilemahkan PDGF-BB-distimulasi. Sintesis DNA HSC. Meskipun mekanisme
molekuler di balik fenomena ini belum didefinisikan, kita menemukan bahwa
interferon a memicu apoptosis HSC diobati dengan faktor nekrosis tumor dosis
rendah, sebagaimana ditentukan oleh uji biru Alamar, morfologi, dan tangga
pembentukan DNA. Selanjutnya, interferon menurun inhibitor tingkat casase-
diaktifkan DNase (ICAD), yang dapat menambah kematian sel yang diinduksi faktor
nekrosis tumor sinyal. Jadi, interferon alfa mengatur jumlah myofibroblastic sel-sel
stellate hati dan mungkin berkontribusi secara klinis untuk regresi fibrosis hati
manusia.7
3.5 ILs
ILs adalah sekelompok sitokin yang awalnya ditemukan untuk diekspresikan
oleh leukosit, tetapi kemudian terbukti diproduksi oleh berbagai sel, seperti limfosit T
CD4, monosit, makrofag, dan sel endotel. ILS memiliki peran rumit dalam respons
imun, peradangan, dan fibrogenesis hati.7

3.6 Pro-fibrogenic Ils

Sel kuffer dan SEC dapat dengan cepat menghasilkan ILS sebagai respons
terhadap kerusakan jaringan hati. IL-1 bisa langsung mengaktifkan HSC dan
menstimulasi mereka untuk menghasilkan MMP-9, MMP-13 dan TIMP-1,
menghasilkan fibrogenesis hati. Di Sebaliknya, tikus yang kekurangan reseptor IL-1
lebih kecil kemungkinannya mempertahankan kerusakan hati dan mengurangi
kerentanan untuk mengembangkan fibrosis. Kekurangan IL-1α atau IL-1β juga
membuat tikus kurang rentan untuk mengembangkan fibrosis hati pada model
binatang steatohepatitis. Demikian pula reseptor IL-1 antagonis ditemukan untuk
23

melindungi tikus agar tidak berkembang fibrosis hati sebagai respons terhadap
dimethylnitrosamine, dan memblokir pensinyalan IL-1 secara nyata dapat melemahkan
peradangan hati dan steatosis yang diinduksi alkohol. IL- 1β dilaporkan meningkatkan
inflamasi dan prosteatotik chemokine monocyte chemoattractant protein-1 dalam
hepatosit, dan meningkatkan pengaturan reseptor Toll-like (TLR4) -dependen dari
pensinyalan inflamasi pada makrofag. Sitokin profibrotik lainnya adalah IL-17, yang
ekspresinya tingkat meningkat dengan derajat fibrosis hati, menunjukkan bahwa IL-17
mungkin terlibat dalam perkembangan penyakit dan kronisitas. Penelitian pada tikus
menunjukkan hal itu IL-17 menginduksi fibrosis hati melalui berbagai mekanisme,
termasuk peningkatan regulasi TNF-α, TGF-β1, dan kolagen 1α, yang tergantung pada
transduser sinyal dan aktivator transkripsi (STAT) 3 jalur pensinyalan, dan promosi
perubahan myofibroblast dari HSC.7,11

3.7 Antifibrogenik Ils

IL-10 adalah sitokin yang menurunkan regulasi respon proinflamasi dan


memiliki modulatory efek pada fibrogenesis hati. IL-10 mungkin potensi terapi untuk
pasien dengan hati terkait HCV fibrosis yang tidak merespon terapi berbasis IFN. IL-
10 telah terbukti memberikan efek antifibrotik melalui menghambat aktivitas HSC dan
ini ditunjukkan dalam model tikus di mana IL-10 eksogen ditunjukkan membalikkan
fibrosis hati yang diinduksi CCl4 dengan menghambat ekspresi TGF-β1, MMP-2 dan
TIMP-1. IL-22 dikenal memainkan peran kunci dalam mempromosikan antimikroba
kekebalan, peradangan, dan perbaikan jaringan di permukaan penghalang. IL-22 telah
terbukti menginduksi HSC penuaan, membatasi fibrosis hati, dan mempercepat
resolusi fibrosis hati selama pemulihan pada tikus model IL-6 adalah sitokin
pleiotropik yang terlibat dalam inflamasi jalur, hematopoiesis dan regulasi imun. IL-6
dapat melemahkan apoptosis dan meningkatkan regenerasi hepatosit melalui
pensinyalan NF-κB dan Ras- Jalur MAPK. IL-6 mengurangi akut yang diinduksi CCl4
24

dan cedera hati kronis dan fibrosis. Pretreatment hati fibrotik dengan IL-6
meningkatkan lingkungan mikro hati dan memberikannya untuk sel punca mesenkimal
transplantasi, yang mengarah ke peningkatan cedera hati setelah fibrosis. Sementara
itu, peningkatan level darah IL-6 telah ditemukan pada pasien dengan NAFLD, dan
IL-6 dapat menginduksi resistensi insulin dan peradangan pada liver, menunjukkan
bahwa IL-6 dapat berperan dalam pengembangan dari NAFLD.7

Gen pengkodean IL-10 terletak pada kromosom 1 (1q31-1q32). IL-10 adalah


sitokin anti-inflamasi, yang dapat menghambat sintesis sitokin seperti IL-6, IL-1β, IL-
1α dan TNF-α dalam makrofag teraktivasi dan IFNγ oleh sel T. Beberapa penelitian
menyelidiki peran polimorfisme gen IL-10 dalam kerentanan terhadap sirosis hati, dan
hasilnya tidak konsisten. Lanjie et al, melakukan studi kasus-kontrol untuk
menyelidiki hubungan antara tiga SNP umum pada gen IL-10 (rs1800896, rs1800871
dan rs1800872) dan pengembangan sirosis hati pada populasi di Cina.Didapatkan hasil
polimorfisme IL-10 rs1800896 berkorelasi dengan peningkatan risiko sirosis hati,
terutama pada individu dengan hepatitis B kronis.7,11

3.8 miRNAS dan Sirosis

miRNA mewakili keluarga RNA nonkode kecil mengendalikan terjemahan dan


transkripsi banyak gen, yang baru-baru ini muncul sebagai regulator pasca-transkripsi.
miRNA memainkan peran penting dalam berbagai patologi hati, termasuk hepatitis,
sirosis dan hepatoma. miRNA dapat memainkan peran pro dan antifibrogenik,
tergantung pada konteks seluler dan sifat rangsangan.7
25

Gambar 6. Perubahan miRNA-122 selama cedera hati danfibrosis.

MiR-122 yang ditularkan oleh hepatosit meningkat di hati, sementara itu


rendah padasirkulasi sistemik pada subyek sehat. Namun, sebagai respons terhadap
haticedera, kerugian intrahepatik dari miR-122 diamati, di mana tingkat sirkulasimiR-
122 meningkat secara besar-besaran. Cidera persisten ditandai denganinfiltrasi hati
oleh sel-sel kekebalan tubuh, hilangnya hepatosit progresif,proliferasi myofibroblast,
dan akumulasi matriks ekstraseluler. Jadi,dengan perkembangan fibrosis, tingkat hati
miR-122 menurun dan pelepasan disirkulasi sistemik juga menurun.7

3.9 Profibrogenik miRNA


26

miR-21 memiliki peran penting dalam patogenesis dan perkembangan fibrosis


hati. miR-21 dapat menurunkan regulasi. Ekspresi TGF-β dan menekan aktivasi HSC.
TGF-β1 menginduksi ekspresi miR-181a dan miR-181b, dan yang terakhir dapat
mempromosikan proliferasi HSC dengan mengatur p27 dan siklus sel. Peningkatan
kadar serum miR-181b disarankan sebagai biomarker diagnostik potensial untuk
pasien dengan sirosis. miR-214-5p dapat meningkatkan ekspresi terkait fibrosis gen
(seperti MMP-2, MMP-9, α-SMA, dan TGF-β1) di Sel LX-2, dan karena itu, ia dapat
memainkan peran penting dalam HSC aktivasi dan perkembangan fibrosis hati.
miR221 dan miR222 diregulasi dalam hati manusia secara fibrosis tergantung
perkembangan dan pada tikus model fibrosis hati. Ekspresi TGF-α atau TNF-α dari
miR-222, yang dapat mengikat ke CDKN1B 3 '-translated region (UTR) dan mengatur
ekspresi protein yang sesuai. MiRNA terkait fibrosis lain telah diidentifikasi.
Misalnya, miR-199a, miR-199a, miR-200a, dan miR-200b berkorelasi positif dan
signifikan perkembangan fibrosis hati pada tikus dan manusia studi. Ekspresi miRNA
ini secara signifikan meningkatkan ekspresi gen terkait fibrosis di HSCs. miR-571
diregulasi dalam hepatosit manusia dan HSC sebagai respons terhadap TGF-β.7

3.10 Antifibrogenik miRNAs

miRNA-150 dan miRNA-194 berkurang di HSC yang terisolasi dari tikus


percobaan dengan fibrosis hati. Telah menunjukkan bahwa kedua miRNA ini
menghambat aktivasi HSC dan produksi ECM, setidaknya sebagian, melalui
penghambatan ekspresi c-myb dan rac1. Sebaliknya, beberapa miRNA seperti miR-29,
miR 19b, miR-146a, dan miR-133a secara nyata diturunkan dalam HSC yang diisolasi
dari hewan percobaan dengan fibrosis hati, dan pemulihan miRNAs ini melemahkan
fibrogenesis hati. Sekarang diperkirakan bahwa miRNA dapat berfungsi sebagai
biomarker untuk aktivasi HSC dan perkembangan fibrosis hati, dan dapat mewakili
target terapi untuk fibrosis hati dan sirosis.7
27

BAB IV
POLIMORFISME ETIOLOGI SIROSIS HEPATIS

4.1 Genetik, Metabolik dan Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi


Perkembangan Penyakit Liver

Gambar 7 Fibrogenesis hati8

Faktor etiologi yang berbeda menginduksi produksi beberapa rangsangan


untuk aktivasi HSC. HSC yang teraktivasi meningkatkan fibrosis dan nekrosis dari
hepatosit. Proses patogen ini dapat dimodulasi oleh polimorfisme genetik yang terlibat
dalam setiap tahap proses patofisiologis. HSC: Hati sel-sel stellate; DRD2: reseptor
Dopamin D2; TAS2R38: Reseptor rasa pahit; CYP2E1: Sitokrom P450, keluarga 2,
subfamili E, polipeptida 1; ALDH2: Aldehida dehydrogenase 2 keluarga; ADH1B:
28

Alkohol dehydrogenase kelas I, beta polypeptide; PNPLA3: fosfolipase 3 seperti-


Patatin; MTTP: Transfer trigliserida mikrosom protein; PPAR-γ2: Reseptor yang
diaktifkan proliferasi-peroksisom; IL-28B: Interleukin-28B; APOE: Apolipoprotein E;
LDLr: reseptor lipoprotein densitas rendah; TGF-β1: mengubah faktor pertumbuhan
beta 1; COL: Collagenases; MMP: Matriks metalloproteinase; TNF-α: Tumor necrosis
factor alpha; NF-κB: Faktor nuklir kappa B; ROS: Spesies oksigen reaktif.8,9

4.2 Polimorfisme Sirosis Hepatis Pada Alkoholic Liver Disease


Salah satu mekanisme perantara gen dapat mempengaruhi penggunaan alkohol,
adalah melalui metabolisme alkohol. Dua kelompok gen itu telah menerima banyak
perhatian adalah alkohol dehidrogenase (ADH) dan dehidrogenase aldehida (ALDH)
klaster gen kode itu, masing-masing, untuk Enzim ADH dan ALDH yang terlibat
dalam pemecahan etanol. ADH adalah salah satu enzimatik utama jalur metabolisme
etanol menjadi asetaldehida, produk sampingan yang sangat beracun. ALDH
teroksidasiasetaldehida menjadi senyawa yang kurang toksik, asetat, yang selanjutnya
dikonversi menjadi air dan karbon dioksida. Varian ADH dan ALDH gen menyandi
enzim dengan karakteristik berbeda yang dapat mengubah tingkat metabolisme etanol
dan karenanya memengaruhi penggunaan alkohol dan lainnya fenotip terkait alkohol.4
29

Tabel 1 Polimorfisme genetik yang berhubungan dengan Alkoholic liver disease4

Alkoholic liver disease (ALD), tambahan faktor genetik yang terlibat dalam
ketergantungan alkohol dan penyalahgunaan alkohol telah dipelajari secara intensif. Di
antara faktor-faktor tersebut adalah reseptor dopamin D2 (DRD2), reseptor rasa pahit
(TAS2R38), dan enzim hati alkohol dehydrogenase class I, beta polypeptide
(ADH1B), cytochrome P450, keluarga 2, subfamili E, polipeptida 1 (CYP2E1) dan
aldehyde dehydrogenase 2 keluarga (ALDH2). Selain itu, polimorfisme gen
metabolisme lipid, seperti apolipoprotein E (APOE), protein pengikat asam lemak 2
(FABP2), domain yang mengandung fosfolipase yang mengandung patol seperti 3
(PNPLA3) dan reseptor teraktivasi proliferasi peroksisom γ2 (PPAR-γ2) telah
dikaitkan dengan tingkat keparahan ALD. Gen lain yang terkait dengan proses tersebut
adalah inflamasi tumor necrosis factor alpha (TNF-α), faktor nuklir kappa-light-chain-
30

