Kerajaan Sunda
932–1579
Sejarah
-Prasasti Kebonkopi II
932
Pendahulu Pengganti
Tarumanagara Kesultanan
Banten
Kerajaan
Sumedang
Larang
Sejarah Indonesia
Garis waktu
Prasejarah[tampilkan]
Kerajaan Hindu-Buddha[tampilkan]
Kerajaan Islam[tampilkan]
Kerajaan Kristen[tampilkan]
Kolonialisme Eropa[tampilkan]
Kemunculan Indonesia[tampilkan]
Kemerdekaan[tampilkan]
Menurut topik[tampilkan]
Portal Indonesia
l
b
s
Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian
Barat pulau Jawa (Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah sekarang).
Kerajaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian selatan Pulau Sumatra. Kerajaan ini
bercorak Hindu dan Buddha,[1] kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribu kota
di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.[2]
Kerajaan Sunda runtuh setelah ibu kota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579.
Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai
oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan
oleh Maulana Hasanuddin.
Daftar isi
1Catatan sejarah
o 1.1Catatan sejarah dari Cina
o 1.2Catatan sejarah dari Eropa
o 1.3Temuan arkeologi
o 1.4Naskah Kuno
2Berdirinya kerajaan Sunda
3Wilayah kekuasaan
4Persekutuan antara Sunda dan Galuh
5Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh
6Menyebarnya Islam
7Masa penurunan
8Hubungan dengan kerajaan lain
o 8.1Singasari
o 8.2Majapahit
o 8.3Eropa
9Garis waktu
10Lihat pula
11Bacaan lanjut
12Catatan kaki
Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-Portugis, Museum
Nasional Indonesia, Jakarta.
Meskipun nama Sunda disebutkan dalam prasasti, naskah-naskah kuno, dan catatan sejarah dari
luar negeri, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa belum
begitu banyak prasasti yang ditemukan di Jawa Barat dan secara jelas menyebutkan nama
kerajaannya, walau dalam berbagai sumber kesusastraan, secara tegas Sunda merujuk kepada
nama kawasan.[3] Diduga sebelum keruntuhannya tahun 1579, Kerajaan Sunda telah mengalami
beberapa kali perpindahan pusat pemerintahannya, dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakuan
Pajajaran.
Catatan sejarah dari Cina[sunting | sunting sumber]
Menurut Hirth dan Rockhill,[4] ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat
Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao
Rugua mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi
negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225,
menyebutkan pelabuhan di "Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa:
“
"Orang-orang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian,
rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan
daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan.
Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan
memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri
ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur).
Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman." ”
Buku perjalanan Cina Shunfeng xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan:
“
"Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan
97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai
(melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk
mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa,
melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon." ”
Catatan sejarah dari Eropa[sunting | sunting sumber]
Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh
kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu penjelajah itu adalah Tomé Pires dari Portugal. Dalam
bukunya Suma Oriental (1513 - 1515) ia menulis bahwa:
“
"Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa;
sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan
ditambah seperdelapannya." ”
Temuan arkeologi[sunting | sunting sumber]
Di wilayah Jawa Barat ditemukan beberapa candi, antara lain Percandian Batujaya di Karawang
(abad ke-2 sampai ke-12) yang bercorak Buddha, serta percandian Hindu yaitu Candi
Bojongmenje di Kabupaten Bandung yang berasal dari abad ke-7 (sezaman dengan
percandian Dieng), dan Candi Cangkuang di Leles, Garut yang bercorak Hindu Siwa dan diduga
berasal dari abad ke-8 Masehi. Siapa yang membangun candi-candi ini masih merupakan misteri,
namun umumnya disepakati bahwa candi-candi ini dikaitkan dengan kerajaan Hindu yang pernah
berdiri di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara, Sunda dan Galuh.
Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca Caringin"
karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut
dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung
dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip
corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10.
Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten
sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan pada abad ke-10. Banyak
unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.
Situs-situs arkeologi lain yang berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Sunda, masih dapat ditelusuri
terutama pada kawasan muara Sungai Ciliwung termasuk situs Sangiang di daerah Pulo
Gadung (sekarang Pulo Gadung, Jakarta Timur). Hal ini mengingat jalur sungai merupakan salah
satu alat transportasi utama pada masa tersebut.[5]
Naskah Kuno[sunting | sunting sumber]
Selain dari beberapa prasasti dan berita dari luar, beberapa karya sastra dan karya bentuk lainnya
dari naskah lama juga digunakan dalam merunut keberadaan Kerajaaan Sunda,[6] antaranya
naskah Carita Parahyangan, Pararaton, Bujangga Manik, naskah didaktik Sanghyang siksakanda ng
karesian, dan naskah sejarah Sajarah Banten.[7]
“
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon,
Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa,
membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan
jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di
sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah
hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka
dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah. ”
Prasasti lain yang menyebut raja Sunda adalah Prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor.
Berdasarkan Prasasti Batutulis berangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga
Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan
Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor
Selatan, Kota Bogor. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran.[12] Prasasti ini
dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara
Sunda Kuno. Prasati ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (yang melakukan perjanjian
dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja)
sebagai berikut: