Disusun oleh:
RUTININGSIH
1720333674
FAKULTAS FARMASI
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak kasus pertama dilaporkan pada tahun 1981, HIV/AIDS sudah menjadi
perhatian penting, tidak hanya di kalangan dunia kedokteran, tetapi juga di kalangan
Sementara di Indonesia, HIV/AIDS mulai dikenal pada awal Januari 1986. Sejak saat
penangkalnya belum ditemukan. Kasus HIV/AIDS ini disebabkan oleh perilaku yang
kurang baik, seperti homoseksual, heteroseksual, penguna Napza, tato dan tindik,
transfusi darah.
pemerintah pun membuka sebuah layanan yang disebut Voluntary Counseling and
Testing (VCT). Layanan yang merupakan gabungan dari proses konseling dan tes HIV.
Salah satu keistimewaan dari layanan VCT ini tidak hanya pada proses konseling, tapi
sampai pada proses tes dan pos tes. Selain bertujuan untuk membantu perubahan
perilaku, juga guna mencegah penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA,
serta untuk sosialisasi dan mempromosikan layanan dini. VCT dianggap sangat
bermanfaat bagi PSK dan mampu mengubah paradigma hidup para PSK terkait
terhadap faktor-faktor risiko yang ada. Semantara itu tingkat resiko infeksi pada pasien
HIV/AIDS karena penggunaan NAPZA dapat turunkan dengan terapi metadon. Terapi
metadon dapat mengurangi risiko penularan HIV di antara orang yang menyuntikkan
napza.
Latar belakang diatas memberikan gambaran bahwa perlu untuk kita mengetahui
hubungan voluntary counseling and testing (VCT) dengan HIV/AIDS serta program
LATAR BELAKANG
A. HIV AIDS
1. Definisi
kumpulan dari gejala dan infeksi atau biasa disebut sindrom yang diakibatkan oleh
kerusakan sistem kekebalan tubuh manusia karena virus HIV, sementara HIV singkatan
kekebalan tubuh pada manusia. Jika seseorang terkena virus semacam ini akan mudah
terserang infeksi oportunistik atau mudah terkena tumor. Untuk sampai saat ini, penyakit
HIV AIDS belum bisa disembuhkan dan ditemukan obatnya, kalau pun ada itu hanya
Virus HIV dan virus-virus sejenisnya seperti SIV, FIV dan lain-lain biasanya
tertular melalui kontak langsung antara aliran darah dengan cairan tubuh yang
didalamnya terkandung HIV, yakni darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal,
dan air susu ibu. Penularan virus ini sering terjadi pada saat seseorang berhubungan
intim, jarum suntik yang terkontaminasi, transfusi darah, ibu yang sedang menyusui, dan
AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus
yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T
CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara
langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan
tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya
menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter darah, maka kekebalan di tingkat sel
akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan
berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan
akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam
2. Epidemiologi
AIDS pada anak pertama kali dilaporkan oleh Oleske, Rubinstein dan Amman
pada tahun 1983 di Amerika Serikat. Sejak itu laporan jumlah AIDS pada anak di
Amerika makin lama makin meningkat. Pada bulan Desember 1989 di Amerika telah
dilaporkan 1995 anak yang berumur kurang dari 13 tahun yang menderita AIDS dan
pada bulan Maret 1993 terdapat 4.480 kasus. Jumlah ini merupakan l,5 % dari seluruh
jumlah kasus AIDS yang dilaporkan di Amerika. Di Eropa sampai tahun 1988 terdapat
356 anak dengan AIDS. Kasus infeksi HIV terbanyak pada orang dewasa maupun anak-
Indonesia tepatnya Di RSCM hingga tahun 2006 terdapat 150 pasien terinfeksi
HIV/AIDS pada anak < 15 tahun, dan 100 anak yang terpapar HIV tetapi tidak tertulari.