enhancer sel B teraktivasi (NF-κB), CXC chemokine ligand 1 (CXCL1) dan reseptor
endotoksin CD1.4,8
Pada penelitian Chen dkk, menjelaskan bahwa polimorfisme genetik alkohol
dehydrogenase-1B (ADH1B, rs1229984) dan aldehidandehydrogenase-2 (ALDH2,
rs671) mempengaruhi kerentanan alkoholisme di Asia Timur. Bentuk ADH1B yang
kurang aktif disandikan oleh ADH1B * 1 / * 1 dapat meningkatkan risiko alkoholisme
dibandingkan denganbentuk super-aktif ADH1B yang dikodekan oleh ADH1B * 2alel,
dan bentuk-bentuk ALDH2 tidak aktif yang dikodekan oleh ALDH2 * 2 / * 2 dan
ALDH2 * 1 / * 2 telah ditemukan memilikiefek penghambatan pada peminum alkohol
karena asetaldehidemia lebih parahdibandingkan dengan ALDH2 aktif yang
disandikanoleh ALDH2 * 1 / * 1. Meta-analisis terbaru dalam kasus Asia Timur, studi
kontrol telah menunjukkan dengan jelas bahwa kurang aktif nya enzim yang
dikodekan oleh genotipe ADH1B * 1 / * 1 dan aktifenzim yang dikodekan oleh
genotipe ALDH2 * 1 / * 1 terkaitdengan insiden fisik yang diinduksi alkohol lebih
tinggi, termasuk penyakit hati alkoholik, sirosis, danpankreatitis. Salah satu
mekanismen yang mendasari peningkatan risiko yang terkait dengan ADH1B- /
ALDH2dari penyakit fisik yang diinduksi alkohol adalah bahwa individudengan gen
kerentanan peminum lebih banyak.4,12
Tidak satu pun dari studi Asia Timur sebelumnya yang disesuaikan hubungan
antara genotipe ADH1B dan alkoholik penyakit hati dan pankreatitis untuk usia, tetapi
distribusi genotipe ADH1B dalam alkoholik Jepang telah ditemukan sangat
dipengaruhi oleh usia. Studi yang dilakukan pada populasi pecandu alkohol miliki
keuntungan dalam kaitannya dengan mengevaluasi efek ADH1B dan polimorfisme
gen ALDH2 pada pengembangan komorbiditas terkait alkohol, karena semua subjek
setidaknya tergantung alkohol. 12
Gen ADH2 (juga bernama ADH1B) terletak pada kromosom 4q21-q23. Ada
beberapa situs polimorfisme pada gen ADH2, dan polimorfisme Arg47His
(rs1229984, dengan Arg yang bersesuaian dengan alel * 1, dan korespondensinya
dengan alel * 2) telah menjadi yang paling sering dipelajari. Enzim β2β2 yang
31

dikodekan oleh ADH2 2 * 2 kira-kira 20 kali lipat lebih aktif dalam oksidasi etanol
daripada enzim β1β1. Individu yang mewarisi alel ADH2 * 2 memiliki isozim yang
mengandung homodimerik dan heterodimerik dan dapat diharapkan memiliki laju
metabolisme alkohol yang lebih cepat dan kemungkinan konsentrasi yang lebih tinggi
dari produksi asetaldehida setelah konsumsi alkohol. Lebih lanjut, varian alel ADH2 *
2 lazim pada individu Asia Timur, tetapi jarang pada orang non-Asia. Sampai saat ini,
banyak penelitian telah menyelidiki hubungan antara polimorfisme ADH2 dan risiko
sirosis hati alkoholik. Namun, hasilnya tetap kontroversial. 12
Pada penelitian yang dilakukan di Meksiko, hipertrigliseridemia dan lipid
diduga dapat memodulasi keparahan penyakit hati alkoholik dan perkembangan ke
sirosis alkoholik. Protein pengikat asam lemak usus (IFABP) adalah pengangkut
utama asam lemak makanan ke dalam enterosit dan memiliki polimorfisme genetik,
FABP2 A54T yang telah dikaitkan dengan hipertrigliseridemia. Kami menentukan
frekuensi FABP2 polimorfisme gen menggunakan PCR-RFLP dan mengukur
trigliserida serum, HDL, LDL, total lipid dan kolesterol pada 67 pasien dengan
alkoholix sirosis dan 124 individu sehat yang tidak terkait Frekuensi genotipe dan alel
serupa antara kedua kelompok. Subjek sehat, adalah homozigot untuk genotipe Thr54
memiliki konsentrasi serum trigliserida rata-rata yang secara signifikan lebih tinggi
daripada yang homozigot untuk Ala54genotipe (P <0,05). Namun, pasien sirosis
alkoholik yang homozigot untuk genotipe Thr54, memiliki konsentrasi serum
trigliserida rata-rata yang lebih rendah(P <0,01), dan memiliki periode yang jauh lebih
lama dari penyalahgunaan alkohol berkelanjutan sebelum diagnosis sirosis hati
dibandingkan dengan pasien sirosis alkoholik homozigot untuk genotipe Ala54 (P
<0,05).13
Pada penelitian yang dilakukan di Spanyol, membuat penelitian pada gen alfa
tumor necrosis factor (TNFA) baru-baru ini dikaitkan dengan alkoholsteatohepatitis.
Telah dianalisis distribusi genotipe dan alel dari dua polimorfisme diposisi –238 dan –
308 di wilayah promoter gen TNFA pada populasi pria Spanyol pecandu alkohol
dengan dan tanpa sirosis hati alkoholik.Alel –238 TNFA-A dikaitkan dengan risiko
32

yang lebih tinggi untuk terjadinya sirosis hati alkoholik. Polimorfisme ini dapat
dianggap sebagai faktor genetik yang memberikan kecenderungan untuk menderita
hati sirosis dalam populasi alkoholik.14
Pada penelitian Stephan butch dkk menunjukkan M6SF2 dan MBOAT7
sebagai lokus risiko tambahan. Ketiga gen secara fungsional dijelaskan terlibat dalam
proses metabolisme lipid. Diketahui bahwa varian pada PNPLA3 dan TM6SF2
dikaitkan dengan peningkatan lemak intrahepatik yang kompatibel dengan hilangnya
fungsi yang menyebabkan terperangkapnya lipid dalam hepatosit. Dengan demikian,
hipotesis bahwa varian genetik di lokus ini memberikan risiko melalui pergantian lipid
disfungsional. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah studi
pemetaan telah mengidentifikasi varian yang mendasari variabilitas fungsional dalam
protein yang dikodekan. Hal utama untuk sirosis terkait alkohol tumpang tindih
dengan yang diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk NAFLD, menyiratkan bahwa
kondisi ini berbagi mekanisme patogenesis dan bahwa gen yang terkait risiko dapat
menjadi target terapi di kedua gangguan. Varian di tiga lokus yang teridentifikasi juga
dapat membantu untuk menentukan populasi berisiko tinggi untuk terjadinya
gangguan liver.15,16

4.3 Polimorfisme Sirosis Hepatis Pada Hepatitis C

Sitokin mempengaruhi tingkat pengembangan HCV pada pasien terinfeksi


dengan genotipe 1a. Data mengungkapkan infeksi kronis menghasilkan peningkatan
sekresi interleukin 8 (IL-8) dan chemokine (motif C-C)l igand 5 (CCL5), sedangkan
pasien penderita hepatitis C yang sudah sembuh menunjukkan tingkat interleukin yang
diperbesar alfa1 (IL-1α), interleukin 13 (IL-13), interleukin 15(IL-15), TNF-α, TGF-
β1 dan chemokine (motif C-C) ligand 8 (CCL8)3,9.

