Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH VCT

HUBUNGAN HIV/AIDS DENGAN TERAPI


RUMATAN METADONE

Disusun oleh:

RUTININGSIH

1720333674

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA

2017
BAB I

PENDAHULUAN

Sejak kasus pertama dilaporkan pada tahun 1981, HIV/AIDS sudah menjadi

perhatian penting, tidak hanya di kalangan dunia kedokteran, tetapi juga di kalangan

pengambil kebijakan, pemimpin agama, dan masyarakat dunia pada umumnya.

Sementara di Indonesia, HIV/AIDS mulai dikenal pada awal Januari 1986. Sejak saat

itu, perkembangan kasus HIV/AIDS berkembang makin pesat karena vaksin

penangkalnya belum ditemukan. Kasus HIV/AIDS ini disebabkan oleh perilaku yang

kurang baik, seperti homoseksual, heteroseksual, penguna Napza, tato dan tindik,

transfusi darah.

Untuk membantu perubahan perilaku sehingga risiko tertular HIV menurun,

pemerintah pun membuka sebuah layanan yang disebut Voluntary Counseling and

Testing (VCT). Layanan yang merupakan gabungan dari proses konseling dan tes HIV.

Salah satu keistimewaan dari layanan VCT ini tidak hanya pada proses konseling, tapi

sampai pada proses tes dan pos tes. Selain bertujuan untuk membantu perubahan

perilaku, juga guna mencegah penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA,

serta untuk sosialisasi dan mempromosikan layanan dini. VCT dianggap sangat

bermanfaat bagi PSK dan mampu mengubah paradigma hidup para PSK terkait

pentingnya kesehatan serta mampu meningkatkan kewaspadaan dan proteksi diri

terhadap faktor-faktor risiko yang ada. Semantara itu tingkat resiko infeksi pada pasien

HIV/AIDS karena penggunaan NAPZA dapat turunkan dengan terapi metadon. Terapi
metadon dapat mengurangi risiko penularan HIV di antara orang yang menyuntikkan

napza.

Latar belakang diatas memberikan gambaran bahwa perlu untuk kita mengetahui

hubungan voluntary counseling and testing (VCT) dengan HIV/AIDS serta program

terapi rumatan metadon (PTRM).


BAB II

LATAR BELAKANG

A. HIV AIDS

1. Definisi

AIDS singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan

kumpulan dari gejala dan infeksi atau biasa disebut sindrom yang diakibatkan oleh

kerusakan sistem kekebalan tubuh manusia karena virus HIV, sementara HIV singkatan

dari Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang dapat melemahkan

kekebalan tubuh pada manusia. Jika seseorang terkena virus semacam ini akan mudah

terserang infeksi oportunistik atau mudah terkena tumor. Untuk sampai saat ini, penyakit

HIV AIDS belum bisa disembuhkan dan ditemukan obatnya, kalau pun ada itu hanya

menghentikan atau memperlambat perkembangan virusnya saja.

Virus HIV dan virus-virus sejenisnya seperti SIV, FIV dan lain-lain biasanya

tertular melalui kontak langsung antara aliran darah dengan cairan tubuh yang

didalamnya terkandung HIV, yakni darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal,

dan air susu ibu. Penularan virus ini sering terjadi pada saat seseorang berhubungan

intim, jarum suntik yang terkontaminasi, transfusi darah, ibu yang sedang menyusui, dan

berbagai macam bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.

AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus

yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T

CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara

langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan
tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya

menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter darah, maka kekebalan di tingkat sel

akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan

berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan

akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam

darah serta adanya infeksi tertentu.

2. Epidemiologi

AIDS pada anak pertama kali dilaporkan oleh Oleske, Rubinstein dan Amman

pada tahun 1983 di Amerika Serikat. Sejak itu laporan jumlah AIDS pada anak di

Amerika makin lama makin meningkat. Pada bulan Desember 1989 di Amerika telah

dilaporkan 1995 anak yang berumur kurang dari 13 tahun yang menderita AIDS dan

pada bulan Maret 1993 terdapat 4.480 kasus. Jumlah ini merupakan l,5 % dari seluruh

jumlah kasus AIDS yang dilaporkan di Amerika. Di Eropa sampai tahun 1988 terdapat

356 anak dengan AIDS. Kasus infeksi HIV terbanyak pada orang dewasa maupun anak-

anak tertinggi di dunia adalah di Afrika terutama negara-negara Afrika Sub-Sahara. Di

Indonesia tepatnya Di RSCM hingga tahun 2006 terdapat 150 pasien terinfeksi

HIV/AIDS pada anak < 15 tahun, dan 100 anak yang terpapar HIV tetapi tidak tertulari.

Pada orang dewasa sampai dengan September 2005 terdapat 8,169 pengidap infeksi

HIV. Penderita pria lebih banyak 3 kali lipat dari wanita. Sebagian besar pengidap usia

dewasa ini adalah pada usia subur. Dengan kemampuan reproduksi penderita dewasa,

akan lahir anak-anak yang mungkin tertular HIV. Bila tidak dilakukan intervensi, dari
setiap 100 wanita dewasa pengidap HIV yang hamil dan melahirkan, sebanyak 40-45

anak-anak ini akan tertulari.

