Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN CKD DENGAN OVERLOAD

1. CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE)

1. DEFINISI
Chronic kindey disease atau disebut juga gagal ginjal kronis. Penyakit ginjal
kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).
2. KLASIFIKASI
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui
penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR) dengan melihat kadar
kretatinin. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang
seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.

Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin


Test) dapat digunakan dengan rumus:

Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :


a. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan
gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini
disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi
dalam kondisi tidak lagi 100 persen, sehingga banyak penderita yang
tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium.

b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)


Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena
ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik.
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Pada tingkat ini akumulasi sisa – sisa metabolisme akan menumpuk
dalam darah yang disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang mulai
dirasakan seperti :
• Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
• Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami
pembengkakan
sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga
dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada
dalam tubuh.
• Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang
menandakan adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin
juga mengalami perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah
apabila bercampurdengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau
berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk buang air
kecil di tengah malam.
• Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal
beradandapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai
masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi.
• Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam
waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau
melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun
dalam darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini.
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah:
 Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit
tidur
 Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
 Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang
dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
 Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat
dideteksi melalui bau pernafasan yang tidak enak.
e. Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk
bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti
ginjal (dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
• Kehilangan napsu makan
• Nausea.
• Sakit kepala.
• Merasa lelah.
• Tidak mampu berkonsentrasi.
• Gatal – gatal.
• Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
• Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
• Keram otot
• Perubahan warna kulit

3. ETIOLOGI
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis, diabetes melitus, hipertensi dan ginjal polikistik (Roesli,
2008).
a. Glomerulonefritis
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri / infeksi sehingga terjadi peradangan sedangkan glomerulonefritis
sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin
tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau
keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes mellitus
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang
menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai
kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya
(Waspadji, 2006).
c. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan
kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain
oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau
penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.

4. PATOFISIOLOGI
Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit
glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis
interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal kronik
melibatkan 2 mekanisme kerusakan : (1) mekanisme pencetus spesifik yang
mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator
inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit
tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme kerusakan progresif yang
ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa.
Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki
kontribusi terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi
seperti yang telah dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki
kemampuan untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat
yang tersisa ini akan mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi
tekanan glomerular, dan akan menyebabkan hipertensi sistemik dalam
glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan
menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme kompensasi.
Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan
hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin meningkat. Peningkatan
tekanan glomerulus ini akan menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria
sebanding dengan tingkat progresi dari gagal ginjal. Reabsorpsi protein pada
sel tubuloepitelial dapat menyebabkan kerusakan langsung terhadap jalur
lisosomal intraselular, meningkatkan stres oksidatif, meningkatkan ekspresi
lokal growth faktor, dan melepaskan faktor kemotaktik yang pada akhirnya
akan menyebabkan inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel melalui
pengambilan dan aktivasi makrofag.
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan
sintesis matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi
kolagen tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis
tubulointerstitiel, dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang
sehat menjadi berkurang dan akan menghentikan siklus progresi penyakit
oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan
fungsi ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi
ekskretorik ginjal antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan
reabsorbsi Na pada tubuli, penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi
fosfat, penurunan ekskresi hidrogen.
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan
mengubah bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin
(EPO), menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan
sistem imun, dan sistem reproduksi.
Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan
intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di
ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan
intraglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent.
Angiotensin II akan memicu stres oksidatif yang pada akhirnya akan
meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan, sehingga
angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD.
Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan
karena banyak sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-
dihydroxyvitamin D atau kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan
mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca.
Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan hipokalsemia dan osteodistrofi.
Pada CKD akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi karena
hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal terhadap PTH. Kalsium dan
kalsitriol merupakan feedback negatif inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia
akan menstimulasi sintesis dan sekresi PTH.
Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu
untuk mengekskresikan zat – zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul
hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor
ini akan menyebabkan inhibisi 1- α hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam
sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun
akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback
negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi peningkatan hormon
parathormon. Akhirnya akan timbul hiperparatiroidisme sekunder.
Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan depresi pada sumsum
tulang sehingga akan menurunkan pembentukan eritropoetin yang pada
akhirnya akan menyebabkan anemia. Selain itu hiperparatiroidisme sekunder
juga akan menyebkan osteodistrofi yang diklasifikasikan menjadi osteitis
fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi.
Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada
akhirnya dapat menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium
juga terjadi terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5.
Penuruan ekskresi ini akan menyebabkan hiperkalemia sehingga
meningkatkan resiko terjadinya kardiak arrest pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi
adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap. Pada CKD,
ginjal tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal
untuk mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk
ammonium. Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5.
Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion – anion lain
yang tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat
menyebabkan gangguan metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic
juga merupakan salah satu faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal.
Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa
nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea
nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam
urat. Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat
mengenai sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom
uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan memperpendek usia sel
darah merah. Trombositopati akan meningkatkan resiko perdarahan spontan
terutama pada GIT, dan dapat berkembang menjadi anemia bila
penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di kulit akan menyebabkan
pasien merasa gatal – gatal.
Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan
produksi lipid, gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena
fungsi insulin menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan
produksi lipid akan memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan gagal jantung.
Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada
hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu
anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat
pengaruh dari sindrom uremia. Anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi.

