Amraini, AY 1)
1)
Dokter Muda Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret
ABSTRAK
Latar Belakang: Skabies disebabkan oleh Sarcoptes scabiei var. hominis. Penyakit
ini dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan parasit maupun kontak lama
dengan penderita. Keluhan utama pasien adalah gatal pada malam hari. Papula
eritematous yang tersebar luas dan eksoriasi biasanya terlihat pada badan dan
ekstremitas. Skabies berkrusta terjadi pada orang dengan imunokompromise dan
dapat muncul dengan gejala gatal yang berkurang atau bahkan tidak ada. Standar
rujukan untuk diagnosis skabies adalah temuan adanya tungau skabies, telur, atau
feces melalui pemeriksaan mikroskopis kerokan kulit.
PENDAHULUAN
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi spesifik dari skabies antara lain gatal yang sangat dan papula
inflamasi yang tersebar luas. Manifestasi non-spesifik yang mungkin juga terjadi
antara lain ekskoriasi kulit, terjadinya eksim sekunder dan munculnya impetigo.4
1. Skabies Klasik
a. Terjadi pada pasien dengan respon imun normal
b. Pruritus intens yang memburuk di malam hari1
c. Papula eritematosa tersebar luas pada area periumbilikalis, pinggang,
genitalia, payudara, bokong, lipatan aksila, jari-jari (termasuk
interdigital), pergelangan tangan dan ekstensor anggota gerak. Kepala,
telapak tangan dan telapak kaki biasanya terjadi pada bayi dan jarang
pada orang dewasa2
d. Papula kecil, sering terjadi ekskoriasi dengan krusta hemoragik di
atasnya
e. Terowongan (tanda patognomonik) muncul sebagai garis tipis, coklat
keabu-abuan berukuran 0,5-1 cm tetapi jarang diamati karena ekskoriasi
atau infeksi bakteri sekunder2
f. Lesi lain: vesikel (biasanya pada awal terowongan), nodul (diameter 0,5
cm, biasanya pada genitalia pria, selangkangan, bokong)
g. Kondisi hygiene yang buruk dapat menyebabkan infeksi bakteri
sekunder
h. Eksim kontak iritan atau alergi dapat terjadi setelah perawatan topikal1
2. Skabies berkrusta
a. Terjadi pada pasien dengan defisiensi imun yang parah karena penyakit
(misalnya AIDS, infeksi HTLV1, keganasan dan kusta) atau terapi
(misalnya obat imunosupresan dan biologis), penyakit neurologis yang
menyebabkan berkurangnya sensasi, imobilitas dengan berkurangnya
kemampuan untuk menggaruk atau pada pasien yang secara genetik
rentan
b. Pruritus ringan atau tidak ada
c. Lesi kulit terdiri dari plak generalisata, batas tidak jelas, eritematosa,
yang tertutup oleh skuama dan krusta. Pada tonjolan tulang seperti
artikulasi jari, siku dan krista iliaka, plak memiliki karakteristik kuning
kecoklatan, tebal, dan verrucous
d. Skabies non-krusta difus dengan keterlibatan punggung juga dapat
terjadi
e. Infeksi bakteri sekunder dapat menyebabkan lesi kulit berbau busuk
DIAGNOSIS
Tanda-tanda klinis skabies adalah papula, vesikel, dan lubang linear dengan
pruritus dan tanda goresan. Pada anak-anak dan remaja, lesi paling sering terlihat
pada sela jari dan pergelangan tangan volar. Lesi juga sering ditemukan di aksila,
garis sabuk, kaki, telapak kaki, dan bokong. Pada bayi, lesi umumnya terlihat pada
telapak tangan, telapak kaki dan pergelangan kaki tetapi bisa meluas, termasuk
keterlibatan kepala dan wajah.5 Standar rujukan untuk diagnosis adalah temuan
adanya tungau skabies, telur, atau bahan tinja melalui pemeriksaan mikroskopis
kerokan kulit.1 Teknik ini mungkin terasa tidak nyaman dan dapat menyebabkan
ketakutan, terutama pada pasien anak-anak. Karena hasil umumnya tergantung pada
ketepatan area yang dilakukan kerokan, tes berulang kadang-kadang diperlukan
untuk menyimpulkan diagnosis. Selain itu, pengerokan dapat mengalami kesulitan
dengan adanya infeksi agen yang dapat ditularkan melalui darah seperti HIV atau
HCV.2
TATALAKSANA
1. Permethrin krim 5%, dioleskan dari ujung kepala sampai ujung kaki dan
dicuci bersih setelah 8-12 jam. Perawatan harus diulangi setelah 7–14 hari.4
Permethrin krim 5% adalah pengobatan lini pertama untuk skabies. Dokter
harus memberi edukasi ke pasien tentang cara penggunaan permethrin krim
yang benar, mengingatkan bahwa krim harus dioleskan ke semua area tubuh
dari leher ke bawah, dibiarkan di kulit selama 8 hingga 14 jam atau
semalam, dicuci, dan dioleskan kembali satu minggu kemudian.1
2. Ivermectin oral (diminum bersama makanan) sebanyak 200 mikrogram /
kgBB, dua dosis 1 minggu terpisah.4 Biaya dan ketersediaan sering
membatasi penggunaan ivermectin, sehingga digunakan sebagai terapi lini
kedua jika pengobatan dengan permethrin topikal tidak berhasil.1
Ivermectin tidak memiliki aktivitas ovicidal, sehingga penggunaan dosis
kedua setelah 7-14 hari dianjurkan untuk membunuh tungau baru.5
3. Benzyl benzoat lotion 10–25% diberikan sekali sehari di malam hari pada 2
hari berturut-turut dengan aplikasi ulang pada 7 hari.4
Permethrin aman untuk kehamilan dan laktasi dan dapat digunakan untuk
anak-anak usia 2 bulan ke atas. Benzyl benzoat dan sulfur dianggap aman dalam
kehamilan.4 Ivermectin tidak boleh digunakan selama kehamilan atau pada anak-
anak dengan berat kurang dari 15 kg.5 Penggunaan malathion tidak diteliti pada
wanita hamil. Meskipun penelitian pada hewan menunjukkan bahwa tidak ada
risiko, namun studi reproduksi hewan tidak selalu dapat memprediksi adanya
respon pada manusia. Penggunaan malathion tingkat pertanian yang tidak tepat
untuk mengobati infestasi manusia dapat menyebabkan toksisitas akut.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunning, K., Kiraly, B., and Pippitt, K. (2019). Lice and Scabies: Treatment
Update. American Family Physician, 99(10), pp.635-642.
2. Micali, G., Giuffrida, G., Quattrocchi, E., Lacarrubba, F. (2018).
Scabies. In: Micali, G., Lacarrubba, F., Stinco, G., Argenziano, G., Neri,
I. (eds) Atlas of Pediatric Dermatoscopy. Springer Nature, Cham.
3. Rosumeck, S., Nast, A., Dressler, C. (2018). Ivermectin and permethrin for
treating scabies (Review). Cochrane Database of Systematic Reviews, 4.
4. Salavastru, C.M., Chosidow, O., Boffa, M.J., Janier, M., Tiplica, G.S.
(2017). European guideline for the management of scabies. European
Academy of Dermatology and Venereology.
5. Thean, L.J., Engelman, D., Kaldor, J., Steer, A.C. (2019). Scabies: New
Opportunities for Management and Population Control. The Pediatric
Infectious Disease Journal, 38(2), pp.211–213.