3. Patofisiologi

Peran penting sel T dalam “menyalakan” semua kekuatan limfosit dan makrofag,

membuat sel T penolong dapat dianggap sebagai “tombol utama” sistem imun. Virus

AIDS secara selektif menginvasi sel T penolong, menghancurkan atau melumpuhkan

sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar respon imun. Virus ini juga menyerang

makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem imun, dan kadang-kadang juga masuk ke

sel-sel otak, sehingga timbul demensia (gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang

dijumpai pada sebagian pasien AIDS.

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga

satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua

orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun

pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun

hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian

meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar

getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV

asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10

tahun.

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak

menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap

hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,
untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4

sekitar 109 setiap hari.

4. Etiologi

Etiologi HIV AIDS - HIV merupakan jenis virus yang dapat menyebabkan

defisiensi kekebalan pada manusia. Seperti halnya virus-virus lain, HIV juga hanya

dapat hidup dengan menempel pada sel inang. Infeksi virus HIV akan berlanjut pada

serangan penyakit AIDS. Penyakit AIDS merupakan penyakit yang disebabkan sindrom

penurunan sistem kekebalan tubuh. Menurunnya sistem imun atau kekebalan tubuh akan

membuat penderita lebih mudah terinfeksi penyakit lain, dikenal sebagai infeksi

oportunistis. Infeksi oportunistik akan semakin parah, bahkan bisa menyebabkan

kematian.

Berdasarkan gejala yang ditunjukkan, terdapat dua kategori penderita AIDS,

yaitu penderita AIDS positif dan negatif. Penderita AIDS positifi adalah orang yang

terinfeksi virus HIV dan sudah menunjukkan gejala infeksi oportunistik. Sedangkan

penderita AIDS negatif adalah orang yang terinfeksi virus HIV tetapi belum

menunjukkan gejala infeksi oportunistik.AIDS merupakan penyakit yang sangat ditakuti

karena belum ada yang mampu disembuhkan. Dengan kata lain, penyakit ini memiliki

tingkat kematian hingga 100%.

5. Manifestasi Klinis

Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang penderita

AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditujukan pada umumnya
adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada berbagai penderita

penyakit lain, namun secara umum dapat kiranya dikemukakan sebagai berikut :

a. Rasa lelah dan lesu

b. Berat badan menurun secara drastis

c. Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam

d. Mencret dan kurang nafsu makan

e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut

f. Pembengkakan leher dan lipatan paha

g. Radang paru-paru

h. Kanker kulit

Diagnosa Klinis

Curiga HIV secara klinis :

 Riwayat perilaku seksual

 Riwayat penggunaan narkoba

 Riwayat pekerjaan : pelaut, spor truk, dll

 Perhatian ciri khas / tanda kelompok risiko misal : tato, perilaku tertentu

Diagnosis laboratorium HIV

 Serologi / deteksi antibodi : ELISA, Western Blot, rapid tes

 Deteksi virus : RT-PCR, antigen p24

 Sebelum tes harus dilakukan konseling


6. Faktor resiko
Faktor-faktor yang berhubungan denagan risiko transmisi HIV yang meningkat
dituliskan dalam tabel di bawah ini.
Transmisi Faktor yang meningkatkan resiko
Umum pada setiap Viral load tinggi
orang
Adanya AIDS
Serokonversi
Hitung CD4 rendah
Ibu ke anak Pecah ketuban lama
Persalinan pervaginam
Menyusui
Tidak ada profilaksis HIV
Seksual Terjadi bersamaan dengan PMS lain
Anal seks yang reseptif vs insertif
Tidak disirkumsisi
Peningkatan jumlah pasangan seksual
Penggunaan obat Menggunakan peralatan secara bersama-sama dan
suntik berulang
Suntikan IV vs subkutan
Pekerjaan Trauma dalam
Darah yang terlihat dalam peralatan
Penempatan alat arteri atau vena sebelumnya

7. Terapi Farmakologi

Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human

Immunodeficiency Virus (HIV). Terapi dengan ARV adalah strategi yang secara klinis

paling berhasil hingga saat ini. Tujuan terapi dengan ARV adalah menekan replikasi

HIV secara maksimum, meningkatkan limfosit CD4 dan memperbaiki kualitas hidup

penderita yang pada gilirannya akan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.

Seperti obat-obat antimikroba lainnya maka kompleksitas antara pasien, patogen dan
obat akan mempengaruhi seleksi obat dan dosis. Karakteristik pasien akan

mempengaruhi farmakokinetik obat. Karakteristik mikroba meliputi mekanisme kerja,

pola kepekaan, dan resistensi. Farmakodinamik obat merupakan integrasi hubungan

antara kepekaan mikroba dengan farmakokinetik pasien. Untuk menjamin tercapainya

target terapi, interaksi farmakodinamik antara antimikroba dan target mikroba harus

tercapai.

7.1. Mekanisme Kerja

a. Penghambat masuknya virus kedalam sel

Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein

virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi

ini adalah enfuvirtid.

b. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)

1) Analog nukleosida (NRTI)

NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus fosfat dan

selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat RT sehingga

perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan

pemanjangan DNA.

