Anda di halaman 1dari 8

Nama : Erkwan Martinus / 190510026

Semester/Kelas : II/A
Mata Kuliah : Logika dan Bahasa
Dosen : Anton Moa, Lic. Th.

BAB I LOGIKA DAN BAHASA


(Sejarah Logika dan Defenisi Bahasa)

Pengantar
Manusia berpikir untuk menemukan pengetahuan yang benar, sedang kebenaran
itu sendiri tidaklah persis sama bagi setiap individu. Maka, setiap jalan pikiran manusia
mempunyai kriteria kebenaran, yang berfungsi sebagai fundamen proses penemuan
kebenaran tersebut, dan setiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya
masing-masing.Aktivitas berpikir, sebagai penalaran manusia memiliki ciri utama
sebagai suatu pola berpikir yang secara luas disebut logika.1
Dalam realita dirasakan dengan jelas antara bahasa dan pikiran. Pikiran
berfungsi melalui dan di dalam bahasa. Bahkan di dalam banyak peristiwa dapati
dimaknai sebagai benar ungkapan: ada (sein) yang dapat dipahami sebagai bahasa.
Hanya sejauh dibahasakan atau “terbahasakan” sesuatu dapat ditangkap dimengerti.
Bahasa adalah keterbukaan manusia terhadap realitas.2
Logika berasal dari bahasa Yunani, dari kata sifat ‘Logike’ yang berhubungan
dengan kata benda ‘logos’ yang berarti perkataan atau kata sebagai manisfestasi
sebagai pikiran manusia. Dengan demikian terdapatlah suatu jalinan yang kuat antara
pikiran dan kata yang dimanisfestasikan dalam bahasa. Secara etimologis dapatlah
diartikan bahwa logika itu adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan
dalam bahasa.3
Bahasa sebagai alat bernalar dan tanda untuk mengungkapkan isi pikiran
memiliki keterbatasan. Kesulitan itu sering kita alami ketika sedang berpikir. Kita
sering tidak dapat memecahkan persoalan yang sedang berpikir. Kita sering tidak dapat
memecahkan persoalan yang sedang kita pikirkan karena tidak dapat menemukan

1
Drs. H. Burhanuddin Salam, Logika Formal: Filasafat Berpikir (Jakarta: Bina Aksara, 1988),
hlm. 1.
2
Drs. W. Poespoprodjo, L. Ph., S.S., Logika Sientifika ( Bandung: Remadja Karya CV, 1985),
hlm. 64.
3
Drs. H. Burhanuddin Salam, Logika… , hlm. 1

1
Bahasa yang tepat untuk mengemukakannya. Demikian pula, ketika kita tidak dapat
mengungkapkan sesuatu dengan jelas dan tidak dapat dipahami orang lain, penyebabnya
ialah karena kita tidak menemukan Bahasa yang tepat untuk mengungkapkannya. Oleh
karena itu, Bahasa bagi logika harus tetap terbuka untuk disempurnakan.4
Maka dari itu, tim penulis mencoba membahas relasi Bahasa dan Logika di
dalam makalah ini.

Definisi Bahasa 5
Dalam pengertian umum, Bahasa dipahami sebagai sebuah komunikasi atau alat
untuk berkomunikasi, sehingga kata ‘bahasa’ sering kali dipergunakan dalam berbagai
ungkapan seseharian dengan berbagai makna atau bahkan menjadi sebuah istilah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Bahasa diartikan sebagai sistem lambing
bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh naggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengindetifikasikan diri. Sementara dalam Kamus Oxford, Bahasa
diartika sebagai “The system of communication in speech and writing that is used by
people of a particular country”. Artinya Bahasa merupakan sebuah sistem Komunikasi
lisan dan tulisan yang digunakan manusia pada masing-masing negara.