Berbagai polimorfisme dalam gen yang terlibat dalam metabolisme lipid,


seperti apolipoprotein B (APOB), APOE, reseptor LDL (LDLr), protein transfer
33

trigliserida mikrosomal (MTTP) dan PNPLA3. Polimorfisme pada beberapa gen


pengatur imun telah terbukti mempengaruhi hasil HCV, termasuk CXCL1, interleukin
28B (IL-28B), TGF-β1 dan TNF-α dan matrix metalloproteinase 1 (MMP-1), 3
(MMP-3) dan 9 (MMP-9). Selain itu, polimorfisme genetik yang telah terlibat dalam
metabolisme homocysteine (methylenetetrahydrofolate reductase, MTHFR), zat besi
(gen hemochromatosis, HFE), dan vitamin D (reseptor vitamin D, VDR) telah
dilaporkan3,9.

Tabel 2 Polimorfisme genetik yang berhubungan dengan Hepatitis C

4.3.1 Polimorfisme Gen Terkait IL-7 Pada Sirosis Hepatis Akibat Hepatitis C

Interleukin-7 (IL-7) berperan dalam homeostasis dan perkembangan sel T.


IL-7 juga faktor penting dalam tanggapan antivirus yang dimediasi sel-T.Reseptor IL-
34

7 terdiri dari heterodimer yang terdiri dari rantai-α dari reseptor IL-7 (IL7RA atau
CD127) dan gamma rantai reseptor sitokin umum (CD132). Dengan cara ini, HCV
terkait dengan ekspresi awal IL7RA pada sel T spesifik-HCV selama fase akut infeksi
HCV. Selain itu, IL-7 yang dilepaskan oleh hepatosit selama infeksi HCV akhirnya
mengarah pada kematian virus. Selain itu, tingkat IL-7 dan IL7RA menurun selama
CHC, yang mengarah ke gangguan reaktivitas sel T sitotoksik spesifik-HCV. Di antara
pasien yang terinfeksi HCV, polimorfisme IL7RA telah dikaitkan dengan tanggapan
terapi peg-interferon (IFN) -α atau ribavirin terhadap HCV dan fibrosis hati berat pada
HIV atau pasien koinfeksi HCV.17,18

Polimorfisme IL7RA rs6897932 merupakan pengganti threonine oleh


isoleusindalam domain transmembran IL7RA (juga disebut CD127). Fakta ini dapat
mempengaruhi leveldari isoform IL7RA terlarut (sIL7RA) dan isoform IL7RA yang
terikat membran secara putatif mengganggu motif splicing eksonik. Alel T rs6897932,
berbeda dengan rs6897932C alel, telah dikaitkan dengan kadar plasma yang lebih
rendah dari sIL7RA, tanpa membatasi efek sirkulasi IL-7. Sebaliknya, alel rs6897932
C telah dikaitkan dengan peningkatankonsentrasi plasma sIL7RA, yang mampu
mengikat sirkulasi IL-7 dan mengurangi bioavailabilitas IL-7. Apalagi sudah
dijelaskanbahwa genotipe ºTTº telah meningkatkan transduksi sinyal dan proliferasi
sebagai respons terhadap IL-7di antara orang yang terinfeksi HIV. Fakta ini dapat
menjelaskan efek positif darirs6897932 alel T pada pemulihan sel T CD4 + pada
pasien terinfeksi HIV yang memakai terapi antiretroviral. Dalam penelitian, pasien
dengan alel T rs6897932 memiliki risiko lebih tinggi terhadap fibrosis hati
perkembangan selama masa tindak lanjut. Oleh karena itu, akan masuk akal bahwa
alel T rs6897932, dibandingkan Alel C, dapat memberikan tingkat sIL7RA yang lebih
rendah, bioavailabilitas IL-7 yang lebih tinggi dan lebih tinggirespon imun terhadap
infeksi HCV. Dengan demikian, itu dapat menyebabkan kerusakan yang lebih
besarhepatosit dan cedera hati, yang mendukung perkembangan fibrosis hati selama
CHC.17,18
35

4.3.2 Polimorfisme Gen Terkait CXCL1 Pada Sirosis Hepatis Akibat Hepatitis C

CXCL1 adalah ligan untuk chemokinereceptor 2 CXC yang diekspresikan


pada sel stellate hati (HSC). Jadi, CXCL1 mungkin berkontribusi pada aktivasi HSC
dan fibrogenesis. CXCL1 diproduksi oleh makrofag, monosit, fibroblas, sel endotel
dan beberapa garis sel tumor, yang dilepaskan Kemokin inflamasi jika dipicu melalui
apa yang disebut pathogen reseptor pengenalan pola molekul (PAMP) terkait,
misalnya Toll-like receptors (TLR). Pada hepatitis C kronis, HCV protein inti dan NS3
dapat memicu TLR2, dan dengan demikian mungkin aktif gen CXCL1. Gen CXCL1
terletak pada kromosom 4q12-q13 dan membawa G / A yang ada pada nucleotide
polymorphism (SNP) dalam intron 3 pada posisi 74736144 (rs4074).19

Pada penelitian di jerman, peningkatan produksi CXCL1 sebagai tanggapan


terhadap HCV antigen dalam pembawa alel rs4074 A bersama dengan alelnya
peningkatan frekuensi pada pasien sirosis dengan hepatitis C menyarankan alel
CXCL1 rs4074 A sebagai faktor risiko genetik untuk pengembangan sirosis pada
hepatitis C.19

4.3.3 Polimorfisme Gen Terkait TGF-b1 dan TNF-a Pada Sirosis Hepatis Akibat
Hepatitis C

Penelitian di Mesir pada pasien dengan sirosis dan HCC didapatkan


Polimorfisme gen TGF-b1-509 dan TNF-a-308 dikaitkan dengan risiko sirosis hati dan
HCC pada pasien dengan Infeksi HCV, dan efek ini dapat dilakukan melalui
modifikasi serum TGF-b1 dan level TNF-a. Namun, polimorfisme ini mungkin tidak
berkontribusi pada perkembangan HCC terkait HCV dalam populasi di Mesir.
Pengujian genetik gen TGF-b1-509 dan TNFa-308 mungkin berguna dalam
mendeteksi individu berisiko tinggi seperti sebagai subyek sero-positif virus hepatitis
36

yang berisiko lebih besar untuk HCC, dan hasilnya dapat mendorong populasi risiko
yang lebih tinggi untuk sering melakukan pemeriksaan medis untuk mendeteksi
kanker hati stadium awal. Selain itu, pengetahuan tentang mekanisme yang terlibat
dalam karsinogenesis HCC dapat membantu mengidentifikasi target untuk
pengembangan strategi kemoprevensi atau terapi. Frekuensi genotipe TGF-b1-509 TT,
TNF-a-308 AA dan GA secara signifikan meningkat pada kelompok sirosis dan HCC.
Level serum TGF-b1 dan TNF-a meningkat secara signifikan pada TGF-b1-509 TT
dan masing-masing genotipe TNF-a-308 AA.20