2) Analog nukleotida (NtRTI)

Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan NRTI

tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi.

3) Non nukleosida (NNRTI)


Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan

langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan nukleotida

natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat.

c. Protease inhibitor (PI)

Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang

mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan

virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi

sel lain.

PI adalah ARV yang potensial.

Guidline Terapi menurut Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan

Terapi Antiretroviral (Kemenkes RI, 2011).

2 NRTI + 1 NNRTI

Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + ATAU

Nevirapine)

AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz) ATAU

TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau ATAU

NVP Emtricitabine) + Nevirapine)

TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau

EFV Emtricitabine) + Efavirenz)


8. Terapi non farmakologi
Berupa upaya pencegahan dan penanggulangan yang dianjurkan oleh
WHO:
a. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda
b. Program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk berbagai
kelompok sasaran
c. Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika, termasuk
program pengadaan jarum suntik steril.
d. Program pendidikan agama
e. Program layanan pengobatan infeksi menular seksual (IMS).
f. Program promosi kondom dilokalisasi pelacuaran dan panti pijat.

B. Voluntary Counseling and Testing (VCT)

1. Definisi

Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan layanan yang merupakan

gabungan dari proses konseling dan tes HIV. Salah satu keistimewaan dari layanan VCT

ini tidak hanya pada proses konseling, tapi sampai pada proses tes dan post tes.

2. Konselor Voluntary Counseling and Testing

Konselor adalah seorang ahli yang memberi bantuan kepada klien sesuai

permasalahan klien. Konselor merupakan unsur utama dalam pelaksanaan suatu layanan

konseling, termasuk juga dalam layanan voluntary counseling and testing. Untuk

menjadi konselor voluntary counseling and testing tidak memiliki banyak syarat. Syarat

utama menjadi konselor voluntary counseling and testing adalah mengikuti pelatihan

khusus tentang HIV/AIDS yang berstandar nasional sesuai WHO yang hanya

dilaksanakan beberapa hari dan memiliki sertifikat pelatihan tersebut. Selain itu untuk

menjadi konselor yang berkompeten harus memiliki kepribadian yang baik, meliputi
pribadi yang intelegen, memiliki minat kerjasama, sifat toleransi; pendidikan yang

sesuai dengan bidang konseling yaitu strata satu (S1), S2, S3 dan sekurang-kurangnya

pernah mengikuti pelatihan tentang bimbingan dan konseling; pengalaman suka

membantu mendiagnosis dan mencari alternatif solusi terhadap klien dan kemampuan

yang meliputi berbagai keterampilan konseling dan komunikasi. Keterampilan tersebut

antara lain adalah keterampilan attending (keterampilan untuk menghadirkan klien

dalam proses konseling), keterampilan mengundang pembicaraan terbuka untuk

memberi kesempatan klien agar mengeksplorasi dirinya sendiri dengan dukungan

pewawancara, keterampilan parafrase untuk memperbaiki hubungan antar pribadi,

keterampilan refleksi perasaan untuk merespon keadaan perasaan klien terhadap situasi

yang sedang dihadapi, keterampilan konfrontasi meliputi keterampilan interpersonal,

keterampilan diagnostik, keterampilan memotivasi dan keterampilan manajemen.

Konselor profesional harus memiliki etik yaitu melakukan konseling sesuai dengan

kemampuannya, memahami hak-hak konseling, menjaga kerahasiaan, objektivitas,

mengindari terjadinya hubungan secara intim dengan klien dan senantiasa meningkatkan

kemampuan dan ketrampilan dalam konseling.

3. Klien Voluntary Counseling and Testing

Klien adalah seseorang yang membutuhkan bantuan atau seseorang yang

diberikan bantuan oleh konselor. Suatu layanan konseling tidak dapat berjalan jika tidak

ada klien. Klien voluntary counseling and testing termasuk klien sukarela, karena klien

datang pada konselor atas kesadaran diri sendiri untuk memperoleh informasi atau

mencari pemecahan masalah yang dihadapi. Klien sukarela ini biasanya memiliki ciri

mudah terbuka, hadir atas kehendak sendiri, dapat menyesuaikan diri dengan konselor,
sungguh-sungguh dalam mengikuti proses konseling, berusaha mengemukakan sesuatu

dengan jelas, bersedia mengungkapkan rahasia, bersikap sahabat dan mengikuti proses

konseling.

4. Metode dalam Voluntary Counseling and Testing

Metode merupakan suatu jalur atau jalan yang harus dilalui untuk pencapaian

suatu tujuan. Dalam hal mencapai tujuan voluntary counseling and testing yaitu

mencegah penularan HIV dan meningkatkan kualitas hidup ODHA, maka diperlukan

adanya suatu metode. Metode yang digunakan dalam layanan voluntary counseling and

testing adalah metode konseling individual. Metode konseling individual adalah upaya

pemberian bantuan diberikan secara individual dan langsung bertatap muka

(berkomunikasi) antara konselor dengan konseli. Dengan perkataan lain pemberian

bantuan diberikan melalui hubungan bersifat face to face relationship (hubungan empat

mata), yang dilaksanakan dengan wawancara antara konselor dengan konseli.