5. MANIFESTASI KLINIS
Karena pada gagal hginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh
kondisi uremia, maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala.
Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal,
kondisi lain yang mendasari dan usia pasien.
a. Sistem integument
Gejala pada kulit sering menyebabkan gangguan fisik dan psikologis, seperti
kulit menjadi pucat dan adanya pigmentasi urokrom. Kulit yang kering dan
bersisik terjadi akibat atropinya kelenjar minyak, menyebabkan gangguan
penguapa sehingga terjadi penumpukan kristal urea di kulit. Akibatnya kulit
menjadi terasa gatal (pruritus). kuku dan rambut juga menjadi kering dan
pecah-pecah sehungga mudah rusak dan patah. Perubahan pada kuku tersebut
merupakan ciri khas kehilangan protein kronik.
b. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi bisa terjadi akibat retensi cairan dan sodium. Hal ersebut terjadi
akibat gagal ginjal kronik menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun,
sehingga mengaktivasi apparatus juxtaglomerular untuk memproduksi enzim
rennin yang menstimulasi angiotensin I dan II serta menyebabkan
vasokonstriksi perifer. Angiotensin II merangsang produksi aldosteron dan
korteks adreanl, meningkatkan reabsorbsi sodium dan ginjal sehingga
akhirnya meningkatkan cairan intersitiil dan sodium dalam ginjal sehingga
akhirnya meningkatkan cairan intersitiil dan sodium dalam darah. Manifestasi
lain yang dapat ditemukan adalah gagal jantung kongestif dan perikarditis
(akibat iritasi pada lapisan pericardial oleh toksin uremik).
c. Sistem respirasi
Gejala yang sering dtemukan adalah edem apulmoner dan pneumonia yang
sering menyertai gagal jantung akibat retensi cairan yang berlebihan. Gejala
lainnya adalah pernafasan kussmaul dan nafas berbau uremik.
d. Sistem gastrointestinal
Gejala yang sering terjadi adalah anoreksia, mual, muntah, kelaianan
periodontal dan ulserasi pada saluran gastrointestinal. Perdarahan saluran
cerna juga bisa terjadi dan akan menjadi berbahaya pada pasien dengan
kelainan pembekuan darah.
e. Sistem sirkulasi dan imun
Pasien gagal ginjal kronis sering mengalami anemia dengan kadar Hb <6
g/dL atau hematokrit <25-30%. Bagi pasien yang menjalani hemodialisis,
hematokrit berkisar antara 39-45%. Anemia terjadi sebagai akibat dari
produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah mera,
defisiensi nutrisi (seperti zat besi, asam folat dan vitamin B12) atau
kehilangan nutrisi selama hemodialisa dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal.
Selain sering mengalami anemia, pasien gagal ginjal tahap akhir juga renan
terhadap infeksi akibat adanya defisiensi immunoglobulin.
f. Sistem saraf
Retensi produk sampah dalam darah dan ketidakseimbangan elektrolit
menurunkan kemampuan neurotransmisi dalam berbagai oragan yang bisa
berlanjut kepada gangguan sistem saraf perifer yang menyebabkan burning
pain, restless leg syndrome, spasme otot dan kram.
g. Sistem reproduksi
Perubahan esterogen, progesteron dan testosteron menyebabkan tidak
teraturnya atau berhentinya menstruasi. Pada kaum pria bisa terjadi impotensi
akibat perubahan psikologis dan fisik yangmenyebabkan atropi organ
reproduksi dan kehilangan hasrat seksual.
h. Sistem muskuloskeletal
Kelainan yang terjadi berupa penyakit tulang uremik yang sering disebut
osteodistrofi renal, disebabkan karena perubahan kompleks kalsium, fosfat
dan keseimbangan parathormon.
i. Penglihatan
Pasien gagal ginjal kronik bisa mengalami iritasi mata atau sindrom mata
merah akibat terjadinya deposit kalsium dalam konjunctiva. Konjunctiva juga
bisa mengalami edema akibat rendahnya kadar albumin.
j. Gangguan tidur
Pasien gagal ginjal tahap akhir sering mengalami uremia akibat penimbunan
sampah metabolisme. Uremia mengakibatkan gangguan fungsi sistem saraf
dan menyebabkan restless leg syndrome. Restless leg syndrome merupakan
salah satu bentuk gangguan tidur dan penyebab insomnia pada pasien
hemodialisis. Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis sering
mengalami gangguan tidur berupa kesulitan memulai tidur, kesulitan
mempertahankan tidur dan bangun terlalu dini.

