Kelompok 1
Nama Anggota :
Dosen Pembimbing :
Hj.Reflita.SKM.M.Kes
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat
waktu. Makalah yang berjudul “Konsep Berpikir Kritis Dalam Keperawatan”, disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Konsep Dasar Keperawatan II yang di bimbing oleh Ibu.
Hj.Reflita.SKM.M.Kes
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini tidak dapat
terselesaikan tanpa adanya bantuan dari bebagai pihak. Untuk itu penyusun mengucapkan
terima kasih kepada
1. Yth. Hj.Reflita.SKM.M.Kes selaku Dosen Pembimbing
2. Yth. Pada kedua orang tua atas segala restu dan do`anya.
3. Teman-teman atas segala motivasi dan dorongannya.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
dari segi isi maupun bentuk. Oleh karena itu, penyusun memohon sumbang saran dan kritik
konstruktif dari berbagai pihak terutama dari dosen pembimbing mata kuliah Konsep Dasar
Keperawatan II untuk kesempurnaan dalam pembuatan makalah yang akan datang.
Akhirnya penyusunan berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita,
khususnya bagi masyarakat luas.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................................i
Daftar Isi........................................................................................................................ii
Bab 1 Pendahuluan...........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................1
1.3. Tujuan.........................................................................................................2
1.4. Manfaat……………………………………………………..…………………......2
Bab 2 Pembahasan..........................................................................................................3
2.1. Pengertian Berpikir Kritis.............................................................................3
2.2. Komponen Berpikir Kritis…………………....................................................4
2.3. Pengukuran Berpikir Kritis……………………...............................................5
2.4. Elemen Berpikir Kritis……..........................................................................6
2.5. Indikator Berpikir Kritis...............................................................................7
2.6. Model Berpikir Kritis…………………………………...……………..…………7
2.7. Analisa Berpikir Kritis……………………………..……………………………..8
2.8. Latar Belakang BerpikirKritis…………………………………………………..10
2.9. Karakteristik Berpikir Kritis………………………………………………….....14
2.10. Cara Berpikir Kritis………………………………………………………..…..16
2.11. Model Dari Berikir Kritis…………………………………………………..….20
2.12. Hak Dan Kewajiban Perawat…………………………………………………..22
2.13. Hak Dan Wewenang Dokter……………………………...………………...….25
2.14. Kolaborasi Antara Perawat Dan Dokter…………………………….…………28
2.15. Contoh Kasus…………………………………………………………………..30
Bab 3 Penutup..............................................................................................................33
3.1. Kesimpulan.................................................................................................34
3.2. Saran..........................................................................................................34
Daftar Pustaka..............................................................................................................35
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
1.4 Manfaat
Komponen berpikir kritis terdiri atas standar yang harus ada dalam berpikir kritis dan
elemennya. Menurut Bassham (2002) komponen berpikir kritis mencakup aspek kejelasan,
ketepatan, ketelitian, relevansi, konsistensi, kebenaran logika, kelengkapan dan kewajaran.
sedangkan menurut Paul dan Elder (2002) selain aspek–aspek yang telah dikemukakan oleh
Bassham perlu ditambahkan dengan aspek keluasan kemaknaan dan kedalaman dari berpikir
kritis.
Pendapat mengenai komponen berpikir kritis juga sangat bervariasi. Para ahli
membuat konsensus tentang komponen inti berpikir kritis seperti interpretasi, analisi,
evaluasi, inference, explanation dan self regulation (APPA, 1990).
1) interpretasi, kemampuan untuk mengerti dan menyatakan arti atau maksud suatu
pengalaman yang bervariasi luas, situasi, data, peristiwa, keputusan, konvesi, kepercayaan,
aturan, prosedur atau kriteria.
3) evaluasi, kemampuan untuk menilai kredibilitas pernyataan atau penyajian lain dengan
menilai atau menggambarkan persepsi seseorang, pengalaman, situasi, keputusan,
kepercayaan dan menilai kekuatan logika dari hubungan inferensial yang diharapkan atau
hubungan inferensial yang aktual diantara pernyataan, deskripsi, pertanyaan atau bentuk–
bentuk representasi yang lain.
4) inference, kemampuan untuk mengidentifikasi dan memilih unsur-unsur yang diperlukan
untuk membentuk kesimpulan yang beralasan atau untuk membentuk hipotesis dengan
memperhatikan informasi yang relevan.