Dalam pelaksanaan konseling dengan menggunakan metode konseling individual

ini memiliki kelebihan yaitu konselor lebih mudah terpusat kepada klien dan klien lebih

mudah percaya kepada konselor. Sedangkan untuk kekurangan adalah klien bisa merasa

diinterogasi dengan hanya adanya konselor dan klien.

5. Teknik Pendekatan dalam Voluntary Counseling and Testing

Suatu layanan pasti memiliki teknik yang digunakan untuk lebih mudah dan

cepat mencapai tujuan. Dalam voluntary counseling and testing agar tujuan dapat

tercapai dengan mudah dan cepat, teknik pendekatan yang digunakan adalah eklektik.

Teknik pendekatan eklektik merupakan gabungan teknik pendekatan antara direktif dan

nondirektif. Teknik ini dikembangkan oleh Frederick Thorne dengan tujuan untuk
menggantikan tingkah laku yang terlalu komplusif dan emosional dengan tingkah laku

yang bercorak lebih rasional dan konstruktif. Kelebihan dari teknik yang dikembangkan

oleh Frederick Thorne yaitu karena menerapkan dan memadukan berbagai pendekatan,

menggunakan variasi dalam prosedur dan teknik sehingga dapat melayani klien sesuai

dengan kebutuhannya dan sesuai dengan ciri khas masalah yang dihadapi klien. Serta

kekurangan dari teknik pendekatan ini adalah klien merasa binggung jika konselor

merubah strategi konseling sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan saat konseling,

maka konselor dituntut untuk menguasai semua pendekatan sehingga mengerti kapan

harus menerapkan pendekatan-pendekatan tersebut.

6. Prinsip-prinsip Voluntary Counseling and Testing

Prinsip-prinsip dalam konseling harus berkenaan dengan sasaran pelayanan,

masalah individu, tujuan dan proses penanganan masalah, program pelayanan dan

pelaksanaan pelayanan. Sedangan prinsip dasar dalam voluntary counseling and testing

ada 4, yaitu rahasia, sukarela, konseling dan persetujuan.

Rahasia. Hasil pemeriksaan hanya boleh diketahui oleh yang bersangkutan dan

konselor yang menanganinya. Boleh dibukakan statusnya kepada orang lain dengan

melalui persetujuan dari yang bersangkutan atau yang bersangkutan menyampaikan

sendiri.

Sukarela. Untuk tes HIV sifatnya sukarela (voluntary), tidak ada paksaan dari

konselor. Konselor hanya mengajaknya secara persuasive, terutama bagi klien yang

memiliki risiko tinggi untuk terpapar HIV.

Konseling. Mempelajari pengalaman-pengalaman hidup klien, dalam mengatasi

permasalahan yang dapat menimbulkan stres atau depresi pada dirinya. Mempelajari
latar belakang perilaku berisiko klien termasuk diantaranya kemungkinan-kemungkinan

melukai diri sendiri atau melukai orang lain, seandainya hasilnya positif. Menilai

pemahaman klien mengenai HIV/AIDS, konseling, keuntungan-keuntungannya

melakukan VCT.

Persetujuan. Klien harus mengisi formulir persetujuan untuk melakukan tes

(inform concent) yang kemudian akan ditandatangani oleh klien dan konselor. Namun

selain prinsip dasar tersebut prinsip-prinsip yang lainnya adalah empati, mendengarkan,

memberikan informasi yang tepat dan alih tangan. Prinsip-prinsip konseling lain juga

berkenaan dengan sasaran pelayanan, masalah individu, program layanan, pelaksanaan

layanan, tujuan dan proses penanganan masalah.

7. Indikator Keberhasilan Voluntary Counseling and Testing

Suatu layanan ada pasti untuk mencapai suatu keberhasilan dengan terwujudnya

tujuan dari sebuah layanan tersebut. Voluntary counseling and testing ada pun juga

untuk mencapai keberhasilan dengan terwujudnya tujuan. Keberhasilan layanan

voluntary counseling and testing ditentukan oleh konselor dan klien. Konselor harus

profesional dan berkompeten, minimal menguasi keterampilan konseling dan

komunikasi, agar layanan voluntary counseling and testing dikatakan berhasil. Klien

juga berpengaruh dalam keberhasilan layanan voluntary counseling and testing, untuk

mencapai keberhasilan klien dipengaruhi oleh kepribadian klien, harapan klien,

pengalaman dan pendidikan klien. Hal tersebut meliputi sikap, emosi, intelektual,

motivasi, usaha mencari informasi untuk memecahkan masalahya merupakan faktor

yang mempengaruhi keberhasilan konseling. Voluntary counseling and testing dikatakan

berhasil jika ada perubahan positif pada klien setelah melakukan konseling baik
perubahan pada diri sendiri, perilaku, pemahaman, maupun kondisi psikologisnya.

Contoh nyatanya seperti adanya perubahan pemahaman tentang pengetahuan VCT serta

HIV/AIDS, adanya perubahan pola hidup yang baik seperti patuh minum obat, adanya

perubahan psikologis yang lebih baik, tenang, tidak khawatir dan klien ikut serta dalam

pencegahan HIV/AIDS.

C. Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM)

1. Definisi

Metadon adalah opiat (narkotik) sintetis yang kuat seperti heroin (putaw) atau

morfin, tetapi tidak menimbulkan efek sedatif yang kuat. Metadon biasanya disediakan

pada Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM), yaitu program yang mengalihkan

pengguna heroin pada obat lain yang lebih aman. Metadon bukan penyembuh untuk

ketergantungan opiat: selama memakai metadon, penggunanya tetap tergantung pada

opiate secara fisik. Tetapi metadon menawarkan kesempatan pada penggunanya untuk

mengubah hidupnya menjadi lebih stabil dan mengurangi risiko terkait dengan

penggunaan narkoba suntikan, dan juga mengurangi kejahatan yang sering terkait

dengan kecanduan. Dan karena diminum, penggunaan metadon mengurangi

penggunaan jarum suntik bergantian, perilaku yang sangat berisiko penularan HIV dan

virus lain.

PTRM sering mempunyai dua tujuan pilihan. Tujuan pertama adalah untuk

membantu pengguna berhenti penggunaan heroin, diganti dengan takaran metadon yang

dikurangi tahapdemi - tahap selama jangka waktu tertentu. Tujuan kedua adalah untuk

mengurangi beberapa dampak buruk akibat penggunaan heroin secara suntikan. Pilihan

ini menyediakan terapi rumatan, yang memberikan metadon pada pengguna secara
terus-menerus dengan takaran yang disesuaikan agar pengguna tidak mengalami gejala

putus zat (sakaw) atau sedasi.

2. Cara Terapi Metadon

Metadon biasanya diberikan pada klien program dalam bentuk cairan (larutan

sirop) yang diminum di bawah pengawasan di PTRM setiap hari. Setiap klien

membutuhkan takaran yang berbeda, akibat perbedaan metabolisme, berat badan dan

toleransi terhadap opiat. Beberapa waktu dibutuhkan untuk menentukan takaran

metadon yang tepat untuk setiap klien. Pada awalnya, klien harus diamati setiap hari

dan reaksi terhadap dosisnya dinilai. Jika klien menunjukkan tanda atau gejala putus

zat, takaran harus ditingkatkan. Umumnya program mulai dengan takaran 20mg

metadon dan kemudian ditingkatkan 5-10mg per hari. Biasanya klien bertahan dalam

terapi dan mampu menghentikan penggunaan heroin dengan takaran metadon sedang

hingga tinggi (60-100mg).

3. Kriteria Pasien Terapi Metadon

Pelayanan PTRM hanya diberikan pada pasien ketergantungan opioida yang

memenuhi kriteria tertentu, yaitu:

a. memenuhi kriteria Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di

Indonesia III (PPDGJ III) untuk ketergantungan opioid

b. berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun

c. dapat datang ke unit layanan setiap hari hingga mencapai dosis stabil

d. dapat datang secara teratur ke unit layanan sebagaimana jadwal yang ditetapkan tim

PTRM berdasarkan kondisi klinis pasien setelah dosis stabil tercapai


e. tidak mengalami gangguan fisik dan mental berat yang mengganggu kehadiran ke

unit layanan dan/atau mengganggu tingkat kepatuhan terapi

Pelayanan PTRM dapat diberikan pada pasien dengan kondisi khusus yaitu

pasien hamil, pasien HIV/AIDS, pasien diagnosis ganda, pasien dengan keluhan nyeri,

dan pasien pasca lembaga pemasyarakatan, dimana pasien tersebut juga harus

memenuhi kriteria-kriteria di tersebut.

4. Prosedur Mengikuti Program Terapi Metadon

Setiap pasien yang mengikuti PTRM diberikan kartu pasien yang dibuat sesuai

dengan format sebagaimana tercantum dalam Formulir 3 (terlampir). Kartu pasien

tersebut berlaku juga sebagai kartu lapor diri terkait mekanisme wajib lapor selama

penerbitan kartu yang tersentralisasi belum berjalan. Kartu pasien berlaku selama 1

(satu) tahun dan dapat diperpanjang serta tidak dapat dipindahtangankan. Kartu pasien

tersebut dinyatakan tidak berlaku apabila pasien keluar dari PTRM baik secara

terencana maupun tidak terencana dan/atau kartu hilang. Apabila pasien masuk kembali

dalam PTRM sebelum masa berlaku kartu habis, maka kartu yang sebelumnya tidak

berlaku tersebut dinyatakan berlaku lagi sampai habis masa berlakunya, dan apabila

kartu hilang sebagaimana maka dapat diberikan kartu pasien baru.

5. Cara Kerja Metadon

Metadona merupakan suatu agonis sintetik opioid yang kuat dan diserap dengan

baik secara oral dengan daya kerja jangka panjang, digunakan secara oral di bawah

supervisi dokter dan digunakan untuk terapi bagi pengguna opiat. Metadona bekerja

pada reseptor mu (μ) secara agonis penuh (full agonist), dengan efek puncak 1 hingga 2

jam setelah diminum.