Pada orang dewasa sampai dengan September 2005 terdapat 8,169 pengidap infeksi
HIV. Penderita pria lebih banyak 3 kali lipat dari wanita. Sebagian besar pengidap usia
dewasa ini adalah pada usia subur. Dengan kemampuan reproduksi penderita dewasa,
akan lahir anak-anak yang mungkin tertular HIV. Bila tidak dilakukan intervensi, dari
setiap 100 wanita dewasa pengidap HIV yang hamil dan melahirkan, sebanyak 40-45
3. Patofisiologi
Peran penting sel T dalam “menyalakan” semua kekuatan limfosit dan makrofag,
membuat sel T penolong dapat dianggap sebagai “tombol utama” sistem imun. Virus
sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar respon imun. Virus ini juga menyerang
makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem imun, dan kadang-kadang juga masuk ke
sel-sel otak, sehingga timbul demensia (gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga
satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua
orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun
pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun
hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian
meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar
getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10
tahun.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap
hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,
untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4
4. Etiologi
Etiologi HIV AIDS - HIV merupakan jenis virus yang dapat menyebabkan
defisiensi kekebalan pada manusia. Seperti halnya virus-virus lain, HIV juga hanya
dapat hidup dengan menempel pada sel inang. Infeksi virus HIV akan berlanjut pada
serangan penyakit AIDS. Penyakit AIDS merupakan penyakit yang disebabkan sindrom
penurunan sistem kekebalan tubuh. Menurunnya sistem imun atau kekebalan tubuh akan
membuat penderita lebih mudah terinfeksi penyakit lain, dikenal sebagai infeksi
kematian.
yaitu penderita AIDS positif dan negatif. Penderita AIDS positifi adalah orang yang
terinfeksi virus HIV dan sudah menunjukkan gejala infeksi oportunistik. Sedangkan
penderita AIDS negatif adalah orang yang terinfeksi virus HIV tetapi belum
karena belum ada yang mampu disembuhkan. Dengan kata lain, penyakit ini memiliki
5. Manifestasi Klinis
AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditujukan pada umumnya
adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada berbagai penderita
penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya dikemukakan sebagai berikut :
g. Radang paru-paru
h. Kanker kulit
Diagnosa Klinis
Perhatian ciri khas / tanda kelompok risiko misal : tato, perilaku tertentu
7. Terapi Farmakologi
Immunodeficiency Virus (HIV). Terapi dengan ARV adalah strategi yang secara klinis
paling berhasil hingga saat ini. Tujuan terapi dengan ARV adalah menekan replikasi
HIV secara maksimum, meningkatkan limfosit CD4 dan memperbaiki kualitas hidup
penderita yang pada gilirannya akan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Seperti obat-obat antimikroba lainnya maka kompleksitas antara pasien, patogen dan
obat akan mempengaruhi seleksi obat dan dosis. Karakteristik pasien akan
target terapi, interaksi farmakodinamik antara antimikroba dan target mikroba harus
tercapai.
virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi
NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus fosfat dan
perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan
pemanjangan DNA.
Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan NRTI
virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi
sel lain.
Guidline Terapi menurut Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:
Nevirapine)
1. Definisi
gabungan dari proses konseling dan tes HIV. Salah satu keistimewaan dari layanan VCT
ini tidak hanya pada proses konseling, tapi sampai pada proses tes dan post tes.