6) Self- regulation, kesadaran seseorang untuk memonitor proses kognisi dirinya, elemen–
elemen yang digunakan dalam proses berpikir dan hasil yang dikembangkan, khususnya
dengan mengaplikasikan ketrampilan dalam menganalisis dan mengevaluasi kemampuan diri
dalam mengambil kesimpulan dengan bentuk pertanyaan, konfirmasi, validasi atau koreksi
terhadap alasan dan hasil berpikir (APPA, 1990).
Pengukuran berpikir kritis yang baik adalah pengukuran yang mampu mengukur
komponen–komponen berpikir kritis yang akan diukur, penggabungan metode merupakan
cara terbaik untuk mendapatkan gambaran kemampuan berpikir kritis yang cukup valid dari
seseorang individu, selain itu validitas dan realibilitas alat ukur tersebut juga harus
diperhatikan ketika memilih alat ukur yang mencakup content validity, concurrent validity,
reliabilitas dan fairness.
Secara umum pengukuran berpikir kritis ada 4 cara : pertama dengan cara observasi
kinerja seseorang selama suatu kegiatan. Observasi dilakukan dengan mengacu pada
komponen berpikir kritis yang akan diukur, kemudian observer menyimpulkan bagaimana
tingkat berpikir kritis individu yang diobservasi tersebut. Cara kedua dengan mengukur
outcome dari komponen- komponen berpikir kritis yang telah diberikan. Ketiga dengan
mengajukan pertanyaan dan menerima penjelasan seseorang mengenai prosedur dan
keputusan yang mereka ambil terkait dengan komponen berpikir kritis yang akan diukur.
Keempat dengan cara membandingkan outcome suatu komponen berpikir kritis dengan cara
berpikir kritis lainnya. Tidak ada petunjuk baku mengenai masing–masing cara, yang
terpenting adalah menentukan apakah cara pengukuran yang kita pilih mampu menggali
komponen berpikir kritis yang akan kita nilai. Cara terbaik adalah dengan menggunakan
penggabungan berbagai metode sehingga gambaran kemampuan berpikir kritis individu
cukup valid (APA, 1990).
Alat ukur berpikir kritis cukup banyak, salah satunya Watson Glaster Critical
Thinking Aprasial (WGCTA). WGCTA oleh Watson Glaster adalah sebuah contoh alat yang
menggunakan metode mengukur outcome berpikir kritis dari komponen atau stimulus yang
diberikan. Elemen berpikir kritis yang dinilai dalam alat ukur ini adalah inference,
pengenalan asumsi, deduksi, interpretasi, dan evaluasi pendapat. WGCTA form S merupakan
format terbaru yang terdiri atas 40 soal multiple choice, dengan pilihan item antara 2 sampai
5. Responden disediakan 5 skenario dan mereka diminta memilih kemungkinan penyelesaian
dari data–data yang ada. Skor penilaian dalam tiap skenario ini antara 0 sampai 40 yang
merupakan penjumlahan dari semua skor 40 soal multiple choice. Format WGCTA disusun
dengan pendekatan deduktif, dalam penyusunan instrument tersebut juga telah diuji validitas
dan reliabilitasnya (Gadzella, 1994).
Facione pada tahun 1990 menyusun instrument California Critical Thinking Skill Test
(CCTST), alat ukur ini menggunakan pendekatan berpikir induktif dan deduktif sehingga
lebih lengkap dibandingkan dengan WGCTA. CCTST telah diuji validitas dan realibilitasnya.
Instrumen ini disusun atas 34 pertanyaan pilihan ganda yang mengukur 5 elemen berpikir
kritis yaitu thinking analisis, evaluasi, inference, deduktif dan induktif reasoning. Gambaran
berpikir kritis seseorang diperoleh dari total skor untuk 34 soal yang tersedia dan tingkat
kemampuan seseorang untuk masing–masing elemen diperoleh dari skor untuk masing-
masing elemen tersebut (Facione, 2000).
Alat ukur yang lain adalah Hamilton Critical Thinking Score Rubric (HCTSR) yang
lebih fleksibel untuk mengukur berpikir kritis dalam berbagai kegiatan belajar seperti
penulisan esai, presentasi dan kegiatan pembelajaran di klinik. Elemen yang diukur dalam
instrument ini adalah interpretasi, analisis, evaluasi, inference, penjelasan dan self regulation.