Paruh waktu Metadona pada umumnya adalah sekitar 24 (dua puluh empat) jam.

Penggunaan secara berkesinambungan akan diakumulasi pada berbagai bagian tubuh,

namun khususnya pada hati. Proses akumulasi ini sebagian menjadi alasan mengapa

toleransi atas penggunaan Metadona berjalan lebih lambat daripada penggunaan morfin

atau heroin. Efek analgesik dirasakan dalam 30 (tiga puluh) hingga 60 (enam puluh)

menit setelah diminum dan terjadi konsentrasi puncak di otak dalam waktu 1 (satu)

hingga 2 (dua) jam setelah diminum, hal ini membuat konsumsi Metadona tidak segera

menimbulkan perasaan euforia sebagaimana heroin/morfin. Metadona dilepas dari

lokasi ikatan ekstra vaskular ke plasma secara perlahan, sehingga penghentian

penggunaan Metadona secara mendadak tidak langsung menghasilkan gejala putus zat.

Gejala putus zat baru akan dirasakan setelah beberapa waktu kemudian dan

dialami beberapa hari lebih lama daripada gejala putus zat heroin. Penelitian

menunjukkan bahwa efek samping Metadona adalah sedasi, konstipasi, berkeringat,

kadang-kadang adanya pembesaran (oedema) persendian pada perempuan dan

perubahan libido pada laki-laki dan juga perempuan, yang dapat diatasi dengan

medikasi simtomatik. Efek samping yang umumnya dirasakan dalam waktu lama

adalah konstipasi, berkeringat secara berlebihan dan keluhan berkurangnya libido dan

disfungsi seksual. Namun demikian efek samping ini dilaporkan semakin dapat diatasi

seiring dengan retensi pasien berada dalam program.

6. Prosedur Masuk Kedalam Program Terapi Metadon


Cara untuk masuk kedalam program PTRM adalah harus melewati tahap

penerimaan dan melakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Skrining atas kriteria inklusi calon pasien

b. Pemberian informasi mengenai PTRM, dengan menggunakan contoh sebagaimana

tercantum dalam Formulir 9 (terlampir) dan penjelasan bahwa dengan mengikuti

PTRM berarti calon pasien juga dianggap telah melakukan lapor diri sebagaimana

dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Wajib Lapor

Pecandu Narkotika.

c. Asesmen dan penyusunan rencana terapi yang menggunakan formulir dan prosedur

sebagaimana yang tertera pada tata cara penyelenggaraan wajib lapor yang berlaku

d. Penjelasan tentang pentingnya keterlibatan keluarga atau wali dalam PTRM agar

dapat diperoleh hasil yang optimal

Pengambilan keputusan apakah calon pasien dapat diterima sebagai pasien

PTRM atau dirujuk pada modalitas terapi lain yang lebih sesuai dengan kondisi calon

pasien berdasarkan proses asesmen.

7. Waktu Pasien Dalam Kontrol ke Dokter

Pasien kontrol ke dokter setiap hari setelah minum dosis pertama untuk

diobservasi terutama untuk tanda-tanda intoksikasi dalam tiga hari pertama. Jika terjadi

gejala intoksikasi, dokter harus menilai lebih dulu dosis berikut yang akan digunakan.

Dalam bulan pertama terapi, dokter melakukan evaluasi ulang pada pasien minimal satu

kali seminggu. Selanjutnya, dokter melakukan evaluasi ulang pada pasien minimal
setiap bulan. Pada penambahan dosis, selalu harus didahului dengan evaluasi ulang

pada pasien oleh dokter.

8. Dosis Program Metadon

Dalam pemberian terapi metadon, pemberian dosis dibagi dalam 3 tahap yang

berbeda yaitu :

a. Tahap inisiasi

Dosis awal yang dianjurkan adalah 20-30 mg untuk tiga hari pertama. Kematian

sering terjadi bila menggunakan dosis awal yang melebihi 40 mg. Pasien harus

diobservasi 45 menit setelah pemberian dosis awal untuk memantau tanda-tanda

toksisitas atau gejala putus obat. Jika terdapat intoksikasi atau gejala putus obat berat

maka dosis akan dimodifikasi sesuai dengan keadaan.

Estimasi yang terlalu tinggi tentang toleransi pasien terhadap opiate dapat

membawa pasien kepada risiko toksik akibat dosis tunggal, serta kemungkinan pasien

dalam keadaan toksik akibat akumulasi Metadona karena waktu paruhnya yang panjang.

Estimasi toleransi pasien terhadap Metadona yang terlalu rendah menyebabkan risiko

pasien untuk menggunakan opiat yang ilegal bertambah besar akibat kadar Metadona

dalam darah kurang, dan akan memperpanjang gejala putus zat maupun periode

stabilisasi.

b. Tahap Stabilisasi

1) Tahap ini bertujuan untuk menaikkan dosis secara perlahan sehingga memasuki

tahap rumatan. Pada tahap ini risiko intoksikasi dan overdosis cukup tinggi pada 10-

14 hari pertama.
2) Dosis yang dianjurkan dalam tahap ini adalah menaikkan dosis awal 5-10 mg tiap 3-

5 hari. Hal ini bertujuan untuk melihat efek dari dosis yang sedang diberikan. Total

kenaikan dosis tiap minggu tidak boleh lebih 30 mg. Apabila pasien masih

menggunakan heroin maka dosis Metadona perlu ditingkatkan.