Adapun definisi bahasa menurut beberapa ahli:


 Mario Pei (1971)
Bahasa adalah sebuah sistem dari komunikasi dengan bunyi yang dioperasikan
melalui organ bicara dan pendengaran di antara anggota komunitas dan menggunakan
lambang bunyi yang bersifat arbiter, serta mempunyai kesepakatan makna.

 Bloomfield (1976)
Bahasa adalah sistem arbitrary dari lambang bunyi yang memungkinkan semua
manusia membangun budaya atau mempelajari sistem dari budaya atau mempelajari
sistem dari budaya untuk berkomunikasi atau berinteraksi.

 Jack Ricard (1995)


Bahasa adalah sistem komunikasi manusia dari struktur penyusunan bunyi
dengan membawa ekspresi kepada unit yang lebih besar yaitu makna.

4
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 16.
5
Yendra. Mengenal ilmu bahasa: Linguistik (Yogyakarta: Deepublish, 2018). hlm. 2-4

2
 Webster dalam Agnes (2001)
Bahasa adalah alat sistematis untuk menyampaikan sebuah gagasan atau
perasaan dengan memakai tanda-tanda, bunyi, gesture, atau tanda yang disepakati yang
mengandung makna yang dapat dipahami

 Kridalaksana (2001)
Bahasa adalah sistem lambnag bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh
anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi.

Sejarah Logika6
1. Dunia Yunani tua
Berdasarkan kisah sejarahnya, istilah logika pertama kali digunakan oleh Zeno
dari Citium (± 340-265) yang merupakan seorang tokoh Stoa. Namun demikian akar
logika sudah terdapat dalam pikiran dialektis para filsuf mazhab Elea. Gorgias (± 483 –
375) dari Lionti (Sicilia), mempersoalkan masalah pikiran dan bahasa, masalah
penggunaan bahasa dalam kegiatan pemikiran. Dapatkah ungkapan mengatakan
setepatnya apa yang ditangkap pikiran?
Sokrates (470-399) dengan metode Sokratesnya, yakni ironi dan maieutika, de
facto mengembangkan metode induktif yang di dalamnya dikumpulkan contoh dan
peristiwa kongkret untuk kemudian dicari ciri umumnya. Oleh Plato, nama aslinya
Aristokles (428-347), metode Sokrates tersebut diumumkan sehingga menjadi teori
idea, yakni teori Dinge an sich versi Plato.Menurut Plato, idea adalah bentuk mulajadi
atau model yang bersifat umum dan sempurna yang disebut prototypa, sedangkan benda
individual duniawi hanya merupakan bentuk tiruan yang tidak sempurna, disebut
ectypa. Gagasan Plato ini banyak memberikan dasar pada perkembangan logika,
khususnya yang berhubungan dengan masalah ideogenesis, dan masalah penggunaan
bahasa dalam pemikiran. Sedangkan oleh Aristoteles, logika dikembangkan menjadi
teori tentang ilmu, yang sering disebut sebagai logike episteme (logika ilmiah).
Karya Aristoteles tentang logika, yang kelak diberi nama To Organon oleh
muridnya yang bernama Andronikos dan Rhodos, mencakup:
i. Kategoriai (mengenai logika istilah dan predikasi

6
Bdk. Drs. W. Poespoprodjo, L. Ph., S.S., Logika Sientifika ( Bandung: Remadja Karya CV,
1985), hlm. 28-48.

3
ii. Peri Hermeneias (tentang logika proposisi)
iii. Analytica Protera (tentang silogisme dan pemikiran)
iv. Analytica Hystera (tentang pembuktian)
v. Topica (tentang metode berdebat)
vi. Peri Sophistikoon Elegchoon (tentang kesalahan berpikir)

Hingga kini kebanyakan penulis jika berbicara tentang logika, masih mengikuti
pola To Organon: 1) tentang idea, 2) Tentang keputusan, 3) Tentang proses pemikiran.
Sesudah Aristoteles, dan kaum Stoa mengembangkan teori logika dengan menggarap
masalah bentuk argumen disyungtif dan hipotesis serta beberapa segi masalah bahasa.
Chrysippus yang Stoa mengembangkan logika proposisi dan mengajukan bentuk-bentuk
berpikir yang sistematis. Galenus, Alexander Aphrodisiens, dan Sextus Empiricus
mengadakan sistematisasi logika dengan mengikuti cara geometri, yakni metode ilmu
ukur.