Hasil buah pikiran seseorang yang dituangkan dalam tulisan, presentasi atau kegiatan belajar
yang lain, dinilai dengan menggunakan 4 skala yang mengukur 6 elemen inti critical
thinking. Proses penilaian dilakukan 2 orang atau lebih untuk meningkatkan kemampuan
berpikir kritis.
1. Berpikir kritis perlu bagi perawat
a. Penerapan profesionalisme.
b. Pengetahuan tehnis dan keterampilan tehnis dalam memberikan askep. Seorang
pemikir yang baik tentu juga seorang perawat yang baik.Diperlukan perawat, karena:
1. Menentukan tujuan
2. Menyususn pertanyaan atau membuat kerangka masalah
3. Menujukan bukti
4. Menganalisis konsep
5. Asumsi
a. Interpretasi (interpretation)
1) Pengkategorian
2) Mengkodekan/membuat makna kalimat
3) Pengklasifikasian makna
b. Analisis (analysis)
2) Mengidentifikasi argument
3) Menganalisis argumen
c. Evaluasi (evaluation)
3) Menjelaskan kesimpulan
e. Penjelasan (explanation)
1) Menuliskan hasil
2) Mempertimbangkan prosedur
3) Menghadirkan argument
f. Kemandirian (self-regulation)
Indikator umum :
a. Kemampuan (abilities)
b. Pengaturan (dispositions)
a. Konsep (concept)
b. Generalisasi (generalization)
1. Feling Model
Model ini menerapkan pada rasa, kesan, dan data atau fakta yang ditemukan. Pemikir
kritis mencoba mengedepankan perasaan dalam melakukan pengamatan, kepekaan dalam
melakukan aktifitas keperawatan dan perhatian. Misalnya terhadap aktifitas dalam
pemeriksaan tanda vital, perawat merasakan gejala, petunjuk dan perhatian kepada
pernyataan serta pikiran klien.
2. Vision model
3. Exsamine model
Model ini dungunakan untuk merefleksi ide, pengertian dan visi. Perawat menguji ide
dengan bantuan kriteria yang relevan. Model ini digunakan untuk mencari peran yang tepat
untuk analisis, mencari, meguji, melihat konfirmasi, kolaborasi, menjelaskan dan menentukan
sesuatu yang berkaitan dengan ide.
Menurut costa and colleagues klasifikasi berpikir dikenal sebagai ‘the six Rs” yaitu:
1. Remembering ( mengingat)
2. Repeating (mengulang)
4. Reorganizing (reorganisasi)
5. Relating (berhubungan)
6. Reflecting (merenungkan)
1. Total recall
2. Habits ( kebiasaan)
Ada empat alasan berpikir kritis yaitu: deduktif, induktif, aktifitas informal, aktivitas
tiap hari, dan praktek. Untuk menjelaskan lebih mendalam tentang defenisi tersebut, alasan
berpikir kritis adalah untuk mengenalisis penggunaan bahasa, perumusan masalah,
penjelasan, dan ketegasan asumsi, kuatnya bukti-bukti,menilai kesimpulan, membedakan
antara baik dan buruknya argumen serta mencari kebenaran fakta dan nilai dari hasil yang
diyakini benar serta tindakan yang dilakukan.
1. Analisis kritis merupakan suatu cara untuk mencoba memahami kenyataan kejadian
atau peristiwa dan pernyataan yang ada dibalik makna yang jelas atau makana
langsung. Analisis kritis mempersaratkan sikap untuk berani menentang apa yang
dikatakan atau dikemukaan oleh pihak-pihak yang berkuasa
2. Analisis kritis merupakan suatu kapesitas potensi yang dimiliki oleh semua orang
demikian analisis kritis tetap akan tumpul dan tidak berkembang apabila tidak di asa
atau dipraktekan
3. Analisis kritis merupakan upaya peribadi atau upaya kolektif
4. Analisis kritis menentukan kemungkinan sesuatu kesempatan yang lebih baik ke arah
langka untuk memperbaiki kenyataan atau situasi yang telah dianalisis.
5. Peran terpenting untuk melaksanakan analisis kritis bukanlah serangkaian langkah
atau pertanyaan yang berangkat dari ketidak tahuan menuju kepencerahan.
6. Analisis kritis juga mencoba memahami riwayat pernyataan situasi atau masalah yang
perlu dipahami. Analisis kritis mengkaji situasi atau peristiwa yang tengah dalam
proses perubahan.