Konselor adalah seorang ahli yang memberi bantuan kepada klien sesuai
permasalahan klien. Konselor merupakan unsur utama dalam pelaksanaan suatu layanan
konseling, termasuk juga dalam layanan voluntary counseling and testing. Untuk
menjadi konselor voluntary counseling and testing tidak memiliki banyak syarat. Syarat
utama menjadi konselor voluntary counseling and testing adalah mengikuti pelatihan
khusus tentang HIV/AIDS yang berstandar nasional sesuai WHO yang hanya
dilaksanakan beberapa hari dan memiliki sertifikat pelatihan tersebut. Selain itu untuk
menjadi konselor yang berkompeten harus memiliki kepribadian yang baik, meliputi
pribadi yang intelegen, memiliki minat kerjasama, sifat toleransi; pendidikan yang
sesuai dengan bidang konseling yaitu strata satu (S1), S2, S3 dan sekurang-kurangnya
membantu mendiagnosis dan mencari alternatif solusi terhadap klien dan kemampuan
keterampilan refleksi perasaan untuk merespon keadaan perasaan klien terhadap situasi
Konselor profesional harus memiliki etik yaitu melakukan konseling sesuai dengan
mengindari terjadinya hubungan secara intim dengan klien dan senantiasa meningkatkan
diberikan bantuan oleh konselor. Suatu layanan konseling tidak dapat berjalan jika tidak
ada klien. Klien voluntary counseling and testing termasuk klien sukarela, karena klien
datang pada konselor atas kesadaran diri sendiri untuk memperoleh informasi atau
mencari pemecahan masalah yang dihadapi. Klien sukarela ini biasanya memiliki ciri
mudah terbuka, hadir atas kehendak sendiri, dapat menyesuaikan diri dengan konselor,
sungguh-sungguh dalam mengikuti proses konseling, berusaha mengemukakan sesuatu
dengan jelas, bersedia mengungkapkan rahasia, bersikap sahabat dan mengikuti proses
konseling.
Metode merupakan suatu jalur atau jalan yang harus dilalui untuk pencapaian
suatu tujuan. Dalam hal mencapai tujuan voluntary counseling and testing yaitu
mencegah penularan HIV dan meningkatkan kualitas hidup ODHA, maka diperlukan
adanya suatu metode. Metode yang digunakan dalam layanan voluntary counseling and
testing adalah metode konseling individual. Metode konseling individual adalah upaya
bantuan diberikan melalui hubungan bersifat face to face relationship (hubungan empat
ini memiliki kelebihan yaitu konselor lebih mudah terpusat kepada klien dan klien lebih
mudah percaya kepada konselor. Sedangkan untuk kekurangan adalah klien bisa merasa
Suatu layanan pasti memiliki teknik yang digunakan untuk lebih mudah dan
cepat mencapai tujuan. Dalam voluntary counseling and testing agar tujuan dapat
tercapai dengan mudah dan cepat, teknik pendekatan yang digunakan adalah eklektik.
Teknik pendekatan eklektik merupakan gabungan teknik pendekatan antara direktif dan
nondirektif. Teknik ini dikembangkan oleh Frederick Thorne dengan tujuan untuk
menggantikan tingkah laku yang terlalu komplusif dan emosional dengan tingkah laku
yang bercorak lebih rasional dan konstruktif. Kelebihan dari teknik yang dikembangkan
oleh Frederick Thorne yaitu karena menerapkan dan memadukan berbagai pendekatan,
menggunakan variasi dalam prosedur dan teknik sehingga dapat melayani klien sesuai
dengan kebutuhannya dan sesuai dengan ciri khas masalah yang dihadapi klien. Serta
kekurangan dari teknik pendekatan ini adalah klien merasa binggung jika konselor
maka konselor dituntut untuk menguasai semua pendekatan sehingga mengerti kapan
masalah individu, tujuan dan proses penanganan masalah, program pelayanan dan
pelaksanaan pelayanan. Sedangan prinsip dasar dalam voluntary counseling and testing
Rahasia. Hasil pemeriksaan hanya boleh diketahui oleh yang bersangkutan dan
konselor yang menanganinya. Boleh dibukakan statusnya kepada orang lain dengan
sendiri.
Sukarela. Untuk tes HIV sifatnya sukarela (voluntary), tidak ada paksaan dari
konselor. Konselor hanya mengajaknya secara persuasive, terutama bagi klien yang
permasalahan yang dapat menimbulkan stres atau depresi pada dirinya. Mempelajari
latar belakang perilaku berisiko klien termasuk diantaranya kemungkinan-kemungkinan
melukai diri sendiri atau melukai orang lain, seandainya hasilnya positif. Menilai
melakukan VCT.