4.3.4 Polimorfisme Gen Terkait MMP Pada Sirosis Hepatis Akibat Hepatitis C

Pada fibrosis hati terdapa proses dinamis, perubahan degradasi protein


matriks ekstraseluler (ECM) yang terlibat, seperti halnya peningkatan sintesis protein
ECM. Matriks metalloproteinases (MMPs) adalah enzim pendegradasi utama protein
ECM, dan telah terlibat dalam proses fibrosis hati. MMP-1 (interstitial collagenase),
MMP-3 (stromelysin-1), dan gen promotor MMP-9 (gelatinase B) telah terbukti
mengandung polimorfisme.21
Polimorfisme promotor memiliki efek spesifik alel regulasi transkripsi gen
MMP masing-masing. Polimorfisme gen promotor MMP-1 adalah penyisipan /
penghapusan guanin (G) pada posisi -1607, dan memiliki dua alel; satu dengan guanin
tunggal (1G) dan selain dengan dua guanin (2G) . Pengujian in vitro telah
menunjukkan bahwa promotor alelik 2G memiliki aktivitas transkripsional yang lebih
tinggi daripada promotor alelik 1G. Polimorfisme gen MMP-3 adalah penyisipan /
penghapusan sebuah adenosine (A) pada posisi -1171, dan memiliki dua alel, satu
memiliki menjalankan enam adenosin (6A) dan yang lainnya five adenosine (5A) .
Studi in vitro menunjukkan bahwa 5A promotor alelik memiliki transkripsi dua kali
lipat lebih besar aktivitas dari promotor alelik 6A. MMP-9 polimorfisme gen promoter
adalah substitusi sitosin (C) menjadi timidin (T) pada posisi -1562. Urutan 9 bp yang
mengandung situs polimorfik C1562T adalah elemen pengaturan yang penting dan
37

merupakan situs yang mengikat untuk penekan transkripsi protein, menghasilkan


aktivitas promotor T-alergi yang lebih tinggi. Polimorfisme gen ini telah ditemukan
terkait dengan kerentanan dan atau perkembangan aterosklerosis, 9-13 aneurisma,
14,15 dan kanker.16-22 MMP1 2G pembawa alel telah terbukti menjadi faktor risiko
untuk suatu prognosis buruk pada melanoma ganas dan kanker kolorektal. MMP-3 5A
pembawa alel dilaporkan menjadi faktor risiko prognosis yang buruk pada kanker.
Pembawa alel T MMP9 telah terbukti menjadi faktor risiko aterosklerosis koroner.21
Pada penelitian di Jepang, dengan 91 orang yang menderita HCV didapatkan
bahwa akun polimorfisme gen MMP-1, MMP-3, dan MMP-9 memiliki beberapa
variabilitas dalam perkembangan penyakit hati kronis terkait-HCV.21

4.3.5 Genetik Polimorfisme Promotor Fas atau FasL Terkait dengan Sirosis Pada
Hepatitis C

Dalam fisiologi normal, hepatosit mengekspresikan kadar yang rendah


reseptor Fas. Reseptor fas diekspresikan secara berlebihan hepatosit dengan adanya
ekstrinsik atau intrinsik sinyal provokatif yang terkait dengan peradangan sitokin
seperti IL-1 dan kerusakan DNA karena stres oksidatif yang mengarah ke apoptosis
hepatosit oleh sistem Fas. The apoptosis dimediasi oleh interaksi antara reseptor Fas
pada hepatosit dan ligan Fas pada sel T sitotoksik. Polimorfisme genetik yang
mengubah level ekspresi Fas pada hepatosit dan Fas L pada sitotoksik limfosit dapat
mempengaruhi perkembangan penyakit pada pasien dengan hepatitis C.17

Penelitian di Mesir diketahui peningkatan signifikan polimorfisme AG di


Fas670 dan Fas1773 di antara pasien dengan sirosis terkait HCV dengan peningkatan
genotipe CC di FASL844. Serupa hasilnya dilaporkan oleh penelitian sebelumnya.
Substitusi nukleotida tunggal A oleh C pada daerah promotor gen Fas diketahui terkait
dengan kematian dalam kegiatan promotor sehingga menurun Ekspresi Fas .17
38

Penurunan ekspresi Fas menyebabkan persistensi virus karena penghindaran


sistem kekebalan tubuh. Sementara itu ekspresi berlebihan FasL yang disebabkan oleh
kehadiran FasL844 C allele dikaitkan dengan ekspresi yang lebih tinggi dari FasL.
Ekspresi berlebihan FASL mungkin menginduksi apoptosis limfosit T teraktivasi dan
membantu Persistensi HCV.17

4.4 Polimorfisme Sirosis Hepatis Pada Hepatitis B

Polimorfisme genetik memodulasi hasil infeksi HBV. Polimorfisme tersebut


diantaranya interleukin 10 (IL-10), IL-28B, TGF-β 1 dan collagenases, tipe I, alpha 1
(COL1A1) dan tipe III, alpha 1 (COL3A1)3,11.
Tabel 3 genetik polimorfisme pada Hepatitis B3,4,11

4.4.1 Peran TGF-β1 Pada Sirosis Hepatis Akibat Hepatitis B

TGF-β1 menunjukkan efek penghambatan pada tahap awal perkembangan


tumor, sementara itu merangsang pertumbuhan tumor, invasi, dan metastasis dalam
stadium lanjut. TGF-β1 memainkan peran penting dalam patogenesis fibrosis hati
dengan merangsang protein matriks ekstraseluler dan menghambat kehancuran. Oleh
karena itu, mekanisme meningkatkan level TGF-β1 yang aktif secara biologis
39

memiliki peran potensial dalam pengembangan fibrosis hati. Sebuah studi di Cina
mengungkapkan bahwa meskipun tidak ada hubungan antara polimorfisme dan sirosis
TGF-β1 -509C, ini polimorfisme dapat mempengaruhi level dan perkembangan TGF-
β1 sirosis. Namun, dalam penelitian yang sama, polimorfisme kodon 10T terkait
dengan pengembangan sirosis, tetapi tidak dengan perkembangan penyakit dan level
plasma TGF-β1. Polimorfisme kodon 10T pada gen TGF-β1 juga dilaporkan dikaitkan
dengan perkembangan menjadi kanker hepatoseluler dan sirosis pada pasien dengan
infeksi HBV kronis.20,23

Transforming growth factor-β (TGF-β) adalah regulator pusat dalam


penyakit hati kronis berkontribusi semua tahap perkembangan penyakit dari cedera
hati awal melalui peradangan dan fibrosis hingga sirosis dan hepatoseluler karsinoma.
Tingkat aktif yang diinduksi oleh kerusakan hati TGF-β meningkatkan penghancuran
hepatosit dan memediasi hati aktivasi sel stellata dan fibroblast yang mengakibatkan
respon penyembuhan luka, termasuk generasi myofibroblast dan deposisi matriks
ekstraseluler. Diakui sebagai jurusan sitokin profibrogenik, penargetan pensinyalan
TGF-β jalur telah dieksplorasi sehubungan dengan penghambatan perkembangan
penyakit hati.23
40

Gambar. 8 Pro dan kontra dari transformasi growth factor-β (TGF-β) sinyal selama
perkembangan penyakit hati kronis9