3) Kadar Metadona dalam darah akan terus meningkat selama 5 hari setelah dosis awal

atau penambahan dosis. Waktu paruh Metadona cukup panjang yaitu 24 jam,

sehingga bila dilakukan penambahan dosis setiap hari akan meningkatkan risiko

toksisitas akibat akumulasi dosis. Karena itu, penambahan dosis dilakukan setiap 3-

5 hari.

4) Sangat penting untuk diingat bahwa tak ada hubungan yang jelas antara besarnya

jumlah dosis opiat yang dikonsumsi seorang pengguna opiat dengan dosis

Metadona yang dibutuhkannya pada PTRM.

5) Selama minggu pertama tahap stabilisasi pasien harus datang setiap hari di klinik

atau jika perlu dirawat di rumah sakit untuk diamati secara cermat oleh profesional

medis terhadap efek Metadona (untuk memperkecil kemungkinan terjadinya

overdosis dan penilaian selanjutnya).

Pada tahap ini dapat dilakukan penambahan dosis apabila keadaan pasien

memenuhi kriteria sebagai berikut:

1) adanya tanda dan gejala putus opiat yang diukur melalui skala putus opiat obyektif

dan subyektif, dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir

10 (terlampir)

2) jumlah dan/atau frekuensi penggunaan opiat tidak berkurang; dan

3) craving tetap masih ada.


c. Tahap Rumatan

Dosis rumatan rata-rata adalah 60-120 mg per hari. Dosis rumatan harus

dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur tergantung dari keadaan pasien.

Selain itu banyak pengaruh sosial lainnya yang menjadi pertimbangan penyesuaian

dosis. Fase ini dapat berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku stabil, baik dalam

bidang pekerjaan, emosi maupun kehidupan sosial.

9. Efek Samping Terapi Metadon

Walaupun metadon biasanya ditoleransi dengan baik, kadang kala klien

mengalami efek samping:

 Mual

 muntah: 10-15% mengalami efek samping ini, yang biasanya hilang setelah

beberapa hari

 sembelit: seperti opiat lain, gizi dan olahraga dapat membantu

 keringat: dapat muncul sebagai efek samping, atau karena takaran metadon tidak

sesuai

 amenore: masa haid terlambat, atau kadang kala lebih teratur

 libido: penurunan pada gairah seksual

 kelelahan: dapat dikurangi dengan mengurangi takaran

 gigi busuk: disebabkan oleh sirop dan mulut kering

Penggunaan metadon tidak berisiko pada hati. Informasi mengenai efek samping

yang mungkin akan muncul harus diberikan pada klien.


10. Interaksi Terapi Metadon dengan Obat Lain

Metadon dapat berinteraksi dengan obat lain atau suplemen yang dipakai

bersamaan. Metadon tidak berpengaruh pada tingkat obat antiretroviral (ARV) atau obat

TB dalam darah, kecuali ddI versi dapar (buffered) dan AZT (LI 411). Bila ada klien

metadon yang memakai ddI, mungkin takaran ddI harus dinaikkan atau sebaiknya ddI

versi dapar diganti dengan ddI EC (bila tersedia). Bila dipakai AZT (atau pil kombinasi

yang mengandung AZT, mis. Duviral), mungkin efek samping AZT timbul kembali.

Karena efek samping ini dapat serupa dengan sakaw, harus hati-hati membedakannya.

Hal serupa terjadi setelah mulai terapi untuk hepatitis C. Sebaliknya, beberapa obat

dapat berpengaruh pada efek metadon. Jadi petugas PTRM seharusnya selalu memantau

penggunaan obat lain oleh kliennya, terutama bila mulai atau berhenti terapi TB. Bila

setelah mulai atau berhenti penggunaan obat lain klien mengalami sakaw atau sedasi,

takaran metadon harus disesuaikan. Interaksi yang terjadi kadang kala berbedadengan

yang tercantum dalam tabel. Pastikan dokter atau petugas PTRM tahu bila kita mulai

atau berhenti penggunaan obat, suplemen atau jamu apa pun.


BAB III

PEMBAHASAN

Dengan berjalannya waktu perkembangan HIV/AIDS semakin meningkat untuk

membantu perubahan perilaku sehingga risiko tertular HIV menurun, maka pemerintah

membuka layanan voluntary counseling and testing. Voluntary counseling and testing

terdiri dari tiga tahap, yaitu pertama, Konseling Pra Testing. Konseling Pra Testing,

yaitu konseling yang dilakukan sebelum seseorang melakukan tes HIV yang bertujuan

untuk membantu klien dalam membuat keputusan yang baik tentang apakah akan

menjalani tes HIV atau tidak, dengan sebelumnya memberikan informasi tentang tes

HIV dan HIV/AIDS. Dalam tahap pertama ini dimulai dengan menerima klien,

membangun rapport, eksplorasi, pemahaman, perencanaan tindakan dan membuat

keputusan. Kedua adalah tes HIV. Tes HIV, yaitu proses pengambilan darah untuk

mengetahui apakah positif HIV atau negatif HIV, sebelum klien tes HIV mengisi surat

pernyataan dan persetujuan (informed consent). Ketiga adalah konseling pasca testing.