2. Dunia Abad Pertengahan


Hingga tahun 1141, penggarapan logika hanya berkisar pada karya Aristoteles
yang berjudul Kategoriai dan Peri Hermeneias. Karya tersebut ditambah dengan karya
Porphyrios yang bernama Eisagogen dan traktat Boethius yang mencakup masalah
pembagia, masalah metode debat, silogisme kategoris dan hipotesis. Kemudian, setelah
tahun 1141, di dalam logika ini ditunjuk pentingnya pendalaman tentang suposisi untuk
menerangkan kesesatan logis, dan tekanan terletak pada ciri-ciri term sebagai simbol
tata bahasa dari konsep-konsep seperti yang misalnya terdapat di dalam karya Petrus
Hispanus, William dari Ockham. Thomas Aquinas dkk, mengusahakan sistematisasi
dan mengajukan komentar-komentar dalam usaha mengembangkan logika yang telah
ada.
Abad XIII – XV berkembnaglah logika menjadi logika modern. Tokohnya
adalah Petrus Hispanus, Roger Bacon, W. Ockham dan Raymond Lullus yang
menemukan logika baru yang disebutnya Ars Magna, yakni semacam aljabar pengertian
dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran-kebenaran tertinggi.

4
3. Dunia Modern
Thomas Hobbes (1588-1679) dalam karyanya Leviathan (1651) dan John Locke
(1632 -1704) dalam karyanya yang bernama Essay Concerning Human Understanding
(1960), meskipun mengikuti tradisi Aristoteles, tetapi doktrin-doktrinnya sangat
dikuasai paham nominalisme. Pemikiran dipandang sebagai suatu proses manipulasi
tanda-tanda verbal dan mirip operasi-operasi dalam matematika. Kedua tokoh ini
memberikan suatu interprestasi tentang kedudukan bahasa di dalam pengalaman.
Logika Aristoteles yang rancangan utamanya bersifat deduktif silogistis dan
menunjukkan ada tanda-tanda induktif, berhadapan dengan dua bentuk metode pikiran
lainnya, yakni logika fisika induktif murni sebagaimana terpapar dalam karya Francis
Bacon, Nocum Organum serta logika matematika deduktif murni sebagaimana terurai di
dalam karya Rene Descartes, Discours de la Methode.
Golttfried Wilhelm Leibniz (1646-1716), dengan rencana calculus universalnya,
menurut kenyataannya mendasari munculnya logika simbolis. Tujuannya adalag untuk
menyederhanakan kerja jiwa dan untuk lebih dapat memperoleh kepastian.
Immanuel Kant (1724-1804) memunculkan konsepsi logika transendental (die
transzendentale Logik) sebagaimana terdapat dalam karyanya Kritik der Reinen
Vernunft (1787). Disebut logika karena membicarakan bentuk-bentuk pikiran pada
umumnya disebut transendental karena melintasi batas pengalaman.
John Stuart Milll (1806-1873), lewat karyanya System of Logic, berharap dan
berkeyakinan bahwa jasa metodenya bagi logika induktif sama besarnya dengan jasa
Aristoteles bagi logika deduktif. Menurutnya, pemikiran silogistis selalu mencakup
suatu lingkaran setan (petitio), kesimpulan sudah terkandung di dalam premis,
sedangkan premis itu sendiri akhirnya bertumpu pada induksi empiris.
Tetapi teori logika matematika menemukan penggarapnya yang serius lebih-
lebih pada diri G. Frege (1848-1925) lewat karyanya Begriffschrift. Bretrand Russel
terpengaruh oleh gagasannya.
Henry Newman juga memberikan banyak jasa pada pemikiran tentang logika.
Dalam karyanya Essay in Aid of a Grammar of Assent (1870), ia mengadakan analisis
fenomenologis yang tajam tentang pikiran manusia. Menurut Newman, logic of
language harus dilengkapi dengan logic of thought. Dalam pemikiran ini seluruh
manusia berniat. Tidak hanya akal, tetapi juga imajinasinya, rasanya dan karsanya.