3. Reflektif
Artinya bahwa seorang pemikir kritis tidak menggunakan asumsi atau persepsi dalam
berpikir atau mengambil keputusan, tetapi akan menyediakan waktu untuk mengumpulkan
data dan menganalisisnya berdasarkan disiplin ilmu, fakta, dan kejadian.
5. Kemandirian Berpikir
Seorang pemikir kritis selalu berpikir dalam dirinya, tidak pasif menerima pemikiran
dan keyakinan orang lain, menganalisis semua isu, memutuskan secara benar, dan dapat
dipercaya.
2. Kebiasan (H)
Kebiasaan adalah pendekatan berpikir yang sering kali diulang sehingga menjadi sifat
alami kedua. Kebiasaan menghasilkan cara-cara yang dapat diterima dalam melakukan
segala hal. Kebiasaan memungkinkan seseorang melakukan suatu tindakan tanpa harus
memikirkan sebuah metode dari setiap kali ia akan bertindak. Ada kebiasaan lain yang
asal pemikirannya tidak jelas, ini adalah proses intuitif. Intuisi sering dijelaskan sebagai
sebuah “reaksi dari dalam diri”. Polanyi (1964) menjelaskan fenomena serupa, yang
disebut “pengetahuan yang diam”, yaitu langkah penemuan pengetahuan itu tidak dapat
diidentifikasikan.
3. Penyelidikan (I)
Penyelidikan adalah memeriksa isu secara sangat mendetail dan mempertanyakan isu
yang mungkin segera tampak dengan jelas. Apabila anda menggunakan tingkat pertanyaan
ini dalam situasi sosial, anda akan disebut “terlalu memaksa”. Penyelidikan termasuk
menggali dan mempertanyakan segala hal terutama asumsi pribadi seseorang dalam situasi
tertentu. Penyelidikan berarti tidak menilai sesuatu berdasarkan bentuk luarnya, mencari
faktor-faktor yang kurang jelas, meragukan semua pesan pertama, dan memeriksa segala
sesuatu, walaupun hal tersebut tampak tidak bermakna.
Hak Perawat
Kewajiban Perawat
Ditinjau dari sudut pandang sosiologi hukum, maka dokter yang melakukan hubungan
medis atau transaksi terapeutik terhadap pasien, masing-masing mempunyai kedudukan dan
peranan. Kedudukan merupakan wadah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, sedangkan
peranan tidak lain merupakan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing
pihak tersebut. Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa, hak merupakan
kewenangan dokter dan pasien untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban tidak
lain merupakan beban atau tugas yang harus dilaksanakan, sehingga hak dan kewajiban
merupakan pasangan, oleh karena di mana ada hak, disitulah ada kewajiban dan begitu
sebaliknya.
b) Hak untuk memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasiennya tentang
penyakitnya;
d) Hak untuk menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika, hukum,
agama dan hati nuraninya;
e) Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasiennya, jika menurut penilaiannya kerja
sama dengan pasiennya tidak ada gunanya lagi kecuali dalam keadaan darurat;
g) Hak untuk memperoleh ketenteraman bekerja dengan jaminan yang layak di dalam
memberikan kenyamanan dan suasana kerja yang baik;
“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
Dari hak-hak dokter sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50 di atas, nampak bahwa
dokter berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan medis yang telah
dilakukan, sepanjang apa yang telah dilakukan dokter atau dokter gigi sesuai standar profesi
dan standar prosedur operasional. Dengan kata lain, bilamana dokter atau dokter gigi telah
melakukan tindakan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional tidak
dapat dituntut secara hukum di persidangan lembaga peradilan.
f) Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan penderita;
g) Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
penderita, bahkan setelah penderita meninggal dunia;
Hubungan perawat-dokter adalah satu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup
lama dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien.Perspektif yang berbeda dalam
memendang pasien,dalam prakteknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan teknik
dalam melakukan proses kolaborasi. Kendalap sikologi keilmuan dan individual, factor
sosial, serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya
kolaborsi yang dapat menjadikan keduanya lebih solid dengan semangat kepentingan pasien.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak aspek positif yang dapat timbul jika
hubungan kolaborasi dokter-perawat berlangsung baik. American Nurses Credentialing
Center (ANCC) melakukan risetnya pada 14 Rumah Sakit melaporkan bahwa hubungan
dokter-perawat bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga berlangsung pada hasil yang
dialami pasien ( Kramer dan Schamalenberg, 2003). Terdapat hubungan kolerasi positif
antara kualitas huungan dokter perawat dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.
Hambatan kolaborasi dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat profesional dan
institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian
yang membatasi pendirian profesional dalam aplikasi kolaborasi. Dokter cenderung pria, dari
tingkat ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik lebih besar dibanding perawat, sehingga iklim
dan kondisi sosial masih mendkung dominasi dokter. Inti sesungghnya dari konflik perawat
dan dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara
berkomunikasi diantara keduanya.
Dari hasil observasi penulis di Rumah Sakit nampaknya perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi khususnya dengan dokter.
Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien berdasarkan instruksi medis yang juga
didokumentasikan secara baik, sementara dokumentasi asuhan keperawatan meliputi proses
keperawatan tidak ada. Disamping itu hasil wawancara penulis dengan beberapa perawat
Rumah Sakit Pemerintah dan swasta, mereka menyatakan bahwa banyak kendala yang
dihadapi dalam melaksanakan kolaborasi, diantaranya pandangan dokter yang selalu
menganggap bahwa perawat merupakan tenaga vokasional, perawat sebagai asistennya, serta
kebijakan Rumah Sakit yang kurang mendukung.
Isu-isu tersebut jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional dikhawatirkan
dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan masyarakat yang
membutuhkan jasa pelayang kesehatan, serta menghambat upaya pengembangan dari
keperawatan sebagai profesi.
PEMAHAMAN KOLABORASI
Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika hanya
dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi itu terjadi justru
menjadi point penting yang harus disikapi.bagaimana masing-masing profesi memandang arti
kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang
sama.
Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, “ Apa diagnosa
pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya “ pola pemikiran seperti ini sudah
terbentuk sejak awal proses pendidikannya.Sudah dijelaskan secara tepat bagaimana
pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus
berkembang.Mereka juga diperkenalkan dengan lingkungan klinis dibina dalam masalah
etika,pencatatan riwayat medis,pemeriksaan fisik serta hubungan dokter dan
pasien.Mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat langsung dalam aspek psikososial
perawatan pasien melalui kegiatan tertentu seperti gabungan bimbingan-pasien.Selama
periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan para perawat,pekerja sosial atau
profesional kesehatan lain.Sebagai praktisi memang mereka berbagi linkungan kerja dengan
para perawat tetapi mereka tidak dididik untuk menanggapinya sebagai
rekanan/sejawat/kolega.
Dilain pihak seorang perawat akan berfikir,apa masalah pasien ini? Bagaimana pasien
menanganinya? ,bantuan apa yang dibutuhkannya? dan apa yang dapat diberikan kepada
pasien Perawat dididik untuk mampu menilai status kesehatan pasien, merencanakan
interfensi, melaksanakan rencana, mgevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan.
Para pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar
argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu
sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan
sehingga pasien bisa mandiri.
Sejak awal perawat didik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien. Praktek
keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam praktek rumah sakit dan
praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja di unit perawatan pasien
bersama staf perawatan untuk belajar merawat,menjalankan prosedur dan menginternalisasi
peran.
Seorang perawat berada dalam situasi ketika pasien mengalami hipotensi dan dia
ingin menolong pasien. Tetapi, dia tidak bisa melakukan itu tanpa perintah dokter. Karena itu
adalah kewenangan dokter. Sementara dokter tidak ada di tempat.
Pembahasan
Rumusan Masalah :
Apakah perawat harus mengambil tindakan untuk menolong pasien menormalkan
tekanan darahnya atau tidak?
Argumen :
Hipotensi merupakan penyakit tekanan darah rendah yang biasanya ditandai dengan
kondisi pasien yang melemah, kepala pusing dan pembuluh darah pasien biasanya
mengendur.
Perawat harus melakukan tindakan dasar atau melakukan pertolongan pertama pada
pasien agar kondisi pasien tidak menjadi lebih parah. Jika tidak segera ditolong bisa
menyebabkan kondisi yang lebih parah dan bisa berakibat fatal. Kemudian setelah itu
perawat sesegera mungkin menghubungi dokter agar mendapatkan perintah untuk melakukan
proses penanganan pasien selanjutnya.
Deduksi :
Induksi :
Pertolongan dasar seperti pemeriksaan fisik pasien (suhu, tekanan darah, dan denyut
nadi), pasien diberi minum air, dan pasien ditidurkan dengan posisi kepala lebih rendah
misalnya dengan tidak diberi bantal agar suplai oksigen ke otak lebih lancar, harus dilakukan
oleh perawat jika menghadapi pasien dengan keadaan hipotensi serta tak lupa segera
menghubungi (menelepon) dokter jika dokter tidak ada di tempat setelah melakukan
pertolongan dasar.
Evaluasi :
Positif :
Kondisi pasien akan lebih cepat membaik dan hipotensi yang diderita pasien tidak
akan bertambah parah
Kelancaran suplai oksigen pada otak pasien dapat teratasi dengan cepat dan tepat
Tidak akan membahayakan jiwa pasien
Negatif :
Pasien tidak tertangani dengan sempurna karena penanganan yang dilakukan masih
sangat dasar (setengah-setengah)
Positif :
Negatif :
Jika kasus tersebut terjadi pada daerah terpencil yang alat komunikasi masih minim
atau sulit, maka penanganan pasien dapat tertunda
Harus mengeluarkan biaya untuk menghubungi dokter
Positif :
Dokter dapat memberikan perintah untuk menangani pasien meski itu melalui telepon
Negatif :
Waktu dan tindakan kurang efisien karena tindakan dasar belum dilakukan perawat
pada pasien tersebut
Harus mengeluarkan biaya untuk menghubungi dokter
Positif :
Negatif :
Bila dokter berada dalam jarak yang jauh dan tidak segera datang, maka kondisi
pasien dapat menjadi lebih parah karena tidak segera ditangani
Membahayakan jiwa pasien karena dapat berakibat fatal (pasien tidak tertolong) jika
masih menunggu dokter
Positif :
Negatif :
Perawat dapat disalahkan atau ditegor karena melakukan injeksi tanpa menunggu
dokter
Perawat tidak menghargai wewenang dokter
Perawat melanggar undang-undang
Keputusan :
Perawat harus melakukan pertolongan dasar pada pasien, yaitu dengan pemeriksaan
fisik pasien (suhu, tekanan darah, dan denyut nadi), lalu pasien diberi air minum, dan pasien
ditidurkan dengan posisi kepala lebih rendah misalnya dengan tidak diberi bantal agar suplai
oksigen ke otak lebih lancar. Kemudian, setelah melakukan pertolongan dasar kepada pasien
perawat segera menghubungi (menelepon) dokter yang bersangkutan sehingga perawat
tersebut dapat segera menerima perintah dari dokter untuk melakukan injeksi obat-obatan
atau penanganan yang lain.
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berpikir kritis dalam keperawatan adalah suatu komponen penting dalam
mempertanggungjawabkan profesionalisme dan kualitas pelayan asuhan keperawatan.
Berpikir kritis merupakan pengujian rasional terhadap ide, pengaruh, asumsi, prisip,
argumen, kesimpulan, isu, pertanyaan, keyakinan, dan aktivitas.
Proses keperawatan yang didasarkan pada paradigma model adaptasi dari Roy dan
PNI mempunyai kerangka berpikir kritis yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya
secara koherensi. Sakit terjadi jika individu tidak mampu beradaptasi secara holistis dari
stresor yang didapatkan. Intervensi keperawatan bertujuan sebagai stimulus terhadap stres
(sakit) yang berperan memperbaiki jenis koping (cognator) individu melalui proses
pembelajaran. Perbaikan respons cognator berpengaruh terhadap sistem hormonal yang
dirambatkan melalui mekanisme HPA-Aksis mempunyai efek terhadap respons imunitas (Th)
dalam Roy disebut regulator.
3.2. Saran
Demikian atas ulasan dari makalah ini dari penulis untuk memperjelas dalam
pembahasan “Konsep Berpikir Kritis Dalam Keperawatan”. apabila ada kekeliruan atau
tidak jelasnya dalam makalah ini dapat menghubungi penulis, dan apabila ada kekurangan
dari materi ini diharapkan pembaca dapat membantu dalam memperbaiki makalah
ini.terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Deswani. 2009. Proses Keperawatan dan Berpikir Kritis. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Nursalam. 2009. Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktik. Jakarta:
Salemba Medika.
Rubenfeld, M, Gaie. 2006. Berpikir Kritis dalam Keperawatan. Jakarta: EGC.
Rubenfeld, M, Gaie. 2010. Berpikir Kritis untuk Perawat: Strategis Berbasis Kompetensi.
Jakarta:EGC