(inform concent) yang kemudian akan ditandatangani oleh klien dan konselor. Namun
selain prinsip dasar tersebut prinsip-prinsip yang lainnya adalah empati, mendengarkan,
memberikan informasi yang tepat dan alih tangan. Prinsip-prinsip konseling lain juga
Suatu layanan ada pasti untuk mencapai suatu keberhasilan dengan terwujudnya
tujuan dari sebuah layanan tersebut. Voluntary counseling and testing ada pun juga
voluntary counseling and testing ditentukan oleh konselor dan klien. Konselor harus
komunikasi, agar layanan voluntary counseling and testing dikatakan berhasil. Klien
juga berpengaruh dalam keberhasilan layanan voluntary counseling and testing, untuk
pengalaman dan pendidikan klien. Hal tersebut meliputi sikap, emosi, intelektual,
berhasil jika ada perubahan positif pada klien setelah melakukan konseling baik
perubahan pada diri sendiri, perilaku, pemahaman, maupun kondisi psikologisnya.
Contoh nyatanya seperti adanya perubahan pemahaman tentang pengetahuan VCT serta
HIV/AIDS, adanya perubahan pola hidup yang baik seperti patuh minum obat, adanya
perubahan psikologis yang lebih baik, tenang, tidak khawatir dan klien ikut serta dalam
pencegahan HIV/AIDS.
1. Definisi
Metadon adalah opiat (narkotik) sintetis yang kuat seperti heroin (putaw) atau
morfin, tetapi tidak menimbulkan efek sedatif yang kuat. Metadon biasanya disediakan
pada Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), yaitu program yang mengalihkan
pengguna heroin pada obat lain yang lebih aman. Metadon bukan penyembuh untuk
opiate secara fisik. Tetapi metadon menawarkan kesempatan pada penggunanya untuk
mengubah hidupnya menjadi lebih stabil dan mengurangi risiko terkait dengan
penggunaan narkoba suntikan, dan juga mengurangi kejahatan yang sering terkait
penggunaan jarum suntik bergantian, perilaku yang sangat berisiko penularan HIV dan
virus lain.
PTRM sering mempunyai dua tujuan pilihan. Tujuan pertama adalah untuk
membantu pengguna berhenti penggunaan heroin, diganti dengan takaran metadon yang
dikurangi tahapdemi - tahap selama jangka waktu tertentu. Tujuan kedua adalah untuk
mengurangi beberapa dampak buruk akibat penggunaan heroin secara suntikan. Pilihan
ini menyediakan terapi rumatan, yang memberikan metadon pada pengguna secara
terus-menerus dengan takaran yang disesuaikan agar pengguna tidak mengalami gejala
Metadon biasanya diberikan pada klien program dalam bentuk cairan (larutan
sirop) yang diminum di bawah pengawasan di PTRM setiap hari. Setiap klien
membutuhkan takaran yang berbeda, akibat perbedaan metabolisme, berat badan dan
metadon yang tepat untuk setiap klien. Pada awalnya, klien harus diamati setiap hari
dan reaksi terhadap dosisnya dinilai. Jika klien menunjukkan tanda atau gejala putus
zat, takaran harus ditingkatkan. Umumnya program mulai dengan takaran 20mg
metadon dan kemudian ditingkatkan 5-10mg per hari. Biasanya klien bertahan dalam
terapi dan mampu menghentikan penggunaan heroin dengan takaran metadon sedang
c. dapat datang ke unit layanan setiap hari hingga mencapai dosis stabil
d. dapat datang secara teratur ke unit layanan sebagaimana jadwal yang ditetapkan tim
Pelayanan PTRM dapat diberikan pada pasien dengan kondisi khusus yaitu
pasien hamil, pasien HIV/AIDS, pasien diagnosis ganda, pasien dengan keluhan nyeri,
dan pasien pasca lembaga pemasyarakatan, dimana pasien tersebut juga harus
Setiap pasien yang mengikuti PTRM diberikan kartu pasien yang dibuat sesuai
tersebut berlaku juga sebagai kartu lapor diri terkait mekanisme wajib lapor selama
penerbitan kartu yang tersentralisasi belum berjalan. Kartu pasien berlaku selama 1
(satu) tahun dan dapat diperpanjang serta tidak dapat dipindahtangankan. Kartu pasien
tersebut dinyatakan tidak berlaku apabila pasien keluar dari PTRM baik secara
terencana maupun tidak terencana dan/atau kartu hilang. Apabila pasien masuk kembali
dalam PTRM sebelum masa berlaku kartu habis, maka kartu yang sebelumnya tidak
berlaku tersebut dinyatakan berlaku lagi sampai habis masa berlakunya, dan apabila
Metadona merupakan suatu agonis sintetik opioid yang kuat dan diserap dengan
baik secara oral dengan daya kerja jangka panjang, digunakan secara oral di bawah
supervisi dokter dan digunakan untuk terapi bagi pengguna opiat. Metadona bekerja
pada reseptor mu (μ) secara agonis penuh (full agonist), dengan efek puncak 1 hingga 2
namun khususnya pada hati. Proses akumulasi ini sebagian menjadi alasan mengapa
toleransi atas penggunaan Metadona berjalan lebih lambat daripada penggunaan morfin
atau heroin. Efek analgesik dirasakan dalam 30 (tiga puluh) hingga 60 (enam puluh)
menit setelah diminum dan terjadi konsentrasi puncak di otak dalam waktu 1 (satu)
hingga 2 (dua) jam setelah diminum, hal ini membuat konsumsi Metadona tidak segera
penggunaan Metadona secara mendadak tidak langsung menghasilkan gejala putus zat.
Gejala putus zat baru akan dirasakan setelah beberapa waktu kemudian dan
dialami beberapa hari lebih lama daripada gejala putus zat heroin. Penelitian
perubahan libido pada laki-laki dan juga perempuan, yang dapat diatasi dengan
medikasi simtomatik. Efek samping yang umumnya dirasakan dalam waktu lama
adalah konstipasi, berkeringat secara berlebihan dan keluhan berkurangnya libido dan
disfungsi seksual. Namun demikian efek samping ini dilaporkan semakin dapat diatasi
PTRM berarti calon pasien juga dianggap telah melakukan lapor diri sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Wajib Lapor
Pecandu Narkotika.
c. Asesmen dan penyusunan rencana terapi yang menggunakan formulir dan prosedur
sebagaimana yang tertera pada tata cara penyelenggaraan wajib lapor yang berlaku
d. Penjelasan tentang pentingnya keterlibatan keluarga atau wali dalam PTRM agar
PTRM atau dirujuk pada modalitas terapi lain yang lebih sesuai dengan kondisi calon
Pasien kontrol ke dokter setiap hari setelah minum dosis pertama untuk
diobservasi terutama untuk tanda-tanda intoksikasi dalam tiga hari pertama. Jika terjadi
gejala intoksikasi, dokter harus menilai lebih dulu dosis berikut yang akan digunakan.
Dalam bulan pertama terapi, dokter melakukan evaluasi ulang pada pasien minimal satu
kali seminggu. Selanjutnya, dokter melakukan evaluasi ulang pada pasien minimal
setiap bulan. Pada penambahan dosis, selalu harus didahului dengan evaluasi ulang
Dalam pemberian terapi metadon, pemberian dosis dibagi dalam 3 tahap yang
berbeda yaitu :
a. Tahap inisiasi
Dosis awal yang dianjurkan adalah 20-30 mg untuk tiga hari pertama. Kematian
sering terjadi bila menggunakan dosis awal yang melebihi 40 mg. Pasien harus
toksisitas atau gejala putus obat. Jika terdapat intoksikasi atau gejala putus obat berat
Estimasi yang terlalu tinggi tentang toleransi pasien terhadap opiate dapat
membawa pasien kepada risiko toksik akibat dosis tunggal, serta kemungkinan pasien
dalam keadaan toksik akibat akumulasi Metadona karena waktu paruhnya yang panjang.
Estimasi toleransi pasien terhadap Metadona yang terlalu rendah menyebabkan risiko
pasien untuk menggunakan opiat yang ilegal bertambah besar akibat kadar Metadona
dalam darah kurang, dan akan memperpanjang gejala putus zat maupun periode
stabilisasi.
b. Tahap Stabilisasi
1) Tahap ini bertujuan untuk menaikkan dosis secara perlahan sehingga memasuki
tahap rumatan. Pada tahap ini risiko intoksikasi dan overdosis cukup tinggi pada 10-
14 hari pertama.
2) Dosis yang dianjurkan dalam tahap ini adalah menaikkan dosis awal 5-10 mg tiap 3-
5 hari. Hal ini bertujuan untuk melihat efek dari dosis yang sedang diberikan. Total
kenaikan dosis tiap minggu tidak boleh lebih 30 mg. Apabila pasien masih
3) Kadar Metadona dalam darah akan terus meningkat selama 5 hari setelah dosis awal
atau penambahan dosis. Waktu paruh Metadona cukup panjang yaitu 24 jam,
sehingga bila dilakukan penambahan dosis setiap hari akan meningkatkan risiko
toksisitas akibat akumulasi dosis. Karena itu, penambahan dosis dilakukan setiap 3-
5 hari.
4) Sangat penting untuk diingat bahwa tak ada hubungan yang jelas antara besarnya
jumlah dosis opiat yang dikonsumsi seorang pengguna opiat dengan dosis
5) Selama minggu pertama tahap stabilisasi pasien harus datang setiap hari di klinik
atau jika perlu dirawat di rumah sakit untuk diamati secara cermat oleh profesional
Pada tahap ini dapat dilakukan penambahan dosis apabila keadaan pasien
1) adanya tanda dan gejala putus opiat yang diukur melalui skala putus opiat obyektif
10 (terlampir)
Dosis rumatan rata-rata adalah 60-120 mg per hari. Dosis rumatan harus
dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur tergantung dari keadaan pasien.
Selain itu banyak pengaruh sosial lainnya yang menjadi pertimbangan penyesuaian
dosis. Fase ini dapat berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku stabil, baik dalam
Mual
muntah: 10-15% mengalami efek samping ini, yang biasanya hilang setelah
beberapa hari
keringat: dapat muncul sebagai efek samping, atau karena takaran metadon tidak
sesuai
Penggunaan metadon tidak berisiko pada hati. Informasi mengenai efek samping
Metadon dapat berinteraksi dengan obat lain atau suplemen yang dipakai
bersamaan. Metadon tidak berpengaruh pada tingkat obat antiretroviral (ARV) atau obat
TB dalam darah, kecuali ddI versi dapar (buffered) dan AZT (LI 411). Bila ada klien
metadon yang memakai ddI, mungkin takaran ddI harus dinaikkan atau sebaiknya ddI
versi dapar diganti dengan ddI EC (bila tersedia). Bila dipakai AZT (atau pil kombinasi
yang mengandung AZT, mis. Duviral), mungkin efek samping AZT timbul kembali.
Karena efek samping ini dapat serupa dengan sakaw, harus hati-hati membedakannya.
Hal serupa terjadi setelah mulai terapi untuk hepatitis C. Sebaliknya, beberapa obat
dapat berpengaruh pada efek metadon. Jadi petugas PTRM seharusnya selalu memantau
penggunaan obat lain oleh kliennya, terutama bila mulai atau berhenti terapi TB. Bila
setelah mulai atau berhenti penggunaan obat lain klien mengalami sakaw atau sedasi,
takaran metadon harus disesuaikan. Interaksi yang terjadi kadang kala berbedadengan
yang tercantum dalam tabel. Pastikan dokter atau petugas PTRM tahu bila kita mulai
PEMBAHASAN
membantu perubahan perilaku sehingga risiko tertular HIV menurun, maka pemerintah
membuka layanan voluntary counseling and testing. Voluntary counseling and testing
terdiri dari tiga tahap, yaitu pertama, Konseling Pra Testing. Konseling Pra Testing,
yaitu konseling yang dilakukan sebelum seseorang melakukan tes HIV yang bertujuan
untuk membantu klien dalam membuat keputusan yang baik tentang apakah akan
menjalani tes HIV atau tidak, dengan sebelumnya memberikan informasi tentang tes
HIV dan HIV/AIDS. Dalam tahap pertama ini dimulai dengan menerima klien,
keputusan. Kedua adalah tes HIV. Tes HIV, yaitu proses pengambilan darah untuk
mengetahui apakah positif HIV atau negatif HIV, sebelum klien tes HIV mengisi surat
pernyataan dan persetujuan (informed consent). Ketiga adalah konseling pasca testing.