4.4.2 Target terapi TGF-β Pada Pasien Dengan Penyakit Liver Kronis

Selama regenerasi dan proliferasi hepatosit, TGF-β memiliki efek penting


sitostatik yang membatasi massa jaringan dan mengontrol peradangan dengan
menghasilkan TRegs. Selama pengabadian dan fibrogenesis pada tahap penyakit
kronis, luar biasa reaksi penyembuhan luka pembentukan luka merugikan bagi
hati.Pada tahap pra-ganas, efek sitostatik itu mengontrol proliferasi sel epitel dapat
mencegah karsinogenesis.Dalam konteks ini, hasil negatif TGF-β menyala peradangan
mungkin menghambat respons kekebalan terhadap timbul sel tumor.Dalam
karsinogenesis, ketika TGF-β-efek sitostatik hilang dan cabang pensinyalan dialihkan
ke EMT, TGF-β dapat mendukung pengembangan kanker dan metastasis. Selanjutnya,
tindakan pro-angiogenik dari TGF-β menuju sel-sel endotel juga mungkin penting
untuk perkembangan tumor .Jadi, yang penting pertimbangan untuk pengobatan TGF-
β yang diarahkan untuk fibroproliferatif penyakit, seperti CLD, adalah memilih waktu
yang tepat titik dan tipe sel untuk intervensi yang ditargetkan.
Apalagi tantangan tambahannya adalah penghambatan selektif tetapi tidak semua
seluler yang diinduksi TGF-β mungkin bermanfaat.23
41

Gambar 9 Jalur transduksi sinyal TGF-β dan target untuk terapiintervensi

Jalur transduksi sinyal TGF-β dan target untuk terapi intervensi. Sinyal TGF-β
melalui kompleks transmembran heteromerreseptor tipe I dan tipe II (TβR) yang
dipengaruhiaktivitas intrinsik serin / treonin kinase (ALK seperti reseptor
aktivinkinase). Setelah fosforilasi tipe-II yang dimediasi dari reseptor tipe I,reseptor
tipe I yang diaktifkan memulai pensinyalan intraseluler olehphosphorylating receptor
regulated regulated (R) -Smad2 dan Smad3. DiaktifkanR-Smads membentuk
kompleks heteromer dengan Smad4 dan kompleks initerakumulasi dalam nukleus di
mana mereka menengahi transkripsi. Inhibitory Smad7 memerangi pensinyalan TGF-β
/ Smad yang bersaing dengan R-Smads untuk interaksi reseptor dan dengan merekrut
E3ligase ubiquitin ke kompleks reseptor yang diaktifkan dan memediasi degradasi.
Jalur ini telah ditargetkan oleh molekul anti-akalyang menghambat ekspresi mRNA
TGF-β, dengan menetralkan antibodi terhadap reseptor TGF-β atau TGF-β yang
mengganggu reseptor ligan di interaksi, oleh antibodi yang mengganggu aktivasi
latenTGF-β dan oleh domain ekstraseluler terlarut dari reseptor tipe II yang mengikat
ligan mengikat reseptor endogen dan ATP kecil mimetik dari kinase reseptor TGF-β.
42

Jalur antagonis, seperti interferon-γ (IFN-γ), tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan
epidermal growth factor (EGF), dapat menghambat respon yang diinduksi TGF-β atau
Smad dengan merangsang ekspresi Smad7.20,23

4.4.3 Peran TNF-α Pada Sirosis Hepatis Akibat Hepatitis B

Tumor Nekrosis faktor-α adalah sitokin utama dalam respon inflamasi untuk
infeksi. TNF-α biasanya berfungsi untuk mengaktifkan seluler kekebalan dan untuk
memberikan perlindungan terhadap mikroba, tetapi kadar sitokin yang berlebihan ini
akan berakibat parah pada kerusakan jaringan, syok septik dan bahkan kematian. TNF-
α dapat menginduksi kematian sel juga sebagai proliferasi hepatosit. Pada infeksi
HBV, level TNF-α cenderung meningkat dan berhubungan dengan
peradangan,fibrosis, dan kerusakan hati. Dikatakan juga bahwa TNF-α dapat
digunakan sebagai prediktor peradangan hati. Level TNF-αcenderung meningkat dan
berhubungan dengan peradangan,fibrosis, dan kerusakan hati. Dikatakan juga bahwa
TNF-α dapatdigunakan sebagai prediktor peradangan hati.23

Polimorfisme di TNF-α promotor -238 dan -308 telah dikaitkan dengan


berbagai penyakit yang terkait dengan peradangan parah, infeksi, dan keganasan.
polimorfisme promotor TNFdikenal khusus etnis, sehingga masing-masing daerah
mungkin memilikidistribusi unik SNP TNF-α.23

Ekspresi TNF-α, sama seperti yang lainsitokin diatur secara baik pada
transkripsionaldan tingkat pasca transkripsi. Polimorfisme terletak di dalam wilayah
peraturan TNF-α telah dilaporkan mempengaruhi ekspresi dan sekresi ini
sitokin35.Dalam TNF-α -238 dan -308 SNP, keberadaannya alel-A meningkatkan
pengikatan transkripsi faktor ke daerah promotor TNF-α, dengan demikian mengubah
ekspresinya. Kehadiran polimorfisme lain di wilayah promotor TNF-α gen juga dapat
berkontribusi pada ekspresi TNF-α. TNF- terlibat dalam patofisiologi virus hepatitis,
43

penyakit hati alkoholik, lemak nonalkohol penyakit hati, dan cedera iskemia-reperfusi
(I / R). TNF- αmemainkan peran dikotomis dalam hati, di mana ia tidak hanya
bertindak sebagaimediator kematian sel tetapi juga menginduksi proliferasi
hepatositdan regenerasi hati.23

4.4.4 Peran IL 10 Pada Sirosis Hepatis Akibat Hepatitis B

IL-10 disekresikan terutama dari sel T dan memiliki penghambatan aksi pada
kedua inflamasi dan imunoproliferatif .Ini merangsang diferensiasi dan proliferasi sel
B yang memproduksi immunglobulin M (IgM), IgG dan IgA. Apalagi IL-10
menghambat sekresi berbagai sitokin dari sel T dan monosit atau
makrofag.Polimorfisme IL-10 pada daerah -1082 yang dihasilkan dalam peningkatan
produksi alel G berkorelasi dengan pembersihan virus selama infeksi HBV intrauterin.
Bahkan, peningkatan produksi IL-10 memiliki efek perlindungan terhadap infeksi
HBV. Genotipe G / G pada -1082 adalah lebih lanjut terkait dengan viral load HBV
yang lebih rendah pada kekebalan fase inflamasi pada anak-anak dengan HBV kronis
infeksi.24

Namun, ada beberapa hasil yang bertentangan dalam literature mengevaluasi


efek polimorfisme gen IL-10 pada infeksi HBV. Polimorfisme penyandian gen IL-10
terkait dengan peningkatan risiko kanker hepatoselular pada pasien Korea, Taiwan,
dan Cina. Sebuah metaanalisis 4 dari tujuh penelitian oleh Zhang et al menunjukkan
bahwa ada hubungan antara polimorfisme gen IL-10 -1082GA dan kerentanan infeksi
HBV persisten. Selain itu, meta-analisis ini juga menunjukkan gen polimorfisme IL-10
-592CA dan pembersihan HBV dikaitkan.Pembawa alel -592A di Wilayah promotor
IL-10 diusulkan memiliki risiko lebih tinggi infeksi HBV persisten. Namun menurut
beberapa data dalam literatur, tidak ada hubungan antara Polimorfisme gen IL-10 dan
infeksi HBV kronis. IL-10RB adalah subunit kompleks reseptor untuk IFN-λ dan IL-
22, yang memiliki perlindungan antivirus dan hepatosit aktivitas, masing-
44

masing.Polimorfisme ILWJG 10RB codon 47 terkait dengan infeksi HBV kronis pada
populasi Korea.24