5
4. Dunia Sezaman
Dalam karya J. N. Keynes, Studies and Exercises in Formal Logic (1884), dapat
ditemukan kembali tradisi Aristoteles. Juga sudah disentuhnya hal-hal yang ada
sangkut-pautnya dengan logika simbolis, meskipun belum ada penggarapan simbol
teknis.
H.W.B. Joseph (1867-1943) dalam karyanya Introduction to Logic (1906)
mengembangkan masalah esensialia dari subjek. Sedangkan Peter Coffey dalam
karyanya Science of Logic (1918) menggarap prosedur deduktif dan induktif dan
kaitannya dengan metode ilmiah.
Karya Logik dari Hegel (1770-1831) merupakan kelanjutan dari tesis Kant yang
berbunyi bahwa pengalaman untuk dapat diketahui haruslah sesuai dengan struktur
pikiran. Hegel memandang tertib pikiran identik dengan tertib realitas. Logika dan
ontologi merupakan satu kesatuan. Akibatnya apa yang disebut logika adalah
metafisika.
F. H. Bradley (1846-1924), melalui karyanya Principle of Logic, merumuskan
teorinya keputusan sebagai unit dasar struktur pikiran. Terdapat pengaruh Hegel, tetapi
Bradley berusaha memusatkan perhatian hanya pada logika saja.
B. Bosanquet (1848-1927) dengan karyanya Logic sampai pada perumusan teori
koherensi kebenaran.
Logika merupakan sekadar peristiwa psikologis dan epistemologis, begitu
pendapat W. Wundt (1832-1920). Sednagkan John Dewey dalam karyanya Studies in
Logical Theory (1903) memandang logika sebagai metodologi. Ia mengungkapkan lima
hal yang tercakup dalam suatu proses pikiran: sadar masalah (sense of a problem),
penjernihan pokok masalah, survey atas kemungkinan-kemungkinan, mendeduksi
konsekuensi-konsekuensi suatu hipotesis dan verifikasi lewat pengalaman.
J.M. Baldwin (1861-1934) dalam karyanya Thought and Things: A Genetic
Theory of Reality berbicara tentang interpretasi evolusioner pertumbuhan proses
berpikir dan posisinya dalam perkembangan biologis.
J. H. Lambert (1728-1777) menggunakan simbol matematis untuk
mengungkapkan proses logis.
Augustus De Morgan (1806-1871) melanjutkan teori-teori yang sudah ada, dan
menciptakan bentuk-bentuk baru dalam karyanya Formal Logic (1847). Ia juga

6
memperkenalkan konsep universe of discourse, transivity hubungan ancestor dan
descendant. Tetapi ia dikenal karena dalil rangkapnya: negatifnya suatu hasil adalah
jumlah negatif faktor-faktor.
Sebagai seorang matematikus, George Boole (1815-1864) lewat bukunya
Mathematical Analysis of Logic dan Laws of Thought mengandikan logika pada
matematika. Minatnya lebih-lebih diarahkan kepada teori probabilitas.
Logika hubungan berkembang berkat karya Charles Peirce (1839-1914).
Sedangkan John Venn (1834-1883) mengajukan cara-cara penyelesaian masalah yang
tidak dapat ditangani oleh bentuk-bentuk silogisme. Ia juga menambahkan lingkaran
keempat dalam mengungkapkan hubungan kelompok.
Ny. Christine Ladd Franklin (1847-1930), lewat suatu tulisannya, menyarankan
suatu ‘antilogisme’ untuk menguji validitas silogisme. Antilogismenya terdiri dari suatu
tiga serangkai proposisi: suatu proposisi particular dan uda proposisi universal. Jika dua
proposisi betul, maka yang ketiga salah.