Konseling pasca testing, yaitu konseling yang dilakukan setelah klien melakukan tes

HIV yang bertujuan untuk membacakan hasil tes, membantu klien memahami dan

menyesuaikan diri dengan hasil tes, baik itu hasilnya positif atau negatif serta

memberikan informasi dan penguatan kepada klien. Dalam tahap ini sebelum dibacakan

hasil, klien dibantu untuk membuat rencana tentang hasil yang akan diterima. Proses

pelaksanaan tahap konseling pasca testing tergantung dengan hasil tes.

Penyalahgunaan narkotika di Indonesia semakin hari semakin marak. Dengan

maraknya penyalahgunaan narkotika tersebut maka dampak buruknya pun semakin


meluas. Salah satu dampak buruk dari penyalahgunna narkotika khususnya narkotika

suntik adalah penyebaran HIV/AIDS dikalangan pengguna maupun yang bukan

pengguna seperti istri/suami/pasangan dan anak si pengguna. Seperti yang kita telah

ketahui penyakit HIV/AIDS masih merupakan ancaman global dan belum ditemukan

pengobatan yang memuaskan. Sehingga sangatlah penting untuk mencegah

penularannya. Salah satu upaya untuk mencegah penularan HIV/AIDS terutama dari

kalangan pengguna narkotika suntik (penasun) adalah dengan program harm reduction

atau program pengurangan dampak buruk akibat penggunaan narkotika suntik. Terdapat

12 langkah penanggulangan dan salah satunya adalah terapi substitusi dengan pemberian

metadon.

Metadon mengurangi risiko penularan HIV di antara orang yang menyuntikkan

napza. Terdapat bukti, baik yang menunjukkan bahwa terapi substitusi opiat

mengurangi mortalitas, morbiditas dan beberapa risiko perilaku menyuntik di antara

orang yang menyuntikkan napza. Namun, sampai sekarang tidak ada estimasi

kuantitatif dari dampak terapi substitusi opiat yang terkait dengan penularan HIV.

Terdapat studi baru yang menunjukkan hubungan antara terapi metadon dan

pengurangan risiko penularan HIV.

Hasil ini penting karena terdapat peningkatan insidensi HIV yang dilaporkan di

antara orang yang menyuntikkan napza di beberapa negara dalam beberapa tahun ini.

Negara-negara tersebut tidak melegalkan atau sangat membatasi terapi substitusi opiat.

Penggunaan napza suntikan adalah faktor risiko utama dari penularan HIV dan

AIDS. Diperkirakan bahwa sekitar 5%-10% dari infeksi HIV di seluruh dunia

disebabkan oleh penggunaan napza suntikan. Metadon dan buprenorfin adalah obat
yang biasanya diresepkan untuk pada pecandu dan sering diresepkan sebagai terapi

substitusi opiat.

Terapi substitusi metadon terkait dengan pengurangan risiko infeksi HIV sebesar

54% di antara para pengguna napza suntikan. Terdapat perbedaan di antara studi,

termasuk perbedaan tingkat latar belakang infeksi HIV dan hal ini membuat para

peneliti tidak bisa menghitung “pengurangan risiko mutlak” dari infeksi HIV. Dan tidak

semua studi melaporkan penyesuaian intervensi untuk memperhitungkan faktor lain

yang dapat memengaruhi hubungan antara terapi substitusi opiat dan infeksi HIV.

Namun dampak dari terapi substitusi opiat terhadap HIV adalah kuat dan konsisten.
BAB IV
KESIMPULAN

Voluntary Counseling and Testing (VCT) dengan HIV/AIDS serta Program

Terapi Rumatan Metadon (PTRM) mempunyai hubungan yang kuat satu sama lain,

dimana pemerintah membuka layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)

bertujuan untuk membantu perubahan perilaku, mencegah penularan HIV,

meningkatkan kualitas hidup ODHA, serta untuk sosialisasi dan mempromosikan

layanan dini sehingga risiko tertular HIV menjadi menurun. Sedangkan Program Terapi

Rumatan Metadon (PTRM) mempunyai andil yang juga besar dalam menurunkan resiko

tertularnya HIV. Dimana dengan dilakukannya terapi substitusi metadon dapat

menurunkan risiko infeksi HIV sebesar 54% di antara para pengguna napza suntikan.

Jadi, baik itu Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan Program Terapi Rumatan

Metadon (PTRM) mempunyai tujuan yang sama untuk menurunkan resiko infeksi atau

tertularnya HIV.
DAFTAR PUSTAKA

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 57 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program
Terapi Rumatan Metadona. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pedoman Nasional Tatalaksana


Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa dan Remaja.
Kementerian Kesehatan RI. Jakrta.

Diah Astuti. 2016. Voluntary Counseling and Testing untuk Orang Berisiko HIV/AIDS.
ejournal.iain-surakarta. Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai