Anda di halaman 1dari 8

Kerajaan Sunda

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Kerajaan Sunda

932–1579

Wilayah Kerajaan Bersatu Sunda dan Galuh

Ibu kota Berpindah-pindah


antara Pakuan Pajajaran,
dan Kawali (Galuh).
Pernah juga di
Saunggalah (Kuningan)

Bahasa Bahasa Sunda, Bahasa


Jawa Kuno, Bahasa
Melayu Kuno

Agama Hindu, Buddha, Sunda


Wiwitan, Islam (mulai
abad ke-14)

Bentuk pemerintahan Monarki

Sejarah

-Prasasti Kebonkopi II
932

-Invasi Banten ke Pakuan


Pajajaran 1579
Mata uang Mata uang emas dan
perak

Pendahulu Pengganti
Tarumanagara Kesultanan
Banten
Kerajaan
Sumedang
Larang

Bagian dari seri artikel mengenai

Sejarah Indonesia

Garis waktu

Prasejarah[tampilkan]

Kerajaan Hindu-Buddha[tampilkan]

Kerajaan Islam[tampilkan]

Kerajaan Kristen[tampilkan]

Kolonialisme Eropa[tampilkan]

Kemunculan Indonesia[tampilkan]

Kemerdekaan[tampilkan]

Menurut topik[tampilkan]
Portal Indonesia

 l
 b
 s

Gunung Pulosari, tempat kramat kerajaan Sunda

Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian
Barat pulau Jawa (Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah sekarang).
Kerajaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian selatan Pulau Sumatra. Kerajaan ini
bercorak Hindu dan Buddha,[1] kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribu kota
di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.[2]
Kerajaan Sunda runtuh setelah ibu kota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579.
Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai
oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan
oleh Maulana Hasanuddin.

Daftar isi

 1Catatan sejarah
o 1.1Catatan sejarah dari Cina
o 1.2Catatan sejarah dari Eropa
o 1.3Temuan arkeologi
o 1.4Naskah Kuno
 2Berdirinya kerajaan Sunda
 3Wilayah kekuasaan
 4Persekutuan antara Sunda dan Galuh
 5Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh
 6Menyebarnya Islam
 7Masa penurunan
 8Hubungan dengan kerajaan lain
o 8.1Singasari
o 8.2Majapahit
o 8.3Eropa
 9Garis waktu
 10Lihat pula
 11Bacaan lanjut
 12Catatan kaki

Catatan sejarah[sunting | sunting sumber]

Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-Portugis, Museum
Nasional Indonesia, Jakarta.

Meskipun nama Sunda disebutkan dalam prasasti, naskah-naskah kuno, dan catatan sejarah dari
luar negeri, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa belum
begitu banyak prasasti yang ditemukan di Jawa Barat dan secara jelas menyebutkan nama
kerajaannya, walau dalam berbagai sumber kesusastraan, secara tegas Sunda merujuk kepada
nama kawasan.[3] Diduga sebelum keruntuhannya tahun 1579, Kerajaan Sunda telah mengalami
beberapa kali perpindahan pusat pemerintahannya, dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakuan
Pajajaran.
Catatan sejarah dari Cina[sunting | sunting sumber]
Menurut Hirth dan Rockhill,[4] ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat
Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao
Rugua mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi
negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225,
menyebutkan pelabuhan di "Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa:


"Orang-orang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian,
rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan
daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan.
Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan
memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri
ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur).
Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman." ”
Buku perjalanan Cina Shunfeng xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan:

"Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan
97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai
(melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk
mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa,
melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon." ”
Catatan sejarah dari Eropa[sunting | sunting sumber]
Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh
kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu penjelajah itu adalah Tomé Pires dari Portugal. Dalam
bukunya Suma Oriental (1513 - 1515) ia menulis bahwa:


"Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa;
sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan
ditambah seperdelapannya." ”
Temuan arkeologi[sunting | sunting sumber]
Di wilayah Jawa Barat ditemukan beberapa candi, antara lain Percandian Batujaya di Karawang
(abad ke-2 sampai ke-12) yang bercorak Buddha, serta percandian Hindu yaitu Candi
Bojongmenje di Kabupaten Bandung yang berasal dari abad ke-7 (sezaman dengan
percandian Dieng), dan Candi Cangkuang di Leles, Garut yang bercorak Hindu Siwa dan diduga
berasal dari abad ke-8 Masehi. Siapa yang membangun candi-candi ini masih merupakan misteri,
namun umumnya disepakati bahwa candi-candi ini dikaitkan dengan kerajaan Hindu yang pernah
berdiri di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara, Sunda dan Galuh.
Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca Caringin"
karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut
dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung
dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip
corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10.
Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten
sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan pada abad ke-10. Banyak
unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.
Situs-situs arkeologi lain yang berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Sunda, masih dapat ditelusuri
terutama pada kawasan muara Sungai Ciliwung termasuk situs Sangiang di daerah Pulo
Gadung (sekarang Pulo Gadung, Jakarta Timur). Hal ini mengingat jalur sungai merupakan salah
satu alat transportasi utama pada masa tersebut.[5]
Naskah Kuno[sunting | sunting sumber]
Selain dari beberapa prasasti dan berita dari luar, beberapa karya sastra dan karya bentuk lainnya
dari naskah lama juga digunakan dalam merunut keberadaan Kerajaaan Sunda,[6] antaranya
naskah Carita Parahyangan, Pararaton, Bujangga Manik, naskah didaktik Sanghyang siksakanda ng
karesian, dan naskah sejarah Sajarah Banten.[7]

Berdirinya kerajaan Sunda[sunting | sunting sumber]


Berdasarkan Prasasti Kebonkopi II, yang berbahasa Melayu Kuno dengan tarikh 932, menyebutkan
seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya".[8] Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Raja Sunda
telah ada sebelumnya.[3] Sementara dari sumber Tiongkok pada buku Zhufan Zhi yang ditulis pada
tahun 1178 oleh Zhao Rugua menyebutkan terdapat satu kawasan dari San-fo-ts'i yang
bernama Sin-to kemudian dirujuk kepada Sunda.[9]
Menurut naskah Wangsakerta, naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta
diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis, menyebutkan Sunda merupakan
kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan
oleh Tarusbawa pada tahun 669 (591 Saka). Kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi
wilayah yang sekarang menjadi provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan bagian barat
provinsi Jawa Tengah.
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja
Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan
Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari
dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, dia memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi
Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua,
Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang selanjutnya
mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun
kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702)
memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri.
Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan
kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut
sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan
Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Dia dinobatkan sebagai raja Sunda pada
hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan
Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaannya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat,
Galuh di sebelah timur).

Wilayah kekuasaan[sunting | sunting sumber]


Prasasti Horren yang ditemukan di daerah Campur Darat, Tulungagung, Jawa Timur, diperkirakan
dari zaman Kahuripan abad ke-11 M, menyebut Sunda sebagai musuh (satru).[10]
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga
Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau
Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford
University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali
("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali
Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran juga mencakup
wilayah bagian selatan pulau Sumatra. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan
Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatra dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.[2]
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini
menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung.
Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.

Persekutuan antara Sunda dan Galuh[sunting | sunting sumber]


Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan
seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh
Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.[butuh rujukan]
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya
adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat
Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh
kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh
Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.[butuh rujukan]
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan
meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena,
sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara.
Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh
dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.[butuh rujukan]
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di
tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan
Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang
kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara,
yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-
739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut
Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.[butuh rujukan]
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-
766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari,
keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan
Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan
gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya
kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai
Sunda selama 12 tahun (783-795).[butuh rujukan]
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda
lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang
berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya,
Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813).
Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-
842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan
gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.[butuh rujukan]
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya
Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895,
sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas
diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading
menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri
(916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya,
Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut
kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).[butuh
rujukan]

Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan


Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan
tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan
kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu
Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu
ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah
menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).[butuh rujukan]
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu
menantunya, Prabhu Langlangbhumi (1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya,
Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari
Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru
Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-
Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tetapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan
kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin
kerajaan Sunda.[butuh rujukan]
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan
Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci
kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-
1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya
mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu
Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350).
Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa
(1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat,
putranya—Niskalawastukancana—masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih
Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).[butuh rujukan]
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskala Wastu
Kancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna
Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan
bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa
dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah
dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang
kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan
ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).[butuh rujukan]
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata
(putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda
dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja.[butuh rujukan]

Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh[sunting | sunting sumber]


Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 (952 Saka), diketahui bahwa
kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabuwana Mandala Swaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Prasasti ini terdiri
dari 40 baris yang ditulis dalam Aksara Kawi pada 4 buah batu, ditemukan di tepi sungai Cicatih di
Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nesional dengan nomor kode D 73
(dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama berisi tulisan sebagai berikut[11]:


Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon,
Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa,
membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan
jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di
sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah
hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka
dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah. ”
Prasasti lain yang menyebut raja Sunda adalah Prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor.
Berdasarkan Prasasti Batutulis berangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga
Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan
Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor
Selatan, Kota Bogor. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran.[12] Prasasti ini
dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara
Sunda Kuno. Prasati ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (yang melakukan perjanjian
dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja)
sebagai berikut:

Anda mungkin juga menyukai