5. Di Indonesia
Studi dan penguasaan logika dipandang sebagai sokoguru Pendidikan
intelektual, yang merupakan asasi dari Pendidikan manusia seutuhnya. Tetapi terdapat
juga mereka yang a priori menolak segala sesuatunya, termasuk logika, yang secara
historis tidak berasal dari bumi Nusantara ini meskipun ditinjau secara objektif maupun
secara antropologis-universal mempunyai nilai universal-hakiki dan penting bagi
manusia umumnya dan manusia Indonesia khususnya.
Logika lebih merupakan achievement, pencapaian daripada warisan. Di bawah
struktur yang rumit dari logika yang dicoba dikembangkan, terdapat dunia kehidupan
persepsi dan motivasi yang untuk sebagian besar belum terpetakan.
Emosi dan perasaan diketahui sebagai mempunyai peranan penting dalam
kehidupan manusia. Tetapi proses penyimpulan pemikiran jangan dikacaukan dan
dikaburkan oleh perasaan atau emosi kita yang mana pun juga.
Perlu dilihat dan disadari bahwa penggunaan akal dengan semestinya, dan
semaksimalnya, bukanlah pendewaan serta pemujaan akal dan bukan berarti ipso facto
atau otomatis melalaikan, menyingkirkan aspek atau nilai kemanusiaan lainnya yang
juga penting. Akal ditugasi alam untuk menjadi pedoman bagi kemampuan manusia

7
lainnya, dan juga pedoman bagi kehendak yang hakikatnya tidak dapat melihat, alias
buta.
Sementara orang ada yang mencurigai dan mengambil jarak terhadap logika
karena alasan agama, kenyakinan, iman. Mereka lupa bahwa juga iman butuh akal.

Penutup
Secara umum Bahasa manusia mempunyai dua bentuk, yaitu lisan (pola-pola
suara) dan Tulisan (pola-pola visual). Dalam setiap Bahasa selalu terdapat empat unsur
pokok, yaitu: (1) Simbol (kata, nama, atau frase yang dipergunakan untuk menyebut
sesuatu); (2) Obyek (benda yang disebut sebagai simbol); (3) Referensi (makna yang
menjembatani hubungan antara symbol dan obyek yang disimbolkan); (4) Individu
pelaku yang menciptakan symbol dan menggunakannya pada suatu hal khusus.7
Dengan mengetahui sejarah singkat logika dan definisi logika-bahasa, semoga
cakrawal kesadaran kita semakin luas (dan kita semakin berusaha untuk
memperluasnya) serta semakin melihat kebutuhan akan penguasaan logika sebagai salah
satu tuntutan yang asasi (dan menzaman) untuk mencerdaskan bangsa dan
memanusiakan manusia. Banyak hal tidak tertib bermula di dalam pikiran, maka
semestinya proses penertiban bermula di dalam pikiran kita. 8

Daftar Pustaka
Moa, A. Logika dan Bahasa. [tanpa tempat, penerbit dan tahun].

Poespoprodjo, W. Logika Sientifika. Bandung: Remadja Karya CV, 1985.

Rapar, J. H. Pengantar Logika. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Salam, H. B. Logika Formal: Filasafat Berpikir. Jakarta: Bina Aksara, 1988.

Yendra. Mengenal ilmu bahasa: Linguistik. Yogyakarta:Deepublish, 2018.

7
Anton Moa, Logika dan Bahasa ([tanpa tempat, penerbit dan tahun]), hlm 1. (diktat)
8
Drs. W. Poespoprodjo, L. Ph., S.S., Logika Sientifika ( Bandung: Remadja Karya CV, 1985), hlm. 48.

Anda mungkin juga menyukai