Pada gagal ginjal kronis akan terjadi rangkaian perubahan. Bila GFR
menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan
menderita sindrom uremik, yaitu suatu komplek gejala yang diakibatkan atau
berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen akibat gagal ginjal. Manifestasi sindrom
uremik dapat dilihat pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3 Manifestasi Klinis Sindrom Uremik pada Gagal Ginjal Kronis

Manifestasi Klinis Sindrom Uremik pada Gagal Ginjal Kronis


Asidosis metabolik (HCO3- serum 18-20
Biokimia
mEq/L, azotemia (penurunan GFR
menyebabkan peningkatan BUN dan
kreatinin), retensi Na, hipermagnesia,
hiperuresemia.

Anoreksia, mual, muntah, napas bau


Saluran cerna
amoniak, mulut kering, perdarahan
saluran cerna, diare stomatitis, parotis.

Poliuria, berlanjut menuju oliguri, lalu


Perkemihan
anuri, noktura, BJ urin 1.010, proteinuria.

Protein, sintesis abnormal hiperglikemia,


Metabolisme
kebutuhan insulin menurun, lemak,
peningkatan kadar trigliserid.
Libido menghilang, amnore, impotensi
Sex
dan sterilitas

Mudah lelah, otot mengecil dan lemah,


Neuromuskuler
SSP penurunan ketajaman mental,
konsentrasi buruk, kekacauan mental,
koma, otot berkedut, kejang.

Hipertensi, retinopati dan ensefalopati


Kardiovaskuler
hipertensif, beban sirkulasi berlebih,
edema, gagal jantung kongestif, dan
disritmia.

Hiperfosfatemia, hipokalsemia,
Gangguan kalsium
hiperparatiroidisme, deposit garam
kalsium pada sendi, pembuluh darah,
jantung dan paru-paru, konjungtivitis
(uremia mata merah).

Pucat, pruritus, kristal uremia, kulit


Kulit
kering, dan memar

Anemia, hemolisis, kecenderungan


Hematologik
perdarahan, resiko infeksi.

Sumber: Hidayati, 2012

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar
(anuria)
- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri,
lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan
adanya darah, HB, mioglobin.
- Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan
ginjal berat).
- Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan
rasio urine/serum sering 1:1
- Klirens keratin : Mungkin agak menurun
- Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
 Darah
- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin
16 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
- Hitung DL : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang dari 78 g/dL
- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau
hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).
- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan
- EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
- Magnesium/Fosfat : Meningkat
- Kalsium : Menurun
- Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan,
atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
 Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih,
refluks ke dalam ureter, terensi.
 Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
 Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan
sel jaringan untuk diagnosis histoligis.
 Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis
ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
 EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa
.
7. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan pada penyakit gagal ginjal kronis adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Smeltzer &
Barre, 2008). Penatalaksanaan gagal ginjal kronis dapat digolongkan menjadi
dua yaitu:
1. Terapi konservatif
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal
yang masih ada, menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan
memperlambat progresivitas gagal ginjal sedini mungkin. Selain itu,
pengobatan konservatif bertujuan untuk menghilangkan gejala yang
mengganggu penderita, sehingga penderita dapat hidup secara normal. Yang
termasuk pengobatan konservatif gagal ginjal kronis adalah:
a. Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga
mengurangi asupan kalium dan fosfat serta mengurangi produksi ion
hidrogen yang berasal dari protein. Jumlah kebutuhan protein biasanya
dilonggarkan sampai 60-80 g/hari, apabila penderita mendapatkan
pengobatan dialisis teratur.
b. Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan
kalium dikurangi. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi
kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia. Diet yang dianjurkan adalah
40-80 mEg/hari.
c. Diet rendah natrium
Diet rendah natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na).
Asupan natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan,
edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif.
d. Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi
dengan seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan
pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan
harian. Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan
adalah jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml
(IWL). Tanda seperti ini akan muncul bila kenaikan berat badan pasien lebih
dari 2 kg. Akumulasi cairan yang dapat ditoleransi adalah 1-2 kg selama
periode intradialitik.

2. Terapi penggantian ginjal atau Renal Replacement Teraphy (RRT)


Terapi penggantian ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap
penyakit gagal ginjal kronik atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk
menghindari komplikasi dan memperpanjang umur pasien. Terapi pengganti
ginjal dibagi menjadi dua, antara lain dialisis dan transplantasi ginjal
(Shahgholian et.al, 2008).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis,ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin >
10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun),
pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-
pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke,
pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan
pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Penatalaksanaan transplantasi atau cangkok ginjal sebenarnya adalah suatu
terapi definitif yang paling tepat dan ideal untuk penatalaksanaan suatu
keadaan gagal ginjal yang sangat berat. Prinsip dari pelaksanaan terapi
cangkok ginjal ini adalah pencangkokan ginjal sehat ke dalam tubuh pasien.
Permasalahan yang paling sering dihadapi dalam cangkok ginjal adalah
adanya reaksi penolakan dari tubuh pasien sebagai resepien terhadap ginjal
baru yang dicangkokkan ke dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaannya harus dipilih ginjal yang paling cocok sehingga memberikan
reaksi penolakan yang paling minimal. Setelah pelaksanaan transplantasipun,
resepien juga masih harus minum obat imunosupresan seumur hidupnya
untuk menekan reaksi penolakan oleh tubuhnya terhadap ginjal baru dalam
tubuhnya (Aziz, 2008).
B3 RAA turun Retensi MK : Nutrisi kurang Uremia
Na&air dari keb tubuh

Sekresi aldosteron Mual,


Muntah,

Intake nutrisi
B4 kurang

MK :
Kelebihan

B2

B1

Beb Sup Keh


Pen an ilan
lai
MK : Resiko cidera uru
Retensi Na&air Transport O2
terganggu
Edema pulmoner dan
MK : PK ;
asites
Intoleransi Hiperkalemi
Ekskersi asam aktifitas
Hb turun
Ekstravasasi ke
-
pleura PK : Anemia
Produksi HCO3 Gangg.
Metabolism Pe
e elektrolit Ekskresi
Efusi Pleura
kalium
Sekresi
eritropetin
Ekspansi paru turun
menurun Preload naik
2. CKD dengan VOLUME OVERLOAD

Berdasarkan jurnal yang berjudul “Volume Overload in CKD:


Pathophysiology, Assessment Techniques, Consequences and Treatment” yang
disusun oleh Mihaela Dora Donciu , Luminita Voroneanu , and Adrian Covic
pada September 2015, menjelaskan tentang peran penting interstitial dalam
mekanisme mendasar yang terlibat dalam homeostasis cairan telah diakui. Tekanan
cairan interstisial ditentukan oleh interaksi yang kompleks antara masuknya cairan
(filtrasi kapiler darah), aliran keluar cairan (aliran getah bening), dan kemampuan
kompartemen untuk memperluas (kepatuhan jaringan). Tekanan cairan interstisial
negatif pada subyek sehat dan positif pada pasien CKD, namun tidak ada hubungan
antara volume cairan tubuh dan tekanan darah. Terlebih lagi, nampaknya
peningkatan tekanan cairan interstisial yang diamati pada pasien CKD dapat
dikaitkan dengan perubahan kompensasi pada mikrosirkulasi lokal dan ini
selanjutnya dapat menyebabkan penyaringan transkapsil yang berkurang di
interstitial, atau aliran limph yang meningkat.

Volume Overload (VO) interstisial akut dikaitkan dengan peningkatan


tekanan cairan interstisial yang relatif cepat, sementara kelebihan cairan interstisial
pada keadaan edematosa kronis hanya menyebabkan peningkatan tekanan interstisial
moderat, menunjukkan bahwa kepatuhan ruang interstisial merupakan penentu
pentingnya untuk homeostasis tekanan cairan interstisial. Perubahan cairan relatif
dari interstisial ke ruang intravaskular disebabkan oleh asupan sodium yang tinggi.
Dalam penelitian Heer dkk, manusia normalnya membutuhkan 50-550 mmol Na
untuk mengevaluasi keseimbangan natrium. Dalam penelitian Volume plasma
meningkat sekitar 330 ml bila asupan Na 550 mmol / hari, namun kenyataannya
setiap harinya manusia mengkonsumsi Na mencapai 1.700 mmol apabila tidak
melakukan diet.