Pada penelitian lainnya menunjukkan polimorfisme gen IL-10 rs1800872 akan


meningkatkan risiko sirosis hati, dan gen ini memiliki interaksi dengan infeksi
hepatitis B kronis dalam pengembangan sirosis hati.24

4.65 Gne Polimorfisme pada Reseptor Vitamin D (VDR)

Reseptor vitamin D (VDR) adalah faktor transkripsi pengikat DNA yang


diekspresikan pada darah perifer yaitu monosit dan limfosit T teraktivasi. VDR milik
superfamili reseptor nuklir dan terkait dengan banyak proses fisiologis. Polimorfisme
paling umum dari gen VDR adalah BsmI, FokI, TaqI dan ApaI. FokI, terletak di ekson
2 gen VDR dan keberadaan hasil polimorfisme inidalam protein VDR pendek karena
perubahan dalam kodon awal. Polimorfisme ApaI dan BsmI adalahterletak di intron 8
di ujung 3gen VDR. Polimorfisme ini tidak mengubah urutan asam aminoprotein
VDR. Namun, BSmI dan ApaI dapat mempengaruhi ekspresi gen melalui perubahan
stabilitas mRNA,gangguan situs sambungan untuk transkripsi mRNA, atau perubahan
dalam elemen pengaturan intron. Polimorfisme TaqIterletak di ekson 9 pada ujung 3
gen VDR manusia dan menghasilkan perubahan sinonim karena substitusi nukleotida.
Kehadiran polimorfisme TaqI tidak mengubah protein VDR tetapi terlibat dalam
pengaturan stabilitas VDR mRNA. Studi terbaru menunjukkan bahwa ada hubungan
genetik polimorfisme VDR menjadi hepatitis autoimun (AIH), sirosis bilier primer
(PBC), infeksi HBV dan karsinoma hepatoseluler (HCC) . Selain itu, perkembangan
fibrosis hati telah dikaitkan denganadanya polimorfisme VDR pada pasien dengan
PBC10 dan HCV18 dandengan protein VDR full-length yang berkurangekspresi,
tetapi meningkatkan fragmen protein VDR pada pasien dengan NAFLD.25

Sitokin adalah mediator utama dalam patofisiologi penyakit hati karena


45

merekamemainkan peran penting dalam hatiregenerasi dan fibrosis.Sel-sel non


parenkimhati yang terlibat dalam pengembangan fibrosis hati,dapat dengan cepat
menghasilkan sitokin profibrogenik yang menyebabkan peradangan hati dan
fibrosis.Sebaliknya, antifibrogeniksitokin menurunkan regulasi proinflamasi
yangmempromosikan regenerasi hati. VDRpolimorfisme dapat memengaruhi
regulasiimun dengan memengaruhi kadar sitokin dan, karenanya, mereka
mungkinmemainkan peran dalam perkembangan penyakit hati.25

Gambar 10 Representasi skematis menggambarkan mekanisme tentang


bagaimanaVDR polimorfisme berpotensi mempengaruhi perkembangan sirosis hati.25

(a) Kehadirangenotipe Aa / aa dari polimorfisme ApaI VDR.VDR adalah faktor


transkripsi yang diaktifkanligan intraseluler yang secara spesifik mengikat 1,25 (OH)
2D3 dan mengaturekspresibeberapa gen target. Setelah aktivasi vitamin D, VDR
46

ligated heterodimerizes denganretinoid X receptor (RXR) yang diperlukan untuk


pengikatan DNA, translokasi ke nukleus,berikatan dengan vitaminElemen respons D
(VDRE) dan merekrut protein nuklir lainnya kekompleks pra-inisiasi
transkripsi.Proses ini menghasilkan aktivasi transkripsi ataupenekanan gen target
melalui interaksidengan ko-aktivator reseptor nuklir atau corepresor. Pengikatan VDR
dengan vitamin D dapat memodulasirespon sitokin oleh sel T, menghambat proliferasi
sel Th1 dan sekresi sitokin pro-inflamasi danmengaktifkan proliferasi sel Th2 dan
sekresi sitokin anti-inflamasi. (B) Kehadirangenotipe AA dariApaI VDR
polimorfisme. Kehadiran polimorfisme dapat menggangguaktivitas VDR yang
mengakibatkan reseptor disfungsional. Dimerisasi 1,25 (OH) 2D3-VDRdengan RXR
dapat terhalang oleh keberadaanvariasi genetik dengan demikian mempengaruhi
aktivitas VDR dan efek yang dimediasi hilir vitamin D berikutnya. Iniproses yang
terganggu dapat menyebabkan gangguan keseimbangan Th1 / Th2,
menghasilkantransisi ke respon sel Th1dan sekresi sitokin pro-inflamasi yang terkait
erat dengan perkembangan sirosis hati.25

4.7 Polimorfisme PNPLA3 I148M


Varian protein 148 Isoleusin ke Metionin(I148M) dari fosfolipase yang
mengandung domain seperti patatin3 (PNPLA3), protein diekspresikan dalam hatidan
terlibatdalam metabolisme lipid, baru-baru inidiidentifikasi sebagai penentu utama
kadar lemak hati. Beberapa penelitian mengkonfirmasi bahwa varian I148M
merupakan predisposisimenuju spektrum penuh kerusakan hatiterkait dengan
perlemakan hati yang terkait dari steatosis sederhana hinggasteatohepatitis dan fibrosis
progresif. Selanjutnya,varian I148M mewakili penentu utamaperkembangan
steatohepatitis terkait alkohol menjadi sirosis,dan untuk mempengaruhi fibrogenesis
dan klinis terkaithasil pada virus hepatitis C kronis, danmungkin virus hepatitis B
kronis, herediterhemochromatosis dan kolangitis sklerosis primer.26
47

Polimorfisme I148Mdapat mewakili fibrogenesis pada penyakit hati.


Hebatnya, efek varian I148Mpada fibrosis tidak tergantung pada steatosis hatidan
peradangan, menunjukkan bahwa itu dapat mempengaruhi keduanya secarakuantitas
dan kualitas lipid hati dan biologisel-sel hati non-parenkim selain hepatosit,secara
langsung mempromosikan fibrogenesis. Oleh karena itu, PNPLA3 adalah kunci dalam
perkembangan penyakit hati. 27

Gambar 11. Mekanisme hipotetis yang menghubungkan 148 Isoleusin16

Mekanisme hipotetis yang menghubungkan 148 Isoleusin dengan varian protein


Metionin dari fosfolipase yang mengandung 3 polimorfisme yang mengandung
domainseperti patatindengan fibrogenesis hati di hadapan faktor pemicu steatosis
(Obesitas danresistensi insulin, asupan alkohol yang berlebihan dan kronisinfeksi virus
hepatitis C). A:Efek langsung dari mutan 148 isoleusin untuk Methionine protein
varian seperti-domain fosfolipase yang mengandung 3 (148M PNPLA3)pada
48

peradangan, stres oksidatif, dankerusakan sel (membengkak) pada hepatosit dengan


aktivasi sekunder sel non-parenkim,termasuk sel Kupffer (KC)dan sel stellate hati
(HSC). Hepatosit ditunjukkan dalam warnacoklat, KC berwarna hijau muda, neutrofil
berwarna hijau gelap, HSC berwarna biru. Nukleusditampilkan dalam nuansa yang
lebih gelapwarna sel, sedangkan tetesan lipid dan steatosisberwarna kuning, dan balon
(pembengkakan retikulum endoplasma) berwarna putih; B:Efek langsung dari 148M
PNPLA3 mutan pada aktivasisel-sel non-parenkim. PNPLA3 mutan (148Met)
ditampilkan sebagai kotak merah.28
49