Konseling pasca testing, yaitu konseling yang dilakukan setelah klien melakukan tes
HIV yang bertujuan untuk membacakan hasil tes, membantu klien memahami dan
menyesuaikan diri dengan hasil tes, baik itu hasilnya positif atau negatif serta
memberikan informasi dan penguatan kepada klien. Dalam tahap ini sebelum dibacakan
hasil, klien dibantu untuk membuat rencana tentang hasil yang akan diterima. Proses
pengguna seperti istri/suami/pasangan dan anak si pengguna. Seperti yang kita telah
ketahui penyakit HIV/AIDS masih merupakan ancaman global dan belum ditemukan
penularannya. Salah satu upaya untuk mencegah penularan HIV/AIDS terutama dari
kalangan pengguna narkotika suntik (penasun) adalah dengan program harm reduction
atau program pengurangan dampak buruk akibat penggunaan narkotika suntik. Terdapat
12 langkah penanggulangan dan salah satunya adalah terapi substitusi dengan pemberian
metadon.
napza. Terdapat bukti, baik yang menunjukkan bahwa terapi substitusi opiat
orang yang menyuntikkan napza. Namun, sampai sekarang tidak ada estimasi
kuantitatif dari dampak terapi substitusi opiat yang terkait dengan penularan HIV.
Terdapat studi baru yang menunjukkan hubungan antara terapi metadon dan
Hasil ini penting karena terdapat peningkatan insidensi HIV yang dilaporkan di
antara orang yang menyuntikkan napza di beberapa negara dalam beberapa tahun ini.
Negara-negara tersebut tidak melegalkan atau sangat membatasi terapi substitusi opiat.
Penggunaan napza suntikan adalah faktor risiko utama dari penularan HIV dan
AIDS. Diperkirakan bahwa sekitar 5%-10% dari infeksi HIV di seluruh dunia
disebabkan oleh penggunaan napza suntikan. Metadon dan buprenorfin adalah obat
yang biasanya diresepkan untuk pada pecandu dan sering diresepkan sebagai terapi
substitusi opiat.
Terapi substitusi metadon terkait dengan pengurangan risiko infeksi HIV sebesar
54% di antara para pengguna napza suntikan. Terdapat perbedaan di antara studi,
termasuk perbedaan tingkat latar belakang infeksi HIV dan hal ini membuat para
peneliti tidak bisa menghitung “pengurangan risiko mutlak” dari infeksi HIV. Dan tidak
yang dapat memengaruhi hubungan antara terapi substitusi opiat dan infeksi HIV.
Namun dampak dari terapi substitusi opiat terhadap HIV adalah kuat dan konsisten.
BAB IV
KESIMPULAN
Terapi Rumatan Metadon (PTRM) mempunyai hubungan yang kuat satu sama lain,
layanan dini sehingga risiko tertular HIV menjadi menurun. Sedangkan Program Terapi
Rumatan Metadon (PTRM) mempunyai andil yang juga besar dalam menurunkan resiko
menurunkan risiko infeksi HIV sebesar 54% di antara para pengguna napza suntikan.
Jadi, baik itu Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan Program Terapi Rumatan
Metadon (PTRM) mempunyai tujuan yang sama untuk menurunkan resiko infeksi atau
tertularnya HIV.
DAFTAR PUSTAKA
Diah Astuti. 2016. Voluntary Counseling and Testing untuk Orang Berisiko HIV/AIDS.
ejournal.iain-surakarta. Surakarta.