Dalam jurnal juga menjelaskan tentang Protein Energy Malnutrition (PEM)


berkembang saat diet yang tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan protein dan
atau energy yaitu status yang sering terjadi pada pasien dialysis. PEM bertanggung
jawab untuk kualitas hidup yang buruk dan meningkatkan semua penyebab kematian
di Indonesia pada pasien ESRD (End Stage Renal Disease ). Pada pasien ginjal,
terdapat hal yang penting yaitu status pro-inflamasi. Sehingga pada penelitian
ditemukan bahwa kedua kondisi tersebut berdampingan dan saling terkait pada
pasien ESRD. Peradangan yang sering terjadi pada pasien ginjal adalah
aterosklerosis sehingga muncul istilah 'malnutrisi-radang-aterosklerosis' (MIA) atau
'malnutrition - inflammation complex syndrome' (MICS) yang dianggap sebagai
salah satu penyebab utama kematian pada pasien ERSD karena sangat sulit untuk
dimodifikasi, seperti yang ditunjukkan oleh banyak penelitian yang juga gagal
menunjukkan perbaikan pada tingkat kelangsungan hidup saat dosis dialisis atau
permeabilitas membrane.

Penyebab utama PEM dan peradangan dalam dialysis pasien sangat rinci
dalam beberapa ulasan, salah satunya penelitian tentang tingkat kekurangan gizi yang
lebih tinggi dan peradangan dengan Volume Overload (VO). Pada 95 pasien, VO
telah secara signifikan terkait dengan malnutrisi, radang dan penanda aterosklerosis.
Hung dkk. ditemukan di 338 pra-pasien dialisis CKD yang overload volume positif
berkorelasi dengan IL-6 dan TNFα dan satu-satunya parameter itu sangat terkait
dengan semua komponen MICS. Pada saat yang sama, kehadiran MICS memiliki
efek merugikan pada VO.

Pasien ginjal menunjukkan risiko yang lebih tinggi untuk perkembangan dan
perkembangan penyakit kardiovaskular (CVD) akibat peningkatan prevalensi faktor
risiko langsung yaitu usia lebih tua, jenis kelamin laki-laki, hipertensi, dislipidemia,
DM, LVH) tetapi juga karena faktor tidak langsung yaitu albuminuria, anemia,
hiperparatiroidisme, kelebihan muatan ECV, stres oksidatif, pembengkakan dan
kekurangan gizi. Tingkat keparahan dan kejadian CAD adalah lebih tinggi dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan CV morbiditas dan mortalitas
meningkat dengan gangguan fungsi ginjal (terutama bila GFR <15 ml /min / 1,73 m
2). Demikian pula, risiko CHF berlipat ganda pasien dengan GFR <60 ml / menit /
1,73 m2). Dua penelitian yaitu dari Kanada dan Taiwan meneliti pada skala besar
risiko CV yang terkait dengan CKD yaitu kelebihan cairan /Volume Overload yang
merupakan faktor risiko penting bagi CVD pada pasien CKD. Baru-baru ini, Hung et
al. dilaporkan pada 338 pasien dengan stadium 3-5 CKD, kelebihan volume tersebut
sangat terkait dengan faktor risiko langsung untuk penyakit kardiovaskular dalam
analisis multivariat yaitu jenis kelamin laki-laki, diabetes, penyakit kardiovaskular
yang sudah ada sebelumnya, tekanan darah sistolik, albumin serum, TNF-α, dan
proteinuria.
HEMODIALISA

1. Definisi

Dialisis merupakan

 Suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah
dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut.
 Suatu proses pembuatan zat terlarut dan cairan dari darah melewati
membrane semi permeable. Ini berdasarkan pada prinsip difusi; osmosis dan
ultra filtrasi.

Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan
sakit akut dan memerlukan terapi dialysis jangka pendek (beberapa hari hingga
beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal (ESRD; end-
stage renal disease) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanent.
Sehelai membrane sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerulus serta
tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya itu.

Bagi penderita GGK, hemodialisis akan mencegah kematian. Namun demikian,


hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak
mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang dilaksanakan
ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien.
Pasien-pasien ini harus menjalani terapi dialysis sepanjang hidupnya (biasanya 3 kali
seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi) atau sampai mendapat
ginjal baru melalui operasi pencangkokan yang berhasil. Pasien memerlukan terapi
dialysis yang kronis kalau terapi ini diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya dan mengendalikan gejala uremia.