DAFTAR PUSTAKA

1. Siti Nurdjanah. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I,


Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi VI
Jilid II. Jakarta: Interna Publishing; 2016. p. 1978-83.
2. Riley TR, Taheri M, Schreibman IR. Does weight history affect fibrosis in the
setting of chronic liver disease?. J Gastrointestin Liver Dis. 2009; 18(3):299-
302.
3. Ramos-Lopez O. Genetic, metabolic and environmental factors involved in the
development of liver cirrhosis in Mexico. WJG. 2015; 21(41):11552.
4. Karki R, Pandya D, Elston R, Ferlini C. Defining “mutation” and
“polymophism” in the era of personal genomics. BMC Med Genomics. 2015;
28-37.
5. Ismail S, Essawi M. Genetic polymorphism studies in humans. Middle East
Journal of Medical Genetics. 2012;1: 57-63.
6. Tom H, Frank L, Richard J. Genetics of liver disease from pathophysiology
to clinical practice. Journal Of Hepatology. 2015; S6-14
7. Zhou W-C. Pathogenesis of liver cirrhosis. WJG. 2014; 20(23):7312.
8. Borkham-Kamphorst E, Weiskirchen R. The PDGF system and its antagonists
in liver fibrosis. Cytokine & Growth Factor Reviews. 2016 Apr; 28:53–61
9. Fabregat I, Moreno-Càceres J, Sánchez A, Dooley S, Dewidar B, Giannelli G,
et al. TGF-β signalling and liver disease. FEBS J. 2016 Jun; 283(12):2219–32.
10. Palumbo-Zerr K, Zerr P, Distler A, Fliehr J, Mancuso R, Huang J, et al.
Orphan nuclear receptor NR4A1 regulates transforming growth factor-beta
signaling and fibrosis. Nat Med. 2015; 150–8.
11. Hu J, Srivastava K, Wieland M, Runge A, Mogler C, Besemfelder E, et al.
Endothelial cell-derived angiopoietin-2 controls liver regeneration as a
spatiotemporal rheostat. Science 343. 2014; 416–9
50

12. Lei He, Tao Deng, He-Sheng Luo. Genetic polymorphism in alchol
dehydrogenase 2 (ADH) gene and alcoholic liver cirrhosis risk. Int J Clin Exp
Med. 2015; 7786-93
13. Salguero M, Leon R, Santos A, Roman S, Seguraortega J, Panduro L A. The
role of FABP2 gene polymorphism in alcoholic cirrhosis. Hepatology
Research. 2005 Dec;33(4):306–12
14. Isabel J. Pastor, F. Javier Laso, Alfonso Romero, Rogelio Gonza´ lez-
Sarmiento. -238 G>A polymorphism of Tumor Necrosis Factor Alpha Gene
(TNFA) is Associated with Alcoholic Liver Cirrhosis in Alcoholic Spanish
Men. Clinical And Experimental Research. 2005 Nov; 1928-31
15. Tsochatzis EA, Bosch J, Burroughs AK. Liver cirrhosis. Lancet. 2014; 383:
1749-61
16. Buch S, Stickel F, Trépo E, Way M, Herrmann A, Nischalke HD, et al. A
genome-wide association study confirms PNPLA3 and identifies TM6SF2 and
MBOAT7 as risk loci for alcohol-related cirrhosis. Nat Genet. 2015 Dec;
47(12):1443–8.
17. Abed S, El-Dosoky M, El Sayed Zaki M, EL-Shafey, M. Genetic
Polymorphisms of Fas or FasL Promoter Associated with Hepatitis C cirrhosis
and HCC. Asian Pac J Cancer. 2017 Oct;18(10).
18. Jiménez-Sousa MÁ, Gómez-Moreno AZ, Pineda-Tenor D, Medrano LM,
Sánchez-Ruano JJ, Fernández-Rodríguez A, et al. The IL7RA rs6897932
polymorphism is associated with progression of liver fibrosis in patients with
chronic hepatitis C repeated measurements design. Strnad P, editor. PLoS
ONE. 2018 May 9;13-25
19. Hans Dieter, Cordula Berger, Carolin Luda, Tobias Muller, Thomar Berg,
Martin Coenan, at al. The XCL1 rs407 A allele is associated with enhance
CXCL1 responses to TLR2 ligands and predisposes to cirrhosis in HCV
genotype 1-infected Caucasian patient. Journal Of Hepatology. 2011 Dec; 758-
51

64
20. Dooley S, ten Dijke P. TGF-β in progression of liver disease. Cell Tissue Res.
2012 Jan; 347(1):245–56.
21. Kinya Okamoto, Kenichi Mimura, Yoshikazu Murawaki, Isao Yuasa.
Association of functional gene polymorfisme of matrix metalloproteinase
(MMP)-1, MMP-3 and MMP-9 with the progression of chronic liver disease.
Jounar of Gastroenterology and Hepatology. 2004 Augst; 1102-08
22. Tunçbilek S. Relationship between cytokine gene polymorphisms and chronic
hepatitis B virus infection. WJG. 2014; 20(20):6226.
23. Robert F, David Brenner. TNF alfa induced liver injury : role of IKK, JNK and
ROS pathways. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol. 2006; 583-89
24. Jin XY, Wang YQ, Yan T, Wang J, Qing S, Ding N, et al. Interleukin-10 gene
promoter polymorphism and susceptibility to liver cirrhosis.
Hepatogastroenterology. 2014; 61: 442-6
25. Triantos C, Aggeletopoulou I, Kalafateli M, Spantidea PI, Vourli G,
Diamantopoulou G, et al. Prognostic significance of vitamin D receptor (VDR)
gene polymorphisms in liver cirrhosis. Sci Rep. 2018 Dec; 8(1):14065.
26. Dongiovanni P. PNPLA3 I148M polymorphism and progressive liver disease.
WJG. 2013;19(41):6969.
27. Manchiero C, Nunes AK da S, Magri MC, Dantas BP, Mazza CC, Barone AA,
et al. The rs738409 polymorphism of the PNPLA3 gene is associated with
hepatic steatosis and fibrosis in Brazilian patients with chronic hepatitis C.
BMC Infect Dis. 2017 Dec;17(1):780.
28. Chen L-Z, Xin Y-N, Geng N, Jiang M, Zhang D-D, Xuan S-Y. PNPLA3
I148M variant in nonalcoholic fatty liver disease: Demographic and ethnic
characteristics and the role of the variant in nonalcoholic fatty liver fibrosis.
WJG. 2015;21(3):794.
52

Anda mungkin juga menyukai