2. Tujuan

Mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih


kembali. Metode terapi mencakup hemodialisis, hemofiltrasi dan peritoneal dialysis.
Hemodialisis dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus segera
dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanent atau menyebabkan kematian.
Hemofiltrasi digunakan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan. Peritoneal
dialysis mengeluarkan cairan lebih lambat daripada bentuk-bentuk dialysis yang lain.
3. Indikasi

Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD


kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
A. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al.,2007):
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K
>6,5mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
B. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang
mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru
perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini
(Daurgirdas et al.,2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.
4. Peralatan Hemodialisa
1) Dialiser atau Ginjal Buatan
Terdiri dari membran semi permeabel yang memisahkan kompartemen darah dan
dialisat.
2) Dialisat atau Cairan Dialisis
Yaitu cairan yang terdiri dari air dan elektrolit utama dari serum normal. Dialisat
ini dibuat dalam sistem bersih dengan air kran dan bahan kimia saring. Bukan
merupakan sistem yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk melewati
membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri
dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada
membran permeabel yang besar, maka air untuk dialisat harus aman secara
bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik komersildan
umumnya digunakan oleh unit kronis.
3) Sistem Pemberian Dialisat
Yaitu alat yang mengukur pembagian proporsi otomatis dan alat mengukur serta
pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air.
4) Aksesori Peralatan
a. Perangkat Keras, terdiri dari :
- Pompa darah, pompa infus untuk mendeteksi heparin
- Alat pemonitor suhu tubuh apabila terjadi ketidakamanan konsentrasi dialisat,
perubahan tekanan udara dan kebocoran darah.
b. Perangkat Disposibel yang digunakan selain ginjal buatan :
- Selang dialisis yang digunakan untuk mengalirkan darah antara dialiser dan
pasien.
- Transfer tekanan untuk melindungi alat monitor dari pemajanan terhadap
darah.
- Kantong cairan garam untuk membersihkan sistem sebelum digunakan.

5. Akses PAda Sirkulasi Darah Pasien


Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas kateter subklavikula dan femoralis,
fistula, tandur.
1) Kateter subklavikula dan femoralis
Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai
melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter femoralis
dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera
dan sementara.

2) Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan
pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung
(anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan
antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4
sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan. Waktu ini diperlukan
untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula
berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan
ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup banyak
aliran darah yang akan mengalir melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan
untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis.
3) Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis, sebuah
tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh arteri atau vena
dari sapi, material Gore-tex (heterograft) atau tandur vena safena dari pasien
sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak
cocok untuk dijadikan fistula.

6. Teknik Hemodialisa
1) Persiapan Mesin dan Perangkat HD
- Pipa pembuangan sudah masuk dalam saluran pembuangan
- Sambungkan kabel mesin dengan stop kontak
- Hidupkan mesin ke rinse selama 15-30 menit
- Pindahkan ke posisi dialyze lalu sambungkan slang dialisat ke jaringan
tempat dialisat yang telah disiiapkan.
- Tunggu sampai lampu hijau
- Tes conductivity dan temperatur
- Gantungkan saline normal sebanyak 4 flatboth yang telah diberikan heparin
sebanyak 25-30 unit dalam masing-masing flatboth
- Siapkan ginjal buatan sesuai dengan kebutuhan pasien
- Siapkan blood lines dan AV fiskula sebanyak banyaknya
- Ginjal buatan dan blood lines diisi saline normal (priming)
- Sambungkan dialisatelines pada ginjal buatan
- Sambil mempersiapkan pasien slang inlet dan outlet disambungkan lalu
jalankan blood pump (sirkulasi tertutup)

2) Langkah-Langkah HD :
- Timbang dan catat berat badan
- Ukur dan catat tekanan darah (dapat digunakan untuk menginterpretasikan
kelebihan cairan)
- Tentukan akses darah yang akan ditusuk
- Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan betadine 10% lalu alcohol 70%
kemudian ditutup pakai duk steril
- Sediakan alat-alat yang steril didalam bak spuit kecil : spuit 2,5 cc sebanyak
1, spuit 1 cc 1 buah, mangkok kecil berisi saline 0,9% dan kasa steril
- Sediakan obat-obatan yang perlu yaitu lidonest dan heparin
- Pakai masker dan sarung tangan steril
- Lakukan anestesi local didaerah akses darah yang akan ditusuk
- Tusuk dengan AV fistula lalu berikan heparin sebanyak 2000 unit pada inlet
sedangkan outlet sebanyak 1000 unit
- Siap sambungkan ke sirkulasi tertutup yang telah disediakan
- Aliran darah permulaan sampai 7 menit 75 ml/menit kemudian dinaikkan
perlahan sampai 200 ml/menit
- Tentukan TMP sesuai dengan kenaikkan berat badan
- Segera ukur kembali tekanan darah, nadi, pernapasan, akses darah yang
digunakan dicatat dalam status yang telah tersedia.
3) Perawatan Pasien Hemodialisa
a. Perawatan sebelum hemodialisa
- Mempersiapkan perangkat HD
- Mempersiapkan mesin HD
- Mempersiapkan cara pemberian heparin
- Mempersiapkan pasien baru dengan memperhatikan factor bio psiko
sosial, agar penderita dapat bekerja sama dalam hal program HD
- Mempersiapkan akses darah
- Menimbang berat badan, mengukur tekanan darah, nadi, pernapasan
- Menentukan berat badan kering
- Mengambil pemeriksaan rutin dan sewaktu
b. Perawatan Selama Hemodialisa
Observasi terhadap pasien HD
- Tekanan darah, nadi diukur setiap 1 jam lalu dicatat dalam status
- Dosis pemberian heparin dicatat setiap 1 jam dalam status
- Cairan yang masuk perparenteral maupun peroral dicatat jumlahnya dalam
status
- Akses darah dihentikan
Observasi terhadap mesin HD
- Kecepan aliran darah /Qb, kecepatan aliran dialisat/Qd dicatat setiap 1 jam
- Tekanan negatif, tekanan positif, dicatat setiap jam
- Suhu dialisa, conductivity diperhatikan bila perlu diukur
- Jumlah cairan dialisa, jumlah air diperhatikan setiap jam
- Ginjal buatan, slang darah, slang dialisat dikontrol setiap 1 jam.
4) Perawatan Sesudah Hemodialisa
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu cara menghentikan HD pada
pasien dan mesin HD.
a. Cara mengakhiri HD pada pasien
- Ukur tekanan darah dan nadi sebelum slang inlet dicabut
- Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
- Kecilkan aliran darah menjadi 75 ml/menit
- Cabut AV fistula intel/ lalu bilas slang inlet memakai saline normal
sebanyak 50-100 cc, lalu memakai udara hingga semua darah dalam
sirkulasi ekstrakorporeal kembali ke sirkulasi sistemik
- Tekan pada bekas tusukan inlet dan outlet selama 5-10 menit, hingga darah
berhenti dari luka tusukan
- Tekanan darah, nadi, pernapasan ukur kembali lalu catat
- Timbang berat badan lalu dicatat
- Kirimkan darah ke laboratorium

7. Prinsip Dan Cara Kerja Hemodialisa


Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah
dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian
masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis,
darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar
di dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser
(Daurgirdas et al.,2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu
larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini
dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel
(dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis.
Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah
perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi
adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran
kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air
melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme
hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau
mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,
2007).

8. Komplikasi Hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi
ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderitapenyakit ginjal kronik (PGK)
stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini
mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita
yang mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering
terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik.
Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan cairan
saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40%penderita yang menjalani HD
reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat.
Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension
(HID) (Agarwal dan Light, 2010).
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot,
mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan
menggigil (Daurgirdas et al.,2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi
yang cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi
maupun hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah
sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung,
perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi
komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al.,2007).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.

b. Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.

c. Riwayat penyakit
1) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik.

2) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,
prostatektomi.

3) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).

d. Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam
(Kussmaul), dyspnea.

e. Pemeriksaan Fisik :
1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:

Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum, kental


dan banyak.

Tanda:
Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa
sputum.

2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:

Riwayat hipertensi lama atau berat.Palpitasi nyeri dada atau angina dan sesak
nafas, gangguan irama jantung, edema.

Tanda

Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak tangan,
Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub perikardial,
pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.

3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.

4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)


Gejala:

Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine
kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi.

Tanda:Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau


anuria.

5) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)


Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan Diare

6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:

Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam hari),
kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.

Tanda:
Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit, fraktur
tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan gerak
sendi.

f. Pola aktivitas sehari-hari


1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup
sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik sehingga
menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk
tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu
perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.

2) Pola nutrisi dan metabolisme


Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang
kurang.dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan
klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat badan (malnutrisi)
anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia), Penggunaan diuretic,
Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori,
kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis, kuku rapuh.

3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak
dapat kencing.Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine, (pekat, merah,
coklat, berawan) oliguria atau anuria.

4) Pola tidur dan Istirahat


Gelisah, cemas, gangguan tidur.

5) Pola Aktivitas dan latihan


Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan otot, kehilangan
tonus, penurunan rentang gerak.
6) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran).
7) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada
luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat dan
mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak.

8) Pola persepsi dan konsep diri


Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan
gangguan peran pada keluarga (self esteem).

9) Pola seksual dan reproduksi


Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga
menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta
memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Penurunan libido,
amenorea, infertilitas.

10) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping


Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,
perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena ketergantungan
menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah
tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. Faktor stress, perasaan tak berdaya,
tak ada harapan, tak ada kekuatan.Menolak, ansietas, takut, marah, mudah
terangsang, perubahan kepribadian.

11) Pola tata nilai dan kepercayaan


Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal ginjal
kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun
mempengaruhi pola ibadah klien

2. Diagnosa Keperawatan
 Pre Hemodialisa
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
2. Resiko ketidak efektifan perfusi ginjal berhubungan dengan penyakit ginjal
(CKD)
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alrveolar
kapiler (edema paru)
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi (peningkatan usaha
nafas)
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai O2 dan
kebutuhan
6. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
cairan berlebih, retensi cairan & natrium.
7. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema
sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
8. Mual berhubungan dengan gangguan biokimia (uremia)
9. Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera biologis (pembengkakan renal)
10. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh behubungan
dengan prognosis penyakit dan gangguan metabolik serta kadar asam basa dalam
tubuh.
 Intra Hemodialisa
1. Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi saat dan
setelah pemasangan AV shunt
2. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan proses hemodialisa yang
mengerluarkan cairan dari dalam tubuh
3. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemasangan AV shunt
4. Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap penusukan &
pemeliharaan akses vaskuler.
 Post Hemodialisa
1. Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt
2. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberia heparin
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan sindrom
ketidak seimbangan dialisa
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan

1 Kelebihan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 Fluid management


volume cairan jam, volume cairan seimbang
1. Kaji intake dan output cairan,
NOC 2. Timbang berat badan secara rutin
3. Jelaskan pada pasien dan keluarga
Fluid overload severity
tentang pembatasan cairan
N Indikator 1 2 3 4 5 4. Monitor hasil lab terkait retensi
o cairan
5. Kaji lokasi dan berat edema
1 Tekanan darah
6. Kolaborasi tindakan dialisis
2 Berat badan 7. Monitor BB pasien setelah dialisis

3 Edema

4 Pusing

Keterangan Penilaian :

1 : Severe

2 : Substantial.
3 : Moderate

4 : Mild deviation

5 : None.
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan

2 Intoleransi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 Activity therapy, pain management
aktivitas jam, terdapat perbaikan dalam klien beraktivitas
1. Kaji kemampuan pasien untuk
beraktivitas sehari hari
2. Dampingi pasien saat beraktivitas
NOC
3. Dampingi pasien atau keluarga
Activity tolerance untuk mengidentifikasi defisit
aktivitas
N Indikator 1 2 3 4 5
4. Berikan reinforcement saat klien
o
biasa beraktivitas mandiri
1 Jarak berjalan 5. Monitor status emosional, sosial
dan spiritual sebagai respon
2 kelelahan
aktivitas
3 kemampuan 6. Kaji dampak nyeri terhadap
beraktivitas sehari aktivitas
hari 7. Ajarkan manajemen nyeri misal
4 teknik distraksi, relaksasi
nyeri otot
Keterangan Penilaian :

1 : Severe compromised

2 : Substantial compromised

3 : Moderate compromised

4 : Mild deviation compromised

5 : No compromised
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan

3 Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 1. Monitor TTV
b.d prosedur jam, tidak terdapat tanda tanda infeksi 2. Hindari mengukur TD di lengan
invasif yang terdapat fistula
NOC
hemodialisa 3. Pakai teknik aseptik saat prosedur
N Indikator 1 2 3 4 5 dialisa
o 4. Ajarkan klien dan keluarga tanda
gejala yang membutuhkan
1 Warna kulit sekitar
penanganan medis
insersi
5. Kaji daerah sekitar insersi
Suhu disekitar
2
insersi
3
Rembesan drainase
di sekitar insersi

4 Pergeseran kanula
Keterangan Penilaian :

1 : Severe compromised

2 : Substantial compromised

3 : Moderate compromised

4 : Mild deviation compromised

5 : No compromised
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta
: EGC

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC.

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2011. Nursing care plans:
Guidelines for planning and documenting patients care. Jakarta: EGC

D. Goldsmith et al. (eds.). Cardio-Renal Clinical Challenges. DOI 10.1007/978-3-


319-09162-4_12, © Springer International Publishing Switzerland 2015.

Hung SC, Lin YP, Huang HL, Pu HF, Tarng DC. Aldosterone and mortality in
hemodialysis patients: role of volume overload. PLoS One. 2013;8:e57511.

Mihaela Dora Donciu , Luminita Voroneanu , and Adrian Covic. Volume


Overload in CKD: Pathophysiology, Assessment Techniques, Consequences
and Treatment. . DOI: 10.1007/978-3-319-09162-4_12. September 2015.

Nahas, Meguid El & Adeera Levin. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide to
Understanding and Management. USA : Oxford University Press. 2010

Anda mungkin